Cerita ini bergenre Fantasi. Subgenre-nya adalah Tragedi, Sihir, Slice of Life, dan Medieval.
Cerita ini fiktif. 13+. Mengandung kekerasan, sihir, pembunuhan, dsb.
Selamat membaca!
Enma, sebuah nama yang begitu asing diantara keluarga-keluarga Magus. Juga, nama sebuah keluarga dengan permasalahan yang rumit. Kallen Enma, pemimpin keluarga yang ketika itu meninggal, memiliki dua orang anak. Anak pertamanya, Exeleion, hidup di negeri asal Kal. Anak keduanya, Hvel, selalu bersama dirinya sampai dia meninggal. Anak itu bahkan menghadiri pemakamannya.
Setelah kematian Kal, kepemimpinan keluarga Enma diserahkan kepada Hvel. Tugas pertama Hvel adalah mencari sang kakak di negeri asal ayahnya. Kehidupan ‘normal’ Exeleion di kota yang damai terganggu ketika para Magus menumbalkan kota itu untuk melakukan ritual sihir tertentu. Hingga akhirnya dia tahu kalau ritual ini dapat menghidupkan kembali orang yang sudah mati.
Ini adalah cerita dari dunia sihir. Kisah para pemilik sihir di antara tiga negeri yang terpisah: kerajaan, kekaisaran, dan perserikatan. Kisah para 'roh' yang secara sengaja dihidupkan kembali ke dunia ini. Juga, kisah anggota keluarga Enma.
Mereka berlari secepat mungkin untuk menghindari ledakkan. Pintu langsung dibuka, dan sesaat kemudian, Hvel dan kakaknya sudah di luar rumah. Tapi, ledakkan itu terlalu besar dan kuat.
Cahaya biru terang berbentuk kubah melindungi mereka bertiga: Hvel, Kakaknya, dan pria berjas tadi.
"Kalian berhutang padaku.", ucap pria itu seraya memungut batu kerikil biru dari tanah, sumber pelindung sihir tadi.
Exel melangkah ke depan Hvel untuk melindunginya dari apapun yang direncanakan pria berjas itu.
"Bukan aku. Mereka yang melakukannya.", ucap pria itu seraya menunjuk apa yang tadinya rumah Exel.
Rumah Exel hancur dan hangus; hanya tinggal sedikit yang tersisa. Dari puing-puing itu muncul pelakunya. Tiga orang gadis yang usianya belum mencapai kepala dua. Mereka terlihat tidak saling kenal satu sama lain.
Gadis yang sedang berlutut bisa Hvel kenali. Magus pengguna batu kerikil yang bertarung dengan dirinya tempo hari. Dia terluka parah, di sekujur tubuhnya banyak luka sayatan berlumuran darah segar. Bahkan, separuh pakaiannya hangus. Pergelangan tangan kirinya diikat oleh tali yang ujungnya dipegang erat oleh gadis yang berdiri di sebelahnya.
Gadis yang berdiri di tengah itu sepertinya adalah pemimpin kelompok Magus itu. Ia mengenakan baju merah dengan motif kuning. Di telapak tangannya, kanan ataupun kiri, terdapat lingkaran sihir merah. Merah pekat, mirip seperti warna darah.
“Ini akan jadi pertarungan penentuan. Yua, serang!", perintah gadis itu.
Gadis terakhir yang dipanggil Yua itu mengenakan baju zirah perak dan membawa sebuah pedang semeter lebih atau sering disebut Longsword.
Exel mengenal gadis itu, karena dulu, dia menyelamatkan gadis itu. Ketika bekerja sebagai petarung lepas, kota yang dia kunjungi mengalami kebakaran hebat. Tanpa sengaja, Exel menemukan satu-satunya korban selamat. Yua kemudian dibawa ke kota ini, dan yang mengejutkannya, gadis itu sangat handal dalam ilmu pedang. Tidak lama kemudian, Yua diterima di Adventurer's Guild.
Dan sekarang...
Gadis berzirah perak itu melangkah kedepan, menghunuskan longswordnyadan menyerang pria di depan Exel dan Hvel. Hvel dan pria itu kompak melempar beberapa pisau ke arah si ksatria perak. Semuanya ditangkis dengan cekatan. Berbeda dengan pisau yang dilempar Hvel, pisau pria berjas tadi meledak setelah memantul dari pedang si ksatria perak. Ledakkan kecil itu cukup untuk membuat ksatria tadi menjatuhkan longswordnya.
Melihat peluang ini, pria itu berlari mendekati Yua. Sebelum melakukan apa-apa, ia tersungkur jatuh. Sinar laser merah tipis menembus pergelangan kaki kirinya. Pria itu bangkit untuk menyerang balik. Lemparan pisaunya meleset jauh, karena sekali lagi, pergelangan tangannya ditembus oleh laser merah.
"Menyedihkan sekali, wakil dari Wailwood.", ejek gadis penembak laser itu.
Menggunakan longsword yang baru dipungutnya, Yua menangkis beberapa pisau lempar dari Hvel. Exel ingin menyerang, kalau saja lawannya bukan seorang ksatria. Satu-satunya senjata yang Exel pegang hanyalah longsword putih. Beradu pedang melawan ahli pedang bukanlah ide yang bagus.
Tapi tentu saja, Exel lebih benci jika dirinya harus diam dan menyerahkan nasibnya pada orang lain. Kakinya pun melangkah maju, bersiap menyerang-- kalau saja adiknya tidak ada disitu.
"Jangan, kakak."
Hvel yang sudah tidak terlihat entah bagaimana masih bisa Exel rasakan keberadaannya. Sangat dekat dengan tubuhnya, seolah, Hvel memang berniat untuk melindunginya.
Pertarungan berlangsung cepat. Yua bertindak sebagai pelindung dari gadis yang menembakkan laser lewat telapak tangannya itu. Belasan pisau tidak nampak yang dilempar oleh Hvel maupun pisau meledak milik pria berjas itu sama sekali tidak mempan.
Exel menyalahkan dirinya sendiri karena hanya bisa menonton. Dan ketika dia mulai melakukan sesuatu seperti menghunus pedangnya, tangannya ditembak oleh laser. Padat, juga panas. Lebih lemah dari laser yang mengenai pria itu yang mampu menembus tulang. Ajaibnya, pria itu masih lincah dalam pergerakannya.
Terlalu cepat untuk dipuji, sepertinya. Pria itu pada akhirnya kewalahan, dan tumbang setelah menerima beberapa laser di tubuhnya. Lalu, gadis penembak laser itu memusatkan perhatiannya pada Exel.
Kali ini, dua laser dari tangan kanan dan kirinya sekaligus. Kecepatan laser itu setara dengan kecepatan cahaya untuk bisa dihindari, Exel harus memiliki kecepatan melebihi cahaya. Dan dia, meski menggunakan sihir waktu terbaiknya, tidak akan mampu mencapai titik itu.
Setelah bersiap menerima serangan, cahaya itu anehnya terhenti beberapa sentimeter di depan tempat Exel berdiri.
Hvel menunjukkan dirinya, dengan luka hangus di kaki kiri dan kanannya. Laser merah itu seharusnya mengenai pergelangan kaki Exel, kalau saja lintasan pelurunya tidak diganggu oleh Hvel.
“Hvel!”
Gadis itu kehilangan pijakan kakinya, dan terjatuh ke pelukan kakaknya.
“Kalian kalah.”, ucap gadis penembak laser itu singkat.
Sekali lagi, laser kembali ditembakkan ke arah kakak-adik itu. Kecepatannya memang luar biasa cepat, tapi pria yang tergeletak itu masih sempat-sempatnya melemparkan batu kerikil biru untuk membuat perisai yang mampu menahan laser.
“Bodoh, kenapa kau melindungi mereka?”
Gadis itu lalu menembakkan dua laser lagi ke tubuh pria yang sekarat itu.
“Memangnya. Salah. Melindungi. Saudara. Jauhku?”
A-apa maksudnya? Siapa pria itu?
Exel mencoba mengenali pria itu. Tidak, tidak ada sesuatu hal pun di ingatannya yang membantu. Tangannya sudah tidak lagi menggenggam pedang, sibuk menopang tubuh adiknya.
“Kau. Ka. lah. Birth. li..”
“Mati saja sana. Suh!”
Gadis itu kembali menatap Exel. Sementara, pria tadi sepertinya tersenyum di akhir napasnya.
Lalu tiba-tiba, Hvel meremas erat tangan kakaknya.
Na-napasku -aargh!
Sesuatu dari dalam tubuh Exel seolah ditarik keluar lewat tenggorokannya. Hal itu membuat napasnya sesak; mulutnya seolah ingin memuntahkan sesuatu.
“Ternyata kita lima orang terakhir. Sial, kenapa aku lupa begini!”
Suara itu milik gadis penembak lasir tadi. Sepertinya, dia-lah penyebab Exel seperti ini--
Dan cahaya merah kelam mulai memenuhi pandangan Exel. Pandangannya mulai buram, dan semakin lama, gadis berambut putih itu memudar dari pandangan Exel.
Lalu sesaat, terdengar suara lembut adiknya memanggil, “Kakak!”