Dengan sedikit tergesa aku menyalakan mobilku, "aduh, sudah jam segini lagi.." gumamku
Aku memacu mobil SUV ku dengan kencang ke tempat yang ku yakini sebagai
'our favourite place'sepanjang perjalanan aku tidak bisa memungkiri kalau aku sangat gugup. Ini jauh lebih menegangkan dibanding sewaktu aku mau menikah.
Quote:
Arin, semoga kamu masih disana. Banyak hal yang mau kubicarakan dengamu. Dalam batinku percaya kalau dia akan ada disana..
Sesampainya di Mall itu, aku pun memarkirkan mobilku di tempat biasa, memang sedikit jauh dari lobby/lift. Namun karena aku memang mempunyai kebiasaan buruk dalam mengingat tempat parkir. Maka untuk beberapa tempat yang biasa aku kunjungi, aku akan memarkirkan mobilku di tempat yang sama setiap kalinya.
Quote:
"Kenapa sih Bram selalu markir disini?" kata Arin waktu itu.
"Oh ini emang uda tempat parkir VIP untuk mobilku. Udah disediakan khusus buat aku. Hehehe" jawabku sambil bercanda.
"Bilang aja takut lupa yeee... Dasar." kata Arin sambil mencubit tanganku.
Aku hanya tertawa kecil sambil mengingat masa-masa bersama Arin. Jujur aku sangat kangen dengan Arin, dan sebentar lagi (semoga) kami akan bertemu.
Terkadang kenangan-kenangan kecil seperti itu membuatku merasakan indahnya saat itu sewaktu bersama Arin. Segala hal-hal biasa bisa terasa luar biasa bila bersangkutan dengan Arin.
Setelah kukunci mobilku aku bergegas ke tempat tersebut. Namun ternyata tempat yang biasa kami janjian untuk bertemu sudah tidak ada..
Kebingungan, aku pun menanyakan ke customer service.
Quote:
"Bu, cafe Ohlala sudah tidak ada ya?" tanyaku panik.
"Ohlala sudah tidak beroperasi lagi pak sejak 1 tahun yang lalu. Sekarang sudah diganti dengan Beatrice Quarters." jawab customer service itu.
"Oh.." aku terdiam lemas. Berusaha tetap tenang.
"Apa aku salah tempat ya?" pikirku. Aku mengutuk diriku yang begitu percaya diri kalau tempat inilah yang dimaksud. Tapi dimana lagi? Pikirku
Sambil memegang kepala, aku coba berpikir jernih. "Apa yang Arin lakukan kalau jadi aku?" batinku. Kalau memang ini adalah tempat yang dia maksud, apa yang akan dia lakukan? Bukankah kita pernah begitu saling percaya satu sama lain?
Oke aku memutuskan untuk bertaruh dengan diriku. Kalau memang di dalam Beatice Quarters tidak ada Arin. Artinya memang aku harus menyerah pada takdir. Tapi kalau semisalnya Arin ada di dalam, maka tidak ada yang perlu diragukan lagi.
Aku pun memasuki cafe tersebut dengan perasaan campur aduk. Kusisir semua sudut cafe namun tidak ada tanda-tanda Arin.
Quote:
"Ada yang bisa kami bantu pak?" Kata waitress melihatku kebingungan.
"E... Saya sedang mencari seseorang, kemungkinan dia sudah menunggu dari jam 6 atau 7.. Apa ada?" jawabku sambil menoleh ke pelayan tersebut.
"Dari jam 6 hanya ada 2 customer pak. Yang satu baru saja keluar dan yang satu lagi kalau tidak salah tadi ke toilet."
"Cewe apa Cowok?"
"Cowok pak.." jawab pelayan tersebut dengan singkat.
"Oh.." jawabku dengan lemas "Makasih ya m..."
Mendadak aku melihat pantulan wanita di kaca. Di belakang tiang... ada bayangan seseorang.. Arin??
Ya itu Arin! Cukup siluetnya saja aku sudah bisa dengan yakin kalau itu Arin.
Entah aku harus senang atau sedih.
Itu Arin!
Dengan langkah pelan aku menghampiri dia yang berada di meja balik tiang.
Semakin jelas kulihat sosoknya,
dia tetap cantik, rambutnya yang hitam berponi sekarang sudah berwarna dark-brown sedikit bergelombang. Berkacamata. Make up tipis. Masih belum berubah seperti Arin yang kukenal 11 tahun lalu. Dia sedang membaca buku..
.
Quote:
" E..hmm..Rin.. " kataku pelan
Dengan pelan dia menoleh, dan mata kami bertemu.
Lama kami bertatapan seperti masing-masing tidak percaya akan apa yang dilihatnya..
Quote:
" Hi Bram.. " katanya lirih sambil tersenyum tipis.. " Aku yakin kamu pasti datang.."
" Ya.. Terima kasih sudah mau menunggu aku Rin.. " kataku masih sambil berdiri..
" Eh.. Ayo duduk.." katanya sambil menarik bangku untuk tempat duduk ku
" Makasih.. "
" Maaf aku telat. Tadi ada urusan kantor yang harus kuselesaikan."
" Gpp. Meskipun aneh buatku seorang Bram akhirnya bisa telat juga..." Arin tertawa kecil.
Aku hanya tersenyum dan berusaha tenang. Rasanya detak jantungku ini terdengar sampai ke kepalaku. Semua hal yang sudah kusiapkan seolah-olah hilang dalam sekejap. Arin masih terus menatapku seakan tak ingin melepaskan ku.
Quote:
" Apa kabar? " kata Arin
" Aku baik.. " aku sengaja tidak menanyakan balik keadaan dia. Karena aku tidak mau dia memiliki kesan bahwa aku peduli dengan keadaan dia sekarang..
" Kamu masih belum berubah ya.." katanya sambil menatap lekat mataku
" Masih seperti Bram yang kukenal. Bram yang terakhir Arin lihat 11 tahun yang lalu.. "
" Baju tshirt hitam polos. Celana jeans. Sneakers.." lanjut dia sambil ketawa kecil
" Hanya saja sekarang lebih rapih, lebih dewasa.." kata dia dengan suara yang semakin berat.. Dan suara itu semakin bergetar..
" Ya iya dong.. Kan aku sekarang sudah umur 31.. Hehehe" kataku mulai mencairkan suasana sambil sibuk mencari tisu.
" Rin. Jangan nangis ya. Please.. " kataku sambil menyodorkan tisu ke tangannya.
" Thank you.." Arin pun mengambil tisu dari tanganku dan otomatis tangan kami bersentuhan. Seperti ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.. Arin, wanita yang sangat kucintai dulu sekarang ada di depanku 11 tahun kemudian. Besar keinginanku untuk lebih menggenggam tangannya dan memulai semua dari awal.. Tapi maaf, logikaku masih menang.
" Rin,
be strong okay. Aku minta kita ngehargain pertemuan kita ini.."
" Kamu apa kabarnya?" sejujurnya aku tidak perlu menanyakan hal ini kepada dia. Arin sekarang sudah menjadi Public Figure, sebuah cita-cita yang dari dulu ia impikan. Aku tahu semua mengenai Arin, apa yang tidak bisa kita akses di era internet seperti sekarang ini?
" Aku pun baik, Bram.."
" Nah sekarang kalau boleh aku tahu.. Kenapa kita harus bertemu hari ini?"
" ... Sejujurnya aku rindu sama kamu, Bram.. "
Quote:
" Rin, kamu kan sudah menikah? Kamu sudah punya anak loh.. Sorry aku harus bilang ini.. Jujur memang diam-diam aku terus memantau perkembanganmu di internet.. Karena kamu masa lalu ku Rin. Masa laluku yang paling indah dan juga paling perih. Masa laluku yang paling berperan membentuk aku menjadi seperti sekarang ini.. Kalau memang mau ngomong aku juga kangen sama kamu. Ga pernah sedikitpun aku lupakan kamu dalam pikiranku. Akupun sudah menikah Rin.. " kataku
" Ya, Arin tahu.. Istri kamu cantik sekali ya hehehe.. Kamu berhasil melupakan Arin lebih dulu, cepat sekali. Tidak sampai dua tahun dari kita berpisah ternyata kamu sudah menikah Bram.. "
" Ya.. Kamu pun ga tau betapa hancurnya aku waktu itu dan beratnya untuk move on.." Kataku sedikit berbisik
" Ya.. Aku sangat depresi pada waktu itu Bram. Aku juga membencimu sesaat. Tapi kupikir apalah hak Arin untuk membenci kamu. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa.."
Quote:
" Arin tahu kamu nikah dengan siapa, Bram kerja dimana, tinggal dimana.. Bahkan Arin tahu kamu member fitness dimana .. Arin akui kalau masih terobsesi sama kamu.. Arin tahu semuanya tentang kamu.."
" Kok kamu bisa tahu?" kataku heran
" Tidak penting." Arin meminum tehnya yang sudah terlihat dingin
" Aku mau bertemu denganmu disini, hari ini karena aku mau kamu tahu kalau Arin masih cinta dengan kamu sampai sekarang. Ya mungkin cintanya sudah berbeda.. Kita sekarang sudah dewasa dan bisa berpikir lebih jernih.."
" Arin tahu kalau masing-masing dari kita sudah ada keluarga masing-masing dan kita juga sudah cukup bahagia dengan kehidupan kita sekarang.. Tapi Bram, tetap ada yang hilang ya rasanya.."
" Rasa nyaman yang dulu kamu berikan ke Arin. Itu yang hilang.."
" Arin disini tidak mau ajak kamu untuk berselingkuh atau apapun. Arin tahu kamu bukan orang yang bisa berkhianat. Arin sangat mengenalmu. Arin hanya ingin berbicara yang tadi.. Sudah kupendam 11 tahun.. Lega juga akhirnya" Arin tersenyum kecil
Aku hanya terdiam dan aku benar-benar melihat Arin sebagai wanita yang benar-benar berbeda. Lebih dewasa dan mandiri. Arinku yang dulu kucintai, manja, mungil, cantik, rambut hitam, Arin yang suka memelukku dengan erat dan aku yang selalu menggandengnya seakan tidak ingin Arin kenapa-kenapa.. Sekarang dia sudah menjadi wanita seutuhnya.
" Aku senang kamu sudah menjadi wanita dewasa, Rin.. " Aku tersenyum
Arin hanya menatapku dan tersenyum.. Sambil mengigit bibir bawahnya menahan tangis
" I love you, Bram.. Still always.. "
" Yes me too.." Kataku pelan
Quote:
"Kamu tahu, Inilah alasan kenapa sampai sekarang aku tidak pernah mencopot ini.." Arin memperlihatkan sebuah cincin perak di jari tengahnya yang sudah kusam bersandingan dengan cincin di jari manisnya..
" Itu... " kataku tidak bisa berkata-kata
" Ya.. Ini cincin yang kamu berikan, di Bandung. Kamu melamar Arin di waktu itu."
" One of my happiest moment in life.. Tak pernah aku lepaskan sedetikpun selama 11 tahun. Tidak juga saat aku menikah.." Arin menambahkan sambil tersenyum kecil, dan mengelap air matanya.
" Ya.. Dan ini juga.. " Arin mengeluarkan sebuah plastik vacumm dengan sebuah benda di dalamnya Gelang pinus..
" Ini juga sengaja Arin vacumm supaya tidak rusak.. " kata Arin sambil menyerahkan gelang tersebut kepadaku
Aku hanya memandangi gelang tersebut. Masih jelas diingatanku saat aku melamar Arin lalu merangkai dan menyematkan gelang pinus tersebut di pergelangan tangannya.
Quote:
" Aku ga nyangka kalau kamu masih simpan barang-barang ini.. "
" Gak akan aku buang Bram.. Ini barang yang sangat berharga.. " Arin mengambil kembali gelang tersebut dan memandanginya
"Aku sebenarnya ga nyangka kalau kita bisa ketemu lagi. Banyak yang mau aku obrolin sama kamu sebenarnya.."
"Bicarakanlah apa yang mesti dibicarain Rin.. Aku siap menjadi pendengarmu seperti dulu.."
Di restoran itu kami mengobrol panjang. Perasaan kami tidak berubah, aku tetap menyukai Arin. Tapi kenapa sepertinya ada yang berbeda? Apa ini lebih ke perasaan rindu seorang lelaki kepada sahabat perempuannya. Tidak ada rasa memiliki yang lebih seperti dulu. Yang ada lebih ke perasaan ingin melindungi.. Kami mengobrol mengenai keluarga kami masing-masing. Arin juga memberi lihat foto anaknya yang belum berusia 1 tahun.. Lucu sekali.
Sedikit aneh ya melihat orang yang pernah mengisi kehidupanmu dan kamu pernah merajut kenangan bersamanya, namun kini kamu berbicara kepadanya mengenai keluarga yang telah dibinanya.. Bukan bersama kamu.
Disitu aku berpikir, apa memang ini jalan Tuhan? Supaya kami berpisah waktu itu.. Dan kami bisa bertemu lagi sebagai sahabat?
Disitu aku tersadar betapa hebatnya rencana Tuhan. Mungkin apabila kita mengambil keputusan yang salah.. Kita tidak akan sebahagia ini, walaupun kini bukan dengan kisah Arin dan Bram.
Quote:
"Kamu masih ngeband?" kata Arin
" Masih cuma sekarang lebih rutin untuk main musik di gereja.. Pelayanan."
" Wah, trus masih suka denger lagu metal?"
" Masih kadang-kadang. Tapi sekarang lebih suka lagu Kpop. Ketularan istriku.."
" Masaaa?? Ga cocok banget deh kamu." Kata Arin sambil tertawa lucu
" Iya ini lihat aja spotify ku kalau ga percaya.." kataku sambil menyerahkan handphoneku ke Arin
" Ya ampun.. Liat ini, handphone kamu kacanya pecah-pecah begini.. Kamu tuh, bener-bener masih kayak dulu ya?" kata Arin sambil meraba layar handphoneku yang pecah-pecah
" Nih lihat spotifyku.. " mengarahkan Arin untuk melihat playlist spotify ku. Di Recent Played
Arin hanya terdiam.. melihat handphone ku
Quote:
" Bram di spotify kamu .. ada Arin .. kamu dengerin lagu Arin? " kata Arin sambil menatapku..
" Yes, lagu kamu. Kan kamu yang kemarin kirim link spotify untuk dengerin?”
“Iya, Arin ga nyangka kamu dengerin ini..”
“Lagu kamu sedih, Rin. Waktu aku denger itu rasanya kayak di tampar bolak balik”
“Ya. Memang itu lagu ditulis sama Mas (censored-composer ternama) berdasarkan kisah kita.. Arin yang minta..”
“Ya, ga heran dong…” Kataku sambil tertawa kecil
“Itu waktu ngetake lagu itu sampai berkali-kali karena Arin ga tahan untuk ga nangis.. Itu lagu tentang kamu..” Kata Arin lirih.
“Thank you, Rin. Lagu kamu bagus.. Aku senang dan bangga pernah jadi bagian dari hidup kamu..”
Tak terasa waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah 10 malam. Saatnya kami berpisah..
“Btw, kenapa sih kamu pilih tempat duduk di belakang tiang seperti ini Rin? Ampir aja tadi kukira kamu ga ada…”
Quote:
“Lambe Turah, Bram… ada dimana-mana. Untung Arin mah ga ngetop-ngetop amatlah..” Katanya sambil tertawa kecil
“Oh ya, Rin. Aku boleh minta tolong sama kamu? Kalau seandainya kita bertemu dimanapun, kapanpun.. Apa bisa kita pura-pura tidak kenal? Seakan-akan tidak ada apapun diantara kita?”
“Aku mengerti maksud kamu Bram… Jadi inikah pertemuan terakhir kita?” Kata Arin sambil menatap mataku..
“Kurasa begitu Rin.. ini untuk kebaikan kita berdua dan keluarga kita juga..”
“Hm…” Arin hanya menunduk dan setelah itu dia tiba-tiba memegang pipiku dengan lembut.
Quote:
“Bram.. Bram.. Andai kamu tau betapa kangennya aku sama kamu, andai kamu tau betapa aku sayang sama kamu.. 11 tahun kita berpisah, kita tidak bisa bertemu walaupun aku tahu kamu ada dimana.”
“Lucu ya.. 11 tahun kita tidak bertemu sejak malam itu. Sekarang kita bisa bertemu lagi tapi ternyata ini adalah pertemuan terakhir kita.. kadang memang kejam ya keadaan itu?” Arin mulai menitikkan air mata
Akupun meraih tangan Arin dan menciumnya. “Maafkan aku Rin, bukan ini mauku. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Be strong Arin.. kamu mesti ingat anak kamu.. dia membutuhkan kamu lebih dari aku..”
“Iya.. “ Arin hanya menunduk dan mengelap air matanya
“
So.. I guess this is the real ending? Not as bad like the last night we’ve got separated right?” Kata Arin sambil menghela nafas dan tersenyum.
“Yes. It is..” Aku juga tersenyum sambil mengelus kepalanya.
Setelah berpamitan, akupun ke WC untuk mencuci muka. Aku memerhatikan wajahku yang sudah mulai ada sedikit kerutan di mata, pertanda umur sudah memasuki kepala 3.. Aku masih tidak percaya akan apa yang baru saja terjadi. Aku bertemu Arin, dan kali ini it was a good ending. Aku tersenyum sambil menatap mataku dan berbicara kepada diriku sendiri.. “Bram, betapa beruntungya dirimu..”
Akupun bergegas ke parkiran mobil, parkiran mobil sudah sepi karena ini weekdays dan sudah mendekati jam pulang Mall. Sambil berjalan menuju mobilku, tiba-tiba ada sebuah sedan merek jepang keluaran terbaru berhenti disebelahku. Arin
Quote:
“Bram..” panggilnya
“Arin, kamu belum pulang?”
“Ngak aku tungguin kamu..” kata Arin sambil tertawa kecil.
“Kamu tahu dari mana kalau aku parkir disini? Dan apa kamu tahu mobilku yang mana?”
“Bram, sepanjang hubungan kita. Kamu selalu parkir disini kan? Aku tahu kamu bukan orang yang gampang berubah... jadi aku sengaja parkir disini, tempat dimana kamu selalu memarkirkan mobilmu di tempat yang sama..”
“
Aku hanya menggelengkan kepalaku sambil tertawa..
“Arin, Arin… kamu ga melupakan tentangku sedikitpun ya?” kataku
“Tidak sedikitpun Bram, kan sudah kubilang tadi.. hehehe”
“Bye, Rin..”
“Bram, kita ga bakalan ketemu lagi ya?” Kata Arin tiba-tiba
“Seperti yang kubilang Rin. Tidak. Karena aku tidak yakin bisa jaga perasaan ini ke kamu. Aku takut jatuh cinta lagi ke kamu. Tapi Rin, seperti kataku terakhir.. semua tergantung takdir.. Kita lihat saja bagaimana takdir, waktu dan nasib mempermainkan kita sampai seperti ini.” Kataku sambil tersenyum
“Aku ngerti.. Thank you Bram.”
Akupun akhirnya masuk ke mobilku sambil memandangi mobil Arin yang menjauh.. Sambil mendengarkan lagu yang selalu kuputar shuffle, aku masih termenung.
“Well.. life must go on right?”kataku kepada diriku sendiri sambil memasukkan persneling ke posisi D dan mulai menjalankan mobilku. Tidak lupa aku WA istriku mengabarkan aku akan segera pulang.
“Bye, Arin. Thanks for everything.. “ Kataku sambil berbisik kepada diriku sendiri
Sepasang insan manusia, yang pernah begitu mencintai. Harus dipisahkan oleh keadaan, waktu, takdir dan nasib. Apalah kita? Seperti yang kupernah katakan kalau kita hanya bidak-bidak catur yang dimainkan oleh maha kuasa. Untuk apa Tuhan memainkan takdir kita? Tak lain semata-mata untuk mencapai kemenangan yang sudah diatur sedemikian rupa. Aku beruntung pernah mengenal Arin. Aku beruntung memiliki istri seperi Rena. Aku beruntung memiliki kehidupan yang sempurna.
Sekarang aku mengerti bahwa rencana-Mu lah yang terbaik.
TAMAT