aspek halal/haram yg mau diterapkan?? justru itu yg gue pertanyakan dan permasalahkan. Sudah gue bilang halal/haram itu dinamis, berbeda2 di tiap tempat maupun waktu. Lu punya konsep halal sekarang besok2 bisa berubah. PUBG dulu halal dimana2, sekarang haram di Aceh, ngucapin selamat hari raya halal di Bali, bisa haram di lain tempat. Artinya konsep ini tidak statis (semua kinsep sebenarnya tidak statis), dinamikanya tinggi, yg jadi masalah adalah saking tingginya maka potensi konflik yg ada juga tinggi. Lu bilang bila semua konsep halal tidak seharusnya diterapkan, inipun bisa mengundang konglik yg memberi imaje negatif terhadap Bali karena bisa dianggap menekan umat muslim menjalankan syariat. Halal atau haram di Bali tidak perlu diformalisasi dengan nama wisata halal, karena ini akan mengundang argumen2 ini halal itu haram dari muslim di tempat lain. Di Bali ga pernah ada aturan tempat wisata wajib menyediakan babi guling atau arak bali, tapi bila pengelola tempat tersebut ingin tempatnya bebas dari daging babi ya dipersilahkan, ga ada yg larang, beda jika tempatnya diberi stempel wisata halal sebagai program pemerintah, ini akan mengundang banyak reaksi dari kaum "sekedar mengingatkan" sampai garis keras karena mereka menjadi merasa punya hak utk ikutvmengarahkan bagaimana halal itu diterapkan. Bila yg diterapkan konsep umat agama lain pasti tetap akan ada konflik tapi kalau yg namanya umat Islam kan perilakunya beda, kita bicara realita saja, garis keras dalam umat islam lebih banyak melakukan tindakan2 yg menjurus ke radikal dibanding umat lain, baik fisik maupun sekedar kata2 (dengan diclaimer "sekedar mengingatkan" ) . Baik kata2 mapun tindakan radikal inilah yg sama sekali tidak dibutuhkan di Bali, bahkan sejauh mungkin mesti dihindari.