Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

irummmAvatar border
TS
irummm
Jangan Takut Menikah Muda
Quote:
dokpri

Bagiku tidak pernah menyesal dengan sebuah pernikahan di usia muda. Bukan dini, lho, ya!
Karena bagiku menikah muda itu selain menjaga dari dosa maksiat, bisa melancarkan rezeki, juga memiliki keasyikan tersendiri.

Tahu Kenapa?

Karena pada saat nanti anak sudah beranjak dewasa si bapak dan emak masih sama-sama muda belia. Jadi, kalau pas jalan barengan masih 11-12, gak nyangka kalau itu anaknya.

***
Seperti biasa setiap tanggal muda aku ditugaskan kantor berkeliling mengambil uang setoran para agen yang masih kurang.

Tapi kali ini tak seperti biasanya. Saat mengambil tagihan ke salah satu customer, ada seorang lelaki yang cari perhatian ke arahku. Perawakannya kecil, dekil, pokok bukan tipeku banget waktu itu.
Perlahan ia mendekat sambil tersenyum, lalu menanyakan nama. Kujawab sembarangan saja karena melihatnya pun aku sudah tak tertarik sama sekali.

Sial bagiku, ternyata si empunya toko sedang keluar.
Segera kustater motor matic merah kesayangan sampe beberapa kali, tapi tak kunjung mau menyala. Kuulang lagi ... dan lagi. Sampai akhirnya lelaki tadi menghampiri sambil menawarkan bantuannya.

Sumpah, kalau bukan karena cuaca sudah gelap aku gak mau nerima bantuan dia.
Tak berapa lama dalam kendali tangannya, mesin motor pun kembali menyala. Meski hanya basa basi aku mengucap terimakasi, lalu pamit padanya.

Sepanjang perjalanan wajah lelaki tadi masih menikuti. "Amit-amit ... emang siapa, sih dia itu?"

Keesokan harinya aku kembali lagi ke tempat yang kemarin karena masih belum bertemu sang pemilik toko. Lagi-lagi lelaki itu masih di sana. Melihat kedatanganku teman di sampingnya membisikkan sesuatu ke telinganya.

Kuparkir motor, lalu menuju toko. Ups ... beruntung kali ini orang yang kucari bisa ketemu. Setelah menyelesaikan semua tugas aku pun cepat berpamitan.

Di luar, lelaki yang menolongku kemarin tersenyum lalu mendekat.

"Boleh kenalan, Dik?"

"Emang adikmu?" gerutuku.

"Bagi nomor telpon dong, Dik!" Lagaknya sok akrab.

Aku hanya tersenyum kecut lalu meninggalkan tempat itu.

Sebulan berlalu dan aku ditugas ke toko yang dulu mempertemukanku dengan Si Dekil itu. Sebetunya aku sudah berusaha untuk bertukar tugas dengan teman biar tidak bertemu lelaki itu lagi, sayangnya tak satupun teman yang bersedia melakukan itu. Semua sibuk dengan tugas tagihan masing-masing. Terpaksa akulah yang harus pergi sendiri.

Sampai di tempat yang kutuju, orang yang kujumpai pertama kali adalah lelaki sok akrab itu. Entah siapa sebenarnya dia, kenapa selalu di sana?

"Loh, adik lagi. Mau ke Pak Wayan? dia lagi keluar. Tapi tunggu aja, katanya hanya sebentar!"

'Ya Tuhan ... cobaan apalagi ini,' kataku dalam hati.

Menunggu berarti aku harus diam bareng lelaki itu. Kubuang nafas berat.

"Kemarin aku nanya belum dijawab, siapa namanya?" Ia bertanya lagi.

"Emang penting ya,Mas?" jawabku ketus tanpa melihat ke arahnya.

"Tinggalnya dimana?"

Aku masih mengunci rapat mulut.

"Boleh, ya aku main ke sana?" Kali ini aku kaget dengan pertanyaanya yang super nekad itu.

Entah apa yang sedang di otak, kepalaku mengangguk begitu saja.
Terlihat senyum puas di bibirnya yang agak tebal.

"Tapi di mana alamatnya?" tanyanya kembali.

"Cari aja sendiri kalau mau."
Aku mendengus tak senang.

Untung saja Pak wayan pemilik toko segera datang, jadi gak perlu berlama-lama lagi aku harus meladeni lelaki tadi.
Lelaki berambut putih itu tersenyum saat melihat keberadaanku.

"Udah lama menunggu mbak, Nana?"

Duhh, kenapa juga Pak Wayan pakai sebut namaku?

"Ooh ... namanya Nana?" Tiba-tiba lelaki tadi menyahut.

"Loh belum kenalan tho, Mas Fausan?" Pak wayan balik bertanya sambil melihat ke arah lelaki dekil tadi.

Hhmm ternyata lelaki menyebalkan itu namanya Fausan.

'Pantes saja' rutukku dalam hati.

Pak Wayan segera menyuruhku untuk masuk. Tak butuh waktu banyak, urusan kami pun selesai. Saat aku berjalan ke luar toko, lelaki bernama Fausan berjalan ke arahku, senyumnya mengembang. Yakin ... begitu noraknya lelaki itu. "Boleh main ya?" tanyanya pasang wajah sok imut.

Tanpa mempedulikannya, aku melihat jam di tangan yang melingkar di lengan kiriku yang menunjuk ke arah angka sepuluh, kuputuskan langsung menuju kantor saja untuk membuat laporan dan menyelesaikan beberapa tugasku.
***

Jarak kost dan tempat kerjaku hanya beberapa puluh meter saja.
Dari mulut gang aku melihat sebuah motor terpakir di depan kos, kupikir milik tamu anak kos yang lain.

Selesai memarkirkan motor, mataku langsung membelalak manakala melihat lelaki yang duduk di teras kosan.
Kukucek mata yang tidak gatal hingga beberapa kali hanya untuk memastikan penglihatan.

"Fausan?" sebutku dengan lingkaran bibir yang sempurna.

Melihatku datang Fausan cengar cengir seolah tak berdosa.

"Duluan aku kan, Nan?" sambutnya sok akrab.

Aku yang lelah seharian bekerja semakin suntuk mendapati kejutan yang tak membuatku surprise ini.

"Kok, bisa tahu tempatku?" tanyaku heran.

"Ya, tahu dong. Siapa dulu ... Fausan." Gayanya benar-benar membuat aku cepat-cepat ingin masuk kamar.

"Tapi, maaf ya! Aku lelah hari ini, pingin istirahat," cetusku.

Sepertinya lelaki itu menyadari ketidak senanganku dengan kehadirannya di sini. Dia pun akhirnya berpamitan sebelum aku mempersilakan masuk.

Sepeninggalnya, entah setan apa yang merasuki hatiku saat merasa menjadi seorang yang kejam pada lelaki yang tak bersalah.
30 km bukanlah jarak yang dekat, sementara ada seorang yang berniat baik datang malah aku usir dengan tidak menyenangkan.

"Aahhh ... sudahlah! Kenapa aku jadi merasa bersalah gini, ya?"

***

"Na, gak kasihan apa ke Fausan? Tiap hari dia ke sini cuma pingin ketemu kamu. Dia naksir kamu, tuh!" oceh Mbak Lia teman satu kantorku di suatu pagi.

"Hah ... Mbak bilang apa barusan? Fausan? Emang Mbak kenal ma laki-laki ajaib itu? Atau jangan-jangan mbak yang kasih alamatku ke dia?" berondongku saat itu juga.

"Iya ... aku ngaku salah. Habisnya dia gigih banget nyamperin ke sini saat kamu masih di luar, terus nanya alamat rumahmu. Ya tak kasih aja karena gak tega lihat kesungguhannya. Maafin, Mbak, ya!"

"Hhhmm, baiklah. Tapi, untuk menebus kesalahan, Mbak tuh, gimana kalau aku nitip laporan ini buat dikerjain semua?" kataku sambil menyodorkan tumpukan berkas tagihan ke arah wanita yang sedang duduk manis itu.

Hingga sore aku dan Mbak Lia hanya di dalam kantor saja mengerjakan berkas yang harus segera diselesaikan. Dan saat jam pulang, kami berboncengan. Dari kejauhan sudah terlihat motor Fausan terparkir. Semakin jadi Mbak Lia menceramahiku.

"Temui dulu, Na meski sebentar. Kasihan dia tiap hari datang kamu cuekin, gak peduli hujan lagi!"

"Ok, tapi bentar, ya!"

Hatiku pun luruh, kuparkir dekat motor dia lalu masuk menemuinya. Kebetulan ia sedang bercakap dengan suami Mbak Lia. Melihat kedatanganku, sedikit gugup dan terbata ia menyambutku.

"Eh, Na-na. Baru pulang?"

"Hmmm" anggukku.

"Ngapain ke sini?" tanyaku tanpa basa basi

"Gak ada, cuma pingin ketemu kamu." jawabnya tegas.

"Kok di sini kalau mau nemui aku. Kos-anku kan bukan di sini?"

"Aku takut kamu gak mau nerima aku lagi."

"Terus ... kalau dah ketemu mau ngapa memang?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, ia malah cengar-cengir kepedean.

"Makan, yuk di luar!" jawabnya cepat sambil melirik ke arah Mbak Lia dan suaminya.

Aku masih enggan, tapi karena tidak mau diceramahi lagi sama Mbak Lia akhirnya akupun mengiyakan ajakannya.

Sekali, dua kali hingga setiap hari selama satu minggu ia mengajakku keluar sekadar untuk makan dan ngobrol yang gak jelas. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi Mbak Lia dan suaminya selalu saja menceramahiku dan mengingatkan tentang kesungguhan lelaki itu.

Aku mulai menaruh kasihan pada lelaki yang terlihat tulus itu. Hingga di hari ke tujuh saat kami pulang makan, di tengah perjalanan ia menyatakan cinta dan ingin menikahiku.

"Aku gak maksa kamu. Kalau memang menolak, aku akan menerima dengan kebesaran jiwaku," ucap lelaki itu serius.

Benar-benar shock aku dibuatnya. Ucapannya bagai mata pisau yang dilempar tepat mengenai bilik jantung.
Aku hanya terdiam tak bereaksi. Dalam hati aku berdoa, "jika memang orang ini pilihan yang Allah kirimkan sebagai pendampingku semoga hatiku dimantapkan namun bila tidak semoga dijauhkan."

Selesai berdoa, entah darimana datangnya kekuatan itu. Kulingkarkan tangan di pinggangnya dan kusandarkan kepala di punggungnya yang sedang menyetir.

Mendapat responku ia seperti terkejut, digenggamnya tangan kiriku sambil terus menyetir.
Tak sepatah kata keluar dari bibir kami hingga tiba di kos-an.

"Aku pulang ya!" pamitnya.

Aku hanya mengangguk diam.

***

Satu minggu sejak kuterima perasaan cintanya kami selalu meluangkan waktu bersama setiap pulang kerja. Jarak yang jauh tak menghalangi tekadnya mendatangiku.

"Dik, aku mau nemui orang tuamu. Kapan ada waktu?"

"Mau apa, Mas?"

"Mau minang kamu!"

"Serius? Gak kecepeten? Kita baru tiga minggu lho ketemu dan baru dua minggu jadian?" cecar pertanyaanku tak percaya.

"Aku nyari istri bukan pacar! Udah pernah bilang 'kan?"

"Tapi kita masih sangat muda. Umurku aja masih 20 th dan kamu baru 22 th. Yakin mau nikah?"

"Yakin. Aku bakal jadi suami yang tanggung jawab!"

Melihat kesungguhannya akupun luluh.

Setelah membuat janji aku mengajukan cuti beberapa hari untuk menemui orang tuaku.
Hari yang kami sepakati tiba. Berdua kami berangkat ke rumah orang tuaku dengan menggunakan kereta api.

Sampai di rumah, ayah-ibu terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba bersama pria yang belum dikenalnya.

"Maaf, Pak, Bu, saya ke sini ingin bersilaturahim, berkenalan dan ingin meminang anak ibu!" ucap Fausan saat kami sudah di meja makan.

"Lah, kok kamu datang sendirian, Le. Orang tua dan saudaramu mana?" tanya bapak heran.

"Maaf, Pak. Mereka tidak bisa ikut saat ini" jawabnya dengan menunduk

"Ya, sudah. Ga papa. Kalau bapak- ibu terserah bagaimana Nana saja."

Fix hari itu aku dipinang lelaki yang pernah sempat aku ludahi karena jengkel dengan kegetolannya mendapatkan alamatku. Beruntung kedua orang tuaku menyerahkan semua keputusan padaku, karena mereka berdua memang bukanlah pemilih berdasar harta semata.

Dilamar tanpa orang tua, saudara, srah-srahan layaknya lamaran pada umumnya bahkan tak ada cincin yang ia sematkan di jari membuatku tertawa tak percaya. Bagaimana bisa aku menerima ini, bukankah Nana adalah gadis cantik dan banyak lelaki antri menunggu memperistrinya?

Bapak pun memberikan tanggal baik untuk pernikahan kami. Satu bulan dari hari ini. Yaah ... hanya satu bulan!

***

Fausan mengantarkanku sampai di tempat kos.

"Besok aku mulai menyiapkan berkas sebagai syarat menikah, Dik," ucapnya saat aku sudah turun dari motor.

"Ini serius? Apa mau dipikir lagi?"

"Ya, serius. Kamu cinta terakhirku! Apapun akan kulakukan untuk membawamu ke rumahku!"

"Gak lucu." jawabku melengos.

Setelah itu ia berpamitan untuk pulang.

Keesokan harinya, di kantor aku langsung jadi bahan bulian teman-teman tak terkecuali, Mbak Lia.

"Naaah, gitu dong. Masa masih pake jual mahal. Wong Fausan juga manis." Mereka tertawa bersama.

Aku hanya diam, terasa hawa panas menjalar ke semua pipiku.


Sebulan sudah dari waktu yang telah ditetapkan oleh ayah tempo hari.
Aku dan Fausan pun telah menyelesaikan semua urusan dan syarat yang akan diperlukan untuk kelancaran pernikahan.

Pernikahan yang sangat-sangat sederhana. Tanpa pengeras suara, tanpa tenda apalagi harum bunga yang bertebaran.
Kami berdua sepakat tidak menggelar acara resepsi ataupun tasyakuran dengan banyak tamu undangan.
Bagiku dan Fausan pernikahan yang sah dan diakui negara serta agama sudahlah cukup untuk kami menjalani kehidupan selanjutnya. Tidak perlu menghamburkan uang, apalagi pekerjaan Fausan hanya sebagai karyawan dengan gaji harian. Maka kami memutuskan lebih baik uangnya ditabung untuk keperluan yang lebih besar setelah ini.

Sebulan berjalan. Rumah tanggaku dan Fausan masih hangat seperti remaja yang baru pacaran. Bahkan aku tak menyadari kalau diriku sekarang berstatus suami orang.

"Dik, kita cari kontrakan, ya!"

"Beneran, Mas, mau pindah?"

"Iya, biar kita bisa mandiri gak dikira tergantung terus sama orang tua!"

Alhamdulilah akhirnya aku bisa bernafas lega. Meski hidup numpang di mertua pun tak pernah bermasalah tapi tidak ada salahnya kalau aku mandiri dan berdiri di telapak kaki sendiri.
Aku takut suatu saat akan terjadi masalah kalau dalam satu rumah ada beberapa anggota keluarga yang tinggal bersama.

Kakak perempuan Fausan belum menikah, jadi dia masih tinggal dengan orang tua. Dan aku takut suatu hari akan terjadi persinggungan.
Semuanya sangat cepat dan tak pernah ada dalam bayangan.

Untungnya, Fausan adalah tipe suami yang bertanggung jawab, meski setelah pernikahan sifat temperamental dan protectivnya baru kelihatan.
Aahh ... namanya pernikahan kilat pastilah segala yang nampak dulu hanya yang baik dan manisnya. Setelah pernikahan semua bisa berubah.

Namun begitu, kami berusaha saling menyesuaikan. Tidak ada rumah tangga yang tenang tentram sepanjang masa, tapi kami bisa saling mensuport dan menguatkan.

Ibarat film kartun hubungan kami seperti tom and jerry kid, meski sering bertengkar, cepat untuk pulihnya. Bercengkrama dan melupakan pertengkaran yang pernah ada.

Minggu, bulan, tahun berlalu hingga kami dikarunia dua orang anak untuk melengkapi kekurangan dalam rumah tangga.
Ade dan Nilam namanya.

Ade anak pertama tumbuh sebagai lelaki tampan, berhidung mancung dan bertubuh atletis. Sedangkan Nilam, si bungsu yang ceria juga memiliki wajah yang menawan.
Pautan usia anak-ku hanya empat tahun saja, dan itu membuatnya seperti sebaya.

"Ma, Ade besok umur 23 tahun. Udah boleh belum ngajakin calon istri kemari?"
pertanyaan anakku yang tiba-tiba, mengejutkanku juga ayahnya.

Gimana gak terkejut, selama ini dia belum pernah sama sekali menyebutkan nama seorang perempuan, meski sering kutanya dan goda.
Dan sekarang entah dari mana datangnya keberanian dia mengatakan ini semua.

'Ah ... sejarah terulang,' kataku dalam hati sambil tersenyum

"Benaran, Mas? Sejak kapan kamu punya calon?" tanyaku masih tak percaya.

"Udah lama, Ma. Sengaja Ade rahasiakan buat kejutan Mama," selorohnya.

"Kamu ini, jangan main-main memilih jodoh, Nak. Sudah berapa lama emang Mas pacaran? Kan kamu slalu jawab gak ada kalau Mama nanya?"

"Iya, maaf deh, Ma. Aku kan cuma pingin kasih kejutan, Mama.
Aku sudah pacaran enam bulan, kan Mama sendiri yang bilang kalau jodoh itu sudah ada dalam ketetapan-Nya? Makanya Ade yakin ini jodohku.
Boleh ya, Ma?" tanyanya sekali lagi dengan merajuk.

"Iya, Boleh saja. Asal baik akhlaknya!" jawabku singkat. Sedang ayahnya hanya tertawa sambil menepuk pundak anak lelakinya.

"Gitu, dong anak Ayah. Jantan!" kelakar suamiku.

***

Saat di pasar membeli keperluan dapur ada seorang ibu yang menanyakan Nilam.
Dia berfikir Nilam adik saya.
Bukan hanya sekali ini pertanyaan yang sama muncul. Beberapa bahkan sering kali orang-orang mengira kalau aku dan anak-anak adalah kakak adik setiap jalan bersama.

Aku hanya tersenyum simpul dan menjawab takjim untuk pertanyaan mereka.
Aku mensyukuri pernikahanku yang lebih awal dari kawan yang lain.

Aku selalu menikmati kebahagiaan bersama mereka, di usia yang masih belum tua, tapi akan segera menikmati menjadi mertua. Saat kawan seusiaku masih ada yang menggendong balitanya, ataupun masih menimang seorang bayi.

Sampai di rumah aku dan Nilam berbagi tugas. Hari ini Ade akan membawa
Calon istrinya ke rumah. Aku berharap dia wanita sholeha seperti yang kuuntaikan dalam setiap doa.

Suara bel dibunyikan dari luar rumah.
Segera aku berjalan ke depan untuk membuka kunci pagar yang ternyata adalah Mas Fausan.
Dia datang dengan membawa dua tenteng tas kresek hitam.

"Apa ini, Mas?" kutanya saat sudah berpindah ke tanganku"

"Ade nelpon, katanya mau ngenalkan calon istrinya. Jadi aku mampir ke toko kue sebelum pulang, sekalian buat oleh-oleh anak-anak." Begitulah suamiku sejak dulu.
Setiap pulang darimana pun tak pernah lupa membawakan buah tangan untuk anak-anak.

Seperti hari ini, tanpa diminta sudah pulang membawa berbagai kue dan makanan kecil sepulang dari luar kota.
Dari wajahnya nampak bahagia, tapi juga tersembunyi sebuah kecemasan. Aku sangat hafal dengan mimik wajah yang ia tunjukkan.

"Kenapa, Mas kelihatan cemas? Apa karena anak kita mau bawa calonnya?"

"Nggak, Dik. Aku cuma gak nyangka aja akhirnya cerita kita terulang pada anak-anak. Semoga mereka bisa bertahan seperti kita dalam badai dan kerasnya jalan rumah tangga." Air matanya menggenang di sudut netra.

"InsyaAllah, Mas. Segala kebaikan yang diniatkan pasti akan mendapatkan ridho-Nya. Tugas kita hanya mendoakan dan menasihati mereka. Nyatanya kamu juga bisa, kan?" Kucoba menghibur.

Tak berapa lama orang yang kami tunggu pun memasuki pintu rumah dengan seorang gadis cantik berhijab di sampingnya. Senyum mengembang di bibir keduanya, nampak serasi. Aku, suami dan Nilam sangat berbahagia dan mensyukuri segala nikmat yang luar biasa ini.

#Tamat

Jember, 17052019
Diubah oleh irummm 13-09-2019 05:38
YenieSue0101
Multazam243
AnisMo
AnisMo dan 2 lainnya memberi reputasi
3
744
19
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
irummmAvatar border
TS
irummm
#1
Jangan Takut Nikah Muda
Quote:
dokpri

Bagiku tidak pernah menyesal dengan sebuah pernikahan di usia muda. Bukan dini, lho, ya!
Karena bagiku menikah muda itu selain menjaga dari dosa maksiat, bisa melancarkan rezeki, juga memiliki keasyikan tersendiri.

Tahu Kenapa?

Karena pada saat nanti anak sudah beranjak dewasa si bapak dan emak masih sama-sama muda belia. Jadi, kalau pas jalan barengan masih 11-12, gak nyangka kalau itu anaknya.

***
Seperti biasa setiap tanggal muda aku ditugaskan kantor berkeliling mengambil uang setoran para agen yang masih kurang.

Tapi kali ini tak seperti biasanya. Saat mengambil tagihan ke salah satu customer, ada seorang lelaki yang cari perhatian ke arahku. Perawakannya kecil, dekil, pokok bukan tipeku banget waktu itu.
Perlahan ia mendekat sambil tersenyum, lalu menanyakan nama. Kujawab sembarangan saja karena melihatnya pun aku sudah tak tertarik sama sekali.

Sial bagiku, ternyata si empunya toko sedang keluar.
Segera kustater motor matic merah kesayangan sampe beberapa kali, tapi tak kunjung mau menyala. Kuulang lagi ... dan lagi. Sampai akhirnya lelaki tadi menghampiri sambil menawarkan bantuannya.

Sumpah, kalau bukan karena cuaca sudah gelap aku gak mau nerima bantuan dia.
Tak berapa lama dalam kendali tangannya, mesin motor pun kembali menyala. Meski hanya basa basi aku mengucap terimakasi, lalu pamit padanya.

Sepanjang perjalanan wajah lelaki tadi masih menikuti. "Amit-amit ... emang siapa, sih dia itu?"

Keesokan harinya aku kembali lagi ke tempat yang kemarin karena masih belum bertemu sang pemilik toko. Lagi-lagi lelaki itu masih di sana. Melihat kedatanganku teman di sampingnya membisikkan sesuatu ke telinganya.

Kuparkir motor, lalu menuju toko. Ups ... beruntung kali ini orang yang kucari bisa ketemu. Setelah menyelesaikan semua tugas aku pun cepat berpamitan.

Di luar, lelaki yang menolongku kemarin tersenyum lalu mendekat.

"Boleh kenalan, Dik?"

"Emang adikmu?" gerutuku.

"Bagi nomor telpon dong, Dik!" Lagaknya sok akrab.

Aku hanya tersenyum kecut lalu meninggalkan tempat itu.

Sebulan berlalu dan aku ditugas ke toko yang dulu mempertemukanku dengan Si Dekil itu. Sebetunya aku sudah berusaha untuk bertukar tugas dengan teman biar tidak bertemu lelaki itu lagi, sayangnya tak satupun teman yang bersedia melakukan itu. Semua sibuk dengan tugas tagihan masing-masing. Terpaksa akulah yang harus pergi sendiri.

Sampai di tempat yang kutuju, orang yang kujumpai pertama kali adalah lelaki sok akrab itu. Entah siapa sebenarnya dia, kenapa selalu di sana?

"Loh, adik lagi. Mau ke Pak Wayan? dia lagi keluar. Tapi tunggu aja, katanya hanya sebentar!"

'Ya Tuhan ... cobaan apalagi ini,' kataku dalam hati.

Menunggu berarti aku harus diam bareng lelaki itu. Kubuang nafas berat.

"Kemarin aku nanya belum dijawab, siapa namanya?" Ia bertanya lagi.

"Emang penting ya,Mas?" jawabku ketus tanpa melihat ke arahnya.

"Tinggalnya dimana?"

Aku masih mengunci rapat mulut.

"Boleh, ya aku main ke sana?" Kali ini aku kaget dengan pertanyaanya yang super nekad itu.

Entah apa yang sedang di otak, kepalaku mengangguk begitu saja.
Terlihat senyum puas di bibirnya yang agak tebal.

"Tapi di mana alamatnya?" tanyanya kembali.

"Cari aja sendiri kalau mau."
Aku mendengus tak senang.

Untung saja Pak wayan pemilik toko segera datang, jadi gak perlu berlama-lama lagi aku harus meladeni lelaki tadi.
Lelaki berambut putih itu tersenyum saat melihat keberadaanku.

"Udah lama menunggu mbak, Nana?"

Duhh, kenapa juga Pak Wayan pakai sebut namaku?

"Ooh ... namanya Nana?" Tiba-tiba lelaki tadi menyahut.

"Loh belum kenalan tho, Mas Fausan?" Pak wayan balik bertanya sambil melihat ke arah lelaki dekil tadi.

Hhmm ternyata lelaki menyebalkan itu namanya Fausan.

'Pantes saja' rutukku dalam hati.

Pak Wayan segera menyuruhku untuk masuk. Tak butuh waktu banyak, urusan kami pun selesai. Saat aku berjalan ke luar toko, lelaki bernama Fausan berjalan ke arahku, senyumnya mengembang. Yakin ... begitu noraknya lelaki itu. "Boleh main ya?" tanyanya pasang wajah sok imut.

Tanpa mempedulikannya, aku melihat jam di tangan yang melingkar di lengan kiriku yang menunjuk ke arah angka sepuluh, kuputuskan langsung menuju kantor saja untuk membuat laporan dan menyelesaikan beberapa tugasku.
***

Jarak kost dan tempat kerjaku hanya beberapa puluh meter saja.
Dari mulut gang aku melihat sebuah motor terpakir di depan kos, kupikir milik tamu anak kos yang lain.

Selesai memarkirkan motor, mataku langsung membelalak manakala melihat lelaki yang duduk di teras kosan.
Kukucek mata yang tidak gatal hingga beberapa kali hanya untuk memastikan penglihatan.

"Fausan?" sebutku dengan lingkaran bibir yang sempurna.

Melihatku datang Fausan cengar cengir seolah tak berdosa.

"Duluan aku kan, Nan?" sambutnya sok akrab.

Aku yang lelah seharian bekerja semakin suntuk mendapati kejutan yang tak membuatku surprise ini.

"Kok, bisa tahu tempatku?" tanyaku heran.

"Ya, tahu dong. Siapa dulu ... Fausan." Gayanya benar-benar membuat aku cepat-cepat ingin masuk kamar.

"Tapi, maaf ya! Aku lelah hari ini, pingin istirahat," cetusku.

Sepertinya lelaki itu menyadari ketidak senanganku dengan kehadirannya di sini. Dia pun akhirnya berpamitan sebelum aku mempersilakan masuk.

Sepeninggalnya, entah setan apa yang merasuki hatiku saat merasa menjadi seorang yang kejam pada lelaki yang tak bersalah.
30 km bukanlah jarak yang dekat, sementara ada seorang yang berniat baik datang malah aku usir dengan tidak menyenangkan.

"Aahhh ... sudahlah! Kenapa aku jadi merasa bersalah gini, ya?"

***

"Na, gak kasihan apa ke Fausan? Tiap hari dia ke sini cuma pingin ketemu kamu. Dia naksir kamu, tuh!" oceh Mbak Lia teman satu kantorku di suatu pagi.

"Hah ... Mbak bilang apa barusan? Fausan? Emang Mbak kenal ma laki-laki ajaib itu? Atau jangan-jangan mbak yang kasih alamatku ke dia?" berondongku saat itu juga.

"Iya ... aku ngaku salah. Habisnya dia gigih banget nyamperin ke sini saat kamu masih di luar, terus nanya alamat rumahmu. Ya tak kasih aja karena gak tega lihat kesungguhannya. Maafin, Mbak, ya!"

"Hhhmm, baiklah. Tapi, untuk menebus kesalahan, Mbak tuh, gimana kalau aku nitip laporan ini buat dikerjain semua?" kataku sambil menyodorkan tumpukan berkas tagihan ke arah wanita yang sedang duduk manis itu.

Hingga sore aku dan Mbak Lia hanya di dalam kantor saja mengerjakan berkas yang harus segera diselesaikan. Dan saat jam pulang, kami berboncengan. Dari kejauhan sudah terlihat motor Fausan terparkir. Semakin jadi Mbak Lia menceramahiku.

"Temui dulu, Na meski sebentar. Kasihan dia tiap hari datang kamu cuekin, gak peduli hujan lagi!"

"Ok, tapi bentar, ya!"

Hatiku pun luruh, kuparkir dekat motor dia lalu masuk menemuinya. Kebetulan ia sedang bercakap dengan suami Mbak Lia. Melihat kedatanganku, sedikit gugup dan terbata ia menyambutku.

"Eh, Na-na. Baru pulang?"

"Hmmm" anggukku.

"Ngapain ke sini?" tanyaku tanpa basa basi

"Gak ada, cuma pingin ketemu kamu." jawabnya tegas.

"Kok di sini kalau mau nemui aku. Kos-anku kan bukan di sini?"

"Aku takut kamu gak mau nerima aku lagi."

"Terus ... kalau dah ketemu mau ngapa memang?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, ia malah cengar-cengir kepedean.

"Makan, yuk di luar!" jawabnya cepat sambil melirik ke arah Mbak Lia dan suaminya.

Aku masih enggan, tapi karena tidak mau diceramahi lagi sama Mbak Lia akhirnya akupun mengiyakan ajakannya.

Sekali, dua kali hingga setiap hari selama satu minggu ia mengajakku keluar sekadar untuk makan dan ngobrol yang gak jelas. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi Mbak Lia dan suaminya selalu saja menceramahiku dan mengingatkan tentang kesungguhan lelaki itu.

Aku mulai menaruh kasihan pada lelaki yang terlihat tulus itu. Hingga di hari ke tujuh saat kami pulang makan, di tengah perjalanan ia menyatakan cinta dan ingin menikahiku.

"Aku gak maksa kamu. Kalau memang menolak, aku akan menerima dengan kebesaran jiwaku," ucap lelaki itu serius.

Benar-benar shock aku dibuatnya. Ucapannya bagai mata pisau yang dilempar tepat mengenai bilik jantung.
Aku hanya terdiam tak bereaksi. Dalam hati aku berdoa, "jika memang orang ini pilihan yang Allah kirimkan sebagai pendampingku semoga hatiku dimantapkan namun bila tidak semoga dijauhkan."

Selesai berdoa, entah darimana datangnya kekuatan itu. Kulingkarkan tangan di pinggangnya dan kusandarkan kepala di punggungnya yang sedang menyetir.

Mendapat responku ia seperti terkejut, digenggamnya tangan kiriku sambil terus menyetir.
Tak sepatah kata keluar dari bibir kami hingga tiba di kos-an.

"Aku pulang ya!" pamitnya.

Aku hanya mengangguk diam.

***

Satu minggu sejak kuterima perasaan cintanya kami selalu meluangkan waktu bersama setiap pulang kerja. Jarak yang jauh tak menghalangi tekadnya mendatangiku.

"Dik, aku mau nemui orang tuamu. Kapan ada waktu?"

"Mau apa, Mas?"

"Mau minang kamu!"

"Serius? Gak kecepeten? Kita baru tiga minggu lho ketemu dan baru dua minggu jadian?" cecar pertanyaanku tak percaya.

"Aku nyari istri bukan pacar! Udah pernah bilang 'kan?"

"Tapi kita masih sangat muda. Umurku aja masih 20 th dan kamu baru 22 th. Yakin mau nikah?"

"Yakin. Aku bakal jadi suami yang tanggung jawab!"

Melihat kesungguhannya akupun luluh.

Setelah membuat janji aku mengajukan cuti beberapa hari untuk menemui orang tuaku.
Hari yang kami sepakati tiba. Berdua kami berangkat ke rumah orang tuaku dengan menggunakan kereta api.

Sampai di rumah, ayah-ibu terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba bersama pria yang belum dikenalnya.

"Maaf, Pak, Bu, saya ke sini ingin bersilaturahim, berkenalan dan ingin meminang anak ibu!" ucap Fausan saat kami sudah di meja makan.

"Lah, kok kamu datang sendirian, Le. Orang tua dan saudaramu mana?" tanya bapak heran.

"Maaf, Pak. Mereka tidak bisa ikut saat ini" jawabnya dengan menunduk

"Ya, sudah. Ga papa. Kalau bapak- ibu terserah bagaimana Nana saja."

Fix hari itu aku dipinang lelaki yang pernah sempat aku ludahi karena jengkel dengan kegetolannya mendapatkan alamatku. Beruntung kedua orang tuaku menyerahkan semua keputusan padaku, karena mereka berdua memang bukanlah pemilih berdasar harta semata.

Dilamar tanpa orang tua, saudara, srah-srahan layaknya lamaran pada umumnya bahkan tak ada cincin yang ia sematkan di jari membuatku tertawa tak percaya. Bagaimana bisa aku menerima ini, bukankah Nana adalah gadis cantik dan banyak lelaki antri menunggu memperistrinya?

Bapak pun memberikan tanggal baik untuk pernikahan kami. Satu bulan dari hari ini. Yaah ... hanya satu bulan!

***

Fausan mengantarkanku sampai di tempat kos.

"Besok aku mulai menyiapkan berkas sebagai syarat menikah, Dik," ucapnya saat aku sudah turun dari motor.

"Ini serius? Apa mau dipikir lagi?"

"Ya, serius. Kamu cinta terakhirku! Apapun akan kulakukan untuk membawamu ke rumahku!"

"Gak lucu." jawabku melengos.

Setelah itu ia berpamitan untuk pulang.

Keesokan harinya, di kantor aku langsung jadi bahan bulian teman-teman tak terkecuali, Mbak Lia.

"Naaah, gitu dong. Masa masih pake jual mahal. Wong Fausan juga manis." Mereka tertawa bersama.

Aku hanya diam, terasa hawa panas menjalar ke semua pipiku.


Sebulan sudah dari waktu yang telah ditetapkan oleh ayah tempo hari.
Aku dan Fausan pun telah menyelesaikan semua urusan dan syarat yang akan diperlukan untuk kelancaran pernikahan.

Pernikahan yang sangat-sangat sederhana. Tanpa pengeras suara, tanpa tenda apalagi harum bunga yang bertebaran.
Kami berdua sepakat tidak menggelar acara resepsi ataupun tasyakuran dengan banyak tamu undangan.
Bagiku dan Fausan pernikahan yang sah dan diakui negara serta agama sudahlah cukup untuk kami menjalani kehidupan selanjutnya. Tidak perlu menghamburkan uang, apalagi pekerjaan Fausan hanya sebagai karyawan dengan gaji harian. Maka kami memutuskan lebih baik uangnya ditabung untuk keperluan yang lebih besar setelah ini.

Sebulan berjalan. Rumah tanggaku dan Fausan masih hangat seperti remaja yang baru pacaran. Bahkan aku tak menyadari kalau diriku sekarang berstatus suami orang.

"Dik, kita cari kontrakan, ya!"

"Beneran, Mas, mau pindah?"

"Iya, biar kita bisa mandiri gak dikira tergantung terus sama orang tua!"

Alhamdulilah akhirnya aku bisa bernafas lega. Meski hidup numpang di mertua pun tak pernah bermasalah tapi tidak ada salahnya kalau aku mandiri dan berdiri di telapak kaki sendiri.
Aku takut suatu saat akan terjadi masalah kalau dalam satu rumah ada beberapa anggota keluarga yang tinggal bersama.

Kakak perempuan Fausan belum menikah, jadi dia masih tinggal dengan orang tua. Dan aku takut suatu hari akan terjadi persinggungan.
Semuanya sangat cepat dan tak pernah ada dalam bayangan.

Untungnya, Fausan adalah tipe suami yang bertanggung jawab, meski setelah pernikahan sifat temperamental dan protectivnya baru kelihatan.
Aahh ... namanya pernikahan kilat pastilah segala yang nampak dulu hanya yang baik dan manisnya. Setelah pernikahan semua bisa berubah.

Namun begitu, kami berusaha saling menyesuaikan. Tidak ada rumah tangga yang tenang tentram sepanjang masa, tapi kami bisa saling mensuport dan menguatkan.

Ibarat film kartun hubungan kami seperti tom and jerry kid, meski sering bertengkar, cepat untuk pulihnya. Bercengkrama dan melupakan pertengkaran yang pernah ada.

Minggu, bulan, tahun berlalu hingga kami dikarunia dua orang anak untuk melengkapi kekurangan dalam rumah tangga.
Ade dan Nilam namanya.

Ade anak pertama tumbuh sebagai lelaki tampan, berhidung mancung dan bertubuh atletis. Sedangkan Nilam, si bungsu yang ceria juga memiliki wajah yang menawan.
Pautan usia anak-ku hanya empat tahun saja, dan itu membuatnya seperti sebaya.

"Ma, Ade besok umur 23 tahun. Udah boleh belum ngajakin calon istri kemari?"
pertanyaan anakku yang tiba-tiba, mengejutkanku juga ayahnya.

Gimana gak terkejut, selama ini dia belum pernah sama sekali menyebutkan nama seorang perempuan, meski sering kutanya dan goda.
Dan sekarang entah dari mana datangnya keberanian dia mengatakan ini semua.

'Ah ... sejarah terulang,' kataku dalam hati sambil tersenyum

"Benaran, Mas? Sejak kapan kamu punya calon?" tanyaku masih tak percaya.

"Udah lama, Ma. Sengaja Ade rahasiakan buat kejutan Mama," selorohnya.

"Kamu ini, jangan main-main memilih jodoh, Nak. Sudah berapa lama emang Mas pacaran? Kan kamu slalu jawab gak ada kalau Mama nanya?"

"Iya, maaf deh, Ma. Aku kan cuma pingin kasih kejutan, Mama.
Aku sudah pacaran enam bulan, kan Mama sendiri yang bilang kalau jodoh itu sudah ada dalam ketetapan-Nya? Makanya Ade yakin ini jodohku.
Boleh ya, Ma?" tanyanya sekali lagi dengan merajuk.

"Iya, Boleh saja. Asal baik akhlaknya!" jawabku singkat. Sedang ayahnya hanya tertawa sambil menepuk pundak anak lelakinya.

"Gitu, dong anak Ayah. Jantan!" kelakar suamiku.

***

Saat di pasar membeli keperluan dapur ada seorang ibu yang menanyakan Nilam.
Dia berfikir Nilam adik saya.
Bukan hanya sekali ini pertanyaan yang sama muncul. Beberapa bahkan sering kali orang-orang mengira kalau aku dan anak-anak adalah kakak adik setiap jalan bersama.

Aku hanya tersenyum simpul dan menjawab takjim untuk pertanyaan mereka.
Aku mensyukuri pernikahanku yang lebih awal dari kawan yang lain.

Aku selalu menikmati kebahagiaan bersama mereka, di usia yang masih belum tua, tapi akan segera menikmati menjadi mertua. Saat kawan seusiaku masih ada yang menggendong balitanya, ataupun masih menimang seorang bayi.

Sampai di rumah aku dan Nilam berbagi tugas. Hari ini Ade akan membawa
Calon istrinya ke rumah. Aku berharap dia wanita sholeha seperti yang kuuntaikan dalam setiap doa.

Suara bel dibunyikan dari luar rumah.
Segera aku berjalan ke depan untuk membuka kunci pagar yang ternyata adalah Mas Fausan.
Dia datang dengan membawa dua tenteng tas kresek hitam.

"Apa ini, Mas?" kutanya saat sudah berpindah ke tanganku"

"Ade nelpon, katanya mau ngenalkan calon istrinya. Jadi aku mampir ke toko kue sebelum pulang, sekalian buat oleh-oleh anak-anak." Begitulah suamiku sejak dulu.
Setiap pulang darimana pun tak pernah lupa membawakan buah tangan untuk anak-anak.

Seperti hari ini, tanpa diminta sudah pulang membawa berbagai kue dan makanan kecil sepulang dari luar kota.
Dari wajahnya nampak bahagia, tapi juga tersembunyi sebuah kecemasan. Aku sangat hafal dengan mimik wajah yang ia tunjukkan.

"Kenapa, Mas kelihatan cemas? Apa karena anak kita mau bawa calonnya?"

"Nggak, Dik. Aku cuma gak nyangka aja akhirnya cerita kita terulang pada anak-anak. Semoga mereka bisa bertahan seperti kita dalam badai dan kerasnya jalan rumah tangga." Air matanya menggenang di sudut netra.

"InsyaAllah, Mas. Segala kebaikan yang diniatkan pasti akan mendapatkan ridho-Nya. Tugas kita hanya mendoakan dan menasihati mereka. Nyatanya kamu juga bisa, kan?" Kucoba menghibur.

Tak berapa lama orang yang kami tunggu pun memasuki pintu rumah dengan seorang gadis cantik berhijab di sampingnya. Senyum mengembang di bibir keduanya, nampak serasi. Aku, suami dan Nilam sangat berbahagia dan mensyukuri segala nikmat yang luar biasa ini.

#Tamat

Jember, 17052019
Diubah oleh irummm 13-09-2019 05:38
0