infoanaksultanAvatar border
TS
infoanaksultan
Renjana - Cinta Tanpa Karena



PROLOG 

"Kamu mau aku diambil Akbar yang selalu ada buat aku?"

"Ra, Rara, entah siapa pun Akbar itu, baik atau buruk dia, yang jelas, di sini aku masih sanggup denganmu, sanggup memperjuangkanmu. Aku masih sangat menjagamu. Walau dengan caraku; cara yang menurutmu kurang tepat; cara yang menurutmu kurang pantas; dan cara yang menurutmu tak seperti kebanyakan laki-laki lain. Tapi percayalah, seberapa pun banyak keburukanku di matamu, perasaan dan perjuanganku telah lebih besar daripada itu. Dan aku pun tahu; aku tak seperti itu di matamu. Aku tak sebagaimana citra yang ku sampaikan itu." Aku pun mencoba menjelaskan posisiku, dan perasaanku, pada perempuan yang ku cintai itu, "Jika kau tahu apa yang telah ku lakukan padamu, dan di saat itu ku tahu kau justru telah beralih pada apa yang menjadi pilihan hatimu, percayalah, aku di sini akan tetap sama. Tetap di posisi semula. Tetap di perasaan yang sama. Sebab bisaku sekarang hanya mencintaimu, dan memperjuangkanmu dengan caraku; cara yang tidak dan takkan pernah kau mau tahu."

"Ra, jika kau benar-benar tak ingin lagi denganku, lelah dengan cara-caraku, serta telah menemukan laki-laki baik dan bisa menjaga menurutmu, pergilah. Pergilah padanya. Aku tak apa. Tapi jika kelak laki-laki itu menjahatimu, membiarkanmu seorang diri di tengah kesakitanmu, bukalah lagi pintumu, sebab aku masih menunggu untuk bisa kembali bersamamu."

"Ra, mungkin banyak kurangku di matamu. Aku tahu itu. Aku sadar itu. Tapi lihatlah, lihatlah barang sebentar; bukankah aku coba untuk memperbaiki kurangku, mencoba bahagikanmu dalam kerudung susahku? Aku sudah perjuangkanmu sejauh ini, selama ini. Kau tak sadar itu? Hal apa lagi yang kau mau dariku? Semuanya sudah ku berikan. Bahkan tubuhku pun telah ku pertaruhkan untuk bahagiamu."


Bagian: 12 ...





Diubah oleh infoanaksultan 16-06-2019 12:13
KnightDruid
someshitness
indrag057
indrag057 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
5.3K
30
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
infoanaksultanAvatar border
TS
infoanaksultan
#7
Bagian 2

Aku dan Rara sudah menjalani hubungan selama 1 tahun. Dalam 1 tahun ini banyak yang telah kami alami. Tawa, tangis, sedih, gembira, semuanya. Semuanya menjadi bumbu hubungan kami. Pun dengan pertengkaran. Baik kecil atau pun besar, keduanya, selalu menjadikan kami kembali memeluk hati yang telah kami yakini.

Aku yakin, Rara adalah anak yang baik, gadis yang baik. Tidak ada satu apapun yang menyangkal itu. Satu apapun. Kecuali kejadian besar itu, kejadian terkenang.

Ra… i can feel you, if you’re not with me.

***

Sabtu 15 Oktober 2016, sudah 6 hari Rara menghilang dari notifikasi ponselku. Jangankan menghubungi. Dihubungimu pun, ia susah. Entah apa yang terjadi, aku tak tahu.

Tapi meski begitu, tak kurang satu hari pun aku menghubungi Rara, menanyai kabarnya, menyuruhnya makan, semuanya. Semuanya ku lakukan. Walau aku tahu, pesanku, tiada pernah dibalasnya. Tiada pernah dibacanya. Kalian tahu kenapa aku melakukan ini? Tahu? Aku, yang juga melakukan ini pun, tak tahu dengan diriku sendiri.

Sejujurnya aku nyaman. Hanya nyaman. Nyaman menjalani ini. Dengan Rara.

Menjalani hubungan tanpa balasan seperti ini memang menyakitkan, menyedihkan. Itu untuk beberapa orang. Tapi menurutku, yang tak pernah menjalani hubungan sebelumnya, menjalani hubungan seperti ini adalah suatu kenyamanan. Entah. Apakah aku yang bodoh atau tak tahu. Aku tak mengerti. Tapi jangan pernah salahkan aku untuk urusan ini. Bukankah setiap orang punya perspektif yang berbeda dalam menjalankan hubungan dan cinta? Dan inilah caraku, cara yang menurut banyak orang adalah cara yang bodoh.

Minggu 16 Oktober 2016 adalah hari di mana kita mengikat janji untuk saling membersamai. Hari spesial. Hari di mana kami akhirnya menjalani hubungan. Ya, besok adalah hari anniversary kami.

Kami sendiri tak merayakan hari jadi ini setiap bulan. Tidak. Aku bukan anak kecil yang mau-maunya merayakan ini tiap bulan. Buat apa? Buang-buang waktu.

Sedang Rara, ia ingin. Baginya, merayakan hubungan setiap bulan akan meningkatkan kecintaan satu sama lain. Bagiku, tidak. Kami bahkan sempat berseteru untuk urusan ini. Kami, bahkan sempat berhenti berkomunikasi selama 3 hari. Selama 3 hari pula Rara menolak telepon dariku, menolak bicara padaku, dan haruslah aku menemuinya, menjelajah Kuningan-Semarang juga untuk menjelaskan dan mendamaikan hatinya.

Minggu besok aku akan ke Semarang lagi untuk mengunjunginya, merayakan hari jadi kami berdua. Beruntung pada hari Kamis kemarin aku baru selesai mengerjakan projek yang lumayan besar, satu buah skripsi manajemen. Harganya pun lumayan, bisa dipakai untuk bolak-balik Kuningan Semarang selama 2-3 bulan.

Sabtu malam aku sempatkan membeli kue brownies kesukaannya. Semoga dengan ini kau bahagia, ya, Ra. Semoga.

***

Minggu 16 Oktober jam 4 pagi, saat di mana kabut masih memeluk Kuningan, aku sudah keluar untuk memanaskan sepeda motorku. Saat itu ibu belum bangun. Sabtu sore ia memang mengeluh sakit lagi, tapi Sabtu sore aku sudah berikan obat. Semoga lekas sembuh, ya, bu.

Tepat pukul 4.30 aku berangkat ke pasar untuk membelikan hadiah untuk Rara.

Satu buah mukenah aku pilih. Mukenah warna putih dengan pinggiran berwarna emas. Cantik. Warnanya cocok dengan tubuh Rara yang putih bersih khas wanita priangan. Walau harus ku akui, mukenah ini memang sedikit besar. Mungkin untuk ukuran ibu-ibu. Tapi tak apa, ku beli saja. Semoga kau suka, ya, Ra!

Selesai dari pasar aku lanjutkan perjalanan ke kota tujuan, Semarang.

Jalanan yang masih gelap membuat kecepatan motor aku pelankan. Takut terjadi apa-apa. Selain takut begal dan rampok, aku juga takut jalanan yang ku lalui mencelakaiku. Maklum. Jalanan mana di Indonesia yang tidak berlubang?

Ku saksikan mata hari terbit setelah sampai di Cirebon timur. Kalau tidak salah, daerah Pangenan. Mendapatkan cahaya dari sang surya, aku pun kencangkan laju sepeda motorku. Ku lajukan dengan sangat kencang. Harapanku, sebelum Rara bangun, aku sudah sampai di depan kostannya, memberinya kejutan.

Saat jam sudah menunjukkan pukul 10.30 aku sudah memasuki daerah Semarang, daerah tujuan. Sebentar lagi Rara aku temui dengan kejutan ini. Ah, Rara, semoga ini bisa membahagiakanmu, ya!

Saat jam sudah menunjukkan pukul 10.50, aku sudah sampai di depan kost Rara, Kost yang tiap minggu aku kunjungi.

Ku coba melepon Rara.

Tak diangkat. Ku coba lagi, hasilnya sama. Beralih dengan cara lain, aku menghubungi Rara melalui whatsapp.

“Ra… bangun, aku sudah di depan kostan kamu, nih!”

“Ra…. Rara….”

“Raraku sayang… keluar dong….”

Pesan pun tak juga memberikan jawaban.

Ah, mungkin dia masih tidur. Biar aku ketuk saja pintu pagarnya, semoga dia bangun. Semoga.

“Permisi… assalamu’alaikum…”

“Permisi…”

“Permisi… assalamu’alaikum…”

Beberapa menit kemudian seorang wanita keluar. Semoga itu Rara. Ku siapkan kejutanku; kueku, juga hadiahku untuk Rara. Saat hendak ku angkat, aku sadar, itu bukan Rara. Itu orang lain, Amel, teman kost Rara.

“Eh, mas Yana, nyari Rara ya mas?”

“Iya, Mel. Raranya ada?”

“Wah, tadi sih bilangnya lagi nyari makan, mas.” Amel membukakan pintu, menyuruhku masih dengan gerakan tangannya, “masuk, mas. Tungguin aja di dalem.”

“Lama nggak ya, Mel?”

“Biasanya sih dia kalau beli makan cepet, mas. Tungguin aja.”

“Nggak apa-apa nih nungguin di dalem? Nggak dimahari ibu kost?”

“Alah, kaya nggak pernah ke sini aja.”

“Hehehe… iya deh. Saya masuk ya.”

Kami masuk. Aku masuk ke ruang tengah dan Amel ke kamarnya. Selang beberapa menit Amel keluar lagi, ia pamit.

“Mas Yana, tungguin di sini aja, ya, saya mau keluar dulu, ada janji sama temen.”

“Nggak apa-apa nih saya sendirian?”

“Kaya nggak biasanya aja ke sini.”

“Iya, sih, tapi nggak sendirian juga. Kan kalau main ke sini sama Rara juga masih ada anak-anak yang lain.” Aku menengkok ke sana kemari, mencari keberadaan anak-anak kost lain. Hasilnya, mereka tak ada. “Ngomong-ngomong yang lain ke mana, kok sepi?”

“Iya, masing-masing lagi ada acara.” Amel kemudian mengecek tasnya, memastikan semua barangnya ada dan tak tertinggi. Beberapa saat kemudian ia benar-benar pamit, pergi. “Ya udah ya mas, aku pamit dulu, temen aku udah nunggu di depan soalnya.”

“Ya udah deh. Tolong kabari Rara aku di sini, ya.”

“Siap, deh. Siap jaga rahasia, mumpung sepi nih, hahaha.”

“Hussttt sembarangan!”

“Hahaha bercanda, mas.” Amel mulai melangkah keluar dan pergi meninggalkanku. “Ya udah aku pamit, ya, mas. Nanti kalau mas sama Rara mau keluar, bilangin ke Rara, kuncinya taro di ventilasi aja, gitu. Ok? Bye.”

“Hati-hati.”

Ya, sekarang, aku sendiri di tempat kost ini. Sendiri. Sendiri menunggu Rara.

Satu, dua, tiga jam aku menunggu Rara. Namun sampai pada jam keempat, Rara belum juga menampakan batang hidungnya. Kemana dia? Dengan siapa dia pergi? Jika hanya membeli makanan, kenapa selama ini? Ah, pikiranku melayang, mengarang.

Ah, sudahlah Yana, mungkin dia Cuma berkumpul dengan temannya, mengerjakan tugas kelompok dan belajar bersama. Atau, mungkin, dia sedang jalan dengan temannya? Teman lelakinya. Siapa ya namanya? Oh ya, Akbar, si akbar. Apa mungkin dia jalan dengan Akbar? Ah, ayolah, masa iya, kan aku akan ke sini hari ini. Sedang apa dia? Sedang melakukan apa dia? Sedang di mana dia? Ah, Tuhan, hentikanlah segala pikiran buruknya; pikiran dengan segala kemungkinan-kemungkinan muncul dan menggenang.

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, dan Rara, masih juga tak terlihat dan memberi kabar.

Aku coba menghubunginya kembali dengan telepon. Satu dua kali dicoba, Rara tak mengangkat. Dan pada percobaan ketiga, Teleponku dimatikan. Di percobaan keempat, ponsel Rara, tidak aktif.

Aku masih menunggu di tempat dan ruang sama sejak jam 11 lalu. Di sini aku tak melakukan apa-apa. Tak bisa melakukan apa-apa kecuali menunggu. Mungkin Rara benar-benar pergi dengan Akbar. Jika pun tidak, tiada mungkin hingga sesore ini ia belum juga pulang. Rara bukan begini. Bukan begini kalau sendiri. Rara pasti diajak oleh seseorang hingga sesore ini ia belum juga pulang.

Ra… kamu kemana, aku menunggu di sini.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Langit yang tadinya terang sudah semakin menguning, tanda bahwa sang Raja langit akan turun tahta. Sedang Rara, hingga sesore ini, ia masih juga tak pulang.

Menyerah. Aku pikir lebih baik aku batalkan surprise ini. Ku tinggalkan saja semua barang-barang ini dan ku beri satu lembar surat untuk Rara.

Isi surat itu kurang lebih begini:

“Dear Rara…

Hai gadisku, betapa aku bahagia menantikan saat ini. Saat di mana kita berdua satu tahun lalu mengikat janji, janji untuk saling membersamai, janji untuk saling berkomitmen hingga mati.

Non, aku sudah belikanmu brownies kesukaan, brownies yang waktu itu kau inginkan dan belum sempat aku belikan. Alhamdulillah, aku ada rejeki, aku belikan untukmu, untuk gadisku yang paling ku rindu.

Non, jika kamu berkenan, aku juga membelikan seperangkat mukenah untukmu. Mukenahnya mungkin kebesaran. Tapi entah mengapa, pas aku melihatnya, aku sudah merasa cocok. Ku pikir ini cocok untukmu. Semoga kamu suka. Semoga kamu pakai di setiap solat dan doamu.

Aku membelikannya untuk kau pakai setiap waktu.

Non, kalau kau ingin tahu, aku ingin jadi pria yang hadir dalam setiap doamu. Doa yang kau panjatkan pada Tuhanmu. Jika aku menurutmu kurang baik, doakanlah aku jadi baik. Jika aku menurutmu sudah baik, doakan aku agar jadi lebih baik. Yakinlah, doamu akan membantuku membaik.

Oh ya, Non, kau kan pernah bilang, kau ingin aku memulai tabungan berjangka? Alhamdulillah, bebeberapa hari lalu aku dapat proyek yang lumayan. Uangnya cukup besar. Malah lebih untukku. Rencana, besok, aku akan membuat tabungan berjangka. Aku akan memulai menabung. Aku akan mengamini apa yang menjadi doamu. Dan sekali lagi, doakan aku. Doakan aku agar mampu memenuhi tiap tanggungan dari tabungan itu. Doakan aku agar mampu memenuhi nominal yang diwajibkan dalam tabungan itu.

Doakan aku, Non.

Sudah dulu, ya, aku pamit. Sudah sore. Aku pulang dulu.

Browniesnya di makan. Kalau mau bagi-bagi dengan temen juga nggak apa-apa. Kalau mau dimakan sendiri malah lebih bagus, lebih baik. Kan itung-itung usaha buat naikin berat badan kamu.

Mukenahnya juga dipakai. Jangan sampai enggak.

Sudah dulu, ya, sayang. Aku pamit.

Love you more, Non.”

Selesai. Semua pesan sudah ku tuliskan dalam surat itu. Semuanya. Semoga dengan ini kamu senang, ya, Ra. Semoga. Aku senang melihatmu senang. Aku bahagia melihatmu bahagia. Ra, aku pamit dulu, ya. Aku pulang.

Aku mulai membereskan barang-barangku. Hadiah dan kue untuk Rara ku tinggalkan. Ku tinggalkan besama surat di atas meja.

Saat aku mulai berdiri ada suara mobil yang berhenti. Berhenti tepat di depan rumah kost ini. Ah, mungkin tamu dari tetangga, pikirku. Tak ku hiraukan. Aku lanjutkan keluar rumah kost dengan hati yang pasrah. Saat aku hendak membuka pintu, pintu itu terlebih dulu terbuka. Dan kalian tahu siapa yang membuka pintu itu?

Ya, itu Rara, dan seorang laki-laki seusianya.

“Yana…”

Aku tak menjawab. Diam. Membisu. Aku lihat Rara masuk ke rumah kostnya dengan menggandeng tangan pria asing. Ya, akhirnya, aku melihat gadisku yang selama ini aku perjuangkan, menggandeng pria asing di depanku, depan lelakinya sendiri. Dan bukan hanya itu. Gandengan itu juga sangat erat, tanda bahwa mereka sudah sangat akrab, sangat dekat.

Dan yang paling membuatku sakit adalah, gandengan itu, ya, gandengan itu, membawa mereka berdua masuk ke dalam sebuah rumah kost yang tak berisi selain aku.

“Yana… ka.. ka.. ka.. kamu ngapain di sini?” Rara panik, bingung, kaget, semuanya. “ Kenapa nggak bilang mau ke sini.”

“Aku mau memberimu kejutan.”

“Hah?”

“Ya, kejutan.”

“Maksudmu?”

“Hari ini Anniversary kita yang ke-1. Semoga kau ingat.” Rara tak menjawab. Sesekali ku lihat wajah lelaki itu. Lalu meneruskan. “Di atas meja sudah ada yang kau butuhkan. Semuanya. Di sana juga ada surat. Itu akan memberimu penjelasan selengkap-lengkapnya, seterang-terangnya.”

Rara masih juga tak menjawab. Aku lagi yang meneruskan, “dan ini?” aku mununjuk lelaki itu, meminta Rara untuk mengenalkan.

“Oh, saya Akbar, mas.” Lelaki itu mengenalkan dirinya sendiri. Ia mengangkat tangannya untuk ku jabat. “Mas sendiri?”

“Oh, saya? Saya Yana, tukang ojek Emihnya Rara.” Aku mengenalkan dengan setenang-tenangnya.

“Tukang ojeg?”

“Iya. Tadi saya disuruh ngirim barang sama Emih. Barang untuk Rara.”

“Oh…”

“Ya udah, Ra, bro, saya pamit dulu. Takut ganggu.” Aku melangkah menjauhi mereka. Saat ku naiki sepeda motorku, baru aku tahu, Rara tidak sama sekali bergerak. Bicara pun tidak. Bahkan sampai aku pamit pun, ia tidak bersuara. Baru saat aku menyalakan mesin motor Rara bersuara.

“A…” Rara memanggil. Tapi hanya A. Ku anggap itu untuk Akbar, bukan untukku. Mana mungkin Rara memanggil kurir dan tukang ojeg sepertiku.

Aku pun pulang, tanpa perayaan yang ku inginkan.

Jangan tanyakan perasaanku saat itu. Jangan. Tak perlu menanyakan. Kalian semua pasti tahu, mengerti.

Jika kalian tanya mengapa aku tak marah? Aku marah. Marah besar. Hanya aku tahan. Aku redam. Aku hanya tak mau Rara sakit. Aku hanya tak mau Rara menangis karena amarahku, kebodohanku.

Ya, aku tak mau.

Perjalanan Semarang-Kuningan pun ku lalui dengan sangat pelan. Dan, ya, baru kali ini aku menikmati perjalanan pulang. Sayang. Kenikmatan ini bukan mengenai kebahagiaan. Justru sebaliknya, kekecewaan.

Perjalananku sudah sampai pada jam ke-2. Langit malam juga sudah bergemintang. Sesampainya di Pemalang aku buka ponselku. Semuanya notifikasi dari perempuanku, Nona Rara Tirta Ayudia, orang yang tadi melukaiku. SMS, telepon, whatsapp, semuanya dari Rara. Totalnya hampir 100.

Ku tepikan sepeda motorku di sebuah lahan kosong bekas sawah. Aku buka ponselku, ku bacai pesan Rara satu-satu. Dan, benar, sudah ku duga. Hanya permintaan maaf dan janji untuk tak mengulangi lagi. Dan semua penjelasan, permintaan maaf, serta janjinya itu, ku jawab begini, melalui whatsapp.

“Ya, Ra.”

Beberapa menit kemudian Rara menjawab. Diawali emoticon tangis, peluk, tangis lagi, kemudian penjelasan. Isi penjelasannya sama; bahwa dia hanya main ke luar dan mengajak Akbar ke kostan karena kelelahan. Penjelasan itu pun ditutup dengan anjurannya agar aku tak berpikir apapun atas kejadian itu.

Baik, aku mengerti. Tapi mengapa itu dilakukan saat aku masih jadi lelakimu, Ra?

Rara kemudian menjawab. Jawabannya panjang.

“aku minta maaf, A. Tapi di sini aku kesepian. Nggak ada yang mau nemenin. Kamu juga sibuk. Boro-boro mau nelepon aku, ngehibur aku, ngejagain aku. Kamu mah kerjaaaaaannnn terus yang diurusin. Aku nggak diperhatiin.”

“Aku sudah hubungin kamu semingu terakhir. Ku telepon, kamu nggak angkat. Ku whatsapp, kamu nggak balas. Jika jalur komunikasiku denganmu saja begitu, bagaimana aku bisa menghiburmu, menemanimu?”

“Iya… maaf, seminggu itu ponselku ketinggalan di mobilnya Akbar, mau hubungin dia susah, nggak hafal nomornya.” Beberapa detik kemudian ia juga menjelaskan, “tadi pagi Akbar ke kostan, nganterin HP aku.”

“Terus kamu pergi bareng dia?”

“Iya, katanya dia mau ngajak aku jalan, mau nemenin aku.”

“Terus aku ditinggalin, gitu?”

“Kan kamu nggak bilang kalau mau ke sini.”

“Kalau aku bilang kamu bakal nolak ajakan Akbar?”

“Iyalah. Aku pilih kamu.” Sedikit lega. Tapi beberapa saat kemudian kembali sesak. Bahkan yang paling membuat sesak. “Tapi nanti sama Akbarnya lain hari aja, ya. Kan lumayan ada yang ngehibur di lain hari.”

“Oh, jadi dia bisa ngehibur kamu, ngejagain kamu?”

“Iya.”

“Aku?”

“Kan kamu jauh A.”

“Jadi kalau ada yang lebih dekat, kamu pilih yang dekat?”

“Iya.”

“Sejak kapan kamu begini?”

“A….”

“Sejak kapan kamu begini?”

‘Udah dong A, jangan marah-marah terus.”

“Sejak kapan kamu begini?”

“Udah deuh, marah-marah terus, tuh.”

“Sejak kapan kamu begini?”

“Apaan sih.”

“Sejak kapan kamu begini?”

“Tahu deuh.”

“Sejak kapan kamu begini?”

“Tahu ah, pusing, kalian sama aja!”

Dan itu pesan terakhirnya di hari itu. Setelah pesan itu, pesanku kembali tak terkirim. Teleponku juga tak lagi dibalas. Malam itu aku terpukul. Sangat terpukul. Betapa wanita yang sedari dulu ku perjuangkan malah perlakukanku seperti ini.

Aku melanjutkan perjalanan kembali. Perjalanan yang masih panjang, dan dada yang sakit bak dirajam.

Aku mengendarai sepeda motor dengan tanpa konsentrasi. Jalanan yang gelap dan aspal yang berlubang memperparah jalan pulangku. Pikiranku melayang, konsentrasiku terbang. Aku tak di tubuhku kala itu.

Setelah melewati Pemalang jalanan sudah sangat sepi, hanya bekas-bekas sawah dan kebun tak berpenghuni. Rumah-rumah pun jarang. Sementara pikiranku masih juga melayang. Beberapa lubang sempat menyadarkanku. Motor yang sedikit oleh membuat kesadaranku kembali. Tapi itu tak lama. Setelah itu, kesadaranku, terbang lagi. Hingga pada akhirnya seluruh kesadaranku berkumpul kembali. Kalian tahu itu saat apa? Ya, saat sepeda motorku benar-benar oleng dan terjatuh di jalanan sepi tak berpenghuni.

Tanganku berdarah saat itu. Pun dengan kakiku. Sweater rajut pemberian ibuku pun rusak, terkoyak.

Selepas jatuh aku tak langsung berdiri. Aku hanya bisa duduk merasakan nyeri di tangan, kaki, juga hati. Sepeda motorku pun tak ku angkat kembali. Ku biarkan tersungkur dan terbalik. Mungkin ia telah rusak. Mungkin juga tak bisa dinyalakan lagi. Entahlah. Aku tahu tahu. Yang jelas

Tuhan telah memberikan hadiah selengkap ini.

Aku yang masih merasa sakit di sekujur kaki mencoba bangun, berdiri. Belum sempat berdiri, sepasang lampu mobil menyoroti dengan kecepatan tinggi, semakin dekat sinarnya semakin menerangi, menusuki diri.






doctorkelinci
masmas222
yusufchauza
yusufchauza dan 2 lainnya memberi reputasi
3