ginaaw2018Avatar border
TS
ginaaw2018
Twice
Hidup ini sebuah kejutan. Setidaknya kalimat itu yang dipercaya Kirana. Gadis 18 tahun ini begitu banyak mendapati perubahan – perubahan besar dalam dirinya. Disaat Kirana begitu mantap untuk melupakan masa lalunya, sosok itu datang membuka kembali relung hatinya. Menghadirkan harapan dan senyuman – senyuman yang sudah tak lagi ada di memorinya.


Rian, guru sekolah yang memiliki perasaan tersembunyi terhadapnya. Membuat Kirana makin sulit menutupinya. Radit ketua Osis sekolah yang mempermainkan perasaannya. Memutar klise antara cinta dan sahabat dalam hidupnya. Raka, cowok blasteran aneh yang tiba – tiba hadir dalam kehidupan cintanya. Membuat Kirana harus memainkan sandiwara cinta bodoh yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.


Diantara banyaknya cinta yang disuguhkan padanya. Akankah Kirana tetap berlabuh pada kapal yang dulu sudah pernah ia singgahi. Ataukah Kirana lebih memilih persinggahan lain?



Twice – Part01


“Gue suka ama lo”, Insiden pagi itu jadi berita heboh seantero Sekolah.

“Apa – apaan sih orang – orang. Hello… ini udah minggu ke berapa ? Kenapa omongannya masih nggak jauh – jauh dari berita basi itu.

“Na, bilang aja lo cemburu. Lo kan ngakunya udah lama tuh nge – gebet si Radit. Eh giliran dia ngungkapin rasa sukanya. Lo jadi diam seribu bahasa. Udah nggak berkicau lagi nih ceritanya ?”

“Ihhhh …apa – apaan, Kapan gue pernah bilang suka ke Radit. Nggak ada ya dalam buku sejarah gue….”, Kirana terus nyerocos membela diri. Tangannya masih sibuk mengoleskan cream wash setitik demi setitik ke wajahnya yang ayu.

“Mau gue buka lagi lembar sejarah lo.”

“Udah gue bilang kan, itu cerita lama. Buka hari baru dong.” Tangannya masih sibuk.

“Tadi bilangnya nggak ada dalam sejarah, sekarang bilangnya udah cerita lama, yang konsisten dong. Cemburu bilang aja. Gak usah malu – malu kali Ran.”

“Gue nggak cemburu. Lagian apa bagusnya sih Radit, poin dia tuh cuma di jabatannya doang, K-e-t-u-a O-S-I-S.”

“Anak Basket ?”

“Ehm.. itu juga .” Kirana mengalihkan wajahnya sekilas ke arah Ghea.

“Tajir?”

“Yah, cuma itu kan.”

“Cakep, putih.”

“Aahh serah lo dah. Rasa gue ama dia udah lama hilang.”

“Cuih, cemburu bilang aja, jangan disembunyiin. Ntar jatohnya nyesek lo.”

“Waaah ni orang ngajak ribut, sini lo…”

Kedua gadis dengan rok 5 cm diatas lutut itu masih terus berkicau. Yang satu sibuk merapikan rambut yang tataannya tidak pernah berubah meskipun sudah disisir ratusan kali. Yang satu sibuk menyemprotkan pewangi ke seluruh tubuh. Begitu asyiknya membicarakan masalah pribadi mereka di depan toilet hingga tak menyadari keberadaan orang lain sampai Kirana yang sudah selesai dengan ritual siangnya menabrak seseorang. Terasa sekali dada bidang dan tubuh tegapnya, karena setelah menabrakpun tubuhnya masih santai dan tak bergeming.

“Anggap gue nggak denger apapun.” Kata seorang cowok yang tiba – tiba berjalan melewati toilet wanita, tepat saat peri – peri gosip itu meluncur keluar toilet. Alhasil, muka mereka merah padam, antara ragu, bingung, dan malu kalau – kalau cowok tadi mendengar semua perkataan mereka.

“Nay, dia nggak denger apa yang kita omongin kan?”

“Menurut lo ?” jawab Ghea dengan nada tak menyakinkan.

“Aahhhh bodo ! Gara – gara lo sih.”

“Loh kok jadi gara – gara gue. Orang yang suaranya kaya toak tuh elu.”

————–

Kelas ribut meskipun bel sudah 10 menit yang lalu berbunyi, suasana yang sudah biasa. Meskipun kelas ini terhitung sebagai salah satu kelas favorit di sekolah mereka. Tetapi saat tidak ada guru di kelas, inilah pemandangan yang biasa ditemui. Siswa dengan earphone di telinga mereka dan menari – nari di bagian belakang kelas yang kosong, para gadis ribut membicarakan novel dan film – film terbaru, atau berteriak ricuh membicarakan idol – idol korea yang tampannya nggak ketulungan. Beberapa dari mereka yang tak memiliki ketertarikan pada apapun memilih untuk tidur di barisan belakang meskipun sesekali dari mereka ada yang terkena pukulan bola beberapa anak basket yang tak tahu dimana tempat mereka berolahraga.

“Guys, kabar kali ini bener – bener. Kalo kata orang korea tuh, DAEBAK !” Siswa lelaki dengan topi miring dan jaket lusuh yang dipakainya berlarian dari pintu kemudian berdiri di depan kelas sambil mengangkat tangan berusaha mencari perhatian.

“Bu Rika nggak masuk, jadi kita nggak ada kelas.” Masih dengan nafasnya yang tersengal.

Baru saja seisi kelas ingin berteriak, seorang guru laki – laki masuk dan memukul bagian kepala belakang Ega, panggilan akrab untuk cowok cebol itu dengan buku setebal 3 cm. Tidak begitu keras, setidaknya tidak sampai membuat orang tuanya datang mengadu ke pihak sekolah.

“Oke, yang ngajar hari ini saya, jadi mohon buka bukunya halaman 94. Dan kerjakan latihannya. Kalo ada yang mau ditanyakan, saya duduk disini.” Jelas seorang guru muda berparas tampan bak pangeran dari negeri antah barantah yang dengan malasnya mendorong kursi guru ke arah pintu dan mulai memasang earphone ke telinganya.

Terdengar hembusan nafas siswa yang kecewa. Kabar baik secepat itu langsung jadi kabar buruk di depan mata kepala mereka.

“Berapa soal pak ?” Tanya Rika, siswa perempuan yang paling rajin di kelas ini.

“Semuanya.”

“Tapi ini ada 100 soal. Dan ini pelajaran Fisika, pak.” Dengan sedikit penekanan pada akhir katanya, siswa itu tak melupakan sopan santunnya dengan masih menggunakan sapaan yang pantas.

“Lalu ? ” Masih dengan nada santai, guru itu kemudian memasang kembali earphonenya tanpa menghiraukan murid lain yang saling bersahutan dengan sesekali mengeluarkan sumpah serapah mereka, dia cuma mengubah arah pandangnya ke lapangan basket tepat beberapa meter dari pintu kelas. Beberapa siswa perempuan dengan pakaian cheers berlalu sambil menyapanya.

“Dia mau ngebunuh kita, ini banyak banget !!” Kirana, siswi yang sedari tadi sibuk membalas sms, mulai berkicau. Ia mulai membuka bukunya dan mengambil pensil dengan malas. Sedikit tatapan sinis tak lupa ia layangkan pada pemilik kemeja polos warna putih. Cakep sih, tapi kebiasaannya itu , pikirnya.

“Bahkan dia lebih tampan dari Artis korea.” Ucap temannya yang ternyata ikut memandangi guru itu. Dan tidak hanya mereka, murid – murid perempuan lainnya ikut memandangi guru dengan siluet mata berwana coklat kebiruan itu. Melihatnya menatap ke luar kelas mereka membuat jantung seakan berhenti berdetak.

“Eh .. lo lagi ngelamunin Pak Rian, ato Radit ?”

“Shut.. diem ah.. Nanti kalau ketahuan anak – anak yang lain. Gue jadi bahan gosip.”

“Abis gue heran ama lo. Cantik, tapi nggak punya pacar. Segitu setianya lo nungguin Radit. Padahal maren – maren gue kira dia ada perasaan ama lo sampe suka ngajakin lo pulang bareng. Kok dia berubahnya cepet banget ya.”

“Bodo” jawab Kirana sekenanya. Sambil menghapus tulisan di bukunya kuat – kuat karena kesal.

————–

Bel tanda pulang sekolah berbunyi, sorak – sorai murid – murid terdengar riuh di sekitar sekolah. Beberapa ada yang langsung berlari menuju gerbang. Beberapa ada yang sekedar duduk di kantin untuk mengobrol, dan ada juga yang langsung masuk mobil. Tapi tidak untuk kelas 3 IPA 1 yang harus menyelesaikan tugas mereka sejak 3 jam pelajaran yang lalu. Rata – rata dari mereka baru menyelesaikan sekitar setengahnya. Soalnya memang obyektif, tapi bagi mereka ini jauh lebih sulit. Banyak sekali soal yang perlu cara panjang utnuk mendapatkan solusi.

Sebenarnya bagi sebagian siswa, pasti akan memilih untuk menjawab random. Toh itu juga bukan isian, jadi kemungkinannya masih 20 % dari 5 pilihan yang ada. Tapi ini tentu yang membedakan mereka dari kelas – kelas dengan peringkat di bawah mereka, Kelas 3 IPA 1 terkenal dengan kepedulian mereka terhadap nilai, akreditasi, dan kemampuan mereka. Meskipun keliatan seperti siswa normal lainnya, tapi peringkat merupakan hal paling penting disini.

“Baiklah, tugas itu boleh kalian kerjakan di rumah dan dikumpulkan besok pagi sebelum jam 7 di meja saya. Sekian dulu. Kalian boleh pulang.”, Pak Rian, sapaan akrabnya mulai menarik diri dari kelas itu setelah mengucapkan kata – kata yang melegakan mereka sekaligus menyakitkan.

“Sebelum jam 7, waras nggak sih dia ?” Sahut Kirana yang tak usai dengan kalimat protesnya sejak ia mengejarkan soal. Bahkan setiap soal yang dikerjakannya disertai dengan sumpah serapahnya pada guru tampan menyebalkan itu.

“ Dan yang mengatai saya gila bisa mengumpulkannya sebelum jam setengah 7 pagi. Sekian.” Kirana terkaget, dia mengira guru itu masih memutar lagu di telinganya.

“What ?” Kirana merasa darahnya naik hingga ke ubun – ubun. Kemarahannya langsung berada di puncak begitu mendengar kalimat itu. Gurunya hanya berlalu, bahkan seperti angin menghilang begitu saja.

“Selamat datang di sekolah pagi ya, Rana.”, Beberapa siswa laki – laki meledeknya. Jelas, Rana bukan tipe siswa rajin yang akan terlihat di kelas saat pak Yatmo, satpam sekolah atau temannya membuka pagar.

————–

“Arghhhh … Kenapa dia kejam banget sih?” Kirana yang sudah sampai di rumahnya segera melepaskan kekesalannya.

“Kenapa lagi sih Ran? Pulang sekolah kok langsung marah – marah gitu.”

“Ada guru Kirana yang super duper nyebelin, bunda ditambah lagi ketua OSIS yang sok cool, cowok – cowok basket yang sok kecakepan. Kirana pengen pindah aja ma ?”

“Sudah kelas tiga mau pindah kemana? Kalo nemu yang bagus ga papa, kalo enggak nanti kan kamu juga yang susah. Bentar lagi kan mau UN.”

“Abis Rana kesel ma.”

“Ya udah ini mama udah buatin jus kesukaan kamu, jus melon sayur.”

“Mama emang tahu kesukaan aku, gini tiap hari kan enak ma, aku kan jadi nggak gampang marah – marah mulu.” Ucap Rana langsung meneggak jus itu sampai habis.

Kirana, Siswi kelas 3 SMA SWASTA terbesar di Jakarta, tinggal dengan ibunya semenjak perceraian kedua orang tua mereka setahun yang lalu. Dan ini sempat menjadi berita heboh satu sekolah. Sekolahnya memang sekolah paling cepat dalam menerbangkan gosip apapun. Maklum, isinya rata – rata adalah orang – orang dengan kemampuan diatas, otaknya, linknya, latar belakang keluarganya, atau kekayaannya. Setidaknya satu orang memiliki satu point dan dia tidak cukup waktu menyebutkan yang memiliki keempat point itu. Banyak banget

Gosip itu sempat membuat hubungannya renggang dengan ibunya yang kini harus hidup sebagai single parent dan terpaksa menjalankan bisnis keluarga yang membuatnya bolak – balik Jakarta- Jogja atau beberapa daerah di Sumatera untuk pemasaran butiknya.

Tapi ia bersyukur karena masalah itu dapat teratasi dengan baik.

————–

“Eh .. si Kirana mana? Kan dia PO – nya.”

“Tahu tuh, tadi gue tanya ke temen – temennya katanya dia udah balik.” Seorang siswa laki – laki bertubuh jangkung memasuki sebuah kafe. Ocehannya dimulai begitu menyadari anggota yang datang baru sedikit.

“Gimana sih tu orang. Niat nggak sih bikin acara.” Kata temannya yang sudah sedari tadi duduk di pelataran kiri kafe sambil mendengarkan alunan gitar seorang gadis bertopi pink di bagian panggung. Tidak biasanya.

“Halo, Rana. Lo dimana? Kita udah ngumpul nih. Apa ? sekarang lo pokoknya cepet ke kafe depan sekolah.? Yang laen udah pada marah – marah. Yok.. .. Buruan yak.”

————–

Baru saja Rana akan menikmati liburan sorenya, sekarang Ketua OSIS sudah akan menganggunya lagi. Ia menyesal pernah mengatakan pada sahabatnya bahwa ia menyukai laki – laki satu ini. Tempramennya itu nggak jelas, pencintraanya terkesan memaksa. Tebar pesona sana – sini, dia semua tempat itu panggung model apa ?

————–

“Oke, kemaren udah nyampe mana ?”

“Oh .. Jadi gini, kita bakal bikin settingnya jadi 3 panggung. MC, tema tempo dulu ama kekinian. Jadi gampang buat setting tampilnya dalam artian pas kita bolak balik era, tinggal pindah – pindah view panggungnya aja. Nah untuk ngedapatin panggung yang bagus gitu, dananya juga pasti bakal banyak. Gimana menurut lo?”

“Massalah dana gue rasa gampang – gampang aja selama donatur kita banyak dan cewe gue juga ortunya bakal donaturin ini kok. Jadi tenang aja.” Teman – teman yang lain suit – suit begitu Radit berbicara tentang cewenya.

“Oke deh kalo gitu. Sip tinggal ngerencanain acara ama setting kedatangannya. Jadi tu gue mau kayak premier gitu, ntar yang datang bakal ada MC yang nyambutnya trus ada sesi foto – fotonya dari anak fotografer, ntar bakal tanda tangan di poster premiernya………. bla bla bla”

Lama Kirana menjelaskan semuanya sampai mulutnya mati rasa dan bergerak menyeruput es lemontea yang tadi di pesannya. Kafe ini adalah kafe pertama di dekat sekolahnya dan memang sudah tidak ada kafe lain. Kafe ini banyak digunakan untuk Rapat OSIS, dan kerja kelompok. Suasananya identik dengan sekolah jadi mereka sudah merasa ini rumah mereka.

Tiga jam lebih mereka membicarakan tentang acara prom night sekolah yang bakal diadakan 6 bulan dari sekarang. Kirana terpilih menjadi Project Officer acara ini karena ide – idenya yang briliant selama 3 tahun terakhir di dunia ke –OSIS-an. Tak jarang beberapa ekstrakulikuler lain sering memintanya menjadi penanggung jawab acara atau sekedar meminta idenya untuk acara mereka.

“Abis ini lo ada rencana apa Ran?” Radit menghampirinya di depan kafe. Ia tampak tengah merapikan letak tas raket tennisnya, sejak insiden itu ia memang beralih menjadi pemain tenis dibandingkan Basket. Padahal Rana sangat terkesima waktu melihatnya bermain basket di kelas 1 SMA dulu.

“Gue mau beli CD titipan sepupu gue, katanya waktu itu dia lihat di toko sekitar sini, cuma nggak ada kesempatan buat beli.”

“Oh… Mau gue temenin. Gue juga mau beli sesuatu.”

Kirana sedikit mengernyit heran mendengar tawaran Radit. Mengingat tak biasanya ia seperti ini padanya. Setidaknya setelah beberapa bulan yang lalu. Dulu, Radit begitu akrab bahkan sempat dikira berpacaran dengan Kirana. Tapi tak ada perkembangan yang jelas seputar hubungan mereka.

“Oh..Boleh kok boleh. Tapi lo yakin nggak bakal ada yang marah nih?”

“Maksud lo ? Nyantai aja kali.”

Kirana hanya mengiyakan ajakan Radit. Lumayan, entah pucuk dicinta ulampun tiba atau apalah itu namanya yang jelas sekarang ia berhasil jalan sama Radit. Hanya berdua. Tanpa disadarinya, sepasang siluet halus memandanginya dengan tatapan nanar seolah tak mampu menyentuh rembulan yang sinarnya begitu menyilaukan mata.

“Lo juga suka lagu ini? Gue juga suka, ini enak didenger. Kalo bahasa kitanya tuh, easy listening. Bener nggak?”

“Bener – bener. Selera kita sama ya?”

“Soulmate kali ya.” Kirana kembali mengernyit sambil memandang Radit. Katanya – katanya hari ini sungguh tak biasanya. Jangan – jangan ini orang mau pedekate ama gue lagi, pikirnya. Atau jangan – jangan dia memang seperti ini ama orang lain, even itu bukan gue. Kirana begitu asyik dengan berbagai asumsi yang dibuatnya sendiri hingga tak menyadari seorang cowok datang dari arah berlawanan dengannya.

BRAAAK

Tabrakan itu tak bisa terelakkan, Kirana yang memegang begitu banyak CD menjadi kelimpungan hingga merelakan CD itu terjatuh dan untungnya tidak sampai pecah. Memang kualitas CD terbaik pikirnya. Sementara laki – laki yang tak sengaja di tabraknya nampak kesakitan memegang kakinya.

‘Nih orang kenapa lebay banget, pikir Kirana. Padahal cuma nabrak dikit, CD nya aja nggak kenapa – kenapa.’ Gumamnya dalam hati.

Si cowok yang menabrak malah keluar dan terlihat dari etalase toko memasuki sebuah sedan hitam kemudian berhembus bagai angin. Dalam 10 menit ia tancap gas meninggalkan toko itu. Radit yang tak tahu kejadian itu hanya terheran – heran melihat cowok yang tadi nampak menyerobotnya, membuatnya terheran. Sebenarnya salah Radit yang berdiri di pintu masuk. Anehnya ia tak sadar – sadar, sampai – sampai pemilik toko harus menegurnya dari meja kasir.

Kirana segera mengumpulkan semua CD yang berserakan kemudian membawanya ke meja kasir. Belum lagi Rana mengeluarkan dompet dari tasnya, Radit sudah siap dengan kartu kredit di tangannya.

“Eh .. nggak usah Dit. Ini biar gue yang bayar, kan punya gue.”

“Anggap aja hadiah dari gue.” Jawabnya sambil tersenyum. Ia juga membawakannya dan kembali menawarkan jasa. Kali ini adalah tumpangan.

“Aduh, nggak usah. Gue bisa naik taksi kok. Lagian rumah gue juga nggak jauh – jauh amat dari sini.”

“Naik aja, udah lama gue nggak ngantarin lo pulang.”

“Aduh, gue bener – bener nggak enak ama lo. Ama pacar lo juga.”

“Nyantai lah. Kan gue bukan suaminya haha” Radit hanya terkekeh dan Akhirnya dengan setengah hati Kirana menumpangi motor satria Radit dan melaju menuju rumahnya. Tak ada perbincangan yang khusus ketika mereka sudah sampai kediaman Kirana. Karena sudah larut dan Kirana juga tak ingin ibunya melihat Radit kemudian mananyainya macam – macam, Kirana mempersilahkan Radit untuk pulang.

————–

“Apa? Kemaren lo diboncengi Radit balik ke rumah?” Nayla yang sudah tak bisa mengendalikan volumenya kembali berteriak ditempat yang sama, toilet wanita. Mungkin ini sudah menjadi tempat mereka untuk menggosip tentang diri mereka sendiri.

“Lo nggak bisa lebih kenceng lagi ngomongnya ? sekalian pake toak kalo bisa. Biar satu sekolahan denger.”

“Sori, Ran. Anggep aja gue terlalu excited dan lupa sekarang kita lagi ada dimana.” Nayla kembali bertanya panjang lebar, menanyakan setiap detail peristiwa layaknya wartawan yang tengah meliput berita gosip ter – hot sepanjang sejarah. Dan benar karena beberapa jam kedepan ini sudah menjadi gosip satu sekolahan.

Bla bla bla… begitu banyak yang mereka ceritakan di toilet itu sampai – sampai mereka tak juga mengetahui ada orang selain mereka. Tepat seperti sehari sebelumnya, cowok itu kembali muncul di depan mereka tepat saat mereka keluar dari kamar mandi.

“Anggap aja gue nggak denger apa – apa.”, dan dengan kalimat yang sama.

“Naylaaaa….”

————–





Suka sama ceritanya? Silahkan kunjungi blog saya untuk kelanjutan ceritanya emoticon-Wink https://ginaawsite.wordpress.com/twice-part03/

atau bisa di balasan thread di bawah, updated every week ya guys

Please leave a comment after reading emoticon-Wowcantik
Diubah oleh ginaaw2018 28-10-2018 10:27
anasabila
anasabila memberi reputasi
2
1K
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
cybermissAvatar border
cybermiss
#2
Quote:




Bukan emoticon-Big Grin
Nama mantan emoticon-Embarrassment maybe

Kenapa gak nulis di sini aja sekalian?
0
Tutup