Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

aniesdayAvatar border
TS
aniesday
Antara Pentol Dan Pinangan
Antara Pentol Dan Pinangan
Satu tulisan berkategori fiksi telah diposting perempuan penyuka sastra di di Kaskus kemarin. Ada sedikit kisah nyata dituangkan di dalamnya.
Banyak yang bertanya padanya. " Apakah itu nyata?"

Kaskus bagi perempuan penyuka sastra itu adalah tempatnya belajar menulis. Apa saja bisa dia tuliskan di sana. Dari ulasan Kesehatan, kuliner, esai humaniora, berita berita viral hingga yang paling sering memang kategori poetry. Atau Story From The Heart.

Dia memang sedang belajar menulis puisi, menulis prosa, menulis cerpen dan novel pula. Untuk tulisan non fiksi dia menyajikan berdasarkan pandangan mata serta data yang telah dia baca. Sedangkan untuk fiksi, seringkali dia menyaru, berperan, menjadi seseorang seperti beberapa temannya yang sering curhat pada perempuan itu.

Kaskus dan kehidupan nyata seolah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan nyata. Kehangatan, hubungan dekat terbangun dari pergaulannya dengan beberapa penulis di Kaskus.

Quote:




Dia menulis dengan tokoh tanpa nama, supaya tak menuai prasangka, maunya meminimkan gugatan akibat penggunaan nama. Berusaha merasuki tulisan, itu yang dia lakukan. Tiap tulisannya mengalir, seolah yang ditulis adalah kisah nyata, kisahnya sendiri.

Sering kali dia harus menjelaskan bahwa itu hanya fiksi. Kalau diterima seolah nyata ya tidak apa-apa, karena bisa jadi kisah fiksi adalah nyata. Tetapi karena statusnya yang single, hidup tanpa pasangan maka sebuah karya fiksi yang menceritakan ada kisah cinta dari tokohnya bisa menjadi perbincangan menghebohkan.

Seperti karya fiksinya Pertarungan Melawan Tulisan. Tak hanya di kolom komentar, chat pribadi bertubi mendatangi, klarifikasi.

" Apa betul mbak dibegitukan?"

" Wah selamat ya, sudah ada yang mendekati. Kelanjutannya bagaimana?"

" Apa sudah ada nama lelaki lain dalam kehidupanmu?"

Tersenyum perempuan penyuka sastra membaca beberapa chat itu. Jawaban singkat selalu dia berikan mengiringi emo senyum dan tawa lebar. " Nggak ada, itu cuma fiksi saja."

Bila masih lanjut bertanya, dia paparkan dalam obrolan, dia menyangkal dengan menjelaskan tentang tokoh, tentang latar belakang dia menuliskan ceritanya.

Satu chat minta video call yang meresahkan masuk. Seorang sahabat lelakinya. Dia mengungkapan. "Ada yang marah, kau harus klarifikasi tulisanmu!"

" Ha? Apa salahku?" Tanya perempuan penyuka sastra itu.

" Dia pikir aku sudah membuat tulisan dengan kata-kata vulgar padamu."

" Waduh, segitu hebohnya. Aku kan tak menulis nama siapapun jadi tokoh pemeran utama di sana." Sanggah perempuan penyuka sastra itu sambil tergelak.

Lucu, itu yang dirasakan perempuan itu. Bagaimana bisa karya fiksi dianggap serius, sampai ditanggapi serius pula.

" Itu buatmu, tapi buatnya tidak. Tolong dong klarifikasi, jelaskan padanya, bahwa aku tidak melakukan itu padamu. Tidak ada apa apa diantara kita."

" Beneran nih? Kita tidak ada apa apa? Gak nyesel?" Goda perempuan itu pada lelaki sahabatnya yang minta klarifikasi itu.

" Ya, setidaknya, aku kan tidak bersikap kurang ajar, mengirim tulisan dengan kata-kata vulgar padamu."

" Emang dia siapanya kakak?"

" Ibuku, dia marah padaku."

" Lha kok jadi ibu yang marah? Emang dia baca tulisan aku?"

" Ya iyalah, kan dia sering mengamati kita. Termasuk yang kutulis dan yang kau tulis."

" Trus mau kakak apa?" Perempuan itu bertanya tanpa rasa bersalah.

" Ya kau jelaskanlah pada ibu, bahwa aku tak pernah berbuat kurang ajar padamu."

Sebetulnya ingin tertawa keras perempuan itu mendapati lelaki sahabat penulisnya itu sampai memohon. Namun tawanya ditahan. Dia berusaha tenang, berusaha merasakan apa yang terjadi pada lelaki itu.

" Baiklah, katakan, bagaimana aku harus buat klarifikasi?"

" Kita temui ibu ya, lalu katakan padanya, bahwa aku tidak pernah kurang ajar padamu itu cuma cerita fiksi saja."

Perempuan penyuka sastra itu terdiam, apa iya dia harus menemui ibu sahabatnya itu untuk menjelaskan sebuah cerita fiksi? Terus terang dia segan bertemu perempuan lembut nan baik padanya itu. Namun demi menyenangkan sahabatnya jawaban iya diberikan.

" Wokeeh, siapa takut? Asal kakak mau traktir aku bakso kota semangkuk penuh, isi pentol doang. Gimana?"

" Iya iya, kubelikan nanti, doyan pentol amat sih, heran aku. Ada masalah serius gini sempat sempatnya mikirin pentol."

" Hidup itu dinikmati kakaak. Enjoy your live. Aku suka becanda, kalo kakak mo serius, ya silahkan saja, jangan ajak -ajak aku, haha."

" Okeh, Deal ya kalau gitu, kujemput kau nanti sore, sesudah asar."

" Boleh, boleh, tapi seperti biasa, aku bawa motor sendiri. Gowsah bawa mobil. Kita jalan sendiri sendiri saja. Biar gak makin menguatkan gossip tentang kita."

"Loh, ya gak bisa, nanti ibu malah curiga, disangka kau marah beneran. Jadi nanti sore kau kujemput pake mobil ya, hujan ini?" Pinta lelaki sahabat perempuan itu.

" Emh, baiklah, nanti sore lepas aku sholat asar ya?"

" Iya, jangan lupa, dandan yang cantik, aku akan baik-baik izin sama ibumu nanti."

" Ish, kayak mau ke mana aja, cuma mau ketemu ibu kakak doang kan?"

" Iya, tapi kali ini lain. Sore nanti aku mau minta izin kepada ibumu untuk membawa anak perempuannya bertemu calon mertuanya." Tetiba nada suara lelaki sahabatnya yang sedang video call itu berubah lembut, dengan tatap memohon.

" Apa ini pinangan?" Setengah bergumam perempuan itu menanggapi perkataan lelaki sahabatnya itu.

" Iya, aku meminangmu." Tegas lelaki setengah baya, yang telah menjadi sahabatnya menulis dan menemaninya kopdar dengan sesama kaskuser di kotanya selama beberapa bulan terakhir ini.

Lelaki itu bekerja di kantor penerbitan. Bujang lapuk. Begitu perempuan penyuka sastra itu sering mengoloknya. Dia hanya tertawa, baginya tak ada yang lebih penting dari kebahagiaan ibunya. Di usianya yang lewat 35 tahun dia belum menikah. Sibuk kerja, itu alasan utamanya, selain alasan mencari yang cocok dengan ibunya. Satu satunya wanita yang ada di rumahnya.

Perempuan itu tak berkutik. Senyap, tak terpikirkan lagi semangkuk pentol bakso yang dimintanya pada lelaki itu. Yang ada hanya memikirkan cara bagaimana mengatasi situasi ini. Dia terdiam. Sampai akhirnya lelaki itu menutup perbincangan.

" Sudah, jangan banyak mikir. Kujemput kau sore nanti. Jangan khawatir, kan kutraktir kau semangkuk bakso di tempat favoritmu."

Lenyap. Gambar lelaki itu tetiba hilang. Tak ada lagi video call dengannya.
Lalu, perempuan penyuka sastra itu mengambil gawai lagi. Dia tulis kisah ini. Baginya tak ada yang lebih membuat nyaman ketika sedang ada sesuatu yang berloncatan di pikiran selain membuat tulisan. Meski untuk kali ini dia tidak tahu. Akan jadi apa tulisannya nanti. Tanpa kerangka, mengalir saja.

Antara Pentol Dan Pinangan

Spoiler for Bersambung:


Next, Karena keasyikan menulis cerita tetiba adzan asar telah berkumandang, perempuan itu baru sadar apa yang akan terjadi padanya. ( Ikuti kisah berikutnya dalam lanjutan thread cerita bersambung ini )
Diubah oleh aniesday 02-04-2019 05:13
Ikrom.lestari
hvzalf
anasabila
anasabila dan 20 lainnya memberi reputasi
21
7.5K
248
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
aniesdayAvatar border
TS
aniesday
#121
Part 2. Antara Pentol dan Pinangan
Antara Pentol Dan Pinangan
Kesukaan perempuan penyuka sastra itu menulis membuatnya langsung mengambil gawai ketika pikirannya sedang diamuk gelisah. Berakhirnya percakapan dengan sahabat lelaki sesama penulis lewat video call sebentar itu tak membuat berakhir pula pikiran pada isi percakapan itu. Dirundung resah, satu puisi dihasilkan.

Quote:


Tak diberinya judul puisi itu. Yang ingin dilakukan hanya sembunyi, agar lelaki sahabatnya itu tak lagi menemukannya saat dia datang nanti. Matanya menerawang menatap langit-langit kamar. Gawai tempatnya menulis apa saja diusap, ditatap lekat. Lupa kalau dia belum makan siang. Sudah tak lagi lapar perasaannya, meskipun bunyi perutnya serasa unjuk rasa.

Tetiba terdengar suara bel mengagetkan. Suara mobil lelaki sahabatnya telah datang. Lelaki yang biasa dipanggil kakak itu rupanya telah sampai di rumahnya.

Perempuan itu masih enggan beranjak dari peraduan, gawai tetap di tangan, sembari memainkan, dia seperti abai pada suara bel yang mengagetkannya tadi. Rasa enggan menyelimuti. Hingga terdengar suara ibu perempuan itu memanggil.

" Ann, ada kak Rob tuh, kau tak ingin keluar kamar?"

" Iya bu sebentar, aku pake jilbab dulu."

Sejurus kemudian perempuan penyuka sastra itu telah keluar kamar. Menemui lelaki yang biasa dipanggilnya kakak itu duduk di ruang tamu.

" Kok kamu masih kumal gitu, belum mandi ya?" Tanya sang kakak padanya.

" Emang, trus kalo aku gak mau mandi kenapa?" Perempuan empunya panggilan Ann itu menjawab seolah merajuk.

" Ann, kan sudah kubilang, aku akan membawamu ketemu calon mertuamu, dandan yang cantik dong. Mau ya, mandi gih, kutunggu."

" Enak aja bawa-bawa ke calon mertua, emang aku siapanya kakak? Gak pernah ada pembicaraan sebelumnya juga. Main bawa aja." Masih manyun mulut Ann, menanggapi perkataan lelaki yang dipanggilnya kakak itu.

" Ah kau ini Ann, kita sudah bukan ABG lagi, kuliahmu sudah tuntas, sudah kerja pula, apa kau masih mau hidup sendiri? Kedekatan kita, apa belum cukup menjadi penanda bahwa kau istimewa di mataku? Kau adalah calon istriku. Jelas?"

" Ish, kakak, tapi kan kakak gak pernah bilang punya perasaan apa-apa padaku. Jadi kupikir kita cuma sahabatan doang, bukan ke sana-sana."

" Baiklah, sekarang aku akan katakan dengan jelas ya, supaya kamu yakin saja. Aku sayang kamu Ann, aku mau kamu jadi istriku, jadi teman ibuku di rumah. Hanya kamu wanita yang bisa merebut hatinya."

Hati Ann gamang, bingung antara berbunga atau sedih tak terkira. Betul dia suka ada Kak Rob selalu menemani hari harinya, tapi itu bukan berarti dia mau dijadikan istrinya.

****
Dahulu, pernah dia hampir menikah. Dia sungguh mencintai lelaki temannya kuliah itu. Satu penghalang tak bisa ditundukkan. Lelaki itu ingin membawanya pulang ke rumahnya, seberang pulau, tanah rencong, Aceh tepatnya.

" Ah, Jun, kenapa aku belum bisa melupakanmu?" Itu yang dibisikkan batin Ann.

Sekelebat bayangan masa lalu, saat perselisihan dengan Jun Ishaq, lelakinya dahulu muncul.
" Kalau kita menikah, kau harus ikut aku ya sayang, Lhok Sukon, menanti kehadiranmu." Jun mengucapkan sambil menyebut tempat tinggalnya, tanah kelahirannya.

" Ah Jun, tak bisakah kita tinggal di Malang saja? Kau tahu ibuku hidup sendiri. Kaupun tahu aku tak ada saudara. Kalau kutinggal, ibu sama siapa?"

" Kita bawa ibumu ke rumahku. Keluargaku tak keberatan menerima kok. Ada rumah kecil telah dibangunkan buat kita di sana, kita ajak ibu ya?" Tutur lembutnya menyapu telinga.

Sungguh Ann sangat suka mendengarkannya. Ann bahagia membayangkan ibunya akan dibawa ke Aceh, hidup bersama Jun, lelaki pujaannya itu di sana.

Namun semua harapannya pupus. Ibunya enggan mengikuti Ann bila pernikahan terjadi. Ingin dekat dengan kubur bapak, itu yang menjadi alasan. Sebetulnya, ibu Ann tak keberatan dirinya mengikuti Jun Ishaq ke Aceh. Namun, hati Ann tak tega membiarkan sang ibu yang punya 2 ring di jantungnya itu harus tinggal sendiri di rumah.

Keputusan memilih untuk tak mengikuti kemauan Jun membuat hubungannya retak. Pernikahan itu tak pernah terjadi. Kuliah Jun di Jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang, telah usai. Dia kembali ke Aceh tanpa diri Ann. Jarak memisahkan, kesibukan melenakan. Kontak mulai jarang. Chemistry seakan hilang.

Keluarga Jun mendesak untuk segera menikah, maka dilangsungkan pernikahan itu bukan dengan Ann, tapi dengan gadis Aceh. Pilihan keluarga.

Sejak itu Ann memutuskan seluruh akses dengan Jun. Ingin dia melupakan lelaki itu. Meskipun namanya masih terpatri dalam hati. Ann menikmati kesendirian, pekerjaannya sebagai editor membuatnya tenggelam dengan buku buku dan dunia kepenulisan. Tak terpikirkan olehnya pernikahan. Hingga usianya terus bertambah, hampir 30, dia masih suka sendiri. Belum ada keinginan untuk menikah.

*****

" Ann, kau tak apa? Mandi ya." Tutur lembut lelaki yang duduk di hadapannya mengejutkan Ann dari lamunan.

" Nggak mau, aku mau pentol. Kan kakak janji mau beliin aku bakso. Perutku lapar nih." Ann berkata seceria mungkin, menutupi gundah hati. Berusaha mengubur kenangan yang mulai muncul kembali.

" Duh kau ini, kupikir nanti saja sepulang dari rumahku, sesudah ketemu ibuku."

" Wong laparnya sekarang kok disuruh nunggu nanti. Ya sekarang lah kak. Yuk kita beli bakso dulu." Ajak Ann pada Kak Robnya.

" Ish kau ini. Mandi dulu, sholat, baru kita pergi. Atau gini aja, kupesankan go food ya?Biar dikirim baksonya ke sini. Nanti, sebelum berangkat kita makan bakso dulu sama-sama. Oke?"

" Oke Kakak, akur kalo gitu. Aku mandi dulu ya."

Berlalu Ann dari hadapan Kak Rob nya yang sedang sibuk memesan bakso lewat go food.

Di kamar mandi, Ann lebih banyak memainkan air. Shower diarahkan ke wajahnya. Dia masih dilanda gelisah. Ada banyak hal yang harus dipikirkan sebelum memutuskan menikah. Tentang ibunya terutama, juga tentang perasaannya yang masih belum tahu apakah dia mencintai Kak Robnya itu atau tidak.

" Ah bodo amat, yang penting makan bakso dulu." Sejurus pikiran singgah, bayangan pentol bakso sapi dari warung favoritnya berkelebat, perutnya langsung menunjukkan sinyal lapar, membuat Ann bergegas menyelesaikan mandi, demi pentol yang sudah membayang. ( Bersambung )

Sumber gambar: Saintif.com


Antara Pentol Dan Pinangan

Sumber gambar : Bakso Malang Kemasan. WordPress.com
Diubah oleh aniesday 03-04-2019 20:46
alizazet
alizazet memberi reputasi
11
Tutup