rykenpb
TS
rykenpb
Sepenggal Kisah di Bawah Pohon Genitri




#Saatnyamoveon



Karya : Ryken P.B


Pada dinginnya wajah kolam
Bulan berdandan
Rintihan dedaunan gugur
Sesendu redup bias purnama malam ini

~ o0o ~

-----------------------------------------------------------

Begitu pun di bawah rindang Genitri. Pemilik seraut wajah yang menyimpan deretan misteri duduk di sebuah bangku kayu. Bertalu-talu desah terhempas dari bibir mungil itu, menikmati dinginnya cuaca malam ini. Angin sepoi membelai pilunya. Gigil jiwanya sedikit menghangat.

Ribuan belukar mencakari otaknya, setelah beberapa peristiwa sedang merekam jejak pada perjalanan hidup seorang Via. Gadis bertubuh semampai, rambut hitam lurus sedada berpotongan asimetris--senada warna iris mata indahnya. Kini terpaku menikmati malam.

Satu desahan berat melabuhkannya pada bayang kenangan.

Riz, andai kamu di sini, aku tak akan seresah ini. Kamu tak akan membiarkanku sendiri. Malam ini tak akan segigil salju. Hangatmu akan selalu mendekapku.

Apa kamu merasakan hal yang sama seperti degup rindu ini padamu
.

Tapi tidak! Kamu pasti sudah bahagia. Rindu tak lagi kaumiliki untukku. Seharusnya harapan ini tak menyapa lagi. Namun, malam ini, entah kenapa aku begitu merindukanmu.

Apa kamu ingat? Senja pada waktu itu serupa pelangi bagi kita. Di bawah pohon ini, kita tertawa riang sambil memunguti biji-biji Rudraksha. Aku masih ingat senyummu. Sepasang lesung pipi terlukis indah di wajahmu. Pada binar matamu kulihat diriku,
dalam hati via berbisik sesekali wajahnya tengadah memperhatikan dedaunan melambai tertiup semilir angin malam ini.

Vi, genggam biji ini, pejamkan matamu dan rasakanlah sesuatu.

Apa yang kamu rasa, Sayang? Kamu temukan aku di dalam sana kan?

Kamu tahu kenapa? Sebab aku serupa biji ini, sebagai pelebur setiap kegundahanmu, meski sehamparan semesta ini pun.

Vi, biji-biji ini dikenal sebagai biji pelenyap gundah, pemberi ketenangan, menjernihkan pikiran, juga untuk kesehatan. Dan, masih banyak lagi manfaat dari biji ini,
ucapmu waktu itu dengan binar mata teduh.

Via memunguti selembar daun Genitri yang layu, jatuh selintas menyentuh bahunya. Dimainkannya daun itu dengan memelintir ujung batang daun. Matanya menatap sendu ke langit, sesendu cahaya rembulan yang dipagari awan. Seakan tak rela pujaannya tersenyum pada gemintang. Namun, tetap saja kalah oleh angin yang sedikit berontak.

Riz, semesta itu seperti kisah kita. Awan itu seperti diriku dengan hati berontak, meski mencoba mempertahankan hubungan kita tetap saja aku kalah oleh baktimu, desah Vi saat menyadari bila saat ini ia sendirian tanpa pujaan hatinya.

Itu tak akan terjadi Riz, apabila kamu bersikukuh menolak.

Beberapa bulir bening akhirnya tak mampu menahan diri menjatuhkan dirinya.

Seperti ketidaksanggupan jiwa Via mendengar petir yang hentikan denyut jantungnya beberapa detik kala itu.


***


Pada siang itu ....

Satu dering nada panggilan telepon mengalunkan suara seorang pemusik dunia 'La Rojes' membangunkan Via dari tidur siangnya.

"Hmm ... siapa lagi sih?" keluh Vi sambil berusaha meraih ponselnya, "ganggu tidur aja ini o--."

Upss!!

Ternyata my love, bisik lirih Vi.

Satu nama terpampang di layar ponsel menghentikan keluhannya.

Senyuman rekah menghiasi wajah manis Vi, dengan menggigit pelan sedikit ujung bibir bawahnya, ia menekan tombol ponsel.

"Halo, Sayang," sapa Vi pada suara seberang.

"Vi, aku mau bicara sebentar. Boleh yah?" balas suara lelaki dari seberang.

"Apa sih yang gak buat kamu, Beb. Hayo mau cerita apa?" tanya Vi dengan suara manja.

"Gak bisa diomongin lewat sini, Sa--yang ..., kita ketemuan aja yah di tempat biasa," ucap Riz kaku dengan suara terputus-putus saat menyebutkan panggilan sayang.

Ada desir aneh terasa dingin tiba-tiba menjalari darah Vi. Sekilas jantungnya berdetak lebih kencang. Dahinya mengernyit. Pikirannya kebingungan mencari jawaban.

Ah! Gak mungkin, sanggahnya.
Secepat kilat ia mengusir suudzon yang merayunya.

"Halo, Viii," panggilan cemas terdengar dari suara seberang.

"E--e, iya, Sayang," sahut Vi cepat.

"Aku jemput yah sore ini?"

"Hmm!" balas Vi masih dengan kebingungan merajai benaknya.

“Daag, Sayang." Satu ucapan mengakhiri percakapan itu.

Tak ada kecupan seperti biasanya dan itu semakin membuat Vi merasa sesuatu yang janggal sedang terjadi.

Ah, sudahlah ntar juga tahu. Mending mandi daripada kepalaku pusing mikirin, keluh Vi sambil beranjak meraih handuk dan menuju kamar mandi.


***


Di halaman depan hunian Vi. Di sebuah bangku kosong. Riz menunggu Vi dengan perasaan gelisah. Sesuatu sedang bergumul di batinnya, Apakah aku akan tega pada Vi, aku sayang Vi. Tapi ...., gundah batinnya seketika menguap setelah tampak Vi menghampirinya.

"Melamun aja, Sayang!" sapa Vi lembut dengan suara khasnya yang manja.

"Sudah siap, Sayang?"

Sambut Riz tersenyum. Ada getir dari nada suaranya. Di tatapnya wajah Via--sang kekasih hati. Ada pilu yang merekah. Maafkan aku, Sayang. Rasa sedih dan bersalah terasa mencekik Riz.

Satu anggukan dari Vi sebagai balasan.


***


Sepanjang perjalanan Riz hanya terdiam. Beberapa lipatan kemesraan sedang bermain di mindanya. Bertalu-talu rasa bersalah menabuh genderang padanya. Sangat menohok. Hingga pedih bukan lagi sebagai duka tapi laksana racun baginya kelak.

Vi pasti sangat membenciku setelah tahu semuanya. Kecamuk segala rasa di dalam batin Riz saling menuding. Pembelaan pun sesekali bertindak sebagai hakim.

Vi mulai merasa ada sesuatu yang aneh pada tingkah Riz. Akhirnya bertanya hati-hati.

"Ada apa, Sayang? Kok diam aja! Biasanya bawel!" selidik Vi.

"Gak apa-apa kok, Beb." Riz secepatnya meramu resah.

Semoga Vi tidak merasakan keanehan sikapku tadi, khawatir Riz.

***

Perjalanan yang tak memakan waktu yang lama. Jarak dari rumah Vi dengan tempat yang di tuju hanya berjarak 500 meter saja. Di bawah pohon Genitri, Riz memarkir motornya.

Keduanya duduk pada sebuah bangku kayu yang menghadap ke arah kolam. Sejuk semilir angin bagaikan sebuah keteduhan abadi bagi Vi, terlebih sedang bersama separuh hatinya. Suasana romantis di bawah pohon itu membawa kepala Vi bersandar di bahu kiri Riz. Namun, tidak bagi Riz. Gelisah sejak tadi menggerayangi hatinya.

Kebersamaan ini, mungkin tidak akan ada lagi. Bila Vi sudah tahu semua. Ada kepasrahan dalam batin Riz.

Sesekali Riz menatap seraut wajah manis di sampingnya. Wangi rambut Vi merasuki hidung Riz. Aroma yang sama dengan aroma parfum yang dipakainya.

Sejenak ada keheningan, ketenangan. Hanya terdengar desah napas mereka. Sesekali Rizel menghela napas panjang demi melegakan sesak dadanya. Vi sempat menoleh. Sejenak menatap Riz dengan pertanyaan yang sama di benaknya. Hal itu buat ia sangat penasaran. Sedang yang ditatap hanya termangu, pandangannya kosong menatap air kolam dengan buih-buih kecil pada permukaan yang disebabkan beberapa ikan kecil.

Ada yang lain dari diri Riz kali ini ada apa yah? pikir Vi penasaran.

Ia tak mampu menahan lebih lama lagi rasa penasaran itu. Lalu ....

"Sayang, sejak tadi aku lihat kamu diam bengooong aja. Kamu ada masalah yah? Cerita donk, Yang!"

Satu embusan napas Riz terdengar berat di telinga Vi. Riz hanya membiarkan pertanyaan Vi berlalu. Matanya masih saja menatap kolam.

Ini akan sangat menyakitimu, Vi. Dan aku pun merasakan hal yang sama. Sesungguhnya aku tak sanggup dengan keputusan ini. Tapi ..., rintih batin Rizel.

"Yang, kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya Vi penuh kelembutan.

Akhirnya Riz menoleh, dan ditatapnya wajah kekasihnya itu penuh kelembutan. Namun, dari sorot matanya menyimpan kegundahan.

Sekali lagi ragu mengusik Riz. Haruskah ini terjadi pada hubungan kita, Sayang? Sejujurnya aku tak tega melihatmu menangis setelah ini. Aku sangat yakin, kamu tak akan rela melepasku. Aku tahu itu. Aku pun sama, Vi. Aku tak sanggup jauh darimu. Sebab kamu lah satu-satunya wanita yang kusayangi setelah Ibu.

"Sayang," panggil Via sekali lagi.

Lembut suara Vi terdengar bagai rintihan di telinga Rizel.

"Vi, aku sangat mencintaimu. Aku takut kehilanganmu. Dan, tak akan sanggup jauh darimu. Aku tak akan sanggup, Sayang."

Mata Riz yang berkaca-kaca juga ucapan takut kehilangan membuat Vi makin yakin ada sesuatu yang akan terjadi.

Tidak! Ini tidak mungkin. Perpisahan? Aku gak akan sanggup. Tak akan sanggup. Kekuatan cinta Vi berusaha menampik segala kegelisahan yang membuncah.

Tatapan bingung dan ketakutan yang terpancar dari raut wajah Vi. Semakin menancapkan kepiluan di hati Riz. Ia meraih tubuh mungil itu ke dekapannya dan berbisik, 'Aku sangat sayang kamu, Vi, sangat sayang'.

Semesta pun seolah merasakan kepiluan dua sejoli itu. Angin tak lagi bertiup, ikan kecil pun tak menampakkan diri. Beberapa lembar dedaunan pohon Rudraksha berguguran sendiri tanpa dimainkan embusan angin.

Vi melepaskan pelukan Riz setelah beberapa saat.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Riz. Katakanlah!" desak Vi dengan mata yang berkaca-kaca.

Sesuatu yang besar akan mengubah kisah hidup Vi ke depannya. Mungkinkah kebahagiaannya hanya akan menjadi lukisan usang tak berjudul? Tidak. Ini sangat menakutkan baginya. Sebab kehilangan bukan lagi sebuah angin lewat baginya. Melainkan, sebagai ritual yang dirinya pun sudah lelah hanya sekadar mengingkari takdir.

Apakah akan terjadi lagi padaku. Tidak Tuhan! Aku baru saja bahagia. Jangan lagi Engkau rebut kebahagiaan ini dariku. Mungkin aku akan mati dan menjadi 'mayat hidup' sekali lagi. Cukup sudah Tuhan. Aku tak akan sanggup lagi menerima ini, rintih Vi dalam diam.

Riz tak sanggup melihat kesayangannya hanya terdiam. Tatapannya kosong. Satu ciuman mendarat di kening dan bibir Vi. Satu dekapan pun meleburkan mereka semakin dalam keheningan.

Setelah Riz merasa Vi agak tenang. Ia pun membuka suara.

"Sayang, maafkan aku. Mungkin ini akan sangat menyakitimu. Juga bagiku. Tapi, aku tak sanggup menolak permintaan Ibu."

Nyawa Vi seakan mulai mengambang. Napasnya mulai sesak. Ada pilu sangat menusuk batinnya. Apakah terulang lagi? Tidak. Tidak mungkin!!, berontak batin Vi pada takdir.

Riz tak sanggup melihat keadaan Vi yang terlihat mulai shock. Buliran bening mulai berjatuhan di kulit wajahnya, seakan ikut merasakan kesedihan. Jemari Riz menyeka tetesan hangat tersebut.

"Apakah kamu akan dijodohkan?"

Satu pertanyaan dari Vi membuka tabir risau yang sejak tadi tak sanggup diceritakan oleh Riz. Pertanyaan yang hanya membuatnya mengangguk lemas.

Bungkam. Raut wajah pucat. Bias bahagia raib seketika dari Vi. Batinnya mulai berontak.

"Tidak, Riz. Ini tak boleh terjadi. Tak boleh Riz. Kamu tahu kan? Aku sangat mencintaimu. Aku akan mati Riz. Kamu lupa? Kamu lah yang buatku bernyawa lagi dari kematian itu. Lalu, mengapa kamu rampas nyawaku lagi. Aku mohon Riz. Jangan lagi," jerit pilu Vi yang sejak tadi terkunci akhirnya berontak membebaskan diri.

Vi beringsut dari bangku tersebut dan menjauh ke arah kolam dengan kedalaman yang mampu menenggelamkannya.

Hal yang dilakukan Vi membuat Riz takut. Ia masih ingat bagaimana terpukulnya jiwa Vi saat ia ditinggal menikah oleh Bram. Mantan Vi. Saat itu Riz lah yang menghentikan niat bunuh diri Vi yang berusaha memotong urat nadi pergelangan tangannya. Dan saat ini, ia melakukan hal yang sama, membuat Vi akan melakukan hal gilanya.

Hal itu membuat Riz tersadar. Ia lalu berlari mengejar Vi yang sudah berusaha melompat. Ia raih lengan Vi dan menarik tubuh mungil itu ke pelukannya.

Tangisan sesenggukan Vi, terasa begitu pedih bagi Riz. Tetapi ia tak tahu harus berbuat apa. Ia telah menyanggupi permintaan ibunya sebelum menemui Vi. Ia hanya mampu membisiki satu kalimat, yang sangat akrab bagi Vi 'aku sangat menyayangimu Vi'.

Setelah beberapa saat. Vi akhirnya tenang. Satu bisikan dalam batinnya berusaha membuat ia menerima takdir.

"Riz, antar aku pulang!" ucapnya kemudian.

***

Sepanjang perjalanan kebungkaman menjadi milik mereka sepenuhnya. Sesekali Vi menyeka air mata di pipi. Ia tak lagi memeluk mesra lelaki di depannya.

***

Beberapa bulan kemudian.

Vi keluar kota, menjauh dari tempat tinggal sebelumnya. Semua itu dilakukan demi melupakan kisah pahitnya bersama Riz.

Kini, seorang Vi sedang berdiri menatap jauh ke depan. Gedung-gedung pencakar langit memberi suasana baru baginya.

Ia mulai menata hidup. Satu perusahaan kecil di ibukota Jakarta menerimanya sebagai karyawati. Kesibukannya sedikit demi sedikit memupus kepiluan dalam hatinya. Namun, tidak bagi cintanya pada Riz.

***

Sedang pada tempat berbeda tepatnya di daerah Bandung.

Pada sebuah hotel, Riz sedang melakukan sebuah perjanjian dengan klien.

Tiba-tiba terkejut melihat satu sosok yang sangat dikenalinya sedang berada di tempat sama dengannya. Bukan karena itu yang buat Riz terkejut. Melainkan, sosok di samping wanita itu. Lelaki itu adalah sahabatnya semasa kuliah dan wanita itu tak lain adalah tunangannya.

Mengapa Risa bersama Dendi?, pikirnya bertanya-tanya.

Pelan-pelan Riz mendekati mereka.

Sontak Risa terkejut. Ada was-was tampak di raut wajahnya.

Tidak bagi Dendi. Meski sempat terkejut melihat Riz tiba-tiba berada di sampingnya.

"Hei, Riz. Apa kabar kawan?" sambut Dendi hangat seraya memeluk sahabatnya itu.

"Oh, yah. Kenalkan ini pacar gue, Bro," ucap Dendi sambil memperkenalkan Risa.

Ucapan Dendi barusan membuat Riz sontak terkejut. Wajahnya memerah menahan amarah. Lalu, ia menoleh ke arah Risa yang sejak tadi bungkam dengan wajah pucat.

Lalu berbalik menatap sahabatnya seakan tak percaya atas apa yang dilihatnya. Demi Ibu, aku menerima wanita ini, dan meremukkan separuh hatiku yang tertinggal jauh di sana. Tapi ternyata! Ahh!! Maafkan aku, Vi. Dan tiba-tiba ia tersadar apa yang seharusnya dilakukan.

"Jangan percaya wanita ini, Den. Dia itu wanita murahan. Kamu tahu siapa dia? Dia adalah wanita yang dijodohkan denganku," suara Riz meninggi dan melihat jijik pada Risa.

"Menyesal aku meninggalkan Vi demi wanita murahan ini," lanjutnya penuh kebencian.

Dendi hanya termangu dengan apa yang didengarnya.

Apa yang terjadi. Aku pacaran dengan tunangan sahabatku, semua terjadi tiba-tiba membuat Dendi sangat terkejut.

"Jadi, yang kamu ceritakan dulu, si Risa ini?" tanya Dendi kemudian.

"Maaf, Bro. Sekarang terserah padamu mau terus jalan dengannya atau tidak."

"Dan kamu Risa. Jangan pernah tunjukkan wajahmu yang hina itu di hadapanku lagi juga Ibu," ancam Riz lalu berlalu dari hotel tersebut setelah sebelumnya telah menyelesaikan perjanjiannya dengan klien.

***

Penyesalan akibat keputusan salah yang telah diambilnya pada masa lalu, membuat Riz begitu merindukan Vi.

Ia memutuskan pulang ke rumah orang tuanya, dengan niat semoga ia dapat bertemu Vi. Pun, dengan harapan kuat mendapat maaf dari Vi. Tentunya satu harapan besar tertancap di hati Riz.

Namun, apa yang terjadi. Ia tak menemukan sosok yang didambanya itu. Vi dan keluarganya tak lagi tinggal di tempat yang sama.

Kekecewaan berat pun melanda jiwa Riz. Hal tersebut membuatnya murung.

Ibu Riz pun memahami hal yang menimpa putranya. Satu penyesalan memberati batinnya. Andai dulu ia tak memaksa Riz menerima perjodohan itu. Mungkin ia tak akan melihat putra semata wayangnya bersedih dan acapkali termenung seperti saat ini.

***

Pada bulan Februari. Vi yang telah mampu berdamai dengan kepahitan masa lalu, memutuskan kembali ke kampung halaman.

Tetapi tidak untuk ke tempat tinggalnya dulu. Melainkan, rindu membawa hatinya ke sepenggal kisah masa lalu.

Kini, ia berada di bawah pohon kenangan--pohon Genitri. Cahaya purnama yang menjelajahi semesta terasa hangat di malam yang dingin. Seolah menyambut kehadiran Vi yang sangat menikmati keheningan malam dengan suara jangkrik juga semilir angin yang masih setia membelai pohon Genitri.

Sesosok dengan wajah rindu. Sejak sejam sebelum kehadiran Vi di tempat itu, telah diam-diam menikmati setiap inci tubuh mungil yang dalam pantulan cahaya rembulan semakin terlihat indah dan seksi. Kerinduan mendalam di hati, menarik langkahnya mendekati sosok semampai tersebut.

"Vi."

Satu panggilan membuyarkan kenikmatan yang baru saja terjalin antara Vi dan semesta. Vi menoleh. Terkejut! Rasa rindu akan sosok yang berdiri tepat di sampingnya tiba-tiba menyeruak menyapa.

"Riz, sejak kapan kamu di sini?" tanya Vi heran tanpa mampu ia sembunyikan kerinduan yang terpancar pada matanya.

"Sejam sebelum kamu di sini," jawab Riz.

Dahi Vi mengernyit

"Kok, aku gak liat kamu?" tanya Vi heran.

Riz hanya tersenyum merasa tak perlu menjawabnya.

"Apa boleh aku memelukmu. Aku rindu, Vi. Sangat rindu?"

Vi menatap heran permintaan mantannya itu. Ia berpikir. Apa ia harus menerima permintaan lelaki beristri di depannya.

"Aku takut akan ada yang sakit hati Riz. Aku tak mau dijambak. Wajah cantik ini pun tak kuizinkan menerima cakaran," sahut Vi bergurau sembari mengeluarkan kedua tangannya yang sejak tadi disakukan lalu memungut sehelai daun jatuh.

"Tak ada Vi. Tak akan ada yang berani melakukan itu pada wanita yang kucintai."

"Juga tak akan ada yang kubiarkan mencakar wajah cantikmu. Walaupun, wajahmu bercodet, kamu tetaplah wanita tercantik di mataku, Vi"

Pernyataan Riz barusan membuat Vi heran sekaligus tersenyum.

"Gombal," balas Vi tersipu, "istrimu mana?" tanyanya lanjut.

"Aku tak punya istri, Vi. Hanya dirimu yang akan jadi istriku."

Ucapan Riz menimbulkan tanda tanya di benak Vi. Keheranan Via dirasakan oleh Riz. Sebelum Vi bertanya ia lebih dulu menjelaskan semuanya.

"Vi, aku sangat menyesal meninggalkanmu. Sudah berminggu-minggu aku di kampung, demi untuk menemuimu. Berkali-kali ke sini, tapi tak menemukanmu. Namun, malam ini. Aku sangat bahagia Vi. Hatiku yang hilang telah kutemukan lagi. Kamu telah kembali, dan aku sangat yakin kamu lah jodohku," ucap Riz sambil memegangi wajah Vi, menatap mata Vi dalam-dalam. Seakan memberi pesan pada Vi bahwa cintanya telah kembali.

"Lalu, istrimu?" tanya Vi masih penasaran.

Ia tentu tak ingin gegabah lagi dalam mengambil keputusan. Apabila karena cintanya yang masih mendalam pada Riz, membuatnya mengambil keputusan salah. Ia tak mau dipoligami. Itu tak ada dalam kamus hidupnya. Bukan karena ia tak setuju dengan poligami melainkan, sebab ia tak sanggup berbagi suami.

"Tak usah tanyakan tentang itu. Aku tak jadi menikah. Ia selingkuh dengan Dendi."

Riz akhirnya menceritakan hal yang paling membuatnya benci. Bukan karena tak jadi menikahi Risa. Namun, karena dengan memilih Risa, ia menyakiti wanita yang sangat dicintainya.

"Vi, apakah kamu mau menemani sisa perjalanan hidupku, menjadi istriku?"

Vi dengan mata yang berkaca-kaca karena bahagia--mengangguk. Ia sangat yakin dengan keputusannya kali ini. Mereka berpelukan penuh kebahagiaan.


***
Spoiler for Index Next Chapter :




Quote:
Diubah oleh rykenpb 04-05-2019 18:54
Gimi96dieq41bukhorigan
bukhorigan dan 46 lainnya memberi reputasi
47
18.1K
512
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
rykenpb
TS
rykenpb
#1
Sepenggal Kisah di Bawah Pohon Genitri




#Saatnyamoveon



Karya : Ryken P.B


Pada dinginnya wajah kolam
Bulan berdandan
Rintihan dedaunan gugur
Sesendu redup bias purnama malam ini

~ o0o ~

-----------------------------------------------------------

Begitu pun di bawah rindang Genitri. Pemilik seraut wajah yang menyimpan deretan misteri duduk di sebuah bangku kayu. Bertalu-talu desah terhempas dari bibir mungil itu, menikmati dinginnya cuaca malam ini. Angin sepoi membelai pilunya. Gigil jiwanya sedikit menghangat.

Ribuan belukar mencakari otaknya, setelah beberapa peristiwa sedang merekam jejak pada perjalanan hidup seorang Via. Gadis bertubuh semampai, rambut hitam lurus sedada berpotongan asimetris--senada warna iris mata indahnya. Kini terpaku menikmati malam.

Satu desahan berat melabuhkannya pada bayang kenangan.

Riz, andai kamu di sini, aku tak akan seresah ini. Kamu tak akan membiarkanku sendiri. Malam ini tak akan segigil salju. Hangatmu akan selalu mendekapku.

Apa kamu merasakan hal yang sama seperti degup rindu ini padamu
.

Tapi tidak! Kamu pasti sudah bahagia. Rindu tak lagi kaumiliki untukku. Seharusnya harapan ini tak menyapa lagi. Namun, malam ini, entah kenapa aku begitu merindukanmu.

Apa kamu ingat? Senja pada waktu itu serupa pelangi bagi kita. Di bawah pohon ini, kita tertawa riang sambil memunguti biji-biji Rudraksha. Aku masih ingat senyummu. Sepasang lesung pipi terlukis indah di wajahmu. Pada binar matamu kulihat diriku,
dalam hati via berbisik sesekali wajahnya tengadah memperhatikan dedaunan melambai tertiup semilir angin malam ini.

Vi, genggam biji ini, pejamkan matamu dan rasakanlah sesuatu.

Apa yang kamu rasa, Sayang? Kamu temukan aku di dalam sana kan?

Kamu tahu kenapa? Sebab aku serupa biji ini, sebagai pelebur setiap kegundahanmu, meski sehamparan semesta ini pun.

Vi, biji-biji ini dikenal sebagai biji pelenyap gundah, pemberi ketenangan, menjernihkan pikiran, juga untuk kesehatan. Dan, masih banyak lagi manfaat dari biji ini,
ucapmu waktu itu dengan binar mata teduh.

Via memunguti selembar daun Genitri yang layu, jatuh selintas menyentuh bahunya. Dimainkannya daun itu dengan memelintir ujung batang daun. Matanya menatap sendu ke langit, sesendu cahaya rembulan yang dipagari awan. Seakan tak rela pujaannya tersenyum pada gemintang. Namun, tetap saja kalah oleh angin yang sedikit berontak.

Riz, semesta itu seperti kisah kita. Awan itu seperti diriku dengan hati berontak, meski mencoba mempertahankan hubungan kita tetap saja aku kalah oleh baktimu, desah Vi saat menyadari bila saat ini ia sendirian tanpa pujaan hatinya.

Itu tak akan terjadi Riz, apabila kamu bersikukuh menolak.

Beberapa bulir bening akhirnya tak mampu menahan diri menjatuhkan dirinya.

Seperti ketidaksanggupan jiwa Via mendengar petir yang hentikan denyut jantungnya beberapa detik kala itu.


***


Pada siang itu ....

Satu dering nada panggilan telepon mengalunkan suara seorang pemusik dunia 'La Rojes' membangunkan Via dari tidur siangnya.

"Hmm ... siapa lagi sih?" keluh Vi sambil berusaha meraih ponselnya, "ganggu tidur aja ini o--."

Upss!!

Ternyata my love, bisik lirih Vi.

Satu nama terpampang di layar ponsel menghentikan keluhannya.

Senyuman rekah menghiasi wajah manis Vi, dengan menggigit pelan sedikit ujung bibir bawahnya, ia menekan tombol ponsel.

"Halo, Sayang," sapa Vi pada suara seberang.

"Vi, aku mau bicara sebentar. Boleh yah?" balas suara lelaki dari seberang.

"Apa sih yang gak buat kamu, Beb. Hayo mau cerita apa?" tanya Vi dengan suara manja.

"Gak bisa diomongin lewat sini, Sa--yang ..., kita ketemuan aja yah di tempat biasa," ucap Riz kaku dengan suara terputus-putus saat menyebutkan panggilan sayang.

Ada desir aneh terasa dingin tiba-tiba menjalari darah Vi. Sekilas jantungnya berdetak lebih kencang. Dahinya mengernyit. Pikirannya kebingungan mencari jawaban.

Ah! Gak mungkin, sanggahnya.
Secepat kilat ia mengusir suudzon yang merayunya.

"Halo, Viii," panggilan cemas terdengar dari suara seberang.

"E--e, iya, Sayang," sahut Vi cepat.

"Aku jemput yah sore ini?"

"Hmm!" balas Vi masih dengan kebingungan merajai benaknya.

“Daag, Sayang." Satu ucapan mengakhiri percakapan itu.

Tak ada kecupan seperti biasanya dan itu semakin membuat Vi merasa sesuatu yang janggal sedang terjadi.

Ah, sudahlah ntar juga tahu. Mending mandi daripada kepalaku pusing mikirin, keluh Vi sambil beranjak meraih handuk dan menuju kamar mandi.


***


Di halaman depan hunian Vi. Di sebuah bangku kosong. Riz menunggu Vi dengan perasaan gelisah. Sesuatu sedang bergumul di batinnya, Apakah aku akan tega pada Vi, aku sayang Vi. Tapi ...., gundah batinnya seketika menguap setelah tampak Vi menghampirinya.

"Melamun aja, Sayang!" sapa Vi lembut dengan suara khasnya yang manja.

"Sudah siap, Sayang?"

Sambut Riz tersenyum. Ada getir dari nada suaranya. Di tatapnya wajah Via--sang kekasih hati. Ada pilu yang merekah. Maafkan aku, Sayang. Rasa sedih dan bersalah terasa mencekik Riz.

Satu anggukan dari Vi sebagai balasan.


***


Sepanjang perjalanan Riz hanya terdiam. Beberapa lipatan kemesraan sedang bermain di mindanya. Bertalu-talu rasa bersalah menabuh genderang padanya. Sangat menohok. Hingga pedih bukan lagi sebagai duka tapi laksana racun baginya kelak.

Vi pasti sangat membenciku setelah tahu semuanya. Kecamuk segala rasa di dalam batin Riz saling menuding. Pembelaan pun sesekali bertindak sebagai hakim.

Vi mulai merasa ada sesuatu yang aneh pada tingkah Riz. Akhirnya bertanya hati-hati.

"Ada apa, Sayang? Kok diam aja! Biasanya bawel!" selidik Vi.

"Gak apa-apa kok, Beb." Riz secepatnya meramu resah.

Semoga Vi tidak merasakan keanehan sikapku tadi, khawatir Riz.

***

Perjalanan yang tak memakan waktu yang lama. Jarak dari rumah Vi dengan tempat yang di tuju hanya berjarak 500 meter saja. Di bawah pohon Genitri, Riz memarkir motornya.

Keduanya duduk pada sebuah bangku kayu yang menghadap ke arah kolam. Sejuk semilir angin bagaikan sebuah keteduhan abadi bagi Vi, terlebih sedang bersama separuh hatinya. Suasana romantis di bawah pohon itu membawa kepala Vi bersandar di bahu kiri Riz. Namun, tidak bagi Riz. Gelisah sejak tadi menggerayangi hatinya.

Kebersamaan ini, mungkin tidak akan ada lagi. Bila Vi sudah tahu semua. Ada kepasrahan dalam batin Riz.

Sesekali Riz menatap seraut wajah manis di sampingnya. Wangi rambut Vi merasuki hidung Riz. Aroma yang sama dengan aroma parfum yang dipakainya.

Sejenak ada keheningan, ketenangan. Hanya terdengar desah napas mereka. Sesekali Rizel menghela napas panjang demi melegakan sesak dadanya. Vi sempat menoleh. Sejenak menatap Riz dengan pertanyaan yang sama di benaknya. Hal itu buat ia sangat penasaran. Sedang yang ditatap hanya termangu, pandangannya kosong menatap air kolam dengan buih-buih kecil pada permukaan yang disebabkan beberapa ikan kecil.

Ada yang lain dari diri Riz kali ini ada apa yah? pikir Vi penasaran.

Ia tak mampu menahan lebih lama lagi rasa penasaran itu. Lalu ....

"Sayang, sejak tadi aku lihat kamu diam bengooong aja. Kamu ada masalah yah? Cerita donk, Yang!"

Satu embusan napas Riz terdengar berat di telinga Vi. Riz hanya membiarkan pertanyaan Vi berlalu. Matanya masih saja menatap kolam.

Ini akan sangat menyakitimu, Vi. Dan aku pun merasakan hal yang sama. Sesungguhnya aku tak sanggup dengan keputusan ini. Tapi ..., rintih batin Rizel.

"Yang, kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya Vi penuh kelembutan.

Akhirnya Riz menoleh, dan ditatapnya wajah kekasihnya itu penuh kelembutan. Namun, dari sorot matanya menyimpan kegundahan.

Sekali lagi ragu mengusik Riz. Haruskah ini terjadi pada hubungan kita, Sayang? Sejujurnya aku tak tega melihatmu menangis setelah ini. Aku sangat yakin, kamu tak akan rela melepasku. Aku tahu itu. Aku pun sama, Vi. Aku tak sanggup jauh darimu. Sebab kamu lah satu-satunya wanita yang kusayangi setelah Ibu.

"Sayang," panggil Via sekali lagi.

Lembut suara Vi terdengar bagai rintihan di telinga Rizel.

"Vi, aku sangat mencintaimu. Aku takut kehilanganmu. Dan, tak akan sanggup jauh darimu. Aku tak akan sanggup, Sayang."

Mata Riz yang berkaca-kaca juga ucapan takut kehilangan membuat Vi makin yakin ada sesuatu yang akan terjadi.

Tidak! Ini tidak mungkin. Perpisahan? Aku gak akan sanggup. Tak akan sanggup. Kekuatan cinta Vi berusaha menampik segala kegelisahan yang membuncah.

Tatapan bingung dan ketakutan yang terpancar dari raut wajah Vi. Semakin menancapkan kepiluan di hati Riz. Ia meraih tubuh mungil itu ke dekapannya dan berbisik, 'Aku sangat sayang kamu, Vi, sangat sayang'.

Semesta pun seolah merasakan kepiluan dua sejoli itu. Angin tak lagi bertiup, ikan kecil pun tak menampakkan diri. Beberapa lembar dedaunan pohon Rudraksha berguguran sendiri tanpa dimainkan embusan angin.

Vi melepaskan pelukan Riz setelah beberapa saat.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Riz. Katakanlah!" desak Vi dengan mata yang berkaca-kaca.

Sesuatu yang besar akan mengubah kisah hidup Vi ke depannya. Mungkinkah kebahagiaannya hanya akan menjadi lukisan usang tak berjudul? Tidak. Ini sangat menakutkan baginya. Sebab kehilangan bukan lagi sebuah angin lewat baginya. Melainkan, sebagai ritual yang dirinya pun sudah lelah hanya sekadar mengingkari takdir.

Apakah akan terjadi lagi padaku. Tidak Tuhan! Aku baru saja bahagia. Jangan lagi Engkau rebut kebahagiaan ini dariku. Mungkin aku akan mati dan menjadi 'mayat hidup' sekali lagi. Cukup sudah Tuhan. Aku tak akan sanggup lagi menerima ini, rintih Vi dalam diam.

Riz tak sanggup melihat kesayangannya hanya terdiam. Tatapannya kosong. Satu ciuman mendarat di kening dan bibir Vi. Satu dekapan pun meleburkan mereka semakin dalam keheningan.

Setelah Riz merasa Vi agak tenang. Ia pun membuka suara.

"Sayang, maafkan aku. Mungkin ini akan sangat menyakitimu. Juga bagiku. Tapi, aku tak sanggup menolak permintaan Ibu."

Nyawa Vi seakan mulai mengambang. Napasnya mulai sesak. Ada pilu sangat menusuk batinnya. Apakah terulang lagi? Tidak. Tidak mungkin!!, berontak batin Vi pada takdir.

Riz tak sanggup melihat keadaan Vi yang terlihat mulai shock. Buliran bening mulai berjatuhan di kulit wajahnya, seakan ikut merasakan kesedihan. Jemari Riz menyeka tetesan hangat tersebut.

"Apakah kamu akan dijodohkan?"

Satu pertanyaan dari Vi membuka tabir risau yang sejak tadi tak sanggup diceritakan oleh Riz. Pertanyaan yang hanya membuatnya mengangguk lemas.

Bungkam. Raut wajah pucat. Bias bahagia raib seketika dari Vi. Batinnya mulai berontak.

"Tidak, Riz. Ini tak boleh terjadi. Tak boleh Riz. Kamu tahu kan? Aku sangat mencintaimu. Aku akan mati Riz. Kamu lupa? Kamu lah yang buatku bernyawa lagi dari kematian itu. Lalu, mengapa kamu rampas nyawaku lagi. Aku mohon Riz. Jangan lagi," jerit pilu Vi yang sejak tadi terkunci akhirnya berontak membebaskan diri.

Vi beringsut dari bangku tersebut dan menjauh ke arah kolam dengan kedalaman yang mampu menenggelamkannya.

Hal yang dilakukan Vi membuat Riz takut. Ia masih ingat bagaimana terpukulnya jiwa Vi saat ia ditinggal menikah oleh Bram. Mantan Vi. Saat itu Riz lah yang menghentikan niat bunuh diri Vi yang berusaha memotong urat nadi pergelangan tangannya. Dan saat ini, ia melakukan hal yang sama, membuat Vi akan melakukan hal gilanya.

Hal itu membuat Riz tersadar. Ia lalu berlari mengejar Vi yang sudah berusaha melompat. Ia raih lengan Vi dan menarik tubuh mungil itu ke pelukannya.

Tangisan sesenggukan Vi, terasa begitu pedih bagi Riz. Tetapi ia tak tahu harus berbuat apa. Ia telah menyanggupi permintaan ibunya sebelum menemui Vi. Ia hanya mampu membisiki satu kalimat, yang sangat akrab bagi Vi 'aku sangat menyayangimu Vi'.

Setelah beberapa saat. Vi akhirnya tenang. Satu bisikan dalam batinnya berusaha membuat ia menerima takdir.

"Riz, antar aku pulang!" ucapnya kemudian.

***

Sepanjang perjalanan kebungkaman menjadi milik mereka sepenuhnya. Sesekali Vi menyeka air mata di pipi. Ia tak lagi memeluk mesra lelaki di depannya.

***

Beberapa bulan kemudian.

Vi keluar kota, menjauh dari tempat tinggal sebelumnya. Semua itu dilakukan demi melupakan kisah pahitnya bersama Riz.

Kini, seorang Vi sedang berdiri menatap jauh ke depan. Gedung-gedung pencakar langit memberi suasana baru baginya.

Ia mulai menata hidup. Satu perusahaan kecil di ibukota Jakarta menerimanya sebagai karyawati. Kesibukannya sedikit demi sedikit memupus kepiluan dalam hatinya. Namun, tidak bagi cintanya pada Riz.

***

Sedang pada tempat berbeda tepatnya di daerah Bandung.

Pada sebuah hotel, Riz sedang melakukan sebuah perjanjian dengan klien.

Tiba-tiba terkejut melihat satu sosok yang sangat dikenalinya sedang berada di tempat sama dengannya. Bukan karena itu yang buat Riz terkejut. Melainkan, sosok di samping wanita itu. Lelaki itu adalah sahabatnya semasa kuliah dan wanita itu tak lain adalah tunangannya.

Mengapa Risa bersama Dendi?, pikirnya bertanya-tanya.

Pelan-pelan Riz mendekati mereka.

Sontak Risa terkejut. Ada was-was tampak di raut wajahnya.

Tidak bagi Dendi. Meski sempat terkejut melihat Riz tiba-tiba berada di sampingnya.

"Hei, Riz. Apa kabar kawan?" sambut Dendi hangat seraya memeluk sahabatnya itu.

"Oh, yah. Kenalkan ini pacar gue, Bro," ucap Dendi sambil memperkenalkan Risa.

Ucapan Dendi barusan membuat Riz sontak terkejut. Wajahnya memerah menahan amarah. Lalu, ia menoleh ke arah Risa yang sejak tadi bungkam dengan wajah pucat.

Lalu berbalik menatap sahabatnya seakan tak percaya atas apa yang dilihatnya. Demi Ibu, aku menerima wanita ini, dan meremukkan separuh hatiku yang tertinggal jauh di sana. Tapi ternyata! Ahh!! Maafkan aku, Vi. Dan tiba-tiba ia tersadar apa yang seharusnya dilakukan.

"Jangan percaya wanita ini, Den. Dia itu wanita murahan. Kamu tahu siapa dia? Dia adalah wanita yang dijodohkan denganku," suara Riz meninggi dan melihat jijik pada Risa.

"Menyesal aku meninggalkan Vi demi wanita murahan ini," lanjutnya penuh kebencian.

Dendi hanya termangu dengan apa yang didengarnya.

Apa yang terjadi. Aku pacaran dengan tunangan sahabatku, semua terjadi tiba-tiba membuat Dendi sangat terkejut.

"Jadi, yang kamu ceritakan dulu, si Risa ini?" tanya Dendi kemudian.

"Maaf, Bro. Sekarang terserah padamu mau terus jalan dengannya atau tidak."

"Dan kamu Risa. Jangan pernah tunjukkan wajahmu yang hina itu di hadapanku lagi juga Ibu," ancam Riz lalu berlalu dari hotel tersebut setelah sebelumnya telah menyelesaikan perjanjiannya dengan klien.

***

Penyesalan akibat keputusan salah yang telah diambilnya pada masa lalu, membuat Riz begitu merindukan Vi.

Ia memutuskan pulang ke rumah orang tuanya, dengan niat semoga ia dapat bertemu Vi. Pun, dengan harapan kuat mendapat maaf dari Vi. Tentunya satu harapan besar tertancap di hati Riz.

Namun, apa yang terjadi. Ia tak menemukan sosok yang didambanya itu. Vi dan keluarganya tak lagi tinggal di tempat yang sama.

Kekecewaan berat pun melanda jiwa Riz. Hal tersebut membuatnya murung.

Ibu Riz pun memahami hal yang menimpa putranya. Satu penyesalan memberati batinnya. Andai dulu ia tak memaksa Riz menerima perjodohan itu. Mungkin ia tak akan melihat putra semata wayangnya bersedih dan acapkali termenung seperti saat ini.

***

Pada bulan Februari. Vi yang telah mampu berdamai dengan kepahitan masa lalu, memutuskan kembali ke kampung halaman.

Tetapi tidak untuk ke tempat tinggalnya dulu. Melainkan, rindu membawa hatinya ke sepenggal kisah masa lalu.

Kini, ia berada di bawah pohon kenangan--pohon Genitri. Cahaya purnama yang menjelajahi semesta terasa hangat di malam yang dingin. Seolah menyambut kehadiran Vi yang sangat menikmati keheningan malam dengan suara jangkrik juga semilir angin yang masih setia membelai pohon Genitri.

Sesosok dengan wajah rindu. Sejak sejam sebelum kehadiran Vi di tempat itu, telah diam-diam menikmati setiap inci tubuh mungil yang dalam pantulan cahaya rembulan semakin terlihat indah dan seksi. Kerinduan mendalam di hati, menarik langkahnya mendekati sosok semampai tersebut.

"Vi."

Satu panggilan membuyarkan kenikmatan yang baru saja terjalin antara Vi dan semesta. Vi menoleh. Terkejut! Rasa rindu akan sosok yang berdiri tepat di sampingnya tiba-tiba menyeruak menyapa.

"Riz, sejak kapan kamu di sini?" tanya Vi heran tanpa mampu ia sembunyikan kerinduan yang terpancar pada matanya.

"Sejam sebelum kamu di sini," jawab Riz.

Dahi Vi mengernyit

"Kok, aku gak liat kamu?" tanya Vi heran.

Riz hanya tersenyum merasa tak perlu menjawabnya.

"Apa boleh aku memelukmu. Aku rindu, Vi. Sangat rindu?"

Vi menatap heran permintaan mantannya itu. Ia berpikir. Apa ia harus menerima permintaan lelaki beristri di depannya.

"Aku takut akan ada yang sakit hati Riz. Aku tak mau dijambak. Wajah cantik ini pun tak kuizinkan menerima cakaran," sahut Vi bergurau sembari mengeluarkan kedua tangannya yang sejak tadi disakukan lalu memungut sehelai daun jatuh.

"Tak ada Vi. Tak akan ada yang berani melakukan itu pada wanita yang kucintai."

"Juga tak akan ada yang kubiarkan mencakar wajah cantikmu. Walaupun, wajahmu bercodet, kamu tetaplah wanita tercantik di mataku, Vi"

Pernyataan Riz barusan membuat Vi heran sekaligus tersenyum.

"Gombal," balas Vi tersipu, "istrimu mana?" tanyanya lanjut.

"Aku tak punya istri, Vi. Hanya dirimu yang akan jadi istriku."

Ucapan Riz menimbulkan tanda tanya di benak Vi. Keheranan Via dirasakan oleh Riz. Sebelum Vi bertanya ia lebih dulu menjelaskan semuanya.

"Vi, aku sangat menyesal meninggalkanmu. Sudah berminggu-minggu aku di kampung, demi untuk menemuimu. Berkali-kali ke sini, tapi tak menemukanmu. Namun, malam ini. Aku sangat bahagia Vi. Hatiku yang hilang telah kutemukan lagi. Kamu telah kembali, dan aku sangat yakin kamu lah jodohku," ucap Riz sambil memegangi wajah Vi, menatap mata Vi dalam-dalam. Seakan memberi pesan pada Vi bahwa cintanya telah kembali.

"Lalu, istrimu?" tanya Vi masih penasaran.

Ia tentu tak ingin gegabah lagi dalam mengambil keputusan. Apabila karena cintanya yang masih mendalam pada Riz, membuatnya mengambil keputusan salah. Ia tak mau dipoligami. Itu tak ada dalam kamus hidupnya. Bukan karena ia tak setuju dengan poligami melainkan, sebab ia tak sanggup berbagi suami.

"Tak usah tanyakan tentang itu. Aku tak jadi menikah. Ia selingkuh dengan Dendi."

Riz akhirnya menceritakan hal yang paling membuatnya benci. Bukan karena tak jadi menikahi Risa. Namun, karena dengan memilih Risa, ia menyakiti wanita yang sangat dicintainya.

"Vi, apakah kamu mau menemani sisa perjalanan hidupku, menjadi istriku?"

Vi dengan mata yang berkaca-kaca karena bahagia--mengangguk. Ia sangat yakin dengan keputusannya kali ini. Mereka berpelukan penuh kebahagiaan.


***
Spoiler for Index Next Chapter :




Quote:
Diubah oleh rykenpb 04-05-2019 18:54
0