Gua duduk disebuah sofa berbahan kulit sintetis berwarna hitam, didalam ruang studio berukuran 4x6m. Sofa panjang yang gua duduki berada disalah satu sudutnya, sejajar dengan pintu yang merupakan satu-satunya akses keluar-masuk studio ini. Marcella duduk disebelah gua, matanya yang sipit memandang ke arah layar ponsel dimana jari-jarinya menari dan sesekali mengetuk lembut layar ponselnya. Ia tengah memainkan sebuah game puzzle, dimana berjajar permen berwarna-warni yang sesekali mengeluarkan suara lucu jika pemain mampu memadankan permen berwarna serupa; Candy Crush!
“Ih.. susah deh…” Marcella mengutuk gemas ke arah ponselnya sendiri
“Coba deh rif…” ia lalu menyodorkan ponselnya ke arah gua, sementara matanya menatap kosong kedepan. Terlihat sedikit kekecewaan tersirat di wajahnya karena gagal menyelesaikan salah satu level pada game tersebut.
Gua lalu meraih ponselnya tersebut lalu memandangi layarnya yang berbinar.
“Bang, pake lampu berapa?” suara Daus menginterupsi. Gua mengangkat jari, menunjukkan angka 4 kepadanya.
Sambil menyerahkan kembali ponsel ke Marcella, gua lalu berdiri untuk membantu Daus menyiapkan lampu-lampu guna kepentingan pemotretan.
“Lu ambil laptop gua aja sono gih, us.. biar lampunya gua yang siapin..” Gua berkata ke Daus sambil meraih tas berisi lamp pole dari tangannya. Daus menjawab ‘Ok’ lalu bergegas meninggalkan studio untuk mengambil Laptop gua di ruangan sebelah.
Saat tengah menyiapkan lampu, yang ternyata tak semudah kelihatannya. Marcella datang mendekat, ia berlutut disebelah gua dan berkata; “Ada yang bisa dibantai?”
Gua menyunggingkan senyum, kemudian menunjuk ke sebuah container plastik besar di sudut ruangan, persis disebelah sofa yang sebelumnya menjadi tempat kami duduk. “Tolong ambilin lakban item di box itu deh cell..”
“Ini…” Marcella mengangkat lakban hitam besar dengan tangan setelah menghabiskan beberapa menit mencarinya didalam container yang memang berisi banyak barang-barang properti foto.
Gua mengiyakan dengan mengangkat jempol ke atas. Kemudian lanjut menyelesaikan lampu pertama yang hampir selesai. Menit berikutnya, gua sudah kembali duduk disofa. Hanya sanggup memasang satu lampu, sementara tiga sisanya, masih tergeletak dilantai.
“Lah, udah?” Marcella bertanya ke gua, penasaran.
“Ntar aja biarin si Daus, gua ngeri kesetrum…” gua menjawab asal.
Beberapa saat kemudian, Daus masuk kedalam sambil mendorong meja portable kecil dengan sebuah laptop diatasnya. Ia menghentikan kegiatannya begitu melihat kondisi studio dimana baru satu lampu terpasang.
“Lah.. atu doang?..” Ia berkata sambil memandang ke arah gua.
“Dia takut kesetrum katanya us…” Marcella bicara seakan mewakili gua. Sementara Daus hanya meresponnya dengan menggaruk-garuk kepala.
“Itu posisi lampunya udah gua tandain pake lakban us..” gua menambahkan.
Daus lalu berjalan menghampiri lampu yang tadi gua siapkan. Sambil bertolak pinggang ia memeriksa hasil pekerjaan gua tadi. Yang kemudian disusul decakan setengah kagum disusul suara tawa terkekeh.
“Udah masang lampu cuma atu.. salah lagi..”
“Salah apanya sih us?” Gua bertanya penasaran.
“Ini tiangnya bukan buat lampu yang ini… terbalik..” Ia menjelaskan, sementara gua hanya tertawa mendengarnya.
Kemudian Daus membongkar lampu tersebut dan mulai menyiapkan semua lampunya. Sementara Marcella yang duduk disebelah, mencubit lengan gua sambil berkata; “Sana bantuin…”
“Ogah..”
---
Hanya butuh waktu 10 menit bagi Daus untuk menyiapkan seluruh Lampu dan background untuk Foto. Ia lalu mengeluarkan ponselnya, kemudian duduk dikursi kecil didepan meja portable menghadap kearah laptop, menyambungkan jack speaker ke ponsel. Sejurus kemudian, ‘Dosa Termanis’-nya Tere menggema diseisi ruangan;
Kulupakan semua aturan,
Kuhilangkan suara yang berbisik,
yang selalu menyuruhku,
'tuk tinggalkan kamu
Hanya hati yang kuandalkan,
dan kucoba melawan arus.
Namun saat bersamamu,
masalahku hilang, terbang melayang
Kau adalah kesalahan yang terindah hingga.
buatku marah, tapi juga menikmati…
Kau adalah dosa termanis yang menggodaku saat ku butuh
rasakan sedikit cinta.
Kembalilah kau padanya
hanya itu jalan satu satunya
karena semakin lama, ku ingin kau lebih.
Kau adalah kesalahan yang terindah hingga.
buatku marah, tapi juga menikmati...
Kau…
“Ya ampun… ini Tere kan?...” Marcella bertanya sambil memandang gua antusias. Gua lalu mengangguk.
“Ini lagu kita banget, rif..” ia menambahkan, kali ini sambil sedikit berbisik, mungkin malu sama Daus.
---
Kenangan gua lalu kembali beberapa tahun yang lalu, sebelum gua dan Marcella berpisah karena harus berkuliah. Pada masa itu, model saling kirim-kirim salam di radio sangat populer. Dan, Marcella kala itu, acap kali menelpon ke salah satu stasiun radio terkemukan di Jakarta hanya untuk mengirim salam. Jika beruntung, si penyiar akan membacakan salam kalian ditambah akan memutarkan lagu yang juga bisa kalian request. ‘Dosa Termanis’-nya Tere ini seringkali disertakan Marcella kala menelpon untuk mengirim salam ke gua.
“Rif.. dengerin prambors deh…, gua barusan nelpon, ngirim salam..” Suatu waktu, Marcella berkata ke gua diujung telepon.
“Ya ngapain, lu ngirim salam kalo ujung-ujung-nga lo nelpon gua, kocak..” Gua menjawab, nggak habis pikir.
“Biar seru aja, siapa tau di bacain…” Ia menjawab antusias.
Dan
Nggak seberapa lama, sang penyiar lalu membacakan salam dari Marcella; “Salam dari Marcella di Grogol untuk ‘dosa termanis’nya; Arif di Kebon Jeruk”
---
Terdengar suara gaduh dari lorong luar studio, kemudian disusul pintu studio yang berdecit terbuka. Monik masuk kedalam lalu disusul tiga orang wanita berparas cantik dengan tubuh yang menjulang; tinggi semampai. Ketiganya memiliki wajah campuran Timur Tengah dan Eropa. Daus biasa menyebutnya dengan; “Bule Usbek”.
Masih sambil berbincang dengan bahasa inggris yang ketekuk, Monik lalu mempersilahkan ketiga Bule Usbek yang sudah mengenakan busana muslim komplit dengan hijab-nya untuk duduk di kursi rotan yang bentuknya mirip dengan kursi santai, di sudut ruangan yang bersebelahan dengan tempat gua dan Marcella duduk.
Marcella lalu menyenggol gua; “Siapa?” ia berbisik.
“Modelnya..” Gua menjawab santai.
“Bule?..”
“Iya..”
“Kok pake baju muslim..”
“Ya kan emang klien-nya dari ecommerce yang jualan baju muslim..” gua menjelaskan ke Marcella. Yang lalu direspon dengan anggukan pelan.
“Lagian, emang kenapa kalo bule pake baju muslim.. orang islam kan nggak cuma di sini doang..” Gua bicara ke Marcella sambil berseloroh.
“Ya kan gue nggak tau..” Ia menjawab sambil mencubit lengan gua (lagi).
“Kuy lah… Udah siapkan?” Monik bicara ke gua.
Daus lalu berdiri dan menyerahkan unit kamera ke gua. Kamera tersebut tersambung ke laptop melalui sebuah kabel yang cukup panjang. Dihadapan laptop, bang Boi berdiri memandang layarnya yang kosong.
Gua lalu memberi instruksi ke Daus untuk berdiri di spot foto untuk melakukan test.
Cklit… Suara lampu menggema.
Hasil jepretan yang gua ambil barusan secara langsung muncul di layar laptop. Layarnya menampilkan Daus yang tengah berpose dengan jari menunjuk ke atas. Pose a-la selebrasi gol Leonel Messi. Bang Boi, memandang layarnya kemudian berkomentar pelan: “Over, rif..” Yang dimaksud Bang Boi adalah: Over Exposure.
Gua lalu kembali mengatur White Balance pada kamera, lalu kembali menginstruksikan Daus untuk berpose.
Cklit… Suara lampu kembali menggema.
Kali ini, Bang Boi mengangkat jempolnya setelah melihat hasil foto yang berada di layar.
Monik lalu menginstruksikan salah satu Bule Usbek untuk bersiap. Monik ini salah satu karyawan dikantor yang bertugas menjadi stylist untuk para model. Tugasnya adalah untuk mengatur pose, wardrobe dan styling para talent. Namun, dikantor ini, ia juga mendapat ‘bonus’ tugas jadi talent management, iyah.. gajinya satu, kerjaanya banyak!
Si Bule Usbek pertama lalu bersiap di spot dan pekerjaan pun dimulai.
Disela-sela sesi, saat tengah menunggu para model ganti wardrobe gua mengampiri Marcella, mengusap pelan rambutnya.
“Bosen ya?” Gua bertanya
“Nggak, malah seneng, ngeliat lo.. jadi tau lo kalo kerja kaya gimana..” ia menjawab sambil mendongak kearah gua. Sementara tangannya masih menggenggam ponsel yang layarnya menampilkan ‘Candy Crush’.
Tiga jam berlalu.
“Terakhir nih…” Monik bicara ke gua
Cklit… Suara lampu menggema.
Dengan panduan Monik, para Bule Usbek tersebut dipandu keluar dari studio. Sementara Daus terlihat bersiap membereskan peralatan.
“Beresinnya, besok aja us..” Gua berkata ke Daus, yang dengan cepat dijawab “Sip!”
“Mpok.. mau poto nggak?” Daus lalu bertanya ke Marcella, dengan logat betawinya yang cukup kental.
Marcella lalu menatap ke arah gua, tatapannya seakan bertanya; “Emang boleh?”
“Boleh Rif?” Marcella lalu memberanikan bertanya.
“Boleh lah..” Daus yang menjawab.
“Asik..” Marcella lalu bangkit dari duduknya, setengah berlari ia menuju ke spot foto. Sementara, Daus kembali menyalakan lampu-lampu yang tadi sempat ia matikan.
Gua lalu tersenyum kemudian kembali meraih unit kamera yang sudah masukkan kedalam tas. Mengabaikan lelah yang sudah merayapi tubuh, kemudian memasangkan kamera ke tripod, bersiap memotret Marcella. Masa iya, cewek-cewek lain gua foto-foto. Pacar sendiri nggak pernah gua foto.
“Satu.. Dua…” Gua mulai menghitung, saat hendak masuk hitungan ketiga. Terdengar suara pintu kembali terbuka. Gua menoleh, Ilham masuk kedalam.
“Pantes lu cell jadi model..” Ilham berkata dari belakang gua.
“Tunggu.. tunggu..” Ilham kembali bicara, kali ini ia berjalan ke arah koper besar yang berisi wardrobe. Ia mengeluarkan sehelai kain, berwarna biru muda dan menyerahkannya ke Marcella yang sejak tadi sudah berpose di spot foto. “Pake dah Cell..”
Marcella mengernyitkan kedua matanya, melihat ‘kain biru’ yang kini berada ditangannya. Ia menatap ke Ilham lalu beralih ke gua.
“udah pake, buruan…” Ilham kembali bicara.
Ragu-ragu, Marcella lalu membentangkan ‘kain biru’ tersebut dan mulai mengenakannya.
Gua lalu terhenyak melihatnya. Kini Marcella berdiri tepat dihadapan gua, ia tampil cantik dengan sebuah Mukena biru panjang membalut tubuhnya.
“Subhanallah..” Gua bertasbih dalam hati.
Kalian juga bisa membaca cerita gua
disini lho