wediAvatar border
TS
wedi
Rumah Terbengkalai (True Story)


Hai, Readers.
Saya punya cerita yang mungkin menarik untuk kalian baca, kisah ini saya angkat dari kejadian nyata yang saya alami sendiri.

Sebelumnya saya minta maaf jika ada:
-Kesalahan dalam Post saya
-Update ceritanya lama.
-Saltik atau Typo karena cerita belum sempat di Revisi ulang.

Untuk Versi REVISI DAN TERUPDATE bisa cek di sini: Mangatoon - Rumah Terbengkalai True Story

Quote:


Quote:

----------------------------------------------------------------
Index On Kaskus (Progres)

1. Prolog.
2. Perkenalan.
3. Rumah Tua Part 1.
4. Rumah Tua End.
5. Malam Pertama Part 1.
6. Malam Pertama End.
7. Interaksi Astral Part 1.
8. Interaksi Astral End.


>>> On Going Progres Perpindahan Post: Sabar ya gan.. emoticon-Embarrassmentemoticon-Embarrassment
Maaf kalau dibagi menjadi "Part" karena menghindari jenuh baca dan panjang pada Reply Thread.
----------------------------------------------------------------
Quote:
Diubah oleh wedi 26-02-2020 13:31
zeuskraetos
yonken
dwex80
dwex80 dan 52 lainnya memberi reputasi
49
50.3K
264
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
wediAvatar border
TS
wedi
#25
Interaksi Astral Part 1
Tiga bulan berlalu semenjak aku meninggalkan rumah tua bergaya khas belanda itu, entah sudah seperti apa sekarang bangunannya, selama ini aku hanya menghabiskan waktu di rumahku yang berlokasi di Cilebut Bogor.

Keseharianku di sini sangat tidak jelas, tanpa ada aktifitas yang berarti selain bermain Game di dalam kamarku.

Kring..!! kring..!!

Pandangku beralih pada ponsel yang terdengar sangat menggangu. "Yo, hallo" kataku, mengerutkan satu alis saat mendengar suara bising dari lawan bicaraku. "Hallo Siap ini ya," tegasku.

"Oh, Den, ini Babang," aku berhenti memainkan Game dan mengecilkan volume komputerku, "gimana kabar Mamah Den."

"Oh, Bang Yudi, kirain siapa, Alhamdulilah baik Bang," jawabku. "Lagi di mana si Bang? bising banget."

"Syukurlah kalau sehat, Babang lagi di Loji Den, lagi ngeliatin yang pada kerja."

"Wah, udah mulai dibangun toh Bang."

"Udah setengah jadi Den," jawabnya, terdengar ia sedang berjalan menjauhi kebisingan. "Gini Den, Babang-kan gak bisa kalau terus menerus ngawasin tukang di sini, Babang harus pulang ke Serang, nah si Arif disuruh mandorin tapi ga becus, pengen berdua sama Deni katanya, gimana bisa gak?" tuturnya.

"Oke siap Bang," sahutku, dengan semangat, mengingat tabunganku yang sudah menipis karena tidak ada pemasukan sejak aku berada di rumah.

"Berangkat sekarang ya Den, Babang tunggu," tak sempat menjawab Yudi mengakhiri panggilan.

Aku lantas membersihkan diri, dan berganti pakaian untuk segera meluncur ke rumah Loji.

Ibuku yang menyadari anaknya ini sangat sibuk mempersiapkan segala yang hendak aku bawa lalu bertanya, "mau kemana A?" datar ibuku yang sedang asik menonton TV pada ruangan tamu.

Dengan senyum halus aku menjawab, "Ke tempat Bang Yudi Ma, yang di Loji," (Ma=Mama) Ibuku menoleh ke arahku.

"Nginep lagi?"

"Kayanya gituh deh Ma, tidak apa-apakan?" jawabku, dengan menyelempangkan tas yang hendak aku bawa.

"Ya sudah ngga apa-apa, asal hati-hati di sana ya," lanjut ibuku.

"Pasti dong Ma," ucapku, sambil mencium tangan ibu-ku. "Aa pergi ya Ma, Assalamu'alaikum."

Usai berpamitan aku lalu pergi menuju rumah Loji dan seperti biasa aku hanya menggunakan kendaraan umum untuk sampai ke sana, karena sangat merepotkan jika aku membawa kendaraan sendiri.

Untunglah udara sekitar masih tidak begitu panas, aku berjalan dengan langkah cepat, menuju Stasiun Cilebut untuk menaiki kereta api tujuan Bogor. walau bisa juga mengenakan angkutan umum lainnya, namun aku lebih memilih kereta sebagai transportasi favorit-ku, selain bisa mempersempit waktu, hargai tiket-nya yang sangat ekonomis cuma 1,000 rupiah, sangat jauh berbeda jika di banding angkutan umum lainnya yang bisa merogoh kocek hingga 3,000.

Selang berapa jam dalam perjalananku, kini aku telah tiba di depan Gg Loji, Mobil angkutan umum berwarna biru mulai menepi, dan aku pun turun dari mobil tersebut untuk meneruskan perjalanan dengan menggunkan Ojek.

Tak perlu di minta jika ingin menaiki Ojek di sini, karena mereka semua terlebih dahulu melambai pada siapapun yang hendak masuk Gg Loji.

"Ayo Kang, Ojek?"

"Boleh Kang," kataku mendekat pada sekumpulan orang yang duduk pada sebuah pos terbuat dari kayu beratap daun kelapa kering.

"Oke, siap. Kemana mas?" seru seorang tukang ojek dengan gesit menaiki motornya.

"Nanti tunjukan arahnya, saya lupa namanya jalannya apa," jawabku, naik pada motornya, dan kami pun mulai melaju.

Jam 2 siang akhirnya aku tiba di tempat yang aku tuju, aktifitas kontraktor terasa ramai dari kejauhan, truk pengangkut semen berukuran besar terparkir angkuh di depan rumah tua itu, nampak genangan air bercampur semen mengalir di sepanjang jalan, begitu banyak debu yang mengepul bersatu dengan angin yang berhembus membuat udara sekitar sangat tidak segar.

"Sip, stop di sini aja Kang," ucapku, memberikan ongkos pada tukang Ojek.

"Siap," jawabnya dan motor pun menepi.

Aku turun dari ojek yang kutumpangi lalu mendekat dengan langkah berhati-hati menghindari jalan yang becek oleh cairan semen, aku menutup hidungku dengan tangan kiri, menahan agar debu pekat ini tidak terhirup.

Suara bising yang terdengar saat aku berbicara dengan Yudi ternyata bersumber dari truk semen yang sedang beroprasi ini, dengan selang berwarna biru menjulur panjang pada sisi rumah yang berakhir di lantai dua.

"Oy, Den" teriak seorang pria membuatku menoleh.

Terlihat Arif dengan pakaian kaos hitam bergaris kuning, celana pendek dan sebuah handphone pada genggamannya, ia sedang berada di depan rumah bersama Yudi, dan dua orang pekerja lainnya. Aku lantas menghampirinya.

Aku melirik ke rumah tua itu dan terpaku saat melihat pemandangan yang sangat berbeda.

Bangunan bergaya khas belana kini sudah tak nampak lagi di mataku, yang ada hanya puing-puing kayu yang menghitam sisa dari bangunan lama yang tertumpuk begitu saja di perkarangan depan rumah.

Rumah tua itu telah berubah menjadi bangunan baru yang sangat kokoh dan megah, dangan dua tiang penyangga di teras depan rumah, lantai keramik bercorak bunga, dua jendela yang menghimpit pintu bercorak ikan mas bertabur bunga mawar, meski bangunan itu belum dilumuri cat tapi sudah jauh lebih baik dari pada sebelumnya.

"Den, sini! banyak debu di situ," teriakan Arif menyadarkan pikiranku, aku lantas menghampirinya.

"Mantap ya Den," tambah Yudi penuh wibawa. "Nanti Deni dan Arif sementara tinggal di sini dulu, karena banyak barang bangunan mahal yang disimpan di kamar no2," kata bang Yudi, sambil menepuk-nepuk bahuku perlahan, "siapkan, Den?" lanjutnya.

"Siap dong Bang, lagian aku udah ada di sini, ngga mungkin aku nolak Bang," jawabku, membuat Yudi tertawa senang.

"Tapi jangan pulang tanpa ijin lagi ya?" ledek Yudi, membuka senyum, menahan tawa saat mengingat terakhir kali aku meninggalkan rumah ini.

"Maaf, aku lupa ngasih tau yang lain kalau hendak ada tukang yang akan merubuhkan bangunan," jawabku sambil mengusap rambut belakang.

"Parah-parah," ucap Arif dengan tawa tak tertahan, "gw bangun sama yang lain gara-gara denger Buldoser di depan rumah, bagus Mang Usama bangunin."

"Untuk ngga di gusur lo Rif," komentarku, sambil cekikikan.

"Maaf Pak menggangu," kata seorang tukang yang berpakaian rapih, lengkap dengan helm kuningnya. "Ini truk yang terakhir Pak, tadi Bapak pesan lima truk berisi semen full," lanjut konstraktor itu sambil memperlihatkan sebuah kertas catatan yang ia berikan kepada Yudi.

"Oh, ini yang terakhir ya, ia,ia," kata Yudi, mengambil selembar catatan itu dan mengobrol dengannya, seperti mengacuh pada pembayaran.

Waktu terus berlalu, tapat pukul 16:30 WIB, satu persatu truk semen itu sudah mulai meninggalkan lokasi rumah Loji yang diiringi para pekerja lainnya.

"Rif, nanti cari orang untuk beresin lantai bawah," kata Yudi, lantas berjalan menuju depan rumah.

"Oke, bisa diatur itu si Bang."

Yudi terdiam sejenak setelah ia melihat ponsel miliknya berdering, mungkin membaca suatu pesan. "Eh, Babang tinggal aja ya, harus pulang ke Serang sekarang," kata bang Yudi dengan raut wajah berubah, ia tergesa-gesa merubah laju arahnya mendekat pada motor yang terparkir di tempat kami berkumpul semula, entah pesan dari siapa yang ia terima.

"Buru-buru banget Bang," kataku diiringi suara motornya yang menyala. "Hati-hati, Bang."

"Nanti Babang transfer ke ATM kalian ya, buat pegangan selama tinggal di sini," kata bang Yudi dan berlalu dengan sepeda motornya.

Aku berbalik kembali berjalan mendekat teras depan rumah. Dan untuk kedua kalinya aku menginjakan kaki di rumah ini, walau
kini seluruh bangunan sudah berubah total, terlihat jauh lebih elit.

Aku memandang ke segala arah, masih nampak tak ada beda, semak belukar dan pohon pisang masih rimbun memenuhi sisi rumah, namun kini telah dipagari oleh beton kokoh yang mengelilingi hinga pagar depan, dan aku menoleh ke arah sebaliknya pada rumah yang berada disisi lain yang bercat putih.

Aku mengkerutkan alis melihat tajam pada pagar tembok yang menjadi pemisah antara rumah kami dan rumah sebelah, aku tersenyum kecil setelah melihat pelang yang cukup besar bertuliskan, 'JANGAN KOTORI RUMAH KAMI' aku pikir sebelumnya rumah itu tak berpenghuni, dengan itu sekarang aku tahu jika kami memiliki tetangga meski dengan salam yang kurang baik.

Setibanya di dalam rumah aku menoleh ke kiri pada sebuah kamar nomer satu yang sekarang menjadi ruangan tak berpintu yang telah di kosongkan. Ruangan bersegi empat ini tidak jauh dari pintu depan rumah, Pada ruang tamu hanya ada dua tempat duduk dan satu meja jati kotak, masih tercium bau semen yang membuat penap seisi rumah.

Aku mengingat sesuatu ketika tiba di dapur "ini tempat sumur yang waktu itu aku lihat, sekarang menjadi dapur." Disisi kanan ada tangga beton menuju lantai atas namun masih belum rapih, pada sisi kiri dapur terdapat meja keramik yang memanjang membentuk huruf 'L' lengkap dengan tempat untuk mencuci piring.

"Nah, Si Ardan sama Alvien datang," seru Arif dari ke jauhan, aku masih ingin melihat-lihat sekitar belakang rumah, jadi tidak ikut bersama Arif menyambut kedatangan Alvien dan Ardan.

Meski baru jam empat sore, namun di dalam rumah sudah terasa gelap, karena tidak adanya lampu yang terpasang pada ruangan ini, aku masih berada di dapur, dan melihat lemari bekas peninggalan rumah yang lama berada di sudut ruangan , mungkin memang masih layak pakai hingga tidak dibuang, pandangku terhenti, aku terpaku sesaat terasa seorang yang menepuk bahuku, seketika aku menoleh ke belakang, dan melihat Ardan berjalan menjauh menuju ruang tamu. Karena tak ada lagi yang perlu dilihat, aku lantas membuntutin Ardan yang berbelok masuk pada salah satu kamar di mana Arif dan Alvien terdengar sedang berbincang, mungkin Arif yang menyuruh Ardan memanggilku.

Namun ketika aku sampai di ruangan yang aku tuju, aku hanya melihat Arif dan Alvien, "Lho, si Ardan mana?" tanyaku mengkerutkan kedua halis.

"Tadinya dia mau ikut, tapi tidak jadi, karena kakak-nya minta anter ke Laladon jadi dia ga ikut ke sini, nanti nyusul katanya," ujar Alvien.

Dengan tatapan hampa dan bingung aku melirik lurus ke arah dapur,
"Kok bisa! apa salah lihat."

"Ya sudah, sekarang mending kita beli kasur busah dan beberapa pelengkapan untuk beres-beres rumah," celoteh Arif menyedarkan diamku.

"Sip, gagasan yang bagus Rif." jawab Alvien.
"Berikan uangnya biar aku dan Alvien yang pergi," tambahku, Arif memberikan sejumlah uang padaku dan kami bergegas pergi.

***
Tepat pukul 18:25 Aku dan Alvien tiba di depan rumah Loji.
Bip..!! bip..!! bip..
Alvien membunyikan kelakson, menandakan kedatangan kami.
"Woit, wait,wait.. " teriak Arif, berlari menghapiri kami untuk membuka gerbang yang telah tergembok.

"Cepat sedikit berat juga ini kasurrr," kataku, memangku kasur busa yang cukup berat, di tambah peralatan lainnya yang membuat aku tidak bisa bergerak.

Kami lantas membawa belanjaan kami masuk ke dalam, melihat hari semakin gelap, kami bergegas membagi tugas. saat itu aku dapat tugas menyapu, Arif menyiapkan kasur dan Alvien mengepel lantai. Suasana nampak ceria, sesekali candaan jahil kami memecah kesunyian, hingga tak terasa pekerjaan kami pun usai sudah, lelah dengan tugasku, aku lantas duduk pada sebuh kursi di ruangan tamu.

Alvien yang sedang mengepel bagian dapur sudah tak nampak karena tertutup oleh dinding kamar nomer tiga. Namun tak lama terdengar suara sesuatu yang jatuh dengan keras diiringi Alvien yang merintih, membuatku terkejut dan berlari menghampiri Alvien.

Terlihat Alvien sudah terkapar di lantai dengan kedua tangan yang terus mengusap tengkuk kepalanya, ember yang berisi air pembersih lantai, membasahi tubuh Alvien.
Aku meraih tubuh Alvien dan membangunkannya hingga terduduk, "Vien,?" tanyaku, sambil melihat kepalanya takut terjadi pendarahan, mengingat suara benturan yang sangat kuat.

"Gue juga ngga ngerti kenapa bisa jatoh, cuma ngerasa seperti menginjak sesuatu di lantai, setelah itu aku terpelanting mencium lantai," kata Alvien dengan nada merintih, aku lantas membantu Alvien berdiri dan menuntunnya berjalan ke ruangan depan.

Kami lantas membawa Alvien ke kamar yang telah Arif sediakan,"tiduran dulu Vien, biar gue bikinin susu hangat," kataku sambil berjalan hendak membuat segelas susu untuknya.

Pandangku tajam tertuju ke arah dapur, "Baru berapa jam di rumah ini sudah mulai lagi ngerasa gk jelas!" aku lantas menghampiri Arif yang sedang berada di dapur melanjutkan pekerjaan Alvien seorang diri.

"Rif, ngarasa ada yang aneh ga sih dengan rumah ini," Arif menoleh ke arahku dan melanjutkan pekerjaannya..

"Aneh gimana" jawab Arif sambil mendorong kain pel-nya.

"Ya gitu deh," jawabku, menghelaykan nafas sedang, mungkin ini hanya perasaanku saja.

Grriiiinnggggg... (suara mesin air yang berdering)

Arif yang telah usai membersihkan lantai beranjak akan menuju ruang tamu, "sekalian kopi Den," kata Arif melihatku hendak membuat segelas susu.

Aku menaruh tiga gelas di atas meja tembok berkeramik, aku sempat mencari gula dan kopi yang ternyata di simpan pada lemari jati tua yang tertutup rapat, karena hari mulai gelap, aku sedikit kesulitan untuk melihat banyaknya gula dan kopi yang akan aku tuang ke dalam gelas.

"Lha bused gelap amat si," gumamku mendekatkan wajah pada gelas tersebut.

Namun Sesuatu aneh terjadi..!!

*****************
>> Bersambung ...
Diubah oleh wedi 07-05-2019 15:11
axxis2sixx
rizqiulilabshor
actandprove
actandprove dan 9 lainnya memberi reputasi
8