- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 28-05-2022 17:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
159.9K
Kutip
916
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#308
Chapter 2.8
Spoiler for penyelamatan 2:
Bunyi patahan batang pohon besar bergema seantero hutan angkora membuat gagak-gagak hitam berterbangan tunggang langgang menjauh dari tempat mereka bernaung.
Surai waktu seakan melambat berdentang tatkala Naura melihat dengan kedua matanya sang Gondel betina yang sedang mengamuk dengan rambut panjangnya yang liar mencari mangsa, detak jantungnya bergemuruh ditemani tetesan keringat dingin dari kening menuju dagu hingga akhirnya terjatuh diatas tanah, rasa gelisah dan takut menjadi satu dan hanya itu yang ada dipikiran gadis berhijab itu, sekilas kenangan dan rasa khawatir tentang bunda dan kakek dirumah saat ini terlintas dibenaknya yang terdalam membuat hatinya semakin kalut dan kelam. Disaat Naura menunduk dan meruntuk sebuah suara kecil seakan memanggilnya lirih.
"Ra … Ra … Naura," sebuah suara terdengar pelan namun jelas di dalam fikiran Naura.
Tiba-tiba Naura tercelkat, "Surya!!" gumamnya sendiri. Seketika sebuah memori terlintas bagai proyeksi film di dalam ingatannya.
Beberapa bulan yang lalu..
-Cip-
-Cip-
-Cip-
Di taman kecil kicau burung terdengar dari sela-sela ranting pohon bertengger saling bercengkrama, sementara dibawahnya sesosok gadis tengah duduk disebuah kursi kayu panjang bersama seorang pemuda disebelahnya, mereka berdua sedang asyik memandang sinar matahari yang tanpa malu melewati sela-sela dedaunan diatas kepala mereka.
Sang gadis yang tidak lain adalah Naura menunduk sesaat kemudian secara perlahan menengok menatap wajah Surya dengan tatapan teduh. Merasa dilihati Surya melirik, risih dipandang seperti itu ia membalas tatapan Naura dengan rona wajah keheranan sambil mengernyitkan dahi, "ada apa?" tanyanya langsung dengan nada yang ketus.
Naura tersenyum tulus sambil berseru "Surya aku boleh tanya sesuatu?" tanya Naura kala itu.
"Sesuatu apa?" tanya balik Surya masih dengan nada dingin dan penuh curiga.
"Kenapa energi sukma kamu kuat banget dan berbentuk cahaya putih? Dan kenapa energi sukma aku lemah dan bentuknya api merah muda?" tanya Naura.
"Oh … itu karena aura setiap manusia berbeda Ra," jawab Surya sambil menaikkan kacamata bak profesor.
"Huh?! Aura?" tanya kembali Naura sambil mengernyitkan dahi.
"Hmmm … ambil contoh kamu deh Ra, energi kamu api dan warna merah muda itu terjadi karena dasar aura tubuh kamu itu ya merah muda, kamu cenderung penuh dengan kasih sayang, baik hati, dan senang untuk menolong sesama. Terlebih … kamu lagi kasmaran sama seseorang," seru Surya sambil mendelikkan manik matanya sementara Naura hanya bisa menahan malu namun terlihat jelas dari semburat merah yang menghiasi pipinya.
"Kalau soal kekuatan, aku sudah melatih energi sukma ini sedari kecil beda sama kamu yang baru mengenal semua ini beberapa minggu belakangan," jelas Surya.
"Udah ngertikan? Kalau sudah aku balik ke kelas duluan ya?" tanya Surya sembari bangun dari kursi panjang.
"Iya … eh tunggu!!" seru Naura kembali membuat Surya menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Ada apa lagi Ra?" jengkel Surya malas menanggapi pertanyaan gadis tersebut.
"Pertanyaan aku satu lagi belum dijawab," jawab Naura sambil cemberut.
"Yang mana?"
"Kenapa energi sukma kamu cahaya putih?" tanya Naura kembali.
Surya tersenyum miring sembari menatap Naura dalam-dalam, "oh … itu karena aku kasmarannya bukan sama manusia," jelas Surya.
"Huh?! Terus sama siapa?" tanya Naura.
"Menurut kamu siapa?" tanya balik Surya kala itu.
Naura tersadar setelah mendapat proyeksi memori tersebut, perlahan Naura membuka kedua matanya dan pelan bibirnya bergumam, "aku berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk," detak jantung Naura kembali normal dan fikirannya kembali jernih sekarang. Ia mengambil batu seukuran bola tenis dari tanah sambil menatap Gondel putih kemudian ia berdiri dan keluar dari semak-semak, ia melempar lurus batu itu hingga tepat mengenai kepala Gondel putih tersebut.
Sejurus kemudian energi sukma api merah muda berpendar liar dari kedua tangannya, "Hei jin jelek!! Aku tidak takut denganmu!!" seru lantang Naura menatap tajam Gondel betina tersebut.
Merasa ditantang Gondel berganti arah menuju Naura, Gondel menengadahkan kepalanya dan sejurus kemudian dalam satu sapuan kepala ia melesatkan sulur-sulur rambut hitam panjang miliknya untuk menyerang gadis tersebut, diujung sana dengan kuda-kuda yang mantap Naura bersiap menghadapi serangan Gondel, namun tiba-tiba.
-SRAAK-
Bagai hembusan angin Devan datang dengan tangan kanan berpendarkan kilatan petir, tangan kanannya menggenggam rambut hitam panjang Gondel dan langsung mengalirkan kejutan listrik pada Gondel diujung sana.
-JDAAAR-
Gondel terkejang-kejang mendapat sengatan listrik yang dialirkan Devan, melihat sebuah peluang Saka keluar dari semak-semak dengan manik mata kanan yang bercahaya merah darah, tangan kanannya berpendar jilatan api merah kelam dan seekor jin berjenis Banaspati melayang setengah badan dibelakang punggungnya kala itu.
"BHANAS!! SEKARANG!! HIAAAAAAT...!!" Teriak Saka sambil membuka telapak tangan kanannya kearah Gondel. Seketika seranganl jilatan api raksasa menyembur keluar membakar habis segala sesuatu yang dilewatinya termasuk sang Gondel putih yang tengah terhuyung-huyung, sang Gondel terbakar api dari Banaspati dan terlihat menggelepar kesakitan kemudian jatuh ketanah.
Devan memotong sulur rambut digenggaman tangannya dan membuangnya jauh-jauh, "kamu tidak kenapa-napa kan Naura?" tanya Devan tanpa menatap Naura.
"Iya aku baik-baik …"
-Bruk-
Suara Devan terjatuh sambil bersimpuh menggenggam tangan kanannya.
"Devan!! kamu kenapa!?" panik Naura yang langsung menuju kehadapan pemuda itu. Terlihat lengan tangan kanan Devan membiru dan jelas terlihat bekas jeratan di lengannya akibat rambut Gondel sebelumnya.
"Ini kenapa jadi seperti ini?" tanya Naura khawatir dengan keadaan pemuda dihadapannya itu.
"Oh ini hal sepele … Aww!! Jangan di pegang dulu!!" cebik manja Devan kala itu.
"Ma-maaf! Tadi katanya sepele," kilah Naura.
"Rambut jin itu menjerat terlalu kuat sampai begini deh, hehe," seru Devan berusaha masih bercanda walau didalam hati menahan sakit.
"Aku coba sembuhkan ya?" seru Naura, ia segera memejamkan kedua matanya dan mulai berkonsentrasi. Seketika api hijau berpendar dari telapak tangan dan ia segera mengusap-usapkan telapak tangannya dibagian lengan Devan.
"Wow," kagum Devan saat itu melihat aksi Naura, perlahan namun pasti warna biru dilengannya mulai menghilang bersamaan rasa sakit yang mendera dirinya, Devan melirik menatap wajah Naura yang sedang berkonsentrasi menyembuhkan lukanya dan seutas semburat merah padam menghiasi pipi lelaki itu.
Sementara diseberang sana Saka berdiri dengan terengah-engah sambil memandang kearah Gondel yang sudah tidak nampak bergerak, "Huft huft huft … argh sial … sudah sampai batasnya," runtuk Saka pada diri sendiri, sambil menutupi mata kanannya ia bergumam merapal mantra dan seketika Banaspati dibelakang punggungnya mulai membias dan merasuk kembali kedalam tubuh pemuda itu. Saka berjalan dengan terlunta-lunta menuju Naura dan Devan kemudian menjatuhkan tubuhnya disebelah Devan.
"Huft gila itu jin," serunya pada Devan.
Saka melirik kearah Naura yang tengah merawat Devan, "hei Naura," panggilnya.
"I-iya?"
"Dimana Luna?" tanya Saka.
"Luna mengejar Gondel satunya kearah sana," tunjuk Naura.
"Warnanya?" tanyanya kembali.
"Me-merah," jawab Naura.
"Fiuh … kalau merah dia pasti bisa mengatasinya," jelas Saka.
"Engh terima kasih ya Devan … Saka, kalau tidak ada kalian mungkin aku sudah jadi makanan mahluk itu," seru Naura.
Devan tersenyum, "untuk wanita secantik kamu apa sih yang enggak?" gombal Devan.
"Cih," decih Saka melihat kelakuan menjijikan temannya itu.
"Saka ada yang terluka?"
"Tidak … simpan saja tenagamu, kita harus pergi dari sini sebelum jin liar lainnya datang dan mengeroyok kita," jelas Saka yang bangun dan mulai membersihkan pakaiannya.
Pada akhirnya Naura menyelesaikan pengobatan Devan dan Devan berdiri dibantu oleh Saka, disaat mereka bertiga berdiri dan bersiap untuk pergi sebuah aura hitam seakan menusuk indra keenam mereka bersamaan, sontak mereka langsung menengok kearah asal energi itu.
"Ti-tidak mungkin," seru Saka tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Sementara Naura menutup mulutnya dengan telapak tangan ikut tidak percaya dengan apa yang tengah berdiri diujung sana. Devan segera maju dan berdiri membelakangi Naura dan Saka.
"Kalian pergi biar aku yang menghadapi mahluk ini," serunya lantang.
"Sendirian?! Udah gila lu Dev!!" seru Saka.
"Elu pergi jaga Naura, itu salah satu tugas kita," jelas Devan dengan telapak tangan kiri yang sudah mengeluarkan percikan kilat biru muda.
Sedangkan didepan mereka tengah berdiri dengan tingginya sang Gondel, kulit putihnya telah melepuh dan terkelupas berganti menjadi daging bekas terbakar berwarna kecoklatan bercampur darah hitam yang mengucur dengan derasnya, rambut panjang miliknya sudah terbakar habis tak tersisa menyisakan kulit kepala yang hangus, dengan rona penuh kemarahan yang terpancar dari wajahnya ia berdiri sembari berteriak lantang.
"AAAAAARRRRRRGGGGG...!! MATIIII...!!"
Teriakkan melengking Cumiakkan telinga membuat ketiga manusia itu sontak menutup indera pendengaran mereka, saat itu juga Gondel berlari kencang dengan langkah panjang sambil menggoyang-goyangkan tangannya sembarang, tatapan matanya nanar penuh kemarahan dan aura hitam terus keluar dari tubuhnya.
"Cih … sial," decih Saka, ia menggenggam tangan Naura dan sejurus kemudian berlari menjauh sementara Naura berusaha menarik tangan Devan namun Devan menolak ajakan Naura mentah-mentah sambil tersenyum tipis.
"Aku akan baik-baik saja, pergilah," serunya pada Naura.
Gondel semakin mendekat siap menerjang Devan sedangkan Devan memasang kuda-kuda bersiap menghadapi raksasa itu, tiba-tiba dari arah belakang mereka meluncur sebuah botol kearah kepala Gondel.
-DHUAR-
Bom air suci meledak dan seketika membuat Gondel putih terkejut dan terlontar kebelakang menghindari percikan air suci.
"Hei … maaf menunggu lama," seru suara yang membuat lega perasaan Naura.
Dari belakang semak-semak Luna akhirnya datang namun tidak sendirian, seekor jin kera besar berbulu merah berdiri disampingnya bersamaan puluhan prajurit kera diatas pepohonan.
Bersambung..
Surai waktu seakan melambat berdentang tatkala Naura melihat dengan kedua matanya sang Gondel betina yang sedang mengamuk dengan rambut panjangnya yang liar mencari mangsa, detak jantungnya bergemuruh ditemani tetesan keringat dingin dari kening menuju dagu hingga akhirnya terjatuh diatas tanah, rasa gelisah dan takut menjadi satu dan hanya itu yang ada dipikiran gadis berhijab itu, sekilas kenangan dan rasa khawatir tentang bunda dan kakek dirumah saat ini terlintas dibenaknya yang terdalam membuat hatinya semakin kalut dan kelam. Disaat Naura menunduk dan meruntuk sebuah suara kecil seakan memanggilnya lirih.
"Ra … Ra … Naura," sebuah suara terdengar pelan namun jelas di dalam fikiran Naura.
Tiba-tiba Naura tercelkat, "Surya!!" gumamnya sendiri. Seketika sebuah memori terlintas bagai proyeksi film di dalam ingatannya.
Beberapa bulan yang lalu..
-Cip-
-Cip-
-Cip-
Di taman kecil kicau burung terdengar dari sela-sela ranting pohon bertengger saling bercengkrama, sementara dibawahnya sesosok gadis tengah duduk disebuah kursi kayu panjang bersama seorang pemuda disebelahnya, mereka berdua sedang asyik memandang sinar matahari yang tanpa malu melewati sela-sela dedaunan diatas kepala mereka.
Sang gadis yang tidak lain adalah Naura menunduk sesaat kemudian secara perlahan menengok menatap wajah Surya dengan tatapan teduh. Merasa dilihati Surya melirik, risih dipandang seperti itu ia membalas tatapan Naura dengan rona wajah keheranan sambil mengernyitkan dahi, "ada apa?" tanyanya langsung dengan nada yang ketus.
Naura tersenyum tulus sambil berseru "Surya aku boleh tanya sesuatu?" tanya Naura kala itu.
"Sesuatu apa?" tanya balik Surya masih dengan nada dingin dan penuh curiga.
"Kenapa energi sukma kamu kuat banget dan berbentuk cahaya putih? Dan kenapa energi sukma aku lemah dan bentuknya api merah muda?" tanya Naura.
"Oh … itu karena aura setiap manusia berbeda Ra," jawab Surya sambil menaikkan kacamata bak profesor.
"Huh?! Aura?" tanya kembali Naura sambil mengernyitkan dahi.
"Hmmm … ambil contoh kamu deh Ra, energi kamu api dan warna merah muda itu terjadi karena dasar aura tubuh kamu itu ya merah muda, kamu cenderung penuh dengan kasih sayang, baik hati, dan senang untuk menolong sesama. Terlebih … kamu lagi kasmaran sama seseorang," seru Surya sambil mendelikkan manik matanya sementara Naura hanya bisa menahan malu namun terlihat jelas dari semburat merah yang menghiasi pipinya.
"Kalau soal kekuatan, aku sudah melatih energi sukma ini sedari kecil beda sama kamu yang baru mengenal semua ini beberapa minggu belakangan," jelas Surya.
"Udah ngertikan? Kalau sudah aku balik ke kelas duluan ya?" tanya Surya sembari bangun dari kursi panjang.
"Iya … eh tunggu!!" seru Naura kembali membuat Surya menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Ada apa lagi Ra?" jengkel Surya malas menanggapi pertanyaan gadis tersebut.
"Pertanyaan aku satu lagi belum dijawab," jawab Naura sambil cemberut.
"Yang mana?"
"Kenapa energi sukma kamu cahaya putih?" tanya Naura kembali.
Surya tersenyum miring sembari menatap Naura dalam-dalam, "oh … itu karena aku kasmarannya bukan sama manusia," jelas Surya.
"Huh?! Terus sama siapa?" tanya Naura.
"Menurut kamu siapa?" tanya balik Surya kala itu.
Naura tersadar setelah mendapat proyeksi memori tersebut, perlahan Naura membuka kedua matanya dan pelan bibirnya bergumam, "aku berlindung kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk," detak jantung Naura kembali normal dan fikirannya kembali jernih sekarang. Ia mengambil batu seukuran bola tenis dari tanah sambil menatap Gondel putih kemudian ia berdiri dan keluar dari semak-semak, ia melempar lurus batu itu hingga tepat mengenai kepala Gondel putih tersebut.
Sejurus kemudian energi sukma api merah muda berpendar liar dari kedua tangannya, "Hei jin jelek!! Aku tidak takut denganmu!!" seru lantang Naura menatap tajam Gondel betina tersebut.
Merasa ditantang Gondel berganti arah menuju Naura, Gondel menengadahkan kepalanya dan sejurus kemudian dalam satu sapuan kepala ia melesatkan sulur-sulur rambut hitam panjang miliknya untuk menyerang gadis tersebut, diujung sana dengan kuda-kuda yang mantap Naura bersiap menghadapi serangan Gondel, namun tiba-tiba.
-SRAAK-
Bagai hembusan angin Devan datang dengan tangan kanan berpendarkan kilatan petir, tangan kanannya menggenggam rambut hitam panjang Gondel dan langsung mengalirkan kejutan listrik pada Gondel diujung sana.
-JDAAAR-
Gondel terkejang-kejang mendapat sengatan listrik yang dialirkan Devan, melihat sebuah peluang Saka keluar dari semak-semak dengan manik mata kanan yang bercahaya merah darah, tangan kanannya berpendar jilatan api merah kelam dan seekor jin berjenis Banaspati melayang setengah badan dibelakang punggungnya kala itu.
"BHANAS!! SEKARANG!! HIAAAAAAT...!!" Teriak Saka sambil membuka telapak tangan kanannya kearah Gondel. Seketika seranganl jilatan api raksasa menyembur keluar membakar habis segala sesuatu yang dilewatinya termasuk sang Gondel putih yang tengah terhuyung-huyung, sang Gondel terbakar api dari Banaspati dan terlihat menggelepar kesakitan kemudian jatuh ketanah.
Devan memotong sulur rambut digenggaman tangannya dan membuangnya jauh-jauh, "kamu tidak kenapa-napa kan Naura?" tanya Devan tanpa menatap Naura.
"Iya aku baik-baik …"
-Bruk-
Suara Devan terjatuh sambil bersimpuh menggenggam tangan kanannya.
"Devan!! kamu kenapa!?" panik Naura yang langsung menuju kehadapan pemuda itu. Terlihat lengan tangan kanan Devan membiru dan jelas terlihat bekas jeratan di lengannya akibat rambut Gondel sebelumnya.
"Ini kenapa jadi seperti ini?" tanya Naura khawatir dengan keadaan pemuda dihadapannya itu.
"Oh ini hal sepele … Aww!! Jangan di pegang dulu!!" cebik manja Devan kala itu.
"Ma-maaf! Tadi katanya sepele," kilah Naura.
"Rambut jin itu menjerat terlalu kuat sampai begini deh, hehe," seru Devan berusaha masih bercanda walau didalam hati menahan sakit.
"Aku coba sembuhkan ya?" seru Naura, ia segera memejamkan kedua matanya dan mulai berkonsentrasi. Seketika api hijau berpendar dari telapak tangan dan ia segera mengusap-usapkan telapak tangannya dibagian lengan Devan.
"Wow," kagum Devan saat itu melihat aksi Naura, perlahan namun pasti warna biru dilengannya mulai menghilang bersamaan rasa sakit yang mendera dirinya, Devan melirik menatap wajah Naura yang sedang berkonsentrasi menyembuhkan lukanya dan seutas semburat merah padam menghiasi pipi lelaki itu.
Sementara diseberang sana Saka berdiri dengan terengah-engah sambil memandang kearah Gondel yang sudah tidak nampak bergerak, "Huft huft huft … argh sial … sudah sampai batasnya," runtuk Saka pada diri sendiri, sambil menutupi mata kanannya ia bergumam merapal mantra dan seketika Banaspati dibelakang punggungnya mulai membias dan merasuk kembali kedalam tubuh pemuda itu. Saka berjalan dengan terlunta-lunta menuju Naura dan Devan kemudian menjatuhkan tubuhnya disebelah Devan.
"Huft gila itu jin," serunya pada Devan.
Saka melirik kearah Naura yang tengah merawat Devan, "hei Naura," panggilnya.
"I-iya?"
"Dimana Luna?" tanya Saka.
"Luna mengejar Gondel satunya kearah sana," tunjuk Naura.
"Warnanya?" tanyanya kembali.
"Me-merah," jawab Naura.
"Fiuh … kalau merah dia pasti bisa mengatasinya," jelas Saka.
"Engh terima kasih ya Devan … Saka, kalau tidak ada kalian mungkin aku sudah jadi makanan mahluk itu," seru Naura.
Devan tersenyum, "untuk wanita secantik kamu apa sih yang enggak?" gombal Devan.
"Cih," decih Saka melihat kelakuan menjijikan temannya itu.
"Saka ada yang terluka?"
"Tidak … simpan saja tenagamu, kita harus pergi dari sini sebelum jin liar lainnya datang dan mengeroyok kita," jelas Saka yang bangun dan mulai membersihkan pakaiannya.
Pada akhirnya Naura menyelesaikan pengobatan Devan dan Devan berdiri dibantu oleh Saka, disaat mereka bertiga berdiri dan bersiap untuk pergi sebuah aura hitam seakan menusuk indra keenam mereka bersamaan, sontak mereka langsung menengok kearah asal energi itu.
"Ti-tidak mungkin," seru Saka tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Sementara Naura menutup mulutnya dengan telapak tangan ikut tidak percaya dengan apa yang tengah berdiri diujung sana. Devan segera maju dan berdiri membelakangi Naura dan Saka.
"Kalian pergi biar aku yang menghadapi mahluk ini," serunya lantang.
"Sendirian?! Udah gila lu Dev!!" seru Saka.
"Elu pergi jaga Naura, itu salah satu tugas kita," jelas Devan dengan telapak tangan kiri yang sudah mengeluarkan percikan kilat biru muda.
Sedangkan didepan mereka tengah berdiri dengan tingginya sang Gondel, kulit putihnya telah melepuh dan terkelupas berganti menjadi daging bekas terbakar berwarna kecoklatan bercampur darah hitam yang mengucur dengan derasnya, rambut panjang miliknya sudah terbakar habis tak tersisa menyisakan kulit kepala yang hangus, dengan rona penuh kemarahan yang terpancar dari wajahnya ia berdiri sembari berteriak lantang.
"AAAAAARRRRRRGGGGG...!! MATIIII...!!"
Teriakkan melengking Cumiakkan telinga membuat ketiga manusia itu sontak menutup indera pendengaran mereka, saat itu juga Gondel berlari kencang dengan langkah panjang sambil menggoyang-goyangkan tangannya sembarang, tatapan matanya nanar penuh kemarahan dan aura hitam terus keluar dari tubuhnya.
"Cih … sial," decih Saka, ia menggenggam tangan Naura dan sejurus kemudian berlari menjauh sementara Naura berusaha menarik tangan Devan namun Devan menolak ajakan Naura mentah-mentah sambil tersenyum tipis.
"Aku akan baik-baik saja, pergilah," serunya pada Naura.
Gondel semakin mendekat siap menerjang Devan sedangkan Devan memasang kuda-kuda bersiap menghadapi raksasa itu, tiba-tiba dari arah belakang mereka meluncur sebuah botol kearah kepala Gondel.
-DHUAR-
Bom air suci meledak dan seketika membuat Gondel putih terkejut dan terlontar kebelakang menghindari percikan air suci.
"Hei … maaf menunggu lama," seru suara yang membuat lega perasaan Naura.
Dari belakang semak-semak Luna akhirnya datang namun tidak sendirian, seekor jin kera besar berbulu merah berdiri disampingnya bersamaan puluhan prajurit kera diatas pepohonan.
Bersambung..
Diubah oleh ayahnyabinbun 24-04-2019 06:10
simounlebon dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Kutip
Balas