Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

uclnAvatar border
TS
ucln 
Karma : Hurt No One


Quote:





I never meant to hurt no one
Nobody ever tore me down like you
I think you knew it all along
And now you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
And will I ever see the sun again?
I wonder where the guilt had gone
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt no one
Sometimes you gotta look the other way
It never should've lasted so long
Ashamed you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
I know I'll never be the same again
Now taking back what I have done
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt nobody
Nobody ever tore me down like you
I never meant to hurt no one
Now I'm taking what is mine..




<< Cerita sebelumya



Quote:


Diubah oleh ucln 30-09-2020 12:48
qthing12
sukhhoi
jalakhideung
jalakhideung dan 55 lainnya memberi reputasi
-12
84.4K
610
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln 
#6
Part #5
Hari ini harusnya kami dijadwalkan bermain musik sepulang sekolah seperti biasanya. Namun karena Azzam hari ini gak masuk sekolah, dan Ryan sedang sakit flu yang membuat suaranya jadi terdengar seperti suara bapak-bapak, maka kami memutuskan untuk gak main dulu hari ini. Ryan pun langsung pulang selepas jam sekolah berakhir, sedangkan gue mengajak Maul nongkrong dulu di SMK xx, berharap bisa bertemu Nia disana. Tentu saja dengan alasan ingin minum jus buah biar gak gampang sakit kaya Ryan dan Azzam. Dan Maul pun mengiyakan tanpa rasa curiga.

Setelah hampir satu jam berada di warung jus bersama Maul. Gue gak mendapati tanda-tanda kehadiran Nia. Maul juga sepertinya sudah mulai bosan karna kami mulai kehabisan bahan obrolan. Akhirnya Maul pun mengajak pulang. Yang tentu saja mau gak mau harus gue ikuti daripada semakin terjebak dalam kebosanan.

Maul melanjutkan berjalan kaki menuju rumahnya, sementara gue menunggu angkot di sebuah halte diseberang SMK xx. Hari sudah semakin sore. Dan sekolah SMK pun sudah terlihat cukup sepi. Hanya ada satu-dua orang siswa yang terlihat baru keluar dari dalam gedung sekolah.

Tepat saat angkot yang gue tunggu telah menampakkan kaca depannya perlahan mendekat kearah gue, dari dalam gedung sekolah gue melihat Nia berjalan perlahan menuju pelataran luar sekolahnya. Membawa dua buah tas tenteng yang berisi gulungan-gulungan kertas karton. Gue tertegun sejenak menatapnya dari kejauhan. Hingga tanpa sadar gue tersenyum menatapnya. Seperti menemukan sebuah jawaban atas rindu yang telah menggebu untuk menatap wajahnya.

“Oi. Mau naek gak, tong? Cengengesan aje lu.”

Angkot yang sejak tadi gue tunggu kini sudah berhenti tepat di depan gue. Dengan kepala sang supir yang melongok dari kursi kemudinya dan memanggil gue, membuyarkan lamunan gue yang berharap ada backsound lagu-lagu india untuk memperindah suasana.

“Kagak bang.” Jawab gue singkat dan mencoba menyeberang jalan dengan berlari kecil untuk menghampiri Nia.

Setelah jarak gue hanya beberapa langkah dibelakang Nia, gue menghentikan lari kecil dan mulai berjalan perlahan dibelakangnya, lalu menyamakan irama kaki gue untuk sengaja gak mendahului atau berjalan disampingnya. Gue memilih menikmati berjalan dibelakangnya sesaat, sambil tersenyum kecil melihatnya kerepotan membawa tentengannya.

“Perlu bantuan?” ucap gue dari belakang Nia yang langsung menoleh kearah gue.

Dia berhenti dan menatap gue sejenak. Seperti berusaha mengenali wajah gue. Dan jujur saja, ada sedikit rasa kecewa saat melihatnya membutuhkan waktu cukup lama untuk mengenali gue.

Nia akhirnya tersenyum begitu berhasil mengingat gue. Lalu ia memberikan dua buah tas tenteng nya yang berisi banyak gulungan kertas karton itu ke gue. Pertanda meminta gue membawakannya.

“Tadi nawarin bantuan kan? Ini bawain dong.” Ucapnya sedikit kesal saat gue gak segera mengambil tas nya.

“Bisa pake kata tolong?” ledek gue.

Nia menggelengkan kepalanya lalu meletakkan kedua tas nya di tanah, dan melanjutkan berjalan. Gue hanya tertawa melihat tingkahnya sambil kemudian membawa dua tas tentengnya dan berjalan mengejar Nia. Gue bisa mendapati dengan jelas dia tersenyum ketika ia menoleh kebelakangnya, kearah gue. Senyuman yang seolah meledek gue, namun bagi gue justru senilai sebuah kata ‘aamiin’ yang diucapkan setelah doa.

*****


Gue dan Nia berjalan kaki tanpa sebuah obrolanpun yang menengahi. Hingga beberapa ratus meter kemudian kami sampai di sebuah gerbang masuk komplek. Yang gue tau gak begitu jauh dari rumah Maul. Sepertinya kali ini gue harus mengakui bahwa apa yang pernah Maul ucapkan memang benar. Bahwa rumah Nia berada di komplek seberang rumah Maul.

Nia memelankan langkahnya ketika kami telah berada tepat di depan sebuah rumah yang menurut gue cukup besar, atau bahkan terksean mewah. Hingga akhirnya ia menghentikan langkahnya, dan menunggu gue yang tertinggal beberapa langkah darinya. Lagi-lagi dia melemparkan senyumnya. Sebuah senyum yang langsung ditangkap oleh hati gue, meski raga gue hanya bisa turut tersenyum membalasnya.

“Gak berat kan?” Tanya Nia sambil kembali mulai melangkah begitu gue berada tepat disampingnya. Gue hanya menjawabnya dengan gelengan kecil.
“Masuk dulu ya, gue bikinin minum.” Lanjutnya sambil membukakan pintu pagar rumahnya dan mempersilahkan gue untuk masuk.

Nia membuka sepasang daun pintu masuk utama rumahnya dan menunjuk kearah dalam bagian rumah dengan kepalanya, pertanda meminta gue masuk. Gue mengikuti sesuai arah yang ia tunjukkan. Lalu kami berjalan menuju sebuah sofa yang dipersilahkan ke gue untuk gue duduki. Nia kemudian mengambil dua tas tenteng yang sejak tadi gue bawa, lalu berjalan ke sudut kanan rumahnya. Menaiki sebuah tangga melingkar sambil tersenyum pertanda meminta gue menunggu sebentar. Yang gue jawab dengan senyum dan anggukan.

Gue melihat ke sekeliling rumah yang besar namun benar-benar terasa sepi ini. Terlalu besar untuk ditinggali hanya satu keluarga menurut gue. Ada beberapa foto dipajang ditembok yang terlihat langsung dari sofa yang gue duduki saat ini. Satu foto seorang lelaki muda yang sedang memakai pakaian wisuda. Yang gue tebak sebagai abangnya Nia. Kemudian foto seorang wanita muda, dengan rambut pendek mirip potongan serang lelaki. Yang ini gue susah membedakan apakah ini adalah Nia saat kecil, atau malah adiknya. Dan sebuah foto besar sepasang suami istri yang jelas sekali adalah kedua orang tua Nia.

“Maap, Den. Mau minum apa?” seorang wanita agak paruh baya membuyarkan lamunan gue saat memperhatikan jejeran foto ditembok.

“Eh? Engg.. Apa aja Bu. Ga usah repot-repot.” Jawab gue ke seorang yang gue duga assisten rumah tangga disini.

Si Ibu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, lalu berjalan kembali kearah bagian dalam rumah yang posisi duduk gue membelakanginya.

“Gus. Bentar ya. Lo buru-buru gak?” Tanya Nia dari lantai atas dengan melongokkan kepalanya.

Gue harus mendongakkan kepala untuk dapat meraih Nia kedalam pandangan gue, dan lagi-lagi hanya menjawab dengan gelengan kecil dan senyuman. Menandakan gue ga sedang buru-buru dan bersedia menunggunya.

Beberapa menit gue gunakan dalam mode bengong sampai Ibu tadi mengantarkan segelas minuman buat gue yang gue terima dengan ucapan terima kasih. Terdengar suara senandung Nia dari lantai atas. Diiringi dengan suara sandal karet dan irama langkah Nia yang menuruni anak tangga satu per satu.

“Lo udah makan belom Gus? Keluar yuk cari makan.” Ajak Nia sambil membanting tubuhnya ke sofa disamping gue.

“Belom sih. Mau cari makan dimana? Emang ada yang buang?”

“Ya bukan nyari di sampahan juga kali. Gue pengen makan mie ayam di deket rumahnya si Maulana situ. Mau gak jalan kesana?”

“Yaudah, ayok.” Jawab gue singkat sambil bangkit dari duduk dan diikuti oleh Nia.

Matahari pun telah semakin jatuh menuju tempat istirahatnya saat cakrawala telah di dominasi oleh warna jingga. Kami berjalan santai beriringan keluar komplek perumahan. Menuju seberang jalan yang gak begitu jauh dari rumah Maul.Sesekali Nia menanyakan hal-hal mendasar seperti gue tinggal dimana, atau apa kesukaan dan hobi gue, serta hal basa-basi lainnya. Gue pun menjawab dan balik bertanya beberapa hal kecil demi mempertahankan obrolan dengan Nia.

Ya, hanya beberapa hal kecil dan mendasar. Namun obrolan itu mampu masuk dengan mudahnya membuat gue bergegas menuju dasar hati gue, dan berbenah untuk menyiapkan tempat untuk Nia disana.
Diubah oleh ucln 09-05-2019 12:16
adityazafrans
mmuji1575
jenggalasunyi
jenggalasunyi dan 3 lainnya memberi reputasi
4