Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

notararenameAvatar border
TS
notararename
Cinta Dua Generasi (Novel bukan Picisan)

Credit : pandaibesi666


Rasanya akan mengurangi keseruan cerita ini, jika kuberitahu cerita apa ini, maka lebih baik langsung saja ku ceritakan, dan silahkan membaca.

1. Prolog
Bima, biasa orang memanggilku. Ralat, setelah kutimbang, orang biasa lebih memilih untuk memanggilku si gondrong, itupun sangat jarang sekali mereka memanggilku. Hanya bunda, Koh Hendra pemilik toko kelontong tempatku bekerja, dan beberapa orang lainnya memanggil aku Bima. Ya, aku bukan orang yang mudah bergaul, dan juga kurasa tidak ada yang mau berteman denganku. Ini adalah hari ketujuh aku bersekolah di sekolah terbaik di Jakarta, atau mungkin tidak berlebihan jika kukatakan sekolah terbaik sekaligus termahal di Negri ini, Indonesia. Hanya anak dari pejabat-pejabat atau pengusaha kaya raya, yang mampu membiayai anaknya untuk sekolah disini, sekolah penghasil lulusan calon sukses, atau lebih dikenal dengan nama B.I.S. (Barata International School). Barata nama pemilik sekolah ini, seorang pengusaha kaya dan cerdas, setidaknya begitu yang kudengar dari bunda, Koh Hendra, dan siswa-siswa yang sedang bercengkrama satu sama lainnya di kantin. Sedangkan aku, duduk sendirian di pojok kanan kantin, tanpa ada satu orangpun yang sudi duduk denganku, barangkali karena tak ada yang tahu siapa itu Tabara pikirku, dan memang kenyataannya akupun tak tahu siapa itu Tabara,yang kutahu hanya itu adalah nama belakangku, dan bunda tidak pernah bercerita sedikitpun tentang ayahku. Lalu kembali aku memikirkan kejadian 7 hari yang lalu. Hari pertama aku bersekolah disini untuk melanjutkan pendidikanku setelat tamat dari smp."Halo, perkenalkan aku Bima Tabara." Ucapku ketika giliranku tiba, ya walikelas meminta kami untuk berdiri dan memperkenalkan nama masing-masing."Apa bidang pekerjaan ayahmu?" Tanya  siswa yang duduk di belakangku."Aku tak punya ayah" jawabku sedikit gemetar, entah sudah berapa kali aku menjawab pertanyaan ini, tetapi tetap saja aku bergetar ketika ditanya tentang ayah. Bunda tidak pernah bercerita apapun tentang ayah. Pernah sekali aku bertanya padanya, hanya kemarahan dan amukan yang kudapat darinya. Tak pernah sekalipun aku melihat seperti apa bentuk wajah ayahku.
"Lantas, bagaimana dengan ibumu?"Tanyanya lagi. "ibuku adalah seorang tukang cuci di rumah tetangga." kurang dari setedik setelah aku mengatakan itu, tiba-tiba saja seisi sekelas yang tenang berubah menjadi ricuh.
"bagaimana bisa dia bisa sekolah disini?" Dan masih banyak suara-suara lain yang sangking banyaknya, tidak dapat kutangkap semuanya.
"sudah-sudah, silahkan duduk, dan lanjutkan siswa sebelahnya"ujar sang guru, yang walaupun tidak membuat suasana kelas menjadi tenang seperti sebelumnya, tapi membantu mengurangi keributan didalam kelas yang terjadi karena aku.Terpikirla aku akan perkataan bunda.

"Apa benar tidak bisa bersekolah di tempat lain saja?" Tanya bunda, berbanding terbalik dengan ekspetasiku saat akan memberitahukan berita bahagia ini, bahwa aku mendapatkan  beasiswa di B.I.S., bukan beasiswa berupa potongan spp, tetapi benar-benar beasiswa penuh, dengan kata lain aku bisa belajar di sekolah terbaik di Negri ini, tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun.
"Hanya sekolah ini bun yang bisa memberikanku beasiswa, lagipula kita tidak punya uang untuk membayar biaya sekolah sendiri, aku juga mungkin bisa melanjutkan studi  ke luar negri gratis dan memperbaiki keadaan kita bun."ucapku berseri-seri, bahkan Koh Hendra pun menyelamati aku ketika aku memberitahunya tentang berita ini. "Belajarla sungguh-sungguh, kelak ketika kamu sukses, jangan lupa dengan kokoh ya." pesannya.
"Bila memang itu maumu, yasudah..."

tteett....tteett....

Lonceng pertanda waktu istirahat habis membuyarkan kenanganku. Mungkin bunda tahu bahwa orang tak punya sepertiku mungkin akan kesulitan untuk bergaul di sekolah ini, sekolah para siswa yang katanya berpendidikan tinggi, dan kaya raya ini. Berdirila aku dan kutenteng roti yang tadi kubeli dan belum sempat kuhabiskan, dan berjalan menuju kelasku, X MIPA 3. Sesampainya di kelas aku langsung berjalan ke meja belakang pojok belakang kanan, entah kebetulan atau emang orang tanpa teman sepertiku diharuskan duduk di tempat yang tidak terlihat. Tetapi begitulah, berdasarkan denah tempat duduk yang sudah dibuat oleh walikelas, tempat dudukku adalah di paling belakang, sebelah kanan, sendirian.

1 minggu kemudian.....

Seperti biasa, walikelas masuk untuk memberikan briefing (sudah tradisi setiap pagi walikelas datang ke kelasnya masing-masing untuk memberikan informasi, ataupun wejangan-wejangan terhadap muridnya) walau lebih sering dilakukannya adalah memberikan nasihat nasihat picisan, seperti jagalah kebersihan sekolah, belajarlah sungguh-sungguh, dan masih banyak lagi.
"Hari ini, ada kedatangan siswi, direkomendasikan langsung oleh Herman Barata." Lantas bagaikan Dejavu dihari perkenalan aku 2 minggu yang lalu, terulang lagi kejadiannya. Suasa kelas menjadi ramai, dan akhirnya kudapatkan lah informasi. Singkatnya, sudah ada banyak isu-isu bahwa pacar dari Robert Barata, anak dari pemilik sekolah ini akan belajar disekolah ini. Kurasa hanya aku, yang tidak tahu siapa itu Robert Barata, sampai sekarang, baru aku tahu bahwa Heman Barata memiliki anak yang  memiliki prestasi luar biasa, dan sedang bersekolah juga disini, beda angkatan tapi. Ya, dia kelas 11. Tiba-tiba saja suasana kelas menjadi tenang, kuperhatikan wajah siswa-siswi di kelasku. Tak ada satupun yang berkedip, memandang ke depan, ke arah papan tulis. Bingung, akupun menoleh ke depan untuk melihat siapa gerangan yang bisa menenangkan kelas ini.

Memang bukan main cantiknya, hidungnya mancung, rambutnya panjang terurai lurus. Matanya tajam, siap menusuk siapapun yang menatap matanya yang bewarna cokelat itu. Badannya tidak kurus, juga tidak gembrot. Mukanya mulus, putih, seperti tidak pernah keluar rumah, dan pasti banyak uang dihabiskannya untuk perawatan pikirku. Benar-benar seperti Apsara (baca:bidadari) yang biasa hanya ada di novel roman picisan.
"Halo, perkenalkan namaku, Vienna."
Astaga, bahkan suaranya pun bisa menghiphotis siapapun yang mendegarnya, lembut dan halus. Berbanding terbalik dengan yang aku alami, tak ada satupun orang yang bertanya pekerjaan orangtuanya, nama belakangnya-pun tak ada yang berani tanya. Mungkin karena kecantikannya, murid menjadi tidak peduli dengan latar belakangnya, mungkin juga karena dia adalah pacar Robert, sehingga tak ada yang meragukan latar belakangnya.


buat yang mau baca via wattpad

Chapter I
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Chapter II
10.
11.
12.
Diubah oleh notararename 12-05-2023 06:20
anasabila
someshitness
dodo.leonard688
dodo.leonard688 dan 18 lainnya memberi reputasi
19
13.5K
116
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
notararenameAvatar border
TS
notararename
#48
8. Emosiku memuncak, saat melihat Robert sedang mencium paksa Vienna yang sedang berusaha sekuat tenaga untuk menolak sambil menangis. Langsung saja, aku menarik tubuh Robert dan memukul wajahnya. Aku lihat Vienna rambutnya berantakan, makeupnya berantakan karena air matanya. Melihat air mata Vienna, membuatku kembali bersemangat memukul Robert. Kembali aku lihat Robert yang sedang berusaha berdiri dari lantai.
"Apa yang kau lakukan disini?" Teriaknya.
"Apa yang kau lakukan terhadap Vienna?" Teriakku balik kepadanya.
"Bukan urusanmu." Robert, melihat kearah Vienna, berkata :
"Apakah Bima yang membuatmu tidak mencintaiku lagi? dasar murahan tidak tahu diri, sudah banyak yang aku berikan untuk kau. Tapi kau malah...." Belum sempat ia melanjutkan perkataannya, aku yang melihat tangisan Vienna makin deras, langsung memukul wajahnya lagi, tapi tanpa kuduga ternyata ia menangkis pukulanku dan memukul perutku. Pukulannya lumayan keras, membuatku tersungkur ke lantai. Dia langsung mengambil kerahku dan memukulku. Kutendang perutnya, kini ia tersungkur. Aku langsung bediri, kuambil kerahnya dan memukulnya membabi buta, sampai teriakkan sebuah suara wanita yang lagi-lagi tidak asing terdengar.
"Hentikan!" Masih belum puas, aku melanjutkan memukul Robert.
"Sudah, hentikan Bim" Suara lirih Vienna, membuatku seakan terhipnotis, dan menghentikan pemukulan ini. Lalu kulihat seorang wanita paruh baya, yang tadi menyuruhku berhenti langsung menghampiri Robert dan mengangkatnya. Sebelum pergi Robert menatapku tajam, seakan mengancam.
Vienna masih duduk bersandar di dinding. Nafasnya masih tidak teratur, meski air matanya sudah berhenti mengalir, badannya gemetar seperti dimalam dia diganggu preman jalanan. Aku langsung duduk disebelahnya, kupeluk dirinya. Kutepuk-tepuk punggungnya, mencoba menenangkan. Disenderkan wajahnya di bahuku, kini ia mulai menangis lagi. Setelah puas menangis, dan membasahi bajuku ia mengangkat kepalanya, dan berkata :
"Terimakasih Bim."
"Tentu saja, apa yang baru saja terjadi Vie?" Vienna terdiam, dan berkata
"Maaf Bim, tapi aku belum siap untuk menceritakan." Ucapnya sambil menunduk.
"Tidak apa-apa Vie, kapanpun kamu merasa siap untuk menceritakan penderitaanmu, aku akan mendengarkan Vie." Vienna mengangguk pelan, masih menunduk.
Pintu terbuka, kini aku melihat wanita yang tadi membantu Robert datang menghampiri kami. Raut mukanya marah, mengerikan, seakan siap menerkam siapapun.
"Siapa kau? datang-datang langsung membuat onar! Apa kau tahu apa yang baru saja kau lakukan? memukul anak dari Pak Herman. Dan juga bagaimana kau bisa sampai ke sini?"
Akupun berdiri dan menjawab.
"Maaf, tapi tidak akan kubiarkan siapapun menyakiti Vienna, siapapun itu! Termasuk Robert Barata!" Geramku.
"Kau kira kau itu pahlawan? Dengan memukul Robert, terlebih dengan alasan melindungi Vienna, kau malah akan membuat Vienna menderita! Apa kau tahu apa yang sudah kami lalui untuk dapat bertahan? Lalu tiba-tiba kau datang dan menghancurkan segalanya!"
Vienna berdiri di sebelahku, dan berteriak.
"Ma! Vienna sudah lelah dengan permainan mama. Mama seolah-olah melindungi Vienna, tapi sebenarnya mama hanya tidak ingin hidup menderitakan!" Ucapan Vienna membuatku kaget, ternyata wanita ini adalah orang yang sudah melahirkan Vienna.
"Omong kosong macam apa itu Vie? Kamu hanya perlu bertahan dua minggu lagi, tapi temanmu ini malah menghancurkan segalanya!"
"Apa mama tahu? kalau Bima tidak ada disini, kejadian satu tahun yang lalu hampir terulang lagi." Suara Vienna bergetar saat mengatakan kejadian satu tahun yang lalu.
Mama Vienna terdiam, mukanya sekarang menjadi lebih menyeramkan dari yang sebelumnya setelah mendegar perkataan Vienna. Tangannya mengepal keras, sedangkan aku terdiam bingung, berusaha mencerna apa yang telah terjadi, dan apa kejadian yang telah terjadi kepada Vienna.
"Maafkan mama Vie." Ucap wanita itu lalu memeluk Vienna. Mereka berdua menangis deras, meluapkan emosi yang sudah lama mereka pendam.

Kini, aku, Vienna, dan Mama Vienna, yang ternyata bernama Ningsih itu sedang duduk di ruangtamu di dalam kamar ini. Ya, ini adalah kamar untuk pelayan. Dan baru aku sadari, kamar ini sedikit lebih besar dan jauh lebih nyaman dibandingkan tempat tinggalku.
Setelah sekitar tiga puluh menit berbicara. Aku sangat kaget dengan informasi yang aku dapatkan. Ternyata, Ningsih adalah kepala pelayan di rumah ini, dan selama ini Vienna tinggal disini dengannya. Vienna, menceritakan tentang diriku dari awal pertemuan kami, sampai kejadian hari ini.
"Lalu, bagaimana kau bisa sampai ke ruangan ini?" tanya Ningsih, kini nada suaranya lebih ramah dari sebelumnya.
"Entahlah, hanya saja aku merasa tidak asing dengan tempat ini, seakan aku sudah pernah kesini sebelumnya."ucapku ragu.
Mama Vienna lalu menatap wajahku dalam-dalam, mengobservasi wajahku. Lalu ia bertanya.
"Apa nama lengkap ibumu adalah Wulan Lestari?"
"Bagaimana tante bisa tahu nama lengkap bunda?" tanyaku kaget, sekaligus membenarkan pernyataannya. Kulihat Mama Vienna, dan Vienna membelalak seakan tidak percaya.
"Ada apa?kalian mengenal bundaku?"
"Tentu saja, bundamu adalah sahabatku." Terdiam sesaat, Ningsih melanjutkan.
"Pantas saja, aku merasa tidak asing dengan wajahmu. Perpaduan antara wanita cantik dan pria tampan." Matanya menatapku takjub.
"Apa tante tahu siapa ayahku?" tanyaku semangat. Ningsih terdiam beberapa saat sebelum menjawab.
"Maaf, tante tidak tahu siapa ayahmu."
"Lalu, bagaimana tante tahu ayahku adalah seorang yang tampan."
"Bundamu yang bilang, tante tidak pernah tahu siapa ayahmu." Ningsih mengalihkan topik pembicaraan.
"Dulu, Wulan adalah kepala pelayan. Tetapi ia berhenti dan meninggalkan tempat ini saat kau berumur enam tahun."
"Mengapa?" Tanyaku penasaran. Aku lihat, Ningsih lagi-lagi ragu untuk menjawab.
"Aku kurang tahu tentang alasannya." Jawabnya, lalu diapun buru-buru pergi dengan alasan pekerjaan.
Aku lihat Vienna, matanya berseri-seri senang.
"Kau tidak ingat?"tanyanya semangat. Vienna menjelaskan.
"Kita adalah sahabat, selalu bersama-sama semenjak lahir. Aku sudah menganggap mamamu sebagai mamaku sendiri. Mama Wulan sangat baik kepadaku, itulah sebabnya malam itu aku ada disana. Tanpa sengaja aku mendegar percakapan Pak Ahmad dengan Pak Herman tentang seseorang yang bernama Wulan tinggal di daerah B, tempatmu tinggal. Maka aku memutuskan untuk pergi kesana, dengan harapan dapat bertemu denganmu dan Mama Wulan. Aku tidak tahu pasti mengapa Pak Herman membicarakan kepala pelayan yang sudah berhenti kurang sepuluh tahun yang lalu. Jadi, aku memutuskan untuk menyelidiki sendiri, itulah mengapa aku pergi sendirian malam itu. Tapi, sayangnya saat itu bundamu sedang tidak di rumah." Vienna menjelaskan dengan penuh semangat.
"Lalu, mengapa kau tidak mengenali namaku?"
"Dari dulu, semua orang memanggilmu Bara. Aku tidak tahu kalau nama lengkapmu ternyata Bima Tabara."
Memori-memori masa lalu kini berlalu-lalang di dalam kepalaku. Perlahan-lahan aku mulai mengingat potongan-potongan memori masa kecilku. Aku ingat rumah ini, semuanya masih sama seperti terakhir kali aku disini. Hanya saja, kini tidak ada lagi foto Maya Barata, istri dari Herman Barata bertebaran di dinding rumah ini.
"Lalu, lukisan yang selalu kau bawa itu siapa? Seingatku, rambutku dulu pendek tidak panjang."
"Sepertinya sudah banyak yang kau lupakan Bim. Setahun setelah kau pergi, kau diam-diam pergi kesini untuk menemuiku. Saat itu rambutmu sudah panjang, aku hampir tidak mengenalimu."
Kini, semakin jelas memori masa kecilku. Aku ingat, saat aku berjalan kaki jauh-jauh hanya untuk menemui seorang sahabat. Aku ingat, saat aku diam-diam menyelinap masuk ke kamar Vienna hanya untuk bermain dengannya. Aku ingat hari terakhir aku bertemu Vienna, ketika aku kembali ke sini sendirian saat berumur tujuh tahun. Vienna mengatakan ingin melukis diriku, sebagai pengingat tentang diriku, seandainya kami tidak akan bertemu lagi. Aku juga ingat, Pak Ahmad, ya tidak salah lagi dialah yang membawaku pergi dari rumah ini dan membawaku kembali ke bunda. Aku jugat ingat pesannya, jangan pernah kembali ke tempat ini, setidaknya sampai dia datang menjemput. Aku menunggu janjinya, setiap hari sampai-sampai aku lupa janjinya untuk menjemputku.
"Aku ingat Vie, aku ingat sekarang Vieeeeee" Ucapku lalu memeluknya erat-erat. Vienna membalas pelukanku, dan kamipun tertawa bersama.
Sekarang ini, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada bunda, Pak Ahmad, Ningsih, Vienna, tetapi mungkin akan aku simpan pertanyaan itu untuk lain waktu.


-Seperti bayangan selalu menemukan pemiliknya saat matahari beranjak pergi. Kebenaran akan selalu menemukan jalannya.
Diubah oleh notararename 15-09-2019 07:18
ariid
eunwoo30
idner69
idner69 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Tutup