wediAvatar border
TS
wedi
Rumah Terbengkalai (True Story)


Hai, Readers.
Saya punya cerita yang mungkin menarik untuk kalian baca, kisah ini saya angkat dari kejadian nyata yang saya alami sendiri.

Sebelumnya saya minta maaf jika ada:
-Kesalahan dalam Post saya
-Update ceritanya lama.
-Saltik atau Typo karena cerita belum sempat di Revisi ulang.

Untuk Versi REVISI DAN TERUPDATE bisa cek di sini: Mangatoon - Rumah Terbengkalai True Story

Quote:


Quote:

----------------------------------------------------------------
Index On Kaskus (Progres)

1. Prolog.
2. Perkenalan.
3. Rumah Tua Part 1.
4. Rumah Tua End.
5. Malam Pertama Part 1.
6. Malam Pertama End.
7. Interaksi Astral Part 1.
8. Interaksi Astral End.


>>> On Going Progres Perpindahan Post: Sabar ya gan.. emoticon-Embarrassmentemoticon-Embarrassment
Maaf kalau dibagi menjadi "Part" karena menghindari jenuh baca dan panjang pada Reply Thread.
----------------------------------------------------------------
Quote:
Diubah oleh wedi 26-02-2020 13:31
zeuskraetos
yonken
dwex80
dwex80 dan 52 lainnya memberi reputasi
49
50.3K
264
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
wediAvatar border
TS
wedi
#3
Rumah Tua
Tahun 2001 tepatnya pada bulan Juni. Aku tengah berada di Bandung, tinggal bersama sepupuku yang bernama Arif. Selain kami tinggal bersama, tadinya kami juga satu perguruan di salah satu SMK Negeri di Kota Bandung, namun aku lebih dulu menyelesaikan pendidikan.

Arif memiliki seorang Kakak pria yang berusia 32 Tahun bernama Yudi.
Sejak kecil Yudi tinggal bersama keluargaku, dan dibesarkan oleh ibu-ku. Entah faktor apa yang membuatnya seperti itu, tapi menurut ibu-ku, Keluarganya yang tak mau jika Yudi terjangkit penyakit yang serupa seperti Kakak pertamanya yang selalu sakit-sakitan. (Almarhum.)

Karena itulah Yudi lebih terbiasa tinggal bersama keluargaku dan menganggapku sudah seperti adiknya sendiri. Hingga beranjak usia 17 tahun Yudi merantau bersama temannya untuk menjalankan bisnis batu bara yang kini telah merubah nasibnya secara drastis. Saat itu masa-masa di mana Yudi tengah berada di puncak kejayaannya, bahkan rumah yang aku tinggali bersama Arif ini pun terbilang begitu megah bak Istana yang kerap terlihat di serial TV,

Di sini kami difasilitas cukup mewah dan sedikit berlebihan bagiku. Di garasi bawah, terparkir rapi empat buah motor keluaran terbaru dan tiga unit mobil Honda Jezz berwarna biru dan putih yang siap kami gunakan untuk keperluan sehari-hari.

Hingga suatu ketika Yudi mendapatkan ambisinya untuk membangun rumah sebanyak mungkin, terutama pada daerah yang menurutnya cocok. Apa lagi jika ada tanah yang dijual berukuran luas dengan harga murah, pasti pantang pulang sebelum membelinya.

"Bikin rumah yang banyak, kalau susah bisa dijual atau disewakan." Kurang lebih itulah yang ia ucapkan dengan tawa menangnya.

Hingga kini ia sedang membangun 6 Rumah sekaligus yang berlokasi: di Bandung, Sabi Banten, Pandeglang Banten, dan Satu di Bogor.

***
Akhir-akhir ini cuaca di Bandung terasa sangat menyengat, meliputi seluruh bagian penjuru kota yang tengah mengalami musim kemarau.

Seperti biasa Aku dan Arif lebih memilih menghabiskan waktu luang untuk bermalas-malasan di dalam rumah, seperti hari ini kami sedang berada di lantai tiga yang hampir menyerupai BAR Mini.

Cetar!! Brek!! Brek!!

Bola billiard yang saling beradu terdengar memecah kesunyian dalam ruangan.

Dengan tubuh membungkuk, tatap tajam pada ujung stick, Arif menghentak kuat bola putihnya.
Kami sangat hanyut dalam permainan, hingga akhirnya dering ponsel menghentikan kesenanganku.

Kring..!! kring..!!

Aku berdecak malas, dan menghampiri ponsel yang terletak pada sebuah Sofa Bludru biru tidak jauh dari tempatku berdiri di sisi meja Billiard.

"Cih, siapa sih." gusarku menyambar ponsel dengan cepat.

Dan kulihat panggilan itu dari Yudi, dengan sigap aku mengambil sebuah Remote dan membisukan Musik sesaat.

"Hallo, Bang."
('Bang' panggilan dari 'Babang' artinya sama seperti 'kakak' )

"Den, Babang lagi di jalan, mungkin jam empat Babang sampai di sana, kalian siap-siap ya, kita pulang hari ini." kata Yudi terdengan hening di sekitarnya, sepertinya ia sedang berada di dalam mobil.

"Pulang Bang?" sahutku, memperjelas. "Emang ada apa Bang, kok dadakan."

"Babang mau beli rumah di daerah Bogor, Den," jawab Bang Yudi singkat.

"Loji, Bang?" aku mengerutkan kedua alis, dengan mata berkeliling.

"Iya Loji, nanti juga tahu, ya udah kalian siap-siap," tegas Bang Yudi. "Babang sebentar lagi sampai," lanjutnya, mengakhiri percakapan kami.

Aku menoleh ke arah Arif yang sedang bermain Billiard seorang diri.
"Oe, Rif, ga jadi kita ke rumah Anis, kita disuruh balik," ungkapku, membuat Arif menoleh cepat. "Babang mau beli rumah," tambahku, berjalan lemas, dan duduk menyandar pada meja billiard dengan handphone yang masih kugenggam.

"Jiah, mana gua udah janji mau ke rumah Ratna," sahut Arif, terdengar jengkel. "Lagi tuh orang gak pernah puas beli rumah terus, bukan yang ada diberesin dulu," ia melempar stick billiard ke atas meja dengan keras.

"Biarin aja-lah Rif, mungkin bisnisnya lagi bagus," sahutku, "lagi pula, kalau rumah bisa jadi investasi untuk kemudian hari," aku beranjak untuk mempersiapkan diri.

Aku melirik jam dinding, yang menunjukan sudah hampir jam empat, kami harus segera bergegas sebelum Bang Yudi tiba sesaat lagi, karena Yudi bukan type orang yang penyabar, tidak bisa mengimbangi waktu saat bersamanya maka akan membuat situasi kacau.

Sungguh jauh berbeda dibandingkan dengan Arif, yang lebih senang membuang-buang waktunya, tak pernah serius dalam menyikapi masalah, mungkin karena hidupnya yang terlalu di majakan oleh materi.

"Mau kemana Den?" tanya Arif yang melihatku berjalan hendak keluar ruangan.

"Baiknya lu siap-siap Rif, Babang bentar lagi tiba," singkatku, membuka pintu kaca yang tertutup rapat.

Tak lama aku bersiap, samar terdengar kelakson mobik dari arah depan rumah.

Bip.. bip..

Aku menghampiri jendela kamar, dan mengintip diantara celah korden. Terlihat sebuah mobil sedang memasuki lahan parkir dengan perlahan.

Menyadari Yudi telah tiba, aku segera mengambil Tas Selempang yang tergeletak di atas kasur lalu bergegas keluar kamar.

Sesaat Aku berhenti di depan kamar Arif yang masih tertutup rapat.
"Rif, Babang udah di bawah," teriakku, pada Arif yang mungkin masih bersiap-siap.

Dengan tas selempang yang melintang pada jacket merah muda yang ber-resleting terbuka, celana levis hitam yang sedikit mengecil di pergelangan kaki yang terbalut sepatu putih bergaris hitam. Kini aku siap untuk berpergian.

Wwuuss...!

Seketika pintu terbuka terasa udara panas bercampur debu menabrak kuat wajahku, memang sudah berapa hari ini di Bandung tidak diguyur hujan, tak heran rumah yang berada tidak jauh dari jalan raya akan mendapatkan hadiah berupa debu pada musim kemarau.

"Den, si Arif mana?" kata Bang Yudi dengan nada sedikit keras, ia nampak rapih hari ini, dengan mengenakan kemeja biru yang menutupi tubuh gemuknya, disambung celana panjang hitam, sedikit menutupi sepatunya yang berujung kotok mengkilap.
Ia hanya berdiri disamping pintu mobil menatap ke arahku yang tengah berjalan menghampirinya.

"Lagi siap-siap Bang, bentar lagi juga beres," jawabku, yang baru tiba di belakang mobil.

"Masuk Den," singkatnya, sebelum masuk kembali ke dalam mobil.

Aku lantas masuk dan duduk di kuris depan. Ia nampak sangat sibuk dengan jari yang terus beradu pada keypad handphone-nya.

"Bang, Loji daerah mananya?" tanyaku. "Bukannya Loji ngga ada perumahan ya."

Setahuku di daerah Loji masih jarang rumah, bahkan terbilang masih banyak pohon rimbun dan lahan kosong yang tak jelas siapa pengurusnya.

Sekilas Yudi mengangkat dagu dan menoleh ke araku dengan mata yang masih tertuju pada layar Handphone-nya.
"iya di Loji Den, ada satu rumah pokoknya," jawabnya, membuatku semakin mengingat-ingat, "yang punya hanya Kakek dan Nenek," lanjutnya, tak menjawab pertanyaanku.

Tak lama pintu mobil terbuka diiringi Arif yang merangsak duduk di kursi belakang.
"Sory, lama, nyari jam tanggan lupa naruhnya," ucapnya, sambil nyengir kuda.

"Rif, itu di dalam koper uang buat bayar rumah, jangan dibuka, kunci-nya rusak," tutur Yudi, menaruh handphone miliknya di Dasboard dan mulai bersiap mengemudikan mobilnya.

Menghindari Death Time saat di berjalanan, aku memasang earphone pada kedua telingaku, dan menyandarkan kapala pada kuris.

***

Kurang lebih jam 19:00, kami baru keluar dari pintu Tol Ciawi, hampir dua jam kami di perjalanan, membuat pinggangku terasa remuk. Kulihat Arif sedang sibuk dengan ponselnya, dan Yudi masih fokus dalam mengemudi, walau sesekali dia bergumam akbiat situasi jalan yang begitu padat.

"Den, panggil teman yang lain untuk menemani kalian di rumah yang baru nanti," kata Bang Yudi melirik sesaat padaku.

Aku menoleh ke arah belakang dan menaik turunkan alisku. dengan senyum kecil.
"Rif, Telp yang lain, lupa isi pulsa euy." Arif menurunkan bibirnya dan mengangguk samar.

Dua jam telah berlalu setelah kami berhasil keluar dari kemacetan yang lumayan parah, dan kini kurasakan kendaraan kami seakan berguncang ketika memasuki jalan yang masih berbatu dan sangat berlubang. Jarak pandangku sangat terbatas, karena tiadanya lampu pada bahu jalan, cahaya satu-satunya hanya bersumber dari lampu mobil yang kami kendarai.

Mataku tak henti berkeliling melihat keadaan sektiar jalan dari balik jendela. Entah perasaan cemas atau karena masih asing dengan tempat ini, namun aku merasa tak nyaman melihat pemandangan sekitar yang terkesan menyeramkan, terlalu banyak pohon rimbun dan tanaman liar yang menghimpit bibir jalan, hanya bebarapa rumah saja yang terlihat, itu pun berada tidak jauh dari persimpangan jalan raya.

Pada akhirnya mobil pun menepi, aku menoleh ke arah kanan, tampaklah satu rumah yang terlihat sangat usang, bahkan genting pada bagian depannya sudah tidak tersusun rapih seperti hendak terjatuh. Pagar besi yang melintang membatasi perkarangan rumah yang dipenuhi tanaman liar tak terurus.

Namun di sisi kanan terlihat rumah lainnya, yang ber-cat putih berpagar besi dan tembok yang mengitari setiap sudutnya. Rumah itu sangatlah gelap tanpa ada cahaya sedikitpun. Ditambah tiga pohon besar yang berdiri diantara rimbunnya semak-semak yang memenuhi pekarangannya. Entah rumah itu berpenghuni atau tidak.

Hentakan pada pintu mobil yang tertutup, meliputi Yudi yang telah berada di luar mobil, aku pun segara melepas sabuk pengaman yang melintang di dadaku untuk menyusulnya. 

Wusssss!
seketika terasa hembusan angin malam yang menerpa wajah, Kupingku terasa berdengung mewakili suasana yang sunyi, hanya ada suara ranting pohon yang saling bergesekan terhempas oleh kencangnya angin malam.

Aku melirik arloji, baru jam 8 malam, namun di sini sudah sangat sunyi, tak nampak sebatang hidung pun yang berlalu-lalang di sepanjang jalan.

Arif yang menyusul kami berdiri tepat di sisi kananku, "tempatnya kaya gini? ga salah pilih rumah Bang?" ucap Arif, dengan mata menerawang sekitar.

"Jangan liat rumahnya, liat lahannya dong, mantap," jawab Yudi dengan penuh percaya diri.

Tak ingin membuang waktu lama, kami mulai berjalan mendekati pintu pagar berkarat yang sudah lapuk termakan usia.

Drakk..!! drakk..!! drakk..!!

Yudi mengetuk kuat pagar itu dengan menggunakan kunci mobilnya, melihat jarak ke pintu rumah lumayan jauh, sekita 20 meter.

Cukup lama kami menunggu di sini, hingga akhirnya terdengar suara hentakan kunci, yang diiringin pintu perlahan terbuka. Pintu itu terlihat tua, nampak bergaya khas Blanda yang terbagi dua sisi.

Samar terlihat se-seorang yang berjalan menghapiri kami dengan tertatih-tatih. Derap langkahnya sungguh lambat, terlihat dari cara ia menyeret alas kakinya dan sebilah tongkat untuk mengimbangi tubuh bungkuknya. Lekuk Senyumnya hampir tertutup oleh kerutan layu pada wajahnya. Ia mengenakan Konde Kebaya, bercorak bunga. Pada rambut belakang yang memunggul, terlihat tusuk konde yang menyerupai ekor bangau keemasan. Mungkin usianya lebih dari 78 tahun.

"M-maaf Jang, nunggu lama," ucapnya, dengan nada lirih bergelombang. "Maklum Jang, nenek mah sudah tidak bisa gesit lagi," lanjutnya. Dengan tangan bergetar, ia mencoba membuka ikatan tambang yang membelit pada pagar.

Khawatir tidak akan kuat sang Nenek menahan pagar besi yang sudah doyong ini, aku lantas membantu untuk menahanya. "Sudah, biar aku saja Nek," ucapku.

"Nuhun Jang," balas Sang Nenek, sepertinya ia tersenyum ke arahku.

Segera aku menggeser pagar dengan hati-hati, karana memang kondisinya yang sudah sangat rapuh.

"Nek, si Andre udah ke sini belum," tanya Yudi yang mulai menyelip dari celah pagar yang sudah terbuka.

"Dari pagi teh nenek belum liat dia Jang," sahutnya, mempersilahkan kami masuk. "Kemarin malam mah dia bilang kalau ada yang mau datang," jawab Nenek, berjalan di depan kami.

Aku dan Arif berjalan sejajar, di balakang Yudi dan Nenek itu. Tapi kulihat wajah gelisah Arif yang tak hentinya melirik kiri dan kanan. Entah apa yang ia rasakan, tapi dari caranya memandang, justru membuatku semakin tidak nyaman berada di rumah ini.

"Sssttt. Rif," bisik-ku, membuat Arif menoleh ke arahku, "Kenapa?" lanjutku.

Arif meletakan jari pada pipi kanannya. "Serem Den," bisik Arif, diriingi tubuhnya yang bergidik.

*****
>> Bersambung ...
Diubah oleh wedi 07-05-2019 15:07
kilua.zoldyck
tmdnt.co
edam
edam dan 10 lainnya memberi reputasi
11