naniharyono2018Avatar border
TS
naniharyono2018
The New York Times: Indonesia Tsunami’s Power After Earthquake Surprises Scientists



Indonesia Tsunami’s Power After Earthquake Surprises Scientists
By Henry Fountain
Sept. 30, 2018

“We expected it might cause a tsunami, just not one that big,” said Jason Patton, a geophysicist who works for a consulting firm, Temblor, and teaches at Humboldt State University in California.

But he added, “When events like this happen, we are more likely to discover things that we haven’t observed before.”
The 7.5-magnitude quake, which struck in the early evening, was centered along the coast of the island of Sulawesi about 50 miles north of Palu. Shortly afterward — within 30 minutes by some accounts — waves as high as 18 feet crashed ashore in the city, destroying buildings, smashing vehicles and killing hundreds of people.


A bridge damaged by an earthquake and tsunami in Palu, Indonesia.CreditAntara Foto/Reuters

The high casualty toll may also reflect Indonesia’s lack of advanced systems for tsunami detection and warning, tsunami experts said.

Other communities on Sulawesi, including the city of Donggala, were also hit by the tsunami, although there are as yet few details of the destruction or death toll outside of Palu.

Catastrophic tsunamis are often the result of so-called megathrust earthquakes, when huge sections of the Earth’s crust are deformed, moving vertically along a fault. This suddenly displaces enormous amounts of water, creating waves that can travel at high speed across ocean basins and cause destruction thousands of miles from the quake’s origin.

The 2004 Indian Ocean tsunami, which had waves as high as 100 feet and killed nearly a quarter of a million people from Indonesia to South Africa, resulted from a 9.1-magnitude megathrust quake in Sumatra.


Residents of Palu returned to their destroyed homes on Saturday, trying to salvage anything they could.CreditMuhammad Rifki/Agence France-Presse — Getty Images

By contrast, the fault that ruptured on Friday was a so-called strike-slip fault, in which the earth movement is largely horizontal. That kind of movement would not ordinarily create a tsunami.

But under certain circumstances it can, Dr. Patton said.

A strike-slip fault might have some amount of vertical motion that could displace seawater. Or the fault’s rupture zone, which in this case was estimated to be about 70 miles long, may pass through an area where the seafloor rises or drops off, so that when the fault moves during the quake, it pushes seawater in front of it.

Another possibility is that the tsunami was created indirectly. The violent shaking during the quake may have caused an undersea landslide that would have displaced water and created waves. Such events are not uncommon; several occurred during the 1964 9.2-magnitude Alaska earthquake, for example.

Dr. Patton said a combination of factors may have contributed to the tsunami. Studies of the seafloor will be crucial to understanding the event. “We won’t know what caused it until that’s done,” he said.

The tsunami could also have been affected by Palu’s location at the end of a narrow bay. The coastline and the contours of the bottom of the bay could have focused the wave energy and guided it up the bay, increasing the wave height as it approached shore.

Such effects have also been seen before. Crescent City, Calif., has been hit by over 30 tsunamis, including one after the 1964 Alaska quake in which 11 people were killed, because of the contours of the seafloor in the region and the city’s topography and location.

Whatever the genesis of the waves, a 7.5-magnitude quake would not be expected to create an ocean-wide event, but rather a more localized one, as was the case on Friday.

With the tsunami generated so close to Palu, there was little time for people to escape. A tsunami warning was issued by the government and was lifted about half an hour after the quake, apparently after the tsunami hit Palu.


People walking along a beach that was hit by the tsunami.CreditBay Ismoyo/Agence France-Presse — Getty Images

Indonesia currently uses only seismographs, global positioning system devices and tide gauges to detect tsunamis, which are of limited effectiveness, said Louise Comfort, a professor at the University of Pittsburgh graduate school. She has been involved in a project to bring new tsunami sensors to Indonesia.

In the United States, the National Oceanic and Atmospheric Administration has a sophisticated network of 39 sensors on the ocean bottom that can detect extremely small pressure changes indicating the passage of a tsunami. The data are then relayed via satellite and analyzed, and an alert is issued if required.

Dr. Comfort said that Indonesia had a similar network of 22 sensors but that they were no longer in use because they were not being maintained or had been vandalized.

The project she is working on would bring a new system to Indonesia that would use undersea communication to avoid the use of surface buoys that could be vandalized or hit by ships.

Dr. Comfort said she had been discussing the project with three Indonesian government agencies. Plans to install a prototype of the system in western Sumatra were delayed this month. “They couldn’t find a way to work together,” she said.

“It’s heartbreaking when you know the technology is there,” she added. “Indonesia is on the Ring of Fire — tsunamis will happen again.”
SOURCE:
https://www.nytimes.com/2018/09/30/w...®ion=Footer

Saat Tsunami Palu Bikin Kaget Ilmuwan Dunia
Senin 01 Oktober 2018, 22:41 WIB


Kerusakan di Palu akibat gempa dan tsunami yang terjadi Jumat (28/9) (Foto: DRONE PILOT TEZAR KODONGAN/via REUTERS)

Jakarta - Ilmuwan dunia kaget atas dahsyatnya tsunami yang menerjang Palu, Sulawesi Tengah. Mereka tak menduga gempa yang mengguncang Donggala akhirnya memicu gelombang tsunami yang menghancurkan Palu.

"Kami memperkirakan gempa itu mungkin memicu tsunami, tapi tidak sebesar itu," sebut Jason Patton, pakar geofisika yang bekerja untuk perusahaan konsultan Temblor dan mengajar pada Humboldt State University di California, Amerika Serikat, seperti dilansir New York Times, Senin (1/10/2018).

"Ketika peristiwa seperti ini terjadi, kita biasanya mendapati hal-hal yang belum pernah kita amati sebelumnya," imbuh Dr Patton.

Baca juga: Para Ilmuwan Dunia Terkejut akan Dahsyatnya Tsunami Palu

Pada Jumat (28/9) sore, tsunami itu dipicu gempa bumi dengan magnitudo 7,4 yang berpusat di titik 80 kilometer sebelah utara Palu. Sesaat kemudian, gelombang air laut hingga setinggi menerjang Palu. Akibat peristiwa itu, bangunan-bangunan hancur, kendaraan tersapu hanyut, dan ratusan orang tewas.

Diketahui bahwa tsunami yang menghancurkan sering kali disebabkan oleh gempa megathrust ketika sesar bumi yang berukuran besar melakukan penyesuaian dengan bergerak secara vertikal di sepanjang patahan bumi. Dalam peristiwa ini biasanya sejumlah besar air laut akan terdorong, memicu gelombang yang bisa bergerak dalam kecepatan tinggi dan memicu kehancuran di lokasi yang berjarak ribuan kilometer dari pusat gempa.

Tsunami yang terjadi di Palu berbeda dengan tsunami dahsyat di Samudra Hindia pada 2004 di Aceh. Tsunami Aceh dipicu gempa megathrust berkekuatan 9,1 Magnitudo hingga terjadinya tsunami setinggi 30 meter dan menewaskan nyaris seperempat juta orang, mulai di Indonesia hingga Afrika Selatan.

Buoy rusak yang terdampar di pantaiBuoy rusak yang terdampar di pantai (Adhar Muttaqin/detikcom)
Sementara itu, tsunami Palu dipicu patahan yang pecah, yang disebut patahan strike-slip. Pergerakan patahan Bumi kebanyakan horizontal dan pergerakan semacam itu biasanya tidak memicu tsunami. Namun, dalam situasi tertentu, sebut Dr Patton, tsunami bisa terjadi.

Patahan strike-slip bisa memicu sejumlah pergerakan vertikal yang bisa memindahkan sejumlah besar air laut. Atau zona pecahnya patahan Bumi, dalam kasus ini, yang diperkirakan mencapai panjang 112 kilometer, melewati area ketika dasar laut bergerak naik atau turun. Jadi, ketika patahan bergerak saat gempa melanda, itu memindahkan sejumlah besar air laut ke depannya.

Kemungkinan lain, tsunami terbentuk secara tidak langsung. Guncangan keras saat gempa mungkin telah menyebabkan tanah longsor di bawah laut yang akan memindahkan air laut dan memicu gelombang besar. Peristiwa semacam ini bukannya tidak biasa, karena pernah terjadi saat gempa 9,2 Magnitudo mengguncang Alaska pada 1964.

Baca juga: Alat Deteksi Tsunami di Indonesia Tak Berfungsi Sejak 2012

Tsunami juga disebabkan oleh lokasi Kota Palu yang berada di ujung teluk dangkal. Garis pantai dan bentuk dasar teluk bisa saja memfokuskan energi gelombang laut dan mengarahkannya ke teluk, dengan ketinggian semakin meningkat saat semakin mendekati pantai. Efek semacam itu pernah terjadi sebelumnya di Crescent City, California, AS, yang pernah diterjang lebih dari 30 tsunami.

Dr Patton menyebut kombinasi berbagai faktor mungkin bisa berkontribusi pada sebuah tsunami. Kajian terhadap dasar lautan menjadi krusial dalam upaya memahami terjadinya sebuah tsunami. "Kita tidak akan tahu apa yang menyebabkannya hingga peristiwa itu selesai," ucapnya.

Tak Ada Alat Pendeteksi Tsunami


Buoy rusak yang terdampar di pantai (Adhar Muttaqin/detikcom)

Para pakar tsunami memberi catatan soal kurangnya sistem canggih pendeteksi dini tsunami di Indonesia. Saat ini Indonesia diketahui hanya menggunakan seismograf, perlengkapan GPS (global positioning system), dan tide gauge (alat pengukur perubahan ketinggian air laut) untuk mendeteksi tsunami. Profesor pada University of Pittsburgh, Louise Comfort, menyatakan Indonesia memiliki 22 jaringan sensor serupa tapi kebanyakan tidak lagi digunakan karena tidak dirawat atau dicuri pihak tak bertanggung jawab. Dia menyebut peralatan itu memiliki efektivitas yang sangat terbatas.

AS sendiri memiliki 39 jaringan sensor canggih di dasar lautan yang bisa mendeteksi perubahan tekanan sekecil apa pun yang mengindikasikan kemunculan sebuah tsunami. Data-data dari sensor itu akan disampaikan via satelit dan dianalisis, untuk kemudian peringatan akan dirilis jika diperlukan.

Comfort saat ini sedang terlibat dalam proyek untuk membawa sensor tsunami di Indonesia. Proyek yang sedang dikerjakan Dr Comfort akan membawa sistem baru ke Indonesia, yang nantinya akan menggunakan komunikasi bawah laut untuk menghindari penggunaan buoy di permukaan laut yang bisa dicuri atau tertabrak kapal.

Dituturkan Dr Comfort, dirinya sedang membahas proyek ini bersama tiga badan pemerintahan Indonesia. Rencana memasang prototipe sistem itu di Sumatera tertunda bulan ini. "Mereka tidak bisa menemukan cara untuk bekerja sama. Ini menyayat hati ketika Anda tahu bahwa teknologinya ada. Indonesia ada di kawasan Cincin Api--tsunami akan terjadi lagi," ucapnya.

Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dibangun setelah bencana besar di Aceh dan Sumatera Utara pada 2004. Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dirancang dan dibangun dengan bantuan dana dan tenaga ahli Jerman lewat Pusat Geologi dekat Berlin, Geoforschungszentrums (GFZ) Potsdam.

"Menurut informasi yang kami terima, software-nya berfungsi dengan baik", kata juru bicara GFZ Josef Zens kepada harian Berlin Tagesspiegel edisi 1 Oktober 2018.

Buoy ini terdampar di pantai di TrenggalekBuoy ini terdampar di pantai di Trenggalek (Adhar Muttaqin/detikcom)
Dia menjelaskan, pusat pemantauan sistem peringatan dini tsunami di Jakarta mengeluarkan peringatan bahaya tsunami lima menit setelah terjadi gempa di Sulawesi Tengah. Simulasi komputer menyebutkan ada ancaman gelombang tsunami dengan ketinggian 0,5-3 meter. Sekitar 20 menit setelah gempa, gelombang besar itu mencapai daerah pesisir Sulawesi.

Namun, dia menduga peringatan tsunami itu tak sampai kepada masyarakat setempat. Josef juga menyayangkan penarikan peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG terlalu cepat, hanya 37 menit setelah peringatan pertama dikeluarkan.

"Sistem yang kami buat mengatur bahwa peringatan tsunami paling cepat baru bisa dibatalkan setelah dua jam." Dia menambahkan, masih harus ditelusuri mengapa pembatalan peringatan tsunami dikeluarkan secepat itu.

Ahli GFZ lain, Jrn Launterjung, menerangkan kepada televisi Jerman ARD, sistem peringatan dini tsunami berfungsi baik karena ancaman tsunami disebar lima menit setelah gempa. Namun dia menduga informasi itu tak sampai kepada masyarakat. Jrn Launterjung, yang ikut membangun sistem peringatan dini tsunami di Indonesia, mengatakan, dengan sistem yang ada, peringatan dini tsunami paling cepat diperoleh dalam waktu lima menit.

"Semua data yang diterima dari lokasi gempa harus diolah oleh komputer, kemudian dibuat model simulasi untuk menentukan, apakah ada ancaman gelombang tsunami, dan lokasi mana saja yang terancam. Semua itu berlangsung empat sampai lima menit. Itulah waktu yang tercepat membuat simulasi yang riil," kata dia.

Jrn Launterjung kaget dan prihatin atas bencana yang terjadi di Sulteng karena ada ratusan nyawa hilang meski sudah ada sistem peringatan dini tsunami. Menurutnya, pelatihan penanggulangan bencana yang cepat dan tepat mesti ditingkatkan.

Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia dirancang dan dibangun dengan bantuan dari Jerman setelah gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara pada 2004. Ketika itu, gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter, yang berpusat di Simeuleu, menyebabkan gelombang tsunami hebat sampai ke Samudra Hindia. Lebih dari 230 ribu orang tewas di seluruh dunia, di Aceh dan Sumatera Utara saja korban tewas lebih 160 ribu orang.
https://news.detik.com/berita/423764...n-dunia


------------------------------




Gua juga bijung dan takut ...
nggak ada tempat yang aman kalo tinggal di Indonesia dari gempa, gunung meletus, tsunami, .....


emoticon-Takut
Diubah oleh naniharyono2018 02-10-2018 07:04
0
1.5K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
rickrecktAvatar border
rickreckt
#4
Kalimantan klo mw lebih aman emoticon-Traveller
0
Tutup