uclnAvatar border
TS
ucln 
Karma : Hurt No One


Quote:





I never meant to hurt no one
Nobody ever tore me down like you
I think you knew it all along
And now you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
And will I ever see the sun again?
I wonder where the guilt had gone
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt no one
Sometimes you gotta look the other way
It never should've lasted so long
Ashamed you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
I know I'll never be the same again
Now taking back what I have done
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt nobody
Nobody ever tore me down like you
I never meant to hurt no one
Now I'm taking what is mine..




<< Cerita sebelumya



Quote:


Diubah oleh ucln 30-09-2020 12:48
qthing12
sukhhoi
jalakhideung
jalakhideung dan 55 lainnya memberi reputasi
-12
84.3K
610
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln 
#289
Part #27


Setelah mendapatkan izin dari Nyokapnya untuk ikut gue camping. Nia pun mulai mempersiapkan apa-apa saja yang sudah gue tuliskan padanya untuk dibawa. Dia sempat bertanya kenapa ga ada Tenda dalam daftar perlengkapan yang harus ia bawa. Lalu dia bingung nanti dia akan tidur dimana. Gue tentu saja menjelaskan sambil mencubit gemas pipinya, bahwa tenda yang akan kita gunakan selama camping disana akan disiapkan oleh Dwi dan temannya. Dwi punya dua tenda berkapasitas 3 orang. Maka gue akan membawa satu miliknya dan ia juga akan membawa satu tenda lagi. Temennya sendiri juga akan bawa tenda lagi. Total kami akan mendirikan tiga tenda dengan jumlah 6 orang.

Satu hari sebelum hari keberangkatan kami. Gue kerumah Dwi untuk mengambil tas besar dan tenda miliknya lalu mengobrol soal rencana besok. Ternyata menurut Dwi, kami harus berangkat pagi-pagi sekali untuk segera tiba di pelabuhan di daerah Jakarta Utara. Dwi memberi saran agar sebaiknya kami semua yang akan berangkat camping untuk berkumpul bersama sejak malam ini. Hal itu dia sarankan agar besok kami ga saling menunggu atau malah nantinya harus ada yang tertinggal karna kesiangan. Atas obrolan dengan Dwi itu, gue pun mengirim sms ke Nia dan memberitahukan apa yang Dwi sampaikan ke gw. Nia hanya membalas sms gue dengan singkat, mengatakan bahwa dia akan menelpon gue sepuluh menit lagi.

Sesuai smsnya, Nia pun menelpon ke handphone gue.

“Gus. Maksudnya gimana tadi sms kamu?” Tanya Nia langsung saat panggilannya gue jawab. Setelah itu gue menjelaskan apa yang tadi Dwi sampaikan ke gue.

“Terus, emang berapa orang sih yang mau berangkat?” Tanya Nia setelah mendengar penjelasan gue.

“Enam orang sih harusnya. Termasuk kita.”

“Kira-kira kita harus sampe ke pelabuhan sana jam berapa?”

“Kata Dwi, baiknya jam 6 pagi.”

“Yaudah, kalo gitu pada kumpul dirumah aku aja gimana? Besok aku minta Bang Salim anter kita pake mobil Mama. Gampang kan?”

“Eh? Enngg...”

“Hmm? Kenapa lagi? Kamu mah banyakan yang dipikirin jadi ribet sendiri. Aku aja santai ga mikirin apa-apa, tinggal berangkat doang.”

“Ga malah jadi ngerepotin kamu emang?”

“Yailah, enggak kok. Yaudah kamu tanyain temen kamu aja mau ga kalo kaya gitu. Nanti jadinya gimana kamu kabarin aku aja ya. Daah.” Ucap Nia sambil mematikan panggilan teleponnya.

Gue kemudian menyampaikan saran Nia ke Dwi yang ternyata langsung di iyakan oleh Dwi. Dia kemudian menyampaikan pada teman-temannya yang lain melalui sms, sedangkan gue mengirim sms ke Nia untuk menyetujui sarannya tadi. Nia membalas singkat sms gue dengan berpesan agar gue mengabari lagi sebelum berangkat dari rumah menuju rumahnya nant malam.

Malamnya, sekitar jam 8 malam Dwi datang kerumah Gue untuk mengajak gue berangkat ke rumah Nia. Gue dan Dwi pamit sama kedua orang tua gue, lalu kemudian berjalan kaki menuju tempat biasa gue menunggu angkot untuk berangkat sekolah. Dwi memberi tahu bahwa tiga orang temannya nanti akan menyusul langsung ke rumah Nia.

Setelah sudah di angkot bersama Dwi, gue baru menyadari bahwa handphone gue ketinggalan. Selain karna emang ga terbiasa bawa handphone kemana-mana, handphone juga ga masuk dalam salah satu barang yang penting untuk gue bawa. Maka sejak bersiap dari tadi sore tadi, gue sama sekali ga inget dimana terakhir kali gue menaruh handphone itu.

Gue dan Dwi sampai di rumah Nia sekitar jam 9 malam lewat. Karna ini pertama kalinya gue kesini malam hari, gue juga baru menyadari bahwa daerah komplek rumah Nia sangat sepi. Gue dan Dwi berdiri di depan pagar sambil berpikir gimana caranya memberitau Nia bahwa kami sudah sampai sedangkan gue ga bawa handphone untuk menghubungi Nia dan Dwi yang bawa handphone juga ga punya nomernya Nia. Maka kemudian Gue dan Dwi hanya duduk di depan pagar rumah Nia sambil Dwi menghubungi teman-temannya yang lain.

Sekitar satu jam Gue dan Dwi menunggu di depan pagar, 3 orang temennya Dwi datang. Dwi mengenalkan ke gue ketiga temannya itu. 2 orang cewek salah satunya agak tinggi dengan rambut panjang tergerai bernama Sarah, dan temannya yang memiliki potongan rambut pendek hampir kaya cowok bernama Mei. Sedangkan seorang cowok temannya Dwi yang lain mengenalkan dirinya untuk dipanggil dengan sebutan Joe.

Setelah kami berlima berkumpul di depan pagar rumah Nia, Joe bertanya siapa lagi yang akan kami tunggu. Gue menjawab bahwa kita akan menunggu si pemilik rumah ini keluar, karna gue lupa bawa handphone untuk memanggilnya keluar. Baru lah setelah Mei menanyakan apakah ga ada Bell di rumah ini gue baru kepikiran buat mencet Bell yang letaknya ada di tembok bagian dalam pagar.

Ga lama kemudian, Bang Salim keluar dan membukakan pagar. Dia mempersilahkan kami masuk dan menunggu di teras depan rumah Nia kemudian dia masuk dan memanggilkan Nia. Beberapa saat kemudian Nia keluar dan menemui kami. Gue mengenalkan Nia pada Dwi dan teman-temannya yang lain. Dwi sampai berulang kali melihat ke arah gue dan memastikan apakah benar bahwa Nia ini hanya sekedar temen gue atau justru pacar gue. Yang tentu saja gak gue jawab pertanyaannya.

Dirumah Nia, kami dipersilahkan menempati sebuah kamar yang lumayan besar yang berada tepat di belakang studio band milik Raihan. Disana kami semua meletakkan tas dan beristirahat. Gue dan Nia kembali keluar dan duduk diruang tamu depan tangga sambil mengobrol sampe sekitar jam 1 pagi dia tertidur di sofa disamping gue.

Paginya, sekitar jam 6 kurang, kami berenam berangkat setelah berpamitan dengan Nyokapnya Nia, dan diantar oleh Bang Salim menuju ke pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara. Gue belum pernah ke daerah ini jadi gue hanya mengikuti apa yang di instruksikan oleh Dwi dan Joe.

Dalam penantian menunggu Kapal besar yang akan membawa kami ke pulau tujuan kami, sifat manja Nia mulai kembali muncul. Dia merasa kelelahan membawa tas nya yang menurut gue terlalu besar dan kebanyakan barang ga penting yang dia bawa. Tambah lagi, dia membawa gitar yang pernah gue berikan untuknya. Padahal dia sendiri mengakui belum lancar untuk memainkan gitar itu. Jadi menurut gue ga guna banget buat dia bawa gitar. Namun karna rengekannya mulai menyebalkan, maka gue menerima permintaannya untuk bertukar tas bawaan kami. Dia membawa tas kecil gue yang hanya berisi pakaian sedangkan tas besar gue yang berisi perlengkapan dan tenda milik Dwi tetep gue bawa sendiri, ditambah gue harus bawa tasnya Nia, yang membuat gue berasa jadi kuli panggul ketimbang jadi peserta camping hari ini.

Saat kami sudah diatas kapal, sifat manja Nia makin menyebalkan. Karna kapal yang kami naiki bukanlah kapal yang memiliki tempat duduk masing-masing untuk para penumpangnya, dan hanya menyediakan space besar untuk duduk lesehan di bagian dalam kapal, Nia cemberut dan memilih ga mau duduk karna merasa celananya akan kotor. Saking menyebalkannya, saat gue memaksanya untuk duduk, Nia malah meminta sesuatu untuk alas duduknya, bahkan dengan sialannya dia meminta jaket gue untuk menjadi alas duduknya. Dan karna gue malu kalo harus debat di depan Dwi dan temen-temennya, gue pun memilih menyerahkan jaket gue pada Nia yang dia ambil dengan senyum kemenangan lalu menggunakannya sebagai alas duduknya.

Saat Kapal sudah mulai berlayar menuju tujuan kami. Gue keluar dari dalam kapal untuk menikmati udara sambil merokok dan menikmati pemandangan laut yang menghampar. Dwi menyusul beberapa saat kemudian sambil meminjam korek dan duduk bersandarkan tiang kapal lalu menikmati setiap kepulan asap rokoknya. Gue dan Dwi ga saling bicara, masih sibuk menikmati asap rokok kami masing-masing. Sampai akhirnya Joe keluar dan menepuk pundak gue.

“Nyonya Lu noh, kayanya mabok laut.” Ucap Joe dengan wajah cengengesan bermaksud meledek gue.

Gue menjentikkan puntung rokok ke laut lalu bergegas masuk menemui Nia. Nia sedang duduk bersandar ke tas besar gue yang berisi tenda. Wajahnya menunduk dan tertutupi oleh rambutnya yang terlihat acak-acakan. Sementara Sarah disampingnya mengusap pundak Nia.

“Lo kenapa? Mabok?” Tanya gue sambil duduk disamping Nia.

“Lo bawa obat mabuk perjalanan ga Gus? Gue lupa ga bawa soalnya.” Tanya Sarah ke Gue yang gue jawab dengan gelengan kepala.

Gue mengangkat dagu Nia dan menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya. Nia melihat gue dengan pandangan lemas dan wajah yang sedikit pucat. Gue hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala melihat ‘kehancuran’ yang tengah Nia rasakan.

“Sini, bangun. Kita keluar aja.” Ucap Gue sambil bangkit dari duduk dan menarik tangan Nia.

Namun Nia menahan badannya agar ga tertarik oleh gue. Dia menggelengkan kepala dengan lemah, seolah bermaksud ga ingin untuk berdiri dan keluar mengikuti ajakan gue.

“Kalo lo duduk terus begini disini. Malah yang ada lo bakal ngerasa mual dan makin kepengen muntah. Mending keluar, hirup udara. Biar agak enakan.” Ucap Gue sambil mencoba mengangkat badan Nia yang akhirnya dia pasrahkan untuk mengikuti saran gue.

Nia harus berjalan agar tertatih sambil gue bantu untuk menuju ke bagian luar kapal. Joe dan Dwi yang masih berada diluar sempat menawarkan bantuan untuk membantu Nia berjalan, namun Nia terlihat mengabaikannya hingga akhirnya ia bisa memegang tiang pembatas kapal dan berdiri dengan kekuatannya sendiri. Ia terlihat mengambil napas cukup dalam, untuk membiarkan udara segar masuk ke dalam pernapasannya. Gue membiarkannya dan memilih duduk diatas pagar pembatas disamping Nia.

Gue, Dwi, dan Joe mengobrol soal rencana-rencana kami saat nanti tiba di tujuan. Sementara Nia menyadarkan kepalanya di paha gue yang duduk diatas pagar. Gue mengobrol sambil mengusap pundak Nia namun entah kenapa Dwi malah cengengesan sambil menlihat kearah gue. Baru kemudian dia menoyor kepala gue sambil berbisik ‘bisa aja kunyuk sambil ngusap-usap segala’ saat dia hendak masuk ke dalam kapal ketika kami sudah mau mencapai tujuan.

Sampai di tujuan, Dwi mengatakan bahwa pulau ini bukanlah pulau tujuan kami. Kami akan harus menunggu sebentar sampai temannya yang tinggal di pulau ini datang dan membawakan perahu untuk mengantar kami ke pulau tujuan kami. Ga butuh waktu lama, temennya yang dimaksud oleh Dwi pun datang. Dwi mengenalkannya ke kami dengan panggilan Tibo. Lalu dia kemudian mengajak kami bergegas naik ke perahunya. Nia sempat melihat kearah gue dengan pandangan lemas sebelum akhirnya terpaksa harus naik perahu lagi.

Gue sempat menebak Nia akan tersiksa karna harus naik perahu lagi dan akan membuatnya mabuk laut lagi. Namun ternyata disepanjang perjalanan tujuan kami, Nia malah tersenyum senang. Sesekali ia mengeluarkan handphone nya yang juga memiliki fitur kamera untuk memfoto apa yang menurutnya terlihat bagus. Dia pun sudah mulai bercanda dan mengobrol bersama Sarah dan Mei. Gue hanya memperhatikannya dari bagian belakang perahu bersama Tibo yang sedang mengendalikan mesin dan arah perahu ini.

Sampai di tujuan. Tibo mengarahkan kami ke sebuah spot yang memang sepertinya disediakan untuk camping. Tidak terlalu jauh dari sebuah kamar mandi umum namun juga cukup dekat ke bibir pantai. Tibo memberitau kami bahwa kalo kami berjalan ke arah barat dari kamar mandi umum itu, akan ada beberapa rumah dan warung untuk membeli keperluan-keperluan kami. Menurutnya, hanya disana ada warung dan rumah warga di pulau ini, sisanya hanya hutan-hutan kecil dan spot-spot untuk camping. Kami mengangguk mengiyakan sambil kemudian bergegas merakit tenda.

Dwi dan Tibo meninggalkan gue dan Joe yang sedang membangung tenda. Mereka mengatakan akan mencari kayu untuk api unggun. Sementara para cewek hanya melihat kami merakit tenda yang sejak tadi belum kelihatan bagaimana rangkanya. Gue dan Joe saling tertawa ketika tenda yang kami rakit berulang kali terjatuh karna salah memasangnya. Gue ga mengerti bagaimana cara memasang tenda, dan Joe pun sepertinya sama dengan gue. Sampai akhirnya Tibo dan Dwi kembali dengan membawa tumpukan kayu namun melihat tenda belum juga terpasang, maka mereka berdua mengusir gue dan Joe lalu menggantikan tugas kami untuk merakit tenda tersebut.

Tibo dan Dwi selesai membangun 3 tenda hanya dalam waktu kurang dari setengah jam. Gue juga sempat mempertanyakan kenapa harus bangun 3 tenda? Kenapa ga Cuma 2 tenda aja untuk memisahkan antara cewek dan cowok. Namun Dwi menjelaskan bahwa 1 tenda memang akan digunakan untuk para cowok dan 1 tenda akan digunakan untuk para cewek, sedangkan sisa 1 tenda untuk tas dan barang-barang kami yang sebaiknya ga digabung bersama tenda untuk kami tidur. Agar tidak terasa sempit. Lagipula, 1 tenda barang itu bisa digunakan untuk ganti pakaian setelah mandi atau setelah kita berenang di laut. Agar tenda untuk tidur kami tidak kotor atau basah. Gue menjawab dengan anggukan kepala karna baru memahami betapa Dwi telah mempersiapkan segalanya dengan baik.

Setelah selesai membangun tenda, Tibo mengajak gue untuk mempersiapkan kayu dan menyusunnya untuk menyalahkan api unggu nanti malam. Gue sempat melihat Nia masuk kedalam tenda untuk berganti pakaian. Dan saat gue dan Tibo sedang menyusun kayu, gue melihat Nia berjalan ke bibir pantai dan langsung nyebur ke laut. Disusul oleh Sarah dan Mei yang berlari dari tenda mengejar Nia yang sudah lebih dulu bermain air.

Setelah selesai menyusun kayu, Tibo menanyakan apakah kami ingin snorkeling ke tengah laut. Yang tentu saja kami sambut dengan antusias. Setelah memanggil salah seorang warga pulau itu yang juga adalah temennya Tibo untuk menitipkan tenda dan barang-barang kami, Tibo langsung bergegas menyalakan perahunya dan mengajak kami segera berangkat keliling pulau dengan perahu.

Sambil berjalan menuju spot yang enak untuk snorkeling, Tibo melemparkan jaring dari perahunya untuk menangkap ikan. Nia dan Sarah meminjam baju pelampung yang ada di perahunya Tibo yang kemudian diizinkan untuk dipakai. Baru saja gue mengatakan pada Nia agar nanti saat sampai di spot snorkeling jangan berenang terlalu jauh dari perahu, tiba-tiba Nia yang sedang duduk dipinggiran badan perahu terpeleset dan tercebur kedalam laut, dengan kondisi perahu yang masih berjalan. Dengan panik, gue segera melompat ke laut dan berusaha berenang menghampiri Nia yang tertinggal cukup jauh dibelakang.
oktavp
mmuji1575
jenggalasunyi
jenggalasunyi dan 7 lainnya memberi reputasi
8