blank.codeAvatar border
TS
blank.code
Natsu No Hanami [N2H] - Fiksi -
- PROLOG -

Jakarta, pertengahan july 2013...

Jakarta, pertengahan Juli 2013...

"Perjuangan gue masih panjang, namun gue yakin dengan gue memperoleh beasiswa ini adalah satu langkah untuk gue lebih dekat dalam menggapai segala mimpi-mimpi gue kelak." batin gue.

Gue melangkahkan kaki menuju ke dalam gerbang gedung kedutaan besar Jepang di Indonesia yang ada di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Begitu tiba di pintu masuk gedung, seluruh badan serta apa yang gue bawa di dalam ransel abu-abu muda gue di-check oleh seorang security berbadan tanggap dan tinggi. Cukup ketat, karena menyeluruh sampai melalui X-ray.

Keberadaan gue di sini saat ini adalah salah satu rangkaian proses pembuatan visa pelajar. Butuh penantian hampir dua bulan lamanya sampai gue ke tahap ini, karena saat itu gue menunggu Certificate of Eligibility (COE) Turun.

Maka, setelah dirasa semua berkas yang gue perlukan untuk membuat visa pelajar ini lengkap, gue berangkat dari Bandar Lampung subuh, dengan pesawat paling awal dan sampai Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta pukul enam pagi. Kemudian gue langsung bergegas naik angkutan umum tercepat yang bisa mengantar gue sampai ke gedung ini.

****

Gue melanjutkan langkah menuju satu ruangan yang diberitahu oleh staf loby saat gue bertanya mengenai maksud tujuan gue. Karena ini pertama kali bagi gue, dan begitu tiba di depan ruang yang dituju, gue ambil nomor antrian lalu mengambil sebuah form yang mesti gue isi kemudian memposisikan duduk di kursi tunggu yang berjejer di depan ruangan ini.

“Ah, shitt! Mana lagi balpen gue?” Omel gue dalam hati sambil berusaha mencari balpen di dalam ransel.

Sampai gue mengacak-acak bagian dalam ransel, namun gue tidak juga menemukannya.

Ah, Lupa gue masukin kayaknya semalem. Ck, Ah!. Rutuk gue sendiri.

Gue lihat jam dinding warna merah polos yang menggantung di atas dinding persis arah jam dua dari posisi duduk gue, menunjukan pukul delapan lewat dua puluh menit pagi.

Karena kelalaian gue yang lupa memasukan balpen, dan mesti mengisi kertas form ini, buat gue refleks menoleh ke arah kanan. Disana, kira-kira dua meter dari sisi kanan gue, tampak seorang perempuan berambut hitam tergerai pendek sebahu, dengan kemeja putih yang ia kenakan serta kaca mata bening berframles hitam yang menghiasi kedua bola matanya itu.

Wajahnya oval, kulitnya putih, hidung nya mancung. Yang gue lihat seperti seorang blasteran indo – jepang.

Perempuan itu tampak baru selesai menuliskan sesuatu diatas note semacam buku agenda yang covernya berwarna biru muda dengan motif bunga-bunga.

“Pinjem balpen ke dia nggak yak?” Gue tampak ragu. Lebih tepatnya malu.

Diruangan tunggu ini sebetulnya ada beberapa orang selain gue. Ada empat orang lelaki dan dua perempuan selain perempuan itu. jadi sekitar delapan orang jika ditambah gue dan perempuan itu.

Namun semuanya gue lihat tampak sibuk mengisi form yang serupa yang baru aja gue dapat. Setelah berdebat dengan ego serta rasa malu dalam hati, gue coba beranikan diri untuk menyapa perempuan itu.

“Hai....” Sapa gue, sambil tangan kiri sekali menggaruk bagian kiri belakang rambut gue, sebuah gesture yang sebenarnya tidak gatal.

Perempuan itu seketika menoleh kearah gue, sambil kernyitkan dahi.

“Saya boleh pinjam balpennya kah? Buat isi ini. Hehe....”

Perempuan itu diam saat menatap gue, sebuah tatapan aneh, dengan gesture yang tidak biasa.

“Oh, ya.. bentar.”  Dia tampak mengambil balpen hitam yang terselip didalam buku agendanya itu.

“Ini...”  Lalu memberikan balpennya ke gue.

“Sory, saya pinjam sebentar yah? Lagi nggak dipake kan?”  Sebuah pertanyaan konyol terlontar begitu saja dari bibir gue. “Udah tau di taruh di dalam, ya jelas lagi nggak dipake lah ndra.” Batin gue.

“Iya, pakai aja. Saya ada balpen dua kok.”  Balas perempuan itu, dan asli suaranya terdengar renyah sekali di telinga gue.

Suara Perempuan terenyah yang pernah gue dengar seumur hidup, sungguh ini gue katakan tanpa bermaksud berlebihan atau lebai.

Lalu gue pun segera mengisi seluruh yang ada di dalam kertas form ukuran A4. Sampai beberapa menit kemudian ekor mata kanan gue menangkap sebuah gerakan dari si perempuan yang balpennya gue pinjam barusan, ia bangkit dari duduk dan tampak masuk kedalam ruangan setelah terdengar dari pengeras suara sebuah nomor disebut. Yang sudah pasti itu nomor antrian dia, perempuan itu.

Gue masih berjibaku mengisi form ini, tinggal sedikit lagi untuk gue selesaikan. Sampai ketika semuanya telah selesai gue isi, gue yang sebetulnya merasa kalau sedari turun dari taxi telah menahan buang air kecil dan karena sebuah rasa tak nyaman di perut, maka gue segera bangkit dari duduk, memposiskan ransel ke belakang punggung lalu bertanya arah toilet ke petugas perempuan yang duduk dibalik semacam kaca  loket. Mengikuti sarannya, maka bergegaslah gue menuju toilet.

Beberapa saat usai gue dari toilet dan balik lagi ke ruang tunggu, gue lihat perempuan itu tidak ada disana. Bangku yang dia tempati pun kosong. tetiba sepersekian detik kemudian terdengar suara panggilan dari speaker, menyebutkan sebuah nomor antrian  yang ternyata adalah nomor antrian gue, tanpa menunda lagi, gue segera melangkah masuk kedalam.

Beberapa saat kemudian selesai gue dari dalam ruangan untuk memberikan seluruh berkas guna pengurusan pembuatan visa serta beberapa interview singkat, gue pun keluar ruangan untuk balik ke ruang tunggu, niatnya ingin mengembalikan balpen yang gue pinjam dari perempuan kacamata bening berframles hitam itu. Namun gue tidak juga melihat keberadaan perempuan itu.

“Maaf bu, tadi ibu lihat perempuan yang pakai kacamata rambutnya hitam sebahu, keluar ruangan belum ?” Tanya gue ke staff kedubes yang duduk dibalik loket itu.

“Oh, maaf. Saya tidak perhatiin jadi nggak tau. “ Jawabnya datar.

“O yasudah, makasih ya bu.”

Dia mengangguk, lalu kembali tampak sibuk di depan layar Pc dihadapan matanya ini. 

“Ah, yaudahlah. Udah keluar juga kali orangnya. Balpennya gue simpen aja.” Gumam gue, lalu memasukan balpen hitam milik perempuan itu kedalam saku kanan celana bahan hitam hitam gue.

Kemudian melanjutkan langkah keluar gedung. Sepanjang langkah, gue merasakan ada semacam perasaan senang, bahagia juga haru. Karena dengan ini, berati semakin dekat waktu gue untuk berangkat ke negara yang asing bagi gue.

****
Empat hari kemudian gue kembali kesini untuk mengambil visa pelajar gue yang telah jadi. Di luar, sambil menatap kearah gedung kedubes ini, pikiran gue sesaat menerawang jauh.

[i]Ini baru langkah awal, ndra. Perjalanan serta perjuangan lo baru akan dimulai  selepas ini..
 
Diubah oleh blank.code 15-03-2023 17:00
andrian0509
jawamans
annlaska
annlaska dan 25 lainnya memberi reputasi
26
11.5K
162
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
fee.fukushiAvatar border
fee.fukushi
#2
- PROLOG -

Quote:


Itulah sepenggal lirik favorit dari opening song anime yang selalu kutonton semasa kecil dulu. Walaupun saat itu aku tak mengerti apa artinya, hanya bagian Englishnya saja yang kumengerti, lagu itu membuka mataku, membuatku sadar bahwa aku harus punya mimpi.

Ya, inilah langkah awalku untuk meraih mimpiku itu. Apapun yang menghadang, aku siap. Langkahku mantap.

Tokyo, tunggu aku!

***

Fiuh… semalaman duduk di kereta ternyata cukup membuat badanku kaku dan pegal. Kuregangkan kedua lengan, kuteguk air mineralku yang tinggal setengah, dan kuraih ransel. Sebentar lagi, kereta yang kutumpangi dari Jogja ini tiba di stasiun Pasar Senen. Tempat di mana aku harus turun dan berganti dengan kendaraan umum untuk menuju ke Kedutaan Besar Jepang yang terletak di salah satu sisi segitiga emas ibukota.

Sebenarnya aku tak terlalu yakin, apakah aku dapat mencapainya tanpa salah arah, karena hanya berbekal catatan dari kenalan yang pernah tinggal di Jakarta. Namun jika tak kucoba, mana bisa tahu bukan?

Kereta mulai memperlambat lajunya, aku dan beberapa penumpang lain berdiri untuk bersiap. Saat kereta benar-benar berhenti, barulah satu per satu dari kami mulai turun. Tak kusangka, di pagi buta begini, stasiun kereta seperti ini sudah sangat ramai layaknya pasar.

Kuputuskan untuk mencari mushola dulu untuk menunaikan dua rakaat di sana. Jika beruntung menemukan toilet yang bersih, aku mungkin akan sekalian mandi. Tidak elok rasanya pergi untuk mengurus VISA pelajar yang sangat penting bagi hidupku ini dengan tubuh penuh peluh dan debu seperti ini.

---

Syukurlah aku tidak nyasar dan berhasil tiba di Kedutaan satu jam sebelum waktu janjianku untuk interview. Pergi ke tempat asing dengan hanya berbekal petunjuk arah sederhana ataupun peta dan kompas, memang bukan masalah bagiku.

Setelah selesai melalui rangkaian proses pengecekan keamanan oleh petugas security yang sepertinya merupakan prosedur wajib di setiap kantor kedutaan, aku bersama beberapa orang yang lain dengan urusan serupa, dipersilahkan untuk masuk di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar. Sambil menunggu, kami dipersilahkan untuk mengisi sebuah form, yang sepertinya adalah form tambahan, karena semua form yang wajib diisi sudah dilengkapi secara online lengkap dengan dokumen pendukungnya.

Untunglah aku selalu membawa alat tulis di tasku. Segera saja kukeluarkan bolpen dan mulai mengisikan data-dataku, yang pastinya dimulai dengan nama lengkap. B E R L I A N M A H E S W A R I, satu persatu kutulis alfabet namaku itu ke dalam deretan kotak yang tersedia. Nama yang tidak terlalu kusuka sebenarnya, bukannya itu tidak indah. Kuakui, nama pemberian orang tuaku itu sangat indah. Bahkan hingga saat ini pun, ibu selalu menggebu-gebu saat menceritakan arti dan filosofi di balik namaku itu yang memang sarat makna. Tapi tetap saja, karena namaku ini, semasa kecil aku banyak menerima ledekan.

Bahkan dulu, aku sendiri pun bingung akan memakai nama panggilan apa. Berlian, terlalu panjang untuk diucapkan. Sebenarnya aku paling suka dipanggil Berli, tapi untuk sebagian orang itu nanggung dan susah diucapkan, terlebih oleh lidah orang Jawa. Alhasil mereka memanggilku Belli, orang-orang terdekatku yang memanggilku seperti ini. Sebagian temanku memanggilku Lia atau Lian, tapi sebenarnya aku tidak terlalu suka. An atau Anna, akhirnya inilah panggilan yang kupakai selama ini.

Kulanjutkan aktifitasku mengisi form dengan sangat tekun hingga tak mempedulikan orang-orang di sekitar. Setelah selesai, ternyata nomor antrianku belum dipanggil juga. Kulirik jam dinding yang tergantung, masih sepuluh menit lagi sebelum waktu janjian interviewku tiba. Kukeluarkanlah buku agenda berwarna biru muda dengan aksen bunga-bunga kecil warna putih dari tas, lalu mulai mencoret-coret di salah satu lembarannya.

Entah sejak kapan, aku suka menggambar. Sebenarnya ini upayaku untuk menuliskan diary, tapi karena aku tak pandai merangkai kata, kejadian yang kualami kutuangkan saja dalam bentuk sketsa monochrome sederhana di buku agenda yang selalu kubawa ini. Aktifitasku tiba-tiba terhenti saat tiba-tiba teringat akan sesuatu yang penting namun belum tahu itu apa, kuselipkan bolpen hitamku di agenda, lalu mulai berpikir.

Entah dari mana datangnya, seorang laki-laki yang kutaksir sepantaran denganku, tiba-tiba duduk di kursi kosong sebelah. Padahal tadi aku sengaja duduk di pojokan supaya lebih terhindar dari perhatian orang, aku tidak terlalu suka berbasa-basi dengan orang asing.

“Hai…” sapanya.

Aku yang tak menyangka akan disapa oleh seseorang, refleks menoleh ke arahnya. Dengan malas-malasan kuangkat sedikit kepala, lalu kupandang dia yang tampak kikuk dari sela kacamata dan keningku yang sengaja kubuat melorot.

“Saya boleh pinjam bolpennya kah? Buat isi ini. Heheh…” lanjutnya sambil cengengesan.

Entah apa yang membuatnya tertawa seperti itu, apakah ada sesuatu yang lucu di wajahku? Eh, apa tadi yang dikatakan olehnya? Aku tidak terlalu menangkap kalimatnya karena masih terkejut.

“Oh, iya bentar.” setelah berhasil kukumpulkan kesadaranku kembali, kuraih bolpen yang sedari tadi kupakai untuk menggambar di agendaku. Sepertinya tadi dia menyebut tentang bolpen, mungkin dia berniat meminjamnya.

“Ini” kuberikan bolpenku itu kepadanya.

“Sorry, saya pinjam sebentar yah. Lagi nggak dipake kan?” katanya masih dengan ekspresi anehnya tadi, seolah memang ada sesuatu yang lucu di wajahku.

“Iya pakai aja. Saya ada dua kok.” sahutku sambil lalu tanpa ada niat untuk melanjutkan obrolan dengannya.

Saat dia mulai sibuk dengan formnya, aku kembali melanjutkan aktifitas berpikirku tadi, apa sebenarnya yang tengah kulupakan? Ah sial! Novel yang semalam kubaca di kereta, rupanya tidak kumasukkan kembali ke dalam tas. Benar juga, semalam aku ketiduran saat membacanya, dan mungkin buku tersebut jatuh di kolong, hingga saat aku bangun tidak melihatnya dan melupakannya begitu saja. Urghh…! Padahal tinggal sedikit lagi aku selesai membacanya!

Kebiasaan membaca ini memang sudah melekat padaku sejak kecil. Semua buku akan kulahap dengan senang hati. Entah itu komik, novel, bahkan buku literatur yang sulit pun, aku tetap dapat menikmatinya.

Ketika sibuk meratap dalam hati, tiba-tiba kudengar nomor urutku dipanggil. Tanpa berpikir lagi, langsung kuraih semua barangku, dan kumasukkan sembarangan ke dalam ransel. Setengah tergesa aku berdiri, lalu melangkah menuju koridor yang akan membawaku ke ruang interview.

Pertanyaan yang diajukan sebenarnya hanya seperlunya saja, dan sangat mudah untuk kujawab karena memang dokumen pendukungku semua lengkap. Selesai dengan interview singkat itu, aku diberitahu bahwa beberapa hari kemudian aku harus kembali ke sini untuk mengambil VISAku.

Duh, aku tidak mempersiapkan hal ini. Tadinya kupikir urusan ini akan selesai dalam satu hari saja sehingga aku dapat langsung kembali ke Jogja, ternyata dugaanku salah. Aku pun melangkahkan kaki keluar dari kedutaan sambil memutar otak. Apa yang akan kulakukan? Apa aku kembali ke Jogja dulu saja?

Spoiler for I Want To Change The World - Inuyasha Opening:
Diubah oleh fee.fukushi 13-04-2019 15:26
actandprove
pavidean
andrian0509
andrian0509 dan 7 lainnya memberi reputasi
8