wediAvatar border
TS
wedi
Rumah Terbengkalai (True Story)


Hai, Readers.
Saya punya cerita yang mungkin menarik untuk kalian baca, kisah ini saya angkat dari kejadian nyata yang saya alami sendiri.

Sebelumnya saya minta maaf jika ada:
-Kesalahan dalam Post saya
-Update ceritanya lama.
-Saltik atau Typo karena cerita belum sempat di Revisi ulang.

Untuk Versi REVISI DAN TERUPDATE bisa cek di sini: Mangatoon - Rumah Terbengkalai True Story

Quote:


Quote:

----------------------------------------------------------------
Index On Kaskus (Progres)

1. Prolog.
2. Perkenalan.
3. Rumah Tua Part 1.
4. Rumah Tua End.
5. Malam Pertama Part 1.
6. Malam Pertama End.
7. Interaksi Astral Part 1.
8. Interaksi Astral End.


>>> On Going Progres Perpindahan Post: Sabar ya gan.. emoticon-Embarrassmentemoticon-Embarrassment
Maaf kalau dibagi menjadi "Part" karena menghindari jenuh baca dan panjang pada Reply Thread.
----------------------------------------------------------------
Quote:
Diubah oleh wedi 26-02-2020 13:31
zeuskraetos
yonken
dwex80
dwex80 dan 52 lainnya memberi reputasi
49
50.3K
264
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
wediAvatar border
TS
wedi
#7
Malam Pertama Part 1
Malam yang semakin larut, hanya menyisakan keraguan yang tak berarti. Baru saja Yudi terlihat pergi beserta seluruh keluarga pemilik rumah ini sebelumnya.

Arif dan Alvien masih sibuk membersihkan kamar yang nanti akan kami gunakan untuk beristirahat, sedangkan aku dan Ardan hanya berdiri di ambang pintu dengan raut wajah yang masih merasa asing dengan rumah ini.

"Den," aku melirik Ardan, "rumah ini udah dibeli sama Bang Yudi bukan," ucap Ardan.

"Ya, begitulah, kenapa memang Dan," balasku, menaikan satu alis.

"Ga apa-apa sih," jawab Ardan, dengan mata mengedar. "Kok mau ya, beli rumah kayak gini," tutupnya.

"Katanya si mau dibangun ulang," sahutku, berjalan ke ruang tamu. "Dan, mending temani gue yuk, cek belakang rumah."

"Hayu."

Dengan langkah ragu aku mulai menyusuri setiap ruang dalam rumah tua ini, mata-ku mengedar menyisir setiap tembok yang dipenuh debu dan jaring laba-laba. Memang tidak ada yang istimewa pada bangunan kosong ini. Bahkan langit-langitnya begitu kotor dan berlubang, meskipun ada beberapa yang ditutup oleh Karung Goni. Untuk  lantainya, rumah ini menggunakan keramik kuning yang terhampar disepanjang ruang. 

Langkahku terhenti pada suatu ruang yang tersekat tembok memisahkan antara ruang tamu dan lorong yang sepertinya menuju dapur. Di sini terdapat meja kayu berbentuk bundar sempurna, dan tidak jauh dari sini tepat dibalik dinding yang membatasi ruang tamu dan ruang ini berdiri kokoh lemari jati dengan lebar kurang lebih satu meter setengah, berwarna coklat pekat yang dihiasi cermin bersegi empat, hampir menutupi semua permukaan pintu yang terbelahmenjadi dua bagian.

"Den, ada kamar lagi," ucap Ardan sambil menarik lengan bajuku, Ia menunjukan satu kamar yang masih tertutup rapat.

Aku tidak begitu tertarik dengan kamar yang Ardan tunjukan padaku, namun tak ada salahnya jika aku melihat isi dari kamar tersebut. Mengingat jumlah kami yang tidak akan cukup dengan hanya satu kamar.

"Buka aja Dan, untuk kamar tidur lu sama alvien, semoga saja ada tempat tidur di dalamnya," jawabku. membuat Ardan menghampiri pintu itu.

Kreeeekkk...
Pintu tua bergaya khas Belanda itu terbuka dengan perlahan ketika Ardan mendorongnya. Pantulan cahaya dari ruang tamu mulai bergeser menerangi seisi kamar yang gelap gulita.

"Gelap amat," pekik Ardan, menyodorkan kepala ke dalam kamar.

Tidak lama kami berdiri di bibir pintu, aku dan Ardan di kejutkan oleh dentuman keras yang berasal dari dalam kamar.

Bruuaaaakkkkk ... !!!

Sontak aku melompat satu lengkah menjauhi pintu tersebut. Dengan wajah memias aku dan Ardan saling menoleh. Entah suara apa itu namun terdengar seperti benda berat yang terjatuh dan menghantam lantai dengan sangat keras, bahkan sampai-sampai menarik perhatian Alvien yang tengah berbincang dengan Arif.

"Suara apaan Den," tanya Alvien, yang baru tiba dengan wajah paniknya. Aku dan Ardan hanya menggelengkan kepala samar.

Aku membungkukan tubuh dengan lengan menahan di kedua lututku, mencoba mengatur nafas yang sudah tak karuan. "Ngga tau-lah Vien, suaranya dari dalam sana," aku menunjuk ke dalam kamar.

"Gelap banget gile," ucap Alvien, membuka kembali pintu yang sudah hampir tertutup rapat.

"Pake senter ngga Vien," kata Ardan. "Ngga bakal keliatan kalau ngga ada cahaya."

"Mana, ada yang punya senter ngga?" sahut Alvien, menyodorkan lengannya ke arahku.

"Ponsel gw ada senternya, bentar," tukasku, sambil mengaktifkan senter.

Dengan lengan yang masih gemetar, aku mencoba menyisir setiap sudut ruangan  dengan cahaya senter dari ponselku. Kamar gelap yang mulai terlihat jelas hanya memperlihatkan ruang kosong tanpa ada satu benda apapun, hanya ada satu jendela kayu di dalam sana yang masih tertutup dengan sangat rapat.

"Dengan suara sebising itu pastilah bendanya sangat besar, namun di mana benda itu?" batinku, yang masih terheran-heran dengan apa yang baru saja terjadi.

"Mungkin hanya tikus, atau sesuatu yang jatuh dibalik kamar ini," kataku, sambil mematikan senter.

"Tikus, mana bisa bikin suara sebesar itu Den," tukas Alvien, menyambar ponselku. "Gue yang lagi di kamar depan aja berasa lantainya bergetar," tukas alvien, menjulurkan kepala hendak melihat ke balik pintu.

"Den, sini deh, ada yang mau gue omongin," kata Ardan menepuk pundakku, dan berlalu.

"Apaan?" sahutku, membuntuti langkahnya.

"Dulu, seinget gue, di daerah sini pernah terjadi kasus bunuh diri yang dilakukan oleh satu keluarga," pernyataan Ardan sontak membuatku terdegub sesaat. "Tapi gue ngga tahu tepatnya di mana, yang pasti kejadian itu ada di daerah sini," lanjut Ardan.

"Ah, yang bener lu," singkatku, dengan nada ragu atas apa yang dikatakan Ardan.

"Kayaknya gue pernah dengar juga deh," tukas Alvien, dengan lirik mata tak menentu, mencoba mengingat sesuatu. "Ada yang bilang bunuh diri, ada juga yang bilang dibantai, ada juga yang bilang tewas terbakar," tambah Alvien.

Aku terdiam sesaat, setelah mendengar perkataan mereka, rasa ganjil di dalam kalbuku kian menjadi. Tidak menutup kemungkinan semua itu bisa saja terjadi, mengingat Ardan dan Alvien sudah sejak kecil tinggal di Gg Rantai, tidak terlalu jauh dengan Gg Loji. Namun aku harus berpikir positif untuk kejadian ini, bisa saja mereka hanya membual mencoba menakut-nakutiku.

Aku menghalakan nafas panjang, memandang sesaat ke arah Alvien dan Ardan. "Kalau pun perkataan kalian benar, pastilah kejadian itu sudah sangat lama, dan belum tentu terjadi di rumah ini," ujarku, sambil berjalan perlahan menuju kamar Arif. "Lagipula pemilik rumah ini sebelumnya Kakek dan Nenek, jelas mereka masih hidup sampai saat ini," lanjutku, menghindari percakapan yang hanya memperkeruh suasana.

Tak lama terdengar lirih suara motor mendekat, memecah kesunyian yang telah terasa semakin mencekam, sepertinya Jainal sudah kembali membawa belanjaan yang kami pesan.

"Nah, tuh si Jainal udah balik," seru Alvien, berjalan penuh semangat hendak menyambut Jainal.

"Kalau mau masak air cek di belakang, mungkin ada kompor yang masih bisa digunakan," pangkasku, melanjutkan langkah.

"Siap, Den," saut Ardan, dan kami pun berpencar, penelusuranku terhenti.

"mungkin lebih baik aku mandi dan beristirahat."

Aku melangkah menuju kamar sebelumnya yang digunakan Arif beristirahat untuk menaruh Tas dan Sweater-ku. dan sesampainya di kamar, terlihat Arif yang sedang berbaring di atas kasur sambil memainkan ponsel genggamnya.

"Mandi dulu Mas baru tidur, biar nyenyak," ucapku, sambil menaruh tas selempang di atas tempat tidur, dan menggantungkan sweater pada sebuah paku yang tertanam pada dinding kamar.

"Males banget mau mandi juga," jawab Arif memeluk guling dan memalingkan tubuhnya.

"Belanja jauh amat di sini," aku menoleh pada Jainal yang baru kembali. "Harus ke jalan raya dulu baru nemu warung, mana jalannya super ancur banget," lanjut Jainal sambil mengintip kantung plastik berwarna putih yang ia bawanya.

"Sini belanjaan gue," aku mengambil kantung plastik yang disodorkan Jainal. "Sisanya taruh di kasur aja Nal, mau mandi dulu gue," tambahku, lantas berjalan keluar kamar, setelah mengambil perlengkapan mandi yang baru dibeli Jainal.

"Den, ini pasang gak lampunya?" kata Ardan, menghentikan lajuku.

"Oh, Iya pasang deh Dan," sahut-ku, kembali berjalan dengan siulan halus.

Senyumku memudar seiring semakin jauh aku terpisah dari yang lain, rasa ragu semakin kental aku rasakan hingga membuatku terhenti. Ruangan di sini terlihat lebih kotor jika dibandingkan dengan ruangan sebelumnya, dan lagi sebagian lantainya masih terbuat dari tanah, dengan atap tak berplafon hingga terlihat bambu-bambu penyanggah genting yang telah dipenuhi jaring laba-laba kecoklatan, di sebalah pojok kiri terdapat tengku api yang masih mengeluarkan asap halus.

Sungguh aku tidak nyaman berada di ruangan dapur ini..

****
>> Bersambung ..
Diubah oleh wedi 07-05-2019 15:09
tmdnt.co
mr.frodo12
actandprove
actandprove dan 10 lainnya memberi reputasi
11