Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

AinunbellAvatar border
TS
Ainunbell
Kekasih Pembunuh Bayaran
Kekasih Pembunuh Bayaran

Part 1

Kekasih Pembunuh Bayaran


Dsing!

Sebuah timah panas meluncur halus keluar dari mulut Setyr SSG 69 milikku. Moncong senjata itu mengeluarkan debu mesiu yang tercium hingga jauh ke dalam hidung sehingga menciptakan sensasi bau yang khas.

Sementara, muntahannya melesat melewati udara malam, membakar dedaunan, melintasi dinding bambu sebuah pondok dan berakhir di bahu seseorang. Sial! Tadinya aku mengincar kepala jahanam itu.

Aku merutuk dan meluncur turun dari pohon tempat pengintaian dan meninggalkan senapan laras panjangku di sana kemudian berlari menuju ke lokasi target sebelum dia menyadari keberadaanku dan membawa gadis itu kabur. Sebuah pistol dengan daya tembak jarak pendek kukeluarkan dari belahan sepatu boot yang kupakai.

Mengendap-endap perlahan di tengah pekat malam, melewati rimbunnya semak belukar dan sesekali berhenti di balik pohon yang kulewati sebelum melangkah lebih jauh. Penculik itu mematikan lampu di rumah reot tersebut setelah ia terkena tembakan di bahu. Bunyi pistol dan pecahan kaca--yang kutebak berasal dari kaca lampu minyak--terdengar sesaat setelah pria itu berhasil kulumpuhkan. Sial! Kalau saja peluru itu langsung mengenai kepalanya, maka pekerjaanku tidak akan sesulit ini.

Membebaskan gadis yang disekap adalah misi yang diberikan seorang pejabat pemerintah kepadaku. Dia adalah ayah dari korban penculikan. Nama gadis itu Floryn.

Ayahnya merupakan pejabat kelas satu yang sebentar lagi akan mencalonkan jadi Presiden di negara ini. Mereka bisa saja melaporkan penculikan ini kepada polisi, tetapi politikus itu terlalu naif dan cinta jabatan sehingga kejadian sebesar ini tidak dia beritahukan kepada yang berwajib. Pasti takut elektabilitasnya menurun menjelang pemilihan.

Lalu, bisa ditebak, akulah yang harus membereskannya. Seorang mata-mata sekaligus pembunuh bayaran yang bekerja dalam diam.

Setidaknya, selama ini aku dikenal sebagai penembak jitu karena tidak pernah meleset menembus kepala target, kenapa kali ini berbeda? Biadab itu gesit sekali.

Setelah hilang selama dua hari, barulah dia menampakkan diri. Aku bekerja keras mencari mereka dengan berbekal telepon ancaman dari si penculik. Sejak itu, aku tahu lokasi terakhir mereka dan mengikutinya sampai ke sini. Batas kota yang didominasi oleh hutan belantara dengan pepohonannya yang tinggi dan besar.

Benar saja dugaanku, mereka berlari keluar dari pintu belakang rumah. Kacamata mode malam membuat visualku jauh lebih baik dibanding pria tersebut.

Tak terelakkan lagi, rentetan peluru ia layangkan kepadaku sementara satu tangannya yang lain menyeret gadis itu.

Aku bersembunyi di belakang pohon saat pistol pria itu memuntahkan isinya. Namun, sangat kesulitan saat hendak meletupkan kepalanya dan mengakhiri drama tembak menembak ini karena dia menjadikan gadis itu sebagai tameng.

"Aku akan meledakkan kepala gadis ini kalau kau masih menembakku!" ancamnya.

Aku mengisi peluru pistol yang sudah kosong satu per satu dan menyiapkan senjata untuk digunakan lagi. Sesaat setelah semua selongsong terisi, aku mengarahkan pistol ke arah sumber suara.

Keberadaan mereka tidak terlihat, hanya siluet pepohonan. Sepertinya pria itu dan sandera bersembunyi di balik batang kayu besar yang tumbang dan melintang di tanah.

Gumaman suara kecil gadis itu juga terdengar. Dia seperti hendak berteriak, tetapi di tahan atau dibekap oleh si penculik.

"Menyerah sajalah! Kau sudah tidak berdaya!"

Aku mengarahkan senjata ke segala arah untuk mengantisipasi mana tahu dia muncul lewat arah belakang.

Suasana hutan hening sekali, hanya desiran angin yang menerbangkan dedaunan kering. Gemuruh ranting yang daunnya saling bertabrakan juga lantang terdengar. Sementara, binatang malam seolah bersembunyi di balik kandangnya masing-masing. Sepertinya sebentar lagi akan ada badai.

Suara gumaman gadis itu tidak lagi terdengar. Oh shit! Apa dia sudah membunuhnya.

Aku bergegas berdiri dan pada saat itu tiba-tiba sebuah cahaya yang sangat terang meracuni mataku. Seketika, aku menjadi buta.

Sial! Kacamata visual mode malam malah menjadi bumerang. Pria laknat itu pasti menyalakan senter dan mengarahkannya tepat ke hadapanku.

Cahaya dari penyuluh itu membuatku kehilangan penglihatan. Sakit! Gelap. Hanya terdengar suara.

Kubuang kacamata dan mengucek organ penting indra manusia itu. Belum kembali! Lensa tidak bisa menyesuaikan seberapa banyak cahaya yang harus diterima.

Aku mengambil pistol yang sempat terjatuh ke dekat kaki saat kebutaan itu melanda. Tergagap, aku mendekat ke pohon besar tempat persembunyian tadi. Sebentar lagi, setelah penglihatan kembali, aku akan mengejar mereka dan menuntaskan semua ini.

Sesaat sebelum tubuhku menunduk ke bawah dan terlindungi pohon besar, sebuah timah panas terdengar melesat ke arahku dan tepat mengenai lengan kanan.

Aku terperanjat, terlempar ke tanah dan meringis pedih. Peluru menembus kulit dan bersarang di daging lengan kurus milikku. Luka tembak ini tidak akan membuatku mati, tetapi cukup sebagai penghambat langkah setelah kebutaan yang dia sebabkan sebelumnya.

Aku mengeluarkan tali dari saku jumpsuit yang kupakai dan mengikatnya ke bagian atas lengan agar darah berhenti mengalir. Untung saja peluru mengenai lengan, andai saja kepala yang tertembak, maka tidak ada lagi Hana di dunia ini. Dan si pejabat yang lebih mementingkan namanya dibanding si anak itu akan dapat pelajaran hidup yang besar.

Aku benci mereka, semua pejabat pemerintahan diktator korup tersebut. Negara menjadi kacau balau sejak presiden terakhir naik takhta. Dia adalah hasil pemilihan umum, tetapi di hari kelima menjabat, dia mendadak mengubah semua peraturan negara dan menjadikan negeri kami di bawah ke pemerintahan diktator.

Rakyat tidak bisa apa-apa, sebelumnya saja sudah sangat susah menggulingkan lingkaran kebejatan pemerintah ini, sekarang yang naik atas tuntutan rakyat ternyata hanyalah orang haus kekuasaan yang minta dukungan dengan pencitraan.

Jadilah carut marut politik negeri berimbas pada kesejahteraan rakyat. Termasuk padaku.

Orang tua yang mati dibunuh di depan mata sendiri oleh perampok yang kelaparan menjadikan masa kecilku traumatis. Darah serta air mata Papa dan Mama masih terbayang di dalam ingatan. Hingga saat ini, efek kejadian tersebut selalu jadi mimpi terburuk yang merongrong jiwa. Bahkan saat tidur pun, mereka tidak membiarkanku tenang.

Entah bagaimana, nasib membawaku masuk ke dalam lingkaran ini. Paman mengambil alih hak asuh setelah orang tua tiada. Beliau adalah seorang yang keras dan tegas. Karakter tersebut sesuai dengan lingkungan tempat dia bernaung. Sebuah organisasi bawah tanah yang mendidik anak-anak menjadi agen dan mata-mata.

Akan tetapi, tujuan dari organisasi itu tidak pernah kuketahui hingga saat ini. Kami hanya menjalankan perintah dari atasan. Dan perintah untukku sekarang adalah menjadi pembunuh bayaran yang disewa oleh salah satu pejabat. Aku menyanggupi, meski dendam dan benci menggelegak tatkala dihadapkan pada kenyataan bahwa harus bekerja di bawah kaki politikus busuk yang menjadi bagian rezim penghilang nyawa orang tua kandungku.

Aku menjadi generasi selanjutnya. Tumbuh dalam didikan militer dan kedisiplinan tingkat tinggi. Sejak berumur sembilan tahun, takdir membawa hidupku menjadi dekat dengan perkelahian, dentuman senjata, suara bom, dan darah tanpa air mata.

Paman bilang, seorang mata-mata tidak boleh menangis dan aku tidak pernah menangis lagi sejak empat belas tahun lalu, saat melihat kekejaman dan kematian merenggut nyawa kedua orang tua.

Tetes hujan mulai jatuh ke tanah. Sedikit demi sedikit, penglihatanku kembali. Ternyata, melihat langsung dengan mata telanjang lebih nyaman tanpa kacamata visual tersebut. Spektrum cahaya yang entah dari mana membias ke objek-objek yang ada di hutan sehingga mataku bisa melihat garis besar benda meskipun tidak begitu jelas.

Kedua orang itu sudah melarikan diri dari tempat kejadian. Mereka membuat jejak yang cukup jelas di atas semak belukar yang daunnya patah terinjak-injak kaki manusia. Bertambah yakin saat di tepi jejak itu berceceran darah sang penculik.

Aku berlari menerobos hujan dan pekat malam, sementara lengan kanan berdenyut perih. Oh hebat! Sekarang aku tidak bisa menembak dengan tangan kanan. Ia terlalu gemetar, bisa-bisa malah kepala gadis itu yang tertembus.

Langkahku terhenti di tepi jurang yang dalam. Melihat betapa curamnya jurang tersebut serta tidak ada jembatan yang menghubungkan kedua sisi, mereka pasti masih ada di wilayah ini.

Aku menerobos ke arah kiri, tetapi tidak menemukan jejak mereka. Kemudian kembali lagi ke titik awal dan merentas ke kanan, tidak juga mendapat hasil. Mereka menghilang!

"Violet melaporkan! Target menghilang. Tidak bisa menemukan jejak."

Aku mematikan alat narahubung yang sejak tadi menempel di telinga dan menyambungkanku ke markas. Sekarang, aku harus memulai semua dari awal.

Bersambung

next, klik link
Kekasih Pembunuh Bayaran: Part 02
Diubah oleh Ainunbell 28-05-2019 23:16
KnightDruid
anasabila
someshitness
someshitness dan 9 lainnya memberi reputasi
10
3.9K
26
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
AinunbellAvatar border
TS
Ainunbell
#1
Kekasih Pembunuh Bayaran Part 02
***

"Kau kehilangan dia!?" pekik pria tua di depanku.

Papan nama di meja kantornya yang bertuliskan "Geraldi Sutomo" bergetar karena gebrakan tangan besarnya yang lumayan berkeriput.

Wajah pria itu mengeras dengan mata yang hampir tercabut keluar. Dia berteriak, lalu meremas kepalanya yang sudah hampir setengah botak. Sebagian kepala depan sudah gundul. Mungkin karena kebanyakan berpikir.

"Gila! Aku bisa gila! 50 milyar, uang sebanyak itu bisa kudapatkan. Tapi komplotan penculik sinting itu pasti akan menyebarkan skandal ini ke media. Bisa rusak nama baik yang sudah susah payah kucitrakan. Setan!"

Dia memaki dan menatap nanar ke sana ke mari. Beberapa lelaki yang berstatus sebagai anak buahnya hanya diam. Mereka tidak berekspresi apa pun, mungkin sudah terbiasa.

"Dan kau! Pembunuh bayaran macam apa kau! Melenyapkan pria payah saja kau tak bisa!" Dia lantas menudingku sambil berjalan mendekat.

Sekarang, jari telunjuk pria itu tepat berada di depan hidungku. Dia tampak geram, terbukti dengan gigi yang gemeretukan menahan amarah.
"Sial!"

Pak tua itu mengepalkan tangan. Kemudian ia berjalan kembali ke meja kerja dan menelepon seseorang. Satu lagi manusia yang akan jadi sasaran amukan tak tentu arah ini. Aku memutar mata, rasanya lelah. Tanganku hampir membusuk. Kapan ini akan berakhir.

Bekas tembakan pria itu berdenyut nyeri. Pelurunya sudah kukeluarkan, hanya lubang menganga dan tulang kering yang sepertinya retak dan perlu kuperiksakan ke tim medis.

"Baiklah! Baik! Aku akan menunggu! Sialan!" makinya membanting telepon.

Pria itu kembali menghampiriku.

"Leo memerintahkan kau kembali ke markas. Investigasi akan dilanjutkan. Sialnya lagi, aku harus memulai semua dari awal. Kalau saja kau mengerjakan bagianmu dengan cakap, maka ini semua tidak akan terjadi!"

Aku mendelik kesal. Apa? Aku tidak andal? Tidak cakap? Kau pasti bercanda!

Ingin rasanya marah dan menembak kepala botak itu lalu menyaksikannya bermandikan darah, tetapi aku menahan emosi yang telanjur membuncah di dada. Egoku terluka. Pemegang rekor sebagai assasins terbaik seketika tidak ada apa-apanya di mata manusia picik seperti dia.

"Ini hanya masalah keberuntungan." Akhirnya lidahku meluncurkan kata yang sejak tadi sudah membayang di pikiran.

Dia pikir pekerjaanku ringan?

Mata besarnya melotot, kali ini lebih lebar dari yang tadi. Kemudian, dengan tergesa-gesa pria itu mendekat ke arahku. Postur tubuhnya yang berselisih dua puluh senti dariku tampak sangat serasi dengan penampilannya. Dari mana gadis bodoh itu mendapatkan paras yang cantik, bapaknya saja sejelek ini. Aku merutuk dalam hati.

"Jangan sekali-kali kau membantah perkataanku. Ingat! Yang akan berkuasa di negeri ini sebentar lagi adalah aku! Aku! Kau bisa masuk penjara kapan saja, paham?"

Kali ini aku menatap matanya, menantang keangkuhan dan sombong yang ditunjukkan si baik ini. Dia pikir ia bisa jadi presiden saat nyawanya tiada? Jahanam! Apa sejak dulu orang yang menjabat sebagai kepala negara memang sesombong dan searogan ini? Mungkin pikiran kotor mereka sudah teracuni dengan iblis-iblis istana.

Tanganku mengepal, emosi hampir saja menguasai ubun-ubun. Paman pasti sudah gila, sejak awal aku tidak ingin berurusan dengan keluarga rendahan seperti mereka.

"Kau harus bertahan karena suatu alasan. Ini perintah." Perintah yang paman berikan membuat kakiku masih tertancap di sini dan menerima penghinaan dengan tenang, meski hati sudah menggelegak siap memuntahkan bara amarah yang sudah berada di bibir kawah.

"Kenapa? Kau marah?" ejeknya.

Dia berjalan perlahan dan memutari tubuhku. Si tua itu membelai dagunya yang kasar sambil berdecak-decak. Suara pantofelnya terdengar nyaring saat membentur ubin.

"Kau ini cukup cantik juga, lebih baik kau berhenti bekerja kasar dan jadilah simpananku ...." Dia mendekat dan berbisik ke telingaku, "kau akan mendapat harta dan fasilitas yang kau butuhkan."

Kali ini kesabaranku benar-benar habis.

Shotgun bersarung yang melekat di ikat pinggang kucabut dan meletakkan moncongnya ke kening gundul pak tua itu. Dia terkejut.

Saat itu juga, lima anak buah yang berjaga di dalam ruangan mengarahkan kelima senjata mereka kepadaku.

Pak tua gila itu mengangkat tangan, perlahan-lahan tubuhnya menjauh. Matanya membeliak nyalang, terluka karena kutolak, kurasa.

Ternyata selain bodoh, gila kuasa, dia juga mesum. Ingin rasanya aku muntah saat dia berbisik di telinga tentang ajakan menjadi salah satu perempuan pemuas objek syahwat edan miliknya.

Sejak awal aku sudah tahu, si jompo ini adalah penjahat kelamin. Data di markas menunjukkan beberapa rekam jejaknya. Diketahui bahwa pria busuk ini kedapatan sering tidur dengan beberapa perempuan. Cuih! Najis.

"Letakkan pistol itu, letakkan. Atau anak buahku akan membunuhmu!"

Cih! Dia hanya berani berteriak saat berada di belakang para pengawalnya. Rakyat pasti sudah gila kalau memenangkan pria ini di pemilihan umum, tertipu dengan pencitraan atau mereka memang manusia-manusia yang bodoh karena hanya melihat orang dari luaran saja.

Perlahan, aku menurunkan pistol. Yaah, kurasa sudah saatnya pergi dari sini. Sedikit lebih lama, maka akan ada yang mati. Semoga dia tidak sering-sering membuatku kesal, dan semoga gadis itu cepat ditemukan. Bisa gila kalau terus bersama setan laki-laki seperti yang satu ini.

"Dasar perempuan murahan!"

Apa!

Dsing!

Dalam satu kali tembak, vas bunga yang ada di belakang meja kantor pria itu tertembus peluru dariku. Tepat, tepat sekali.

Dia terperanjat, semakin mengkeret di balik tubuh besar penjaga miliknya. Untung bukan kepala salah satu dari mereka yang jadi tumbal, meski aku bisa melakukan itu kalau aku mau.

Segera, sebelum ada yang benar-benar mati, aku pergi dari tempat keparat ini.

***

"Seharusnya kau tidak boleh melakukan itu."

Paman Leo mencabut headset dari telingaku dan melemparkannya ke pojok ruangan.

Kamar yang dingin tiba-tiba jadi panas karena kedatangannya. Tunggu! Dari mana paman mendapatkan kunci apartemenku?

Kemudian, dia menggoyangkan kartu itu ke udara. Sudah kuduga, pasti paman membuat duplikat kunci kamarku. Sekarang aku yakin, beliau pasti menaruh beberapa kamera di kamar ini. Kapan aku bisa memiliki privasi sendiri! Aaaargh!

Dia berjalan ke meja bar dan mengeluarkan beberapa botol dari dalam lemari etalase.

"Apa-apaan ini? Tidak ada wiski? Champagne?"

Aku menggeleng, "Nope! Alkohol itu enggak baik buat kesehatan. Ada jus alpukat, paman bisa mengambilnya di kulkas."

"Aku lebih baik mati dari pada minum jus," ujarnya. Dia membanting pintu lemari etalase.

Aku mengedikkan bahu dan tersenyum kecil. Kurasa paman kumat lagi. Dokter melarangnya minum alkohol karena ada penyakit yang bertambah parah kalau dia mengonsumsi minuman tersebut, walaupun sedikit. Dan bisa kubayangkan, kekasihnya--Amora--pasti sudah menyingkirkan semua botol-botol pencabut nyawa itu dari lemari bar dan kulkas mereka.

Paman Leo meletakkan bokongnya di sofa yang kududuki. Dia meremas rambut yang hampir memutih sebagian. Wajah pria itu tampak frustrasi. Paman bersandar dan melenguh panjang sekali.

"Gerald tidak mau bekerja sama dengan kita lagi!" rutuknya.

"Oh, itu bagus," ujarku.

Aku meletakkan ponsel di atas nakas dan membuka laci, ada buku The Darkest Soul di sana. Aku mengeluarkan kitab bersampul hitam itu. Oh, aku lupa membaca serial ini. Kemarin sempat kubeli saat mencari jejak keberadaan anak pejabat itu, lalu disimpan begitu saja dan tak tersentuh. Ini edisi ke delapan, pasti kumpulan cerpen penulis detektif kesukaanku itu makin bagus. Seluruh seri mereka memang sangat bagus.

Tak sabar rasanya, aku membuka lembaran dan memulai dari halaman pertama.

Paman merenggut buku itu dan kembali mencampakkannya ke sudut ruangan.

"Paman!" pekikku.

"Sudah! Perhatikan Paman kalau lagi bicara."

Dia tampak serius kali ini, aku tidak berani membantah lagi. Yaah, buku itu bisa menunggu, tetapi lelaki yang sudah seperti orang tua penggantiku ini lebih layak untuk didahulukan.

Dia mengusap wajahnya, tampak kelelahan membayang di mata tajam dengan iris biru miliknya.

"Geraldi tidak mau bekerja sama lagi dengan kita, dia merasa kita tidak kompeten."

"Aku tidak masalah, Paman," terangku.

Ya, aku tidak masalah. Selama ini aku hanya menjalankan perintah Paman tanpa membantah. Apa pun itu, dia tinggal bilang dan aku akan patuh.

"Masalahnya, kita harus tetap melanjutkan pekerjaan ini. Meskipun dia tidak mau bekerja sama dengan kita."

"Pasti karena tembakan itu," sungutku. Teringat momen saat aku menembak rumahnya kemarin. Selain vas, dinding hunian itu juga tembus.

"Ya, salah satunya karena kau menembak vas langka yang dia dapatkan susah payah dari pasar gelap. Itu vas bunga yang ditemukan di Mesir, milik raja Fir'aun. Satu dan satu-satunya di dunia. Mahal, juga antik."

"Wow, aku makin bangga dengan keahlian menembakku, Paman. Seharusnya kepala Geraldi yang tertembus, karena vasnya tampak lebih bernilai dari isi otak si mesum itu."

"Paman bangga karena kau berani menegakkan kehormatanmu, tetapi biar bagaimanapun juga, misi ini harus kau yang menanganinya," tutur Paman.

"Perintahkan aku, Paman," jawabku.

"Baiklah ...." Dia menghela napas, "Paman akan memberitahu alasan kenapa kau harus terus melanjutkan pekerjaan ini."

Aku mendengar dengan saksama.

"Organisasi ingin kau mencuri data dari server rumah milik Geraldi. Kami meyakini, mereka punya peranakan server entah dimana, mungkin di bawah tanah atau ruang rahasia lainnya. Tugasmu hanya memasukkan flashdisk ini ke salah satu terminal server pusat milik mereka. Sisanya, biar kami yang lakukan," jelas Paman.

Dia kemudian memberikan flashdisk kepadaku. Benda itu melekat pada rantai yang bisa kukalungkan. Lalu, kulingkarkan benda penting itu ke leher dan menyembunyikannya di dalam baju. Sekarang ia aman.

"Entah bagaimana, mereka pasti punya tim khusus untuk investigasi pencarian anak si tua itu. Karena kita hanya menerima lokasi penculik yang mereka kirimkan serta data-data lain yang berhubungan dengan itu."

Aku mendengarkan. Lalu, sebuah pertanyaan muncul di benakku.

"Apa organisasi ingin mencuri data-data penting Gerald?"

Paman mengangguk.

"Untuk apa?" sambungku.

"Itu bukan ranah yang bisa kau masuki. Sekarang, bagaimana caranya agar Geraldi mau menerima tawaran kerja sama kita lagi?"

Kami terdiam untuk beberapa saat, memikirkan segala kemungkinan yang bisa membuat Gerald luluh dan membiarkanku masuk ke kediaman mereka. Tidak hanya sekadar berakhir di ruang kantor, tetapi lebih dalam. Tempat mereka menyimpan gudang data yang selama ini dikumpulkan Gerald.

"Aku tahu bagaimana, Paman serahkan saja padaku," seruku.

Paman tersenyum, dia tidak perlu bertanya lagi, aku tahu apa yang harus kulakukan.

❤❤❤

Bersambung.

Jangan lupa vote, like, dan komennya ya ...
andir004
Cahayahalimah
sriwijayapuisis
sriwijayapuisis dan 3 lainnya memberi reputasi
4