iissuwandiAvatar border
TS
iissuwandi
Izinkan Aku Untuk Mencintanya


Izinkan Aku Untuk Mencintanya


Pernikahan dengan istriku awalnya baik-baik saja. Mira, wanita semampai berhidung bangir dengan lesung pipinya yang menawan. Sedangkan aku hanya lelaki biasa, penampilan biasa, dan karir biasa saja. Tidak ada yang istimewa dilihat dari sudut manapun.

Kami dijodohkan, Mira amat menentang awalnya, wajar saja. Tapi atas bujukan orang tuanya, akhirnya ia luluh. Sedangkan aku, terpaksa mengikuti kehendak orang tua karena sudah terlalu tua untuk menunda pernikahan.

Kehidupan yang kami jalani sama seperti kehidupan rumah tangga yang lain. Kami menjalani peran masing-masing. Aku mencari nafkah, Mira sebagai seorang ibu rumah tangga. Semenjak menikah, ia berhenti bekerja.

Di tahun ketiga pernikahan, mulai sering terjadi percekcokan di antara kami. Kehadiran seorang anak sering menjadi pemicu pertengkaran. Mira dengan alasan tidak mau repot memiliki anak, membuatku berang. Sudah sering nasihat-nasihat berisi rayuan kulontarkan padanya, berhubung usiaku akan menginjak kepala lima, aku butuh penerus.

Pagi itu, seperti hari-hari sebelumnya, pertengkaran kecil terjadi lagi. Alasannya sepele, aku hanya butuh sedikit perhatiannya. Akhir-akhir ini, Mira sering melamun. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku lelah memahaminya.

******

Sore hari, selepas bekerja aku sampai di rumah. Hening. Tidak seperti biasanya. Kucari ke semua sudut rumah, nihil. Mira pergi tanpa pamit. Ah, biarlah, mungkin dia butuh waktu berpikir. Sama sepertiku.

Kuhempaskan tubuhku di atas sofa, sekedar melepas penat. Memikirkan akan dibawa kemana hubungan kami.

Tanpa sengaja, mataku melihat sebuah diary di lantai dekat pintu, mungkin karena terburu-buru Mira tanpa sengaja menjatuhkannya.

Aku baru tahu kebiasaannya menulis diary, setelah tanpa sengaja memergokinya suatu malam. Terdengar tangis tertahannya, kala itu. Tapi aku terlalu abai padanya.

Ku raih dan kubuka, penasaran dengan isinya. Lembar pertama terdapat foto pernikahan kami tiga tahun lalu, senyumku seketika mengembang. Lembar demi lembar kubuka, seketika aliran darahku terhenti ketika membacanya. Mira menyimpan semua kesedihannya sendiri. Sedangkan aku, terlalu bodoh untuk memahaminya.

Ternyata selama ini ia sakit keras. Mira divonis kanker rahim. Aku kira, obat-obatan yang selama ini dikonsumsinya adalah untuk mencegah kehamilan. Dan aku baru tahu sekarang.

Bergegas kuraih kunci motor, ingin segera kupeluk dan meminta maaf kepada Mira. Semua firasatku tentang keanehan Mira, kuabaikan. Tuhan, beri aku kesempatan untuk meminta maaf.

Motor melaju cepat, tidak peduli dengan sumpah serapah dari pengemudi lain. Dipikiranku hanya Mira seorang. Jangan sampai terlambat, mengucap kata maaf.

BRRAAAK

Suara motor beradu dengan aspal. Motor kehilangan kendali, setelah ban motorku melewati jalanan berlubang yang cukup dalam. Dari arah berlawanan, melintas sedan hitam dengan kecepatan tinggi. Tanpa bisa menghindar, tubuhku sukses dilindasnya.

Dalam kesadaran yang hampir hilang, terbayang senyum manis Mira. Entah kapan, terakhir aku melihatnya tersenyum lepas. Maafkan, suamimu yang bodoh ini. Tuhan, andai ku diberi kesempatan, izinkan aku untuk mencintanya sekali lagi.
Diubah oleh iissuwandi 11-09-2019 00:07
bukhorigan
bachtiar.78
evywahyuni
evywahyuni dan 48 lainnya memberi reputasi
49
10.9K
232
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
iissuwandiAvatar border
TS
iissuwandi
#167
Cinta di Ujung Asa


"Mas, pokoknya aku tetap akan berangkat meskipun kamu enggak kasih izin. Kasihan anak kita, Mas, sebentar lagi mau masuk sekolah, uang dari mana?" Mirna terus mengoceh. Sementara Arman, suami Mirna, hanya bisa terdiam sambil menyesap rokok yang tinggal separuh.

"Apa kau sudah yakin dengan keputusanmu? Kerja di kota itu banyak godaannya, belum lagi kalo kamu dapat majikan yang galak, aku takut kamu dianiaya seperti kasus kekerasan di berita itu, loh. Aku memang belum bisa memenuhi semua kebutuhan kalian, tapi aku akan berusaha lebih keras lagi, tolong dipikirkan lagi!" Arman akhirnya bersuara setelah mendengar ocehan panjang lebar Mirna. Ia sadar, dirinya hanyalah tukang ojek pangkalan, yang langganannya semakin hari semakin berkurang. Bukannya ia tidak mau mencari kerjaan lain, apa daya, pendidikan terakhirnya hanya lulusan Sekolah Dasar.

"Kemaren Mbak Tuti ke rumah, katanya majikannya sedang mencari pembantu di kota. Aku lihat Mbak Tuti betah kerja di kota, terbukti ia bisa bertahan kerja di tempat majikannya hingga kini. Katanya lagi, kalo majikannya puas dengan hasil kerja kita, akan diberikan bonus di luar gaji, kapan lagi ada tawaran semenarik ini, Mas?"

"Kerja jadi pembantu, kok, uang yang dihasilkan tidak masuk akal, apa kamu enggak curiga?"

"Mas ini, loh, bawaannya kok curigaan terus, yang penting halal, kan? Di sana itu aku kerja, Mas, bukan jual diri. Siapa tahu emang majikan Mbak Tuti itu orang kaya banget, istilahnya tajir melintir. Sudahlah Mas, pokoknya besok lusa aku berangkat ke kota, bareng Mbak Tuti. Alip nanti kamu titipkan ke Ibu kalo kamu mau berangkat ngojek. Syukur-syukur kamu berhenti ngojek, biar fokus merawat Alip. Uang gajiannya, nanti aku transfer tiap bulan."

Arman sudah kehabisan kata menghadapi sifat keras kepala Mirna. Percuma saja melarangnya. Yang ada hanya akan menambah masalah nantinya. Wanita tinggi semampai berkulit putih yang ia nikahi empat tahun lalu itu, tidak akan berubah pendirian. Wataknya memang keras. Di satu sisi ia tidak rela istrinya harus ikut menanggung beban yang seharusnya menjadi kewajibannya, di sisi lain ia tidak berdaya.

*****

"Titip Alip, ya, Mas. Doakan Mirna biar betah di sana," ucap Mirna sambil mencium punggung tangan suaminya.

Dipandangi wajah cubby Alip, dengan berlinang air mata, diciumi semua bagian wajah anaknya. Sebagai ibu tentu saja Mirna tidak kuasa meninggalkan sang buah hati. Bocah yang baru berusia empat tahun tersebut tampaknya tidak terganggu dengan perlakuan Mirna, terbukti ia masih terlelap dalam tidur. Setelah puas mencium dan memeluk Alip, Mirna pergi dengan tangisan masih menghiasi wajah cantiknya.

Arman dengan berat hati melepas kepergian Mirna. Harga diri sebagai pria tercoreng, tapi ia tidak berdaya melawan kehendak istrinya. Hanya iringan doa ia panjatkan semoga sang istri diberi keselamatan dan kemudahan di rantau orang. Alip, sang anak, masih terlelap dalam mimpi, ketika sang ibu pergi berjuang membangun impiannya.

*****

Setibanya di kota, Mirna disambut oleh majikan Mbak Tuti. Seorang wanita paruh baya, bertubuh tambun, dandanannya terlalu glamour untuk ukuran usianya. Namun siapa peduli, yang penting ada uang, semua terlihat sah-sah saja, kan.

"Tuti, jadi ini Mirna teman kamu yang mau bekerja untukku?"

"Betul, Nyonya. Saya jamin, kerjanya memuaskan."

"Apa kau sudah ceritakan apa pekerjaannya nanti?"

"Sudah, Nyonya."

"Oke. Kalian istirahat saja dulu, nanti aku panggil untuk memulai kerjaan."

Mirna hanya bisa menunduk sambil memasang kupingnya. Ia tidak berani bertanya apalagi menyela pembicaraan Mbak Tuti dan calon majikannya. Sebelumnya Mbak Tuti memang telah menceritakan pekerjaan apa yang akan dilakoninya. Ia menyanggupi, karena tergiur dengan rupiah yang akan dihasilkan nanti. Namun ia tidak berani berterus terang kepada suaminya, bisa-bisa Arman tidak akan pernah membiarkannya pergi ke kota.

Saat ini badan dan pikirannya sudah letih. Ketika mendapat perintah untuk beristirahat, Mirna senang sekali. Untuk urusan pekerjaan akan dipikirkan kemudian.

*****

"Ini kontrak yang harus kamu tanda tangani sebelum memulai pekerjaan!"
Majikan yang di panggil Nyonya Sri oleh Mbak Tuti menyodorkan selembar kertas dan sebuah pulpen.

Dengan gerakan lambat Mirna menerimanya. Ia heran, karena sebelumnya Mbak Tuti tidak menceritakan perihal surat kontrak kerja.

"Tolong dibaca baik-baik setiap poinnya. Karena apa pun hal buruk yang terjadi nanti, saya tidak bertanggung jawab."

"Baik, Nyonya." Mirna mulai membaca poin demi poin yang tertulis di kertas tersebut. Dari mulai jam kerja, uang yang diterima, tamu-tamu yang akan dilayani, hingga kecelakaan ketika bekerja. Dalam hati Mirna bertekad, selama bisa menjaga diri dan kehormatan, ia pasti bisa melaluinya.

"Kalo kamu sudah yakin, cepat tanda tangani! Para tamu sudah menunggu untuk mendapat pijatan. Setiap service yang kamu layani, sudah terhitung dalam gaji sebulan, kecuali ada tips tambahan dari tamu tersebut, itu hak kamu, paham!"

"Paham, Nyonya." Mirna dengan berat hati menanda tangani kontrak kerja tersebut. Semua untuk hidup yang lebih baik. Toh, kontrak kerjanya hanya enam bulan saja. Setelah masa itu, uang akan terkumpul, dan ia akan berhenti, lalu pulang ke rumah.

"Tuti, cepat antar Mirna ke tempat kerjanya! Ingat ajari dia terlebih dahulu. Ganti juga pakaiannya dengan seragam kerja!"

"Baik, Nyonya." Mbak Tuti menggandeng tangan Mirna, menuntunnya keluar dari ruangan Nyonya Sri.

"Semoga betah, ya. Selama kita bisa menjaga diri, percayalah, tidak akan terjadi apa-apa," ucap Mbak Tuti meyakinkan Mirna.

*****

Usaha pijat yang digeluti Nyonya Sri sudah berjalan dua generasi. Pantas saja, langganannya bukan orang sembarangan. Para elite dan pengusaha yang sering menggunakan jasa beliau. Jadi jangan heran, gaji para karyawannya di atas rata-rata.

Pesanan biasanya ramai di akhir pekan. Itu berarti bonus tambahan dari uang tips akan jauh lebih banyak. Mirna sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Meskipun awal-awal bekerja ia selalu mendapat teguran dari Nyonya Sri karena kekecewaan pelanggan dengan hasil pijatannya. Mau bagaimana lagi, biasanya hanya Arman-lah satu-satunya lelaki yang bersentuhan dengannya.

Setiap rupiah yang dihasilkan, ia kumpulkan. Saat penerimaan gaji, uang tersebut langsung dikirim ke kampung halaman. Harapannya uang yang terkumpul nanti bisa dijadikan modal usaha, jadi mereka bisa hidup layak. Tidak perlu pusing memikirkan esok makan apa. Harapan sederhana sepertinya, tapi bagi Mirna itu adalah harapan terbesarnya.

****
"Mirna, hari ini kamu gantikan Mbak Tuti! Ada pelanggannya yang ingin dilayani sekarang juga. Mbak Tuti sendiri sudah kewalahan mengatur jadwalnya hari ini."

"Baik, Nyonya."

"Cepat kamu masuk ke ruangan di ujung sana! Pak Toni tamu kita sudah menunggu."

Mirna bergegas menjalankan perintah majikannya. Harusnya hari ini, ia bisa bersantai, hari ini jadwal liburnya.

Setelah mengetuk pelan pintu, Mirna memasuki ruangan. Di dalam sudah menunggu seorang pria paruh baya yang masih terlihat gagah. Mirna mulai beraksi, melakukan pekerjaannya.

Terdengar obrolan ringan di antara keduanya. Mirna menjawab dengan ramah semua pertanyaan yang dilontarkan. Meskipun ia mulai jengah dengan pertanyaan seputar urusan ranjang.

Tangan Pak Toni mulai bergerilya ke area sensitip pada tubuh Mirna, wanita berparas ayu tersebut berusaha menolak dengan halus. Namun bukannya menghentikan perbuatannya, pria paruh baya tersebut malah makin beringas. Ia mulai berusaha melucuti pakaian Mirna. Wanita bertubuh semampai itu tidak tinggal diam, ia berusaha sekuat tenaga melawan. Tapi apa daya, kekuatannya tidak seimbang. Air matanya mulai tumpah, Mirna mulai terisak dan memohon agar Pak Toni menghentikan aksinya.

"Layani aku! Maka kau akan kuberi imbalan yang setimpal. Jangan jual mahal, aku tahu kalian sama saja seperti wanita murahan di luaran sana, rela tidur dengan lelaki manapun asal dibayar, kan?"

Plaaak.

Sebuah tamparan mendarat mulus ke pipi pak Toni, Mirna murka, harga dirinya terinjak. Meskipun pekerjaan yang ia lakoni menjurus ke arah sana, tapi tidak sedikit pun ia rela tubuhnya dijamah oleh lelaki manapun selain suaminya.

Mendapat tamparan dari Mirna, emosi dan gairah pria kekar itu semakin menjadi. Ditindihnya tubuh semampai Mirna. Ia semakin kalap. Mirna mulai berteriak memohon ampunan kepada pak Toni. Hanya itu yang dapat ia lakukan, meminta pertolongan ke luar, adalah perbuatan yang sia-sia, karena ruangan tersebut dipasang peredam suara. Sebising apapun yang terjadi di dalam, tidak akan terdengar di luar.

"Dasar wanita jalang! Kau berani menamparku, Hah! Akan kubuat kau menyesal dan tidak akan melupakan perbuatanmu."

Mirna hanya bisa memohon dan menangis, ia berusaha melawan dengan sisa-sisa tenaganya. Mendapat perlawanan, lelaki paruh baya tersebut malah semakin beringas, tidak dipedulikan tangis kesakitan Mirna.

Setelah puas menuntaskan hasrat, pak Toni meninggalkannya begitu saja. Mirna tidak berhenti menangis. Ia berusaha menutupi tubuh dengan selimut, pakaiannya sudah dirobek paksa. Penyesalan mulai hinggap di dalam hati. Semua sudah terjadi, mau tidak mau ia harus menjalani keputusan yang telah dibuat.

****
Waktu terus berlalu, tidak terasa kontrak kerja sudah berakhir. Mirna bahagia, akhirnya ia bisa berkumpul lagi dengan keluarga kecilnya. Uang yang dihasilkan sudah lebih dari cukup untuk modal membuka warung nanti.

Mbak Wati tidak ikut pulang, kontrak kerjanya langsung diperpanjang. Tidak masalah bagi Mirna, yang terpenting ia sudah tidak terikat kontrak dan bisa segera bertemu Arman dan Alip, kedua lelaki pengisi hatinya.

Setelah berpamitan dengan Nyonya Sri, Mirna bergegas menaiki mobil yang telah disiapkan oleh majikannya. Mendengar Mirna akan pulang kampung sendirian tanpa Mbak Tuti, sang majikan berinisiatip untuk mencarikan travel. Jadi Mirna tidak perlu berganti kendaraan nanti. Sengaja Mirna tidak memberitahukan kepulangannya kali ini, ia ingin memberi kejutan kepada Arman.

****

"Assalamualaikum, Mas Arman, Mirna pulang!"

Mirna berteriak di depan pintu rumahnya. Tidak ada jawaban. Mirna terus mengulang salamnya. Wanita berkulit putih itu mulai resah. Kemana mas Arman? Tumben rumah sepi. Setelah lelah mengucap salam, ia memutuskan untuk bertanya ke tetangga sebelah rumah.

"Assalamualaikum, Bu Ratih, ini Mirna!"

"Waalaikumsalam, sebentar!"

Bergegas seorang wanita paruh baya membuka pintu rumahnya. Ia tampak terkejut melihat sosok Mirna.

"Owalah, saya kira siapa? Kapan datang?"

"Sendiri aja, Bu Ratih. Ini baru saja sampai, saya mau masuk ke rumah enggak bisa, makanya saya ke rumah Ibu. Apa Mas Arman menitipkan kunci, Bu?"

Raut muka Bu Ratih seketika berubah sedih.

"Kita ngobrolnya di dalam aja, ya. Sekalian Ibu mau menyampaikan sesuatu."

"Ada apa, ya, Bu. Mas Arman dan Alip baik-baik saja, kan?"

"Tunggu sebentar, ya, ibu ambilkan titipan dari Arman untuk Nak Mirna."

Bergegas Bu Ratih berbalik masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian, ia datang membawa sebuah amplop putih. Amplop tersebut diserahkan langsung kepada Mirna. Dengan tangan bergetar Mirna menerimanya. Pikiran wanita muda itu sudah kacau, ia takut terjadi sesuatu kepada kedua lelaki yang amat dikasihinya.

Dibuka perlahan amplop putih tersebut, sebuah anak kunci jatuh tepat di kaki Mirna. Tidak ia hiraukan, netranya fokus pada selembar kertas bertuliskan surat pengajuan perceraian. Kedua tangan bergetar, bulir-bulir air mulai memenuhi kedua kelopak mata. Tidak, ini pasti salah, tidak mungkin mas Arman setega itu, ini palsu.

Bu Ratih segera merangkul tubuh semampai Mirna yang mulai limbung. Dipapahnya ke dalam rumah. Dibiarkannya Mirna menangis sepuasnya. Bu Ratih terus merangkul dan mengusap-usap pundak Mirna. Wanita paruh baya itu ikut larut dalam kesedihan yang dirasakan Mirna.

Setelah dirasa cukup tenang. Bu Ratih mulai menceritakan semua yang ia ketahui kepada Mirna. Jadi selama Mirna pergi merantau, Arman kepincut dengan janda desa sebelah, setiap hari mereka menghabiskan waktu bersama. Sampai pada suatu saat, kedua pasangan yang telah dimabuk asmara tersebut digerebek warga setempat, mereka murka dan geram dengan tingkah Arman dan janda tersebut. Lalu mereka diusir dari sini. Kejadiannya tiga bulan lalu, sebenarnya para tetangga ingin mengabarkan berita tersebut kepada Mirna, tetapi tidak ada yang tahu dengan cara apa. Nomer telpon tidak punya, alamat juga tidak ada. Sebelum pergi, Arman pamit menitipkan sebuah amplop kepada Bu Ratih. Dan hari ini amplop tersebut sudah sampai ke tangan Mirna.

Mirna hanya bisa menangis, meratapi nasibnya. Tapi satu yang pasti, ia akan berusaha memperjuangkan Alip agar kembali ke pangkuannya.


Tamat

Baca juga cerita ane yang lainnya di sini
Diubah oleh iissuwandi 17-09-2019 01:24
ajang.dee
trifatoyah
abellacitra
abellacitra dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup