Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
The Way You Are
Quote:




Friendship is not always about finishing each other's sentences or remind you to the lyrics you forget. Many times, friendship is about how fluent are both of you in speaking silence.

-- Maxwell.




Diubah oleh ladeedah 08-09-2019 00:30
someshitness
bukhorigan
evywahyuni
evywahyuni dan 11 lainnya memberi reputasi
12
24.3K
185
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
#101
The Gate
"Badan kamu makin berantakan aja, Dee. Kamu sakit?" Papa mengamati gue yang sedang membuat teh di dapur. Gue menggeleng. Dia masih terus mengamati gue, berusaha menemukan apa yang salah namun tak bisa ia temukan karena gue akan selalu menghindar dan dia selalu sibuk. Kebingungannya hanya akan berakhir di: yasudahatau lupa.

Menjadi candu memang membawa perubahan drastis di fisik. Tubuh adalah satu-satunya yang tampak meskipun otak juga rusak. Gue sudah memasuki level addict saat itu. Gue sudah menjadi seorang shooter/pengguna dengan injeksi, yang sebelumnya hanya snorting atau rokok.

Beda ketiga cara pemakaian ini adalah injeksi dan smoking bisa meraih otak lebih cepat. Sulit untuk tidak mengulangi lagi dan lagi karena efeknya cepat. Sedangkan snorting lebih slow tapi membuat hidung gue mulai sakit dan sering berdarah beberapa kali sehingga gue kurangi cara itu. Bukan mimisan, tapi berdarah dan sakit karena ada luka di sinus gue akibat keseringan begitu.

Sejak menjadi seorang Ice Shooter, dalam sekali suntik gue biasa menggunakan 25 miligram. Saat gue hanya ingin mengurung diri di kamar atau party bersama teman-teman, gue berani shooting higher, 35 to 50 mg. Kalo telinga gue belum ringing, bola mata gue belum bergetar atau gue belum merasakan kebutaan sesaat: gue merasa membohongi keinginan hati dan tubuh gue sehingga gue berikan dosis lebih!

Eyang Putri layaknya Nenek-Nenek Old School, tidak tau yang beginian, tidak menyangka yang beginian. Eyang tetap rajin ngaji dan pengajian, bahkan Eyang selalu sholat di kamar gue saat gue ujian atau sakit, katanya untuk mengundang Malaikat agar menjaga gue dan memudahkan gue. Eyang juga selalu ngaji di kamar gue saat gue tidak di rumah karena Eyang sangat mencintai cucunya ini dan itu caranya untuk menjaga agar cucunya selalu dijaga oleh Allah.

"Kamu make sabu?" Pertanyaan dokter gigi yang hendak membersihkan karang gigi gue menatap gue prihatin.

Itu hanya salah satu efeknya: karang gigi yang semakin menebal. Ada beberapa luka seperti jerawat di wajah dan lengan gue yang muncul karena keseringan gue garuk karena halusinasi tertinggi gue adalah seperti ada yang membuat gue selalu gatal. Sebagai dokter, mungkin dia tau ciri fisik di tubuh gue adalah ciri seorang junkie.

Gue tidak menggeleng, tidak mengangguk, dan tidak bicara apa-apa.

"Kamu masih muda, Diajeng. Narkoba bisa merusak masa depan kamu."

"Lo mau ngerjain kerjaan lo, atau lo mau nyeramahin gue?"

Si Dokter perempuan itu mengangguk dan mulai mengenakan sarung tangan juga penutup hidung.

Dua setengah jam waktu yang gue butuhkan untuk membersihkan seluruh karang gigi gue. Bukan waktu yang sebentar. Bukan karang gigi yang sedikit. Plaque remover, teeth whitening, seenggaknya hanya itu yang bisa gue beli untuk menjaga penampilan gue. Tubuh yang kurus sudah bukan hal yang baru karena postur gue memang tidak pernah berisi sejak kecil, hanya saja, gue semakin kurus saat itu.

Wanna know a funny story about Max?

Max tidak tau bahwa yang gue pakai adalah meth! Dia hanya melihat itu sebagai white powder. Kami benar-benar tidak bicara saat dia tau gue pemakai dan dia bahkan tidak tau apa yang gue pakai. Saat salah satu teman bermain skateboardnya ia pergoki mencampur lintingan dengan coke, Max mengira itu adalah sama dengan yang gue gunakan.

All the white powders are the same! Stupid! Itulah awal dia kecanduan coke.

See, dia tidak pernah bertanya namun tidak pernah ragu untuk rusak bersama. Double stupid.

It was Someday setelah Lebaran Haji, dua atau tiga hari setelah Eid al Adha saat Papa menelepon jam 2 malam. Eyang yang bangun saat telepon rumah berdering kencang.

Eyang: Besok aja Bram, sekarang Ajeng udah tidur.
......
Eyang: Ada apa sih Bram?
......


Gue sudah duduk di atas kasur saat Eyang membuka pintu kamar. Belasan miskol Papa di hape gue bisa gue tebak ada sesuatu yang...urgent.

"Bilang Papa suruh telepon Ajeng aja Eyang."

Eyang mengangguk dan kembali menjawab telepon. Gue pergi ke kamar mandi dan membasuh muka.

Papa: "Maxwell sakit, besok siang kamu pulang ke Melbourne, Papa udah kirimin kamu tiket. Sorry, but this is urgent, Diajeng."

Max OD.

Gue saksikan tubuh kurusnya yang dipasangi selang sana-sini di ruang Emergency.

"Kok bisa?" Gue tanya Archie, kenalan Max, salah satu dari kelima orang malam itu. Dia yang membawa Max ke rumah sakit karena yang lain tidak mau menanggung resiko.

"Dia naikin dosis dua kali hari ini."

Gue terpaku melihat sahabat gue terkapar tak sadarkan diri.

"Thank you, Archie."

"What for?"

"For bringing him here."

"I have nothing to lose, Dee. I have no one to lose too."

"Yes you have."

Archie menarik nafasnya. Kami keluar dari ruang emergency. Pergi ke pelataran Royal Melbourne Hospital dan menyalakan rokok disana. Sudah hampir jam dua malam, Maxwell sudah tidak sadarkan diri selama enam belas jam. Dokter sudah menyatakan dia berada dalam keadaan koma empat jam terakhir.

"Max itu baik, Dee."

Gue mengangguk berkali-kali. Gue berusaha menyembunyikan air mata gue yang terus mengalir sejak semalam Papa mengirimkan kabar ini.

"Dia anak yang ga punya masalah apa-apa, dia make cuma karena lo make."

Gue mengangguk lagi.

"Dia punya segalanya di hidupnya dia. Orang-orang yang sayang dia, ga punya masalah apa-apa, kebutuhan yang selalu tercukupi, pendidikan yang bagus, dia bener-bener ga punya alasan buat terjun kesitu."

Archie mengamati gue diantara lampu jalan dan lampu kendaraan yang berlalulalang di Grattan St. Gue tidak mengerti apa maksudnya, namun gue bisa menangkap pernyataan menyalahkan dibanding keheranan. Gue hanya menatap Archie dan memilih diam karena gue juga tidak tau. Lagi.

"Diajeng!" Mama dan Papa turun dari mobil yang menepi di dekat tempat kami berdiri lalu langsung memeluk gue.

"Max pasti baik-baik aja, Sayang!" Bisik keduanya.

Gue menangis. Malam itu untuk pertama kalinya gue menangis di pelukan Papa DAN Mama. Lagi setelah bertahun-tahun. Gue bisa merasakan ketakutan menyerang hati gue dan gue hanya bisa menjerit sekencang-kencangnya. Semua ini salah gue.....

"DEE TAKUT MAX MATI, PAPA!!"

"Oh no no no, Baby, no no no! Dia berada di rumah sakit terbaik dan di tangan dokter terbaik, mereka akan melakukan pertolongan terbaik untuk Maxwell!"

Archie meninggalkan kami dan hanya melihat gue sesaat. Archie benar, Maxwell tidak memiliki alasan apa-apa untuk ikut terjun ke jurang bersama gue dan sekarang dia harus menanggung akibatnya, menampar keluarganya dengan sebuah bukti: Maxwell adalah drug user. Siapa sangka?

Papa, Mama, Mama Max, Papa Max bicara dalam ekspresi serius di ruang tunggu Rumah Sakit. Berkali-kali kalimat "I dont know", "I cant believe it too!", "No he never tell me about any problem!", "Where did he get the money from?", "Its a fucking cocaine, Clarice! That shit costs fortune!" terucap. Mama Max tidak berhenti menangis di pelukan Mama. Papa Max hanya duduk lemas di kursi rodanya dan Papa duduk di sampingnya.

"He will be alright, right?" Bobby menghampiri gue yang duduk cukup jauh dari mereka.

"He's a good kid. Impossible for Max to use that shit! Gue rasa dia disuntik sama orang lain!" Tambah Bobby marah.

"Dia pernah cerita ke lo kalo punya musuh?" Tambahnya lagi. Gue menggeleng.

"Ini pasti golongannya Neo dan temen-temennya! Mereka selalu ngerusuh sama Max sejak kecil!"

Gue hanya mendengarkan Bobby sementara mata gue terus tertuju ke pintu ruang Max dirawat.

Persahabatan itu ga selalu tentang nyambung obrolan atau ngingetin ke lagu yang kita lupa liriknya, Dee. Sering, persahabatan adalah tentang betapa lancarnya kita bicara dalam bahasa diam.

Gue terbangun saat ada kecupan di pipi gue. Gue mencium aroma tubuh Maxwell. Maxwell?

"Max!!"

"Hey, its me." Papa dan Mama sudah duduk di kanan kiri gue. Entah sudah berapa lama gue tertidur di ruang tunggu. Keluarga Max juga masih di posisinya. Tampak lelah namun masih terjaga.

"Maxwell belum bangun, Sayang." Mama merapikan rambut gue. Gue sandarkan kepala gue di pelukan Papa. Gue rasakan gelombang ketenangan menguasai tubuh gue hanya dengan menyentuhnya. Kehangatan tubuhnya, detak jantungnya, aroma parfum yang bercampur keringatnya, semuanya terasa seperti hipnotis dan membuat gue tenang seketika.

"Pa, Ma, sebenernya Maxwell begitu gara-gara Dee."

Gue menyerah.

"Maksud kamu?" Bisik Papa tenang sambil mencium kening gue.

"Mr. and Mrs. Branislav?" Seorang dokter wanita keluar dari dalam ruangan. Kami semua sontak berdiri dan menghampirinya.

"Maxwell sudah sadar."

Rahasia gue kembali gue telan.

Semua orang euforia dalam rasa senang sekaligus rasa marah. Gue tidak membahas apapun tentang peristiwa yang menimpa Max bersama Max karena tidak pernah ada ruang dan waktu untuk itu. Selain Max masih sangat lemah, dokter dan perawat selalu keluar masuk, orang tua kami selalu ikut mendampingi. Teman-teman yang datang menjenguk.

Hingga gue harus kembali lagi ke Jakarta, gue hanya bisa memeluk sahabat gue tanpa bisa bicara apa-apa.

Maxwell mengakhiri perjalanannya bersama kokain dan masuk ke dalam rehabilitasi yang langsung dipantau oleh orang tuanya dan Papa di setiap progresnya. Demi sembuhnya Maxwell, Papa memasukkan dia ke dalam pusat rehabilitasi terbaik di Australia dengan tempat yang sangat indah, nyaman, jauh dari keramaian, dan perawatan terbaik. Bahkan setiap orang memiliki satu orang mentor yang selalu mendampingi.

Max tetap diam. Max tidak melaporkan gue. Max juga tidak meminta gue untuk ikut rehab bersamanya. Kami jarang berhubungan lagi karena dalam proses rehabilitasi totalnya selama delapan bulan berikutnya, Maxwell dibatasi dalam penggunaan gadget. Telepon kami pun hanya diisi menanyakan kabar, sudah. Gue tidak berani tanya macam-macam karena Maxwell pernah bilang "apa yang kita obrolin hari ini akan jadi bahan refleksi nanti malam, Dee."

Itu adalah kode bahwa bisa jadi panggilan kami direkam.

Me? Gue kenalan dengan heroin.

Saat Papa sibuk merawat Max, gue sudah meningkatkan pergaulan gue ke kelas drugs yang lebih tinggi. Meskipun belum menjadi addict, tapi gue terlalu sering berekreasi bersama heroin.

Gue...mencoba melakukan bunuh diri saat gue naik ke kelas tiga SMA.

Oiya jelas gue bisa naik kelas! Gue tidak pernah sekolah di sekolahan bagus! Absen full aja bisa dapet straight A kok! Jadi meskipun gue high, gue bisa tetep diem di dalam kelas. Tidak akan ada yang menanyai gue karena mayoritas temen-temen gue tau gue adalah anak aneh dan gampang marah, kecuali The Back Benchers yang datang ke kelas setelah nyimeng sama gue di gudang sekolah! Win-win!

Tanpa Maxwell yang bisa gue hubungi lagi dan kemungkinan Maxwell mungkin berubah setelah rehabilitasi membuat gue merasa kehilangan. Juga Papa yang perhatian sekali pada Maxwell, selalu menceritakan perkembangan Maxwell dengan happy, Mama juga, membuat gue merasa dunia ini berputar mengelilingi gue dengan gue sebagai pusat masalah namun tak ada yang peduli.

Kenapa gue sendirian sekali? Kenapa tidak ada yang menatap mata gue seperti Maxwell dan bertanya "Are you this broken, Dee?"

Gue bisa memilih OD untuk bunuh diri, namun gue tidak ingin mengulang kejutan yang sama di wajah keluarga gue seperti saat Maxwell sekarat, terutama Eyang Putri.

Kalau gue gantung diri, kasian Eyang yang akan menemukan gue pertama kali dengan leher patah, lidah melet dan menggelantung tak bernyawa: terlalu menakutkan untuk dikenang.

Kalau gue terjun dari Menara Saidah atau memotong nadi gue, kasian mereka yang harus membersihkan darah dan serpihan tubuh gue yang tercecer. Messy. Mengerikan dan messy. Gue tidak sanggup membayangkan Eyang Putri yang akan melihat mayat gue bersimbah darah.

Gue harus memilih cara lain untuk melindungi Eyang.

Gue tata kamar gue dengan sangat rapi.

Gue mandi keramas. Jam 10:30 malam.

Gue kenakan dress yang dijahit sendiri oleh Eyang Putri untuk hadiah lebaran tahun lalu.

Gue sisir rambut gue yang masih basah.

Gue kenakan bedak dan make up tipis.

Tidak ada meth apalagi heroin.

Tidak ada bekas meth atau heroin.

Tidak ada apapun yang akan mengindikasikan gue sebagai remaja bermasalah, selain tubuh gue yang besok pagi akan ditemukan sudah terkapar di tempat tidur.

Gue duduk di atas kasur.

Gue tarik selimut hingga menutupi paha.

Sekali lagi mengamati seluruh isi kamar gue:

Lemari kayu jati di sisi kiri sebelah pintu.

Meja belajar tepat lurus di hadapan gue.

Family Portrait berukuran besar Papa, Mama dan Dee kecil di dindingnya.

Di bawahnya ada banyak tempelan foto polaroid. Ada foto Maxwell dan Dee juga.

Di sisi kanan tiga lemari kayu penuh buku.

Lalu tempat tidur yang gue duduki dengan dipan besi yang kokoh.

Di samping tempat tidur ada meja jati berukuran kecil dengan lampu tidur, sebuah surat, sebotol air minum, dan botol putih berisi pilihan final gue untuk mengakhiri ini.

Gue ambil botol berisi 25 butir tablet temazepam 10 mg tersebut. Jika gue bisa menelan setidaknya 20 butir, gue akan mati.
Rencana gue adalah menghabiskan isi botol dalam dua tegukan atau tiga tegukan. Gue harus cepat.

Satu genggam. Minum. Dua genggam. Minum. Tiga genggam. Minum. Gue tersedak. Gue minum sebanyak-banyaknya. Gue banting tubuh gue ke bantal, menatap langit kamar yang remang-remang gelap, menunggu detik-detik itu tiba.

Bagaimana gue harus mendeskripsikan proses hampir-mati gue?

Gue ngantuk.

Gue pusing dan gue ngantuk.

Lalu gue mual, gue pusing, gue ngantuk.

Lalu gue muntah dan tidak bisa gue bedakan antara rasa panik atau rasa lelah karena rasanya detak jantung gue sangat cepat tapi paru-paru gue tidak mau menyuruh hidung gue untuk mengambil udara.

Jantung gue seakan memaksa semua oksigen yang tersisa di setiap sel untuk keluar, semua oksigen yang tersimpan sebagai cadangan dia habiskan untuk energi pompaan yang sangat kencang. Mungkin seperti Titanic saat menabrak iceberg, semua anak buah kapal rush memperbaiki mesin, mematikan mesin, mengalihkan power ke mesin yang masih bisa digunakan. Teriakan ABK di sana-sini, lalu air menjebol dinding kapal.....

Oksigen-oksigen itu habis, sel-sel kelelahan, darah melemah alirannya.....gue tidak merasakan apa-apa lagi.

White light itu nyata...the brightest white light, the warmest....dan menjelma ke dalam wujud lampu neon di atas gue.

"Diajeng."

"Pa-pa?"

"Hey, its me."



Dad...

How are you?
Like, really how are you?

Dad...

Do you know that I am drowning?
I am trying to shut my mouth to not to breath
Trying to get to the surface
but Dad, there's weight on my feet
that pull me under

Dad...my head feels like its going to explode.

Dad....

if you ever ask me the real "how are you, Dee?"
I wouldnt say that I am fine
I am not fine Dad.
I am never fine.

I am in agony.
That is never last.
Not yesterday.
Not today.
I believe tomorrow is never come.

I love you, Dad
Damn I love you, My Man!

I am sorry,
for giving up....

I can not hold it anymore.

Diubah oleh ladeedah 07-09-2019 17:24
oshinchova
thefresh
kicquck
kicquck dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup