Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kulon.kaliAvatar border
TS
kulon.kali
YANG HIDUP BERCERITA (Dwilogi 100 Tahun Setelah Aku Mati)
YANG HIDUP BERCERITA


(DWILOGI 100 TAHUN SETELAH AKU MATI)


 

Jika cerita lalu tentang kematian, maka ini cerita tentang hidup


 
MUKADIMAH



Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh



Sudah cukup lama sejak pertama kali akun kulon.kali memposting 100 Tahun Setelah Aku Mati pada 2016 yang lalu. Tidak terasa dua tahun sudah terlewati, dan ternyata benar bahwa perpisahan itu menyisakan rindu.


Kali ini perkenankanlah saya (WN) mewakili Mas Rizal untuk berterimakasih sebesar-besarnya kepada Mimin, Momod, dan semua agan dan agan wati jagad KASKUS yang sudah membaca 100 Tahun Setelah Aku Mati. Berkat dukungan dan doa dari semua agan dan aganwati di sini, 100TSAM sudah menjelma menjadi sebuah Novel yang bisa di terima dengan baik oleh pembaca tanah air, pernah juga di pentaskan dalam sebuah pertunjukan teater di Jogja, dan tak lama lagi akan di angkat sebagai film layar lebar.

Spoiler for Novel:


Spoiler for Teater:


Semoga cerita tersebut dapat menginspirasi dan di ambil hikmahnya oleh seluruh mata dan hati agan serta aganwati.


Dalam cerita ini saya berusaha memperbaiki cara penulisan yang begitu acakadutdi 100TSAM, semoga lebih nyaman untuk di baca.

Saya juga menulis cerita dengan judul CERMIN di SFTH , namun mohon maaf belum mampu saya lanjutkan karena beberapa sebab. Doakan nanti bisa kembali saya lanjutkan.

Oke, kembali ke topik.


Kali ini sesuai permintaan si empu cerita, saya akan kembali membahasakan kisah mereka yang sudah kalian kenal pada cerita lalu. Kisah ini merupakan jawaban atas pertanyaan kalian yang mungkin sudah ada sejak setahun lalu.

untukmu yang belum membaca kisah sebelum ini, silahkan klik


100 Tahun Setelah Aku Mati
untuk informasi Novel dan Film via ig @wn_naufal

 
“Cerita kemarin mengenai romantika maut, tapi sungguh jangan kalian sesali. Karena sejatinya perpisahan dan kematian merupakan akibat dari pertemuan dan kelahiran. Akan kuajak kalian bertualang, ke kehidupan mereka, dan kisahnya di mulai!”
--------------------




SEBUAH PROLOG
 
 Aku akan menceritakan padamu sebuah cerita, kugunakan bahasa dan tutur kata yang tertulis dalam aksara. Aku adalah orang baru yang tidak tercantum dalam cerita sebelum  ini. Namun demikian, namaku tersirat oleh suamiku yang menyebut nama lainku beberapa kali.



Seperti yang kalian duga aku adalah istri dari orang yang kalian kenal bernama Rizal, nama tengahnya adalah Markus, MUNGKIN namanya adalah Markus Horizon, atau Markus Fadillah, bisa juga dengan nama Markus Notonegoro, atau juga Markus-Markus lain, pokoknya banyak. Emmm tapi aku membayangkan sebuah nama “Rizal Markus Hartono”Terdengar keren kan? Nama belakanya seperti nama Almarhum Bapaknya.


Tapi sebenarnya Hartono bukanlah nama belakangnya, ataupun nama Bapaknya. Aku juga tidak menjamin nama Markus adalah nama tengahnya yang asli, dan nama Rizal tentunya hanya bisa kamu gunakan di dalam tulisan ini, tapi sebaiknya kita pakai nama terakhir tadi. Yaa walaupun nama itu hanya berlaku sampai lembar terakhir cerita.


Oke oke, aku minta maaf karena aku benar-benar tidak bisa memberitahumu, karena sssstttt ini adalah cerita rahasia, dan kalian sudah diperbolehkan menyimak sebuah rahasia. Makanya jangan tanyakan lagi, setuju?
Ahhh Great... Kalian memang sahabatku, baiklah kita lanjutkan perkenalan kita.
 Aku adalah istri keduanya, kalian tau? Aku adalah bunga kertas miliknya, milik mas Rizal dan juga milik Abima. Dalam cerita ini akan kuceritakan padamu mengenai sebuah mimpi miliku yang kebanyakan dari kalian sudah raih begitu mata kalian terbuka.


Akan kuceritakan lagi sebuah kisah bagaimana aku menemukan dan ditemukan olehnya, atau bisa juga ini kisah tentang bagaimana kami saling dipertemukan. Kepada dua orang itu, Risa dan Rizal, orang yang bahkan tidak kuduga akan mengukir sebuah takdir yang tidak bisa kutolak.


Satu hal yang kudapati dari kisah yang kulakukan sendiri ini adalah betapa aku dan mungkin kita semua, hidup dalam sebuah garis yang dibuat sang pencipta, kadang garis itu lurus, namun juga kadang berkelok, beberapa kali kualami garis yang kulalui harus saling bersimpang siur seperti benang kusut yang harus kuurai sendiri, jangan sombong dan mengatakan bahwa “aku menggambar sendiri garisku” karena kalian sebenarnya tidak menggambar garis, kalian hanya mewarnainya. Membuat semburat berona agar garis yang kalian lalui itu bercorak, kadang gelap seperti hitam, kadang terang seperti putih dan kuning, kadang dalam seperti biru, kadang juga sejuk seperti hijau, kadang berkobar seperti merah, atau bahkan sendu seperti abu-abu. Seperti hidup ini, kita hanya bisa merubah nasib, namun tidak bisa kita melawan Takdir.


Satu saranku kepadamu sebelum melanjutkan lembar demi lembar tulisan ini adalah, jangan menebak endingnya. Karena sama seperti cerita 100 Tahun Setelah Aku Mati, cerita ini adalah tentang proses, dari peristiwa satu ke peristiwa lain yang berkaitan, endingnya ada di kepala dan hati kalian. Tentang bagaimana cara kalian menerjemahkan isi tulisan ini...
 
Cerita ini kami persembahkan untuk semua tokoh dalam cerita, dan semua mata hati para pembaca...
Teramat khusus untuk Risa..
 
-Asterina Afet Nebia


-----------------------------------





SEBUAH PROLOG LAGI

 

Sebenarnya kalian sudah tidak asing denganku….. bukan, aku bukan Sari. Saat cerita ini ditulis Sari sudah tidak disini lagi, maksudku tidak berada di dunia dimana aku dan kalian hidup.Lalu siapa aku?  tentunya aku adalah Rizal, teman dari Sari, suami dari Risa dan Asterina, dan juga Ayah dari Abima. Yaa memang benar sih, hampir dari kesemua nama itu telah kurubah susunan huruf baik vokal dan konsonannya serta bunyi pelafalnya tapi setidaknya kalian jadi mengenal kami dari nama-nama itu.

Nama Istri keduaku adalah Asterina Afet Nebia, hhmmm, nama yang unik, nama itu memang bukan berasal dari kosakata endemik daerah sini.  Itu aku sadur dari bahasa tanah leluhurnya, dan lagi nama itu hanya nama yang kusematkan padanya dalam cerita ini, nama aslinya sungguh tak bisa kusebutkan.Yaa karena seperti kata dia tadi, ini adalah cerita rahasiaaa.

Sssstttt... sebaiknya kupelankan suaraku. Dan kita harus kongkalikong  untuk menjaga rahasia  ini tetap terjaga. Kalian setuju? Naahhh kalian memang benar temanku, sekarang aku tidak akan ragu membagi kisah dwilogi ini.

Dalam cerita kali ini kalian akan bertemu denganku lagi, mengenal lebih dalam tentang kami, bahkan jauh lebih dalam dari pada cerita sebelumnya. Kali ini akan dibagikan sebuah judul tentang perpisahan, dan sebuah pertemuan. Kisah mengenai derita dan bahagia yang saling bersanding berbatas sekat setipis lidi. Kisah mengenai janji tak tertagih, kepada hati yang tak terganti.

 Tak akan aku bersapa lama dengan kalian di halaman awal ini, tentunya kalian sudah mengenalku sangat baik lewat 740 halaman cerita sebelumnya, kali ini kugunakan nama yang lebih lengkap.. sesuai yang sudah diberikan istriku pada prolog pertama.

 

Cerita ini kami persembahkan untuk semua tokoh dalam cerita, dan semua mata hati para pembaca...

Jika cerita pertama untuk Sari, maka cerita ini untukmu Nduk.


-Rizal Markus Hartono


INDEKS:
1. PART 1 RINDU!
2. PART 2 PENUNGGU MAKAM
3. PART 3 AWAL MULA
4. PART 4 GADIS BIJAK
5. PART 5 BERTEMU BAPAK
6. PART 6 WANITA SELAIN RISA? (Bagian 1 )
7. PART 7 WANITA SELAIN RISA? (Bagian 2 )
8. PART 8 WANITA SELAIN RISA? (Bagian 3 )
9. PART 9 APAKAH AKU MEMBUNUHNYA?
ATTENTION PLEASE !
Diubah oleh kulon.kali 16-05-2022 08:20
JabLai cOY
alcipea
drajadgalih
drajadgalih dan 188 lainnya memberi reputasi
173
205.5K
768
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
kulon.kaliAvatar border
TS
kulon.kali
#70
WANITA SELAIN RISA? (Bagian 1)

Aku ingat hari itu, adalah Ied pertama dan terakhir yang aku rayakan bersama istriku Risa. Seberkas sinar hangat matahari pagi merembes melalui celah-celah ventilasi kamarku.. gema takbir yang berkumandang dengan bunyi-bunyian bedug yang bertalu-talu mewarnai pagi yang fitri. Aku tengah berganti pakaian didalam kamar, mencopot sarungku dan menggantinya dengan celana kain selepas sholat Ied. Disampingku ada Risa dengan perutnya yang membuncit karena berisi anak pertama kami yang waktu itu belum bernama.
Entah kenapa dengannya pagi itu, yang dia lakukan hanya tersenyum dan melihatku. Sedangkan tangannya tak henti mengelus perut yang dihuni anak kami.

“Kenapa nduk?” tanyaku dengan heran.

“Kamu gendutan Mas” katanya sambul tersenyum menahan tawa.

“Ahh masa iya?” tanyaku sambil menyingkap baju koko dan meraba perutku sendiri. Mencoba mencari sisa sixpack dari hasil fitnesku bertahun-tahun. Sebenarnya gak gendut juga, tapi memang harus kuakui berat badanku bertambah semenjak menikah.

“Artinya kamu sukses jadi istri” kataku sambil merunduk dan mencium kening Risa.
Sejurus kemudian aku berjongkok didepannya yang duduk dipinggir ranjang dan dengan lembut kukecup perutnya.

”kamu juga tambah gendut, banget malah.. tapi kali ini kamu harus terima” ucapku lagi sambil ikut mengelus perut Risa, yang dia jawab dengan tersenyum manis.
--
Bau opor, bumbu masak yang sedap dan aroma bawang goreng juga aroma segar dari buah-buahan yang dibuat semacam manisan es mencumbui hidungku..
Semua makanan favoritku tersaji. Opor, ketupat, ikan asin, tahu tempe bacem, sayur asem, dan sambal terasi sudah siap disantap.

“Kapan masaknya nduk?” tanyaku sambil memundurkan kursi untuk risa duduk, tadi jam tiga mas. Katanya sambil menaruh secentong nasi ke piring putih dan diberikan padaku.

“Kan aku udah bilang jangan kecapean, jangan banyak aktifitas” kataku sambil mengambil sendiri lauk pauk yang tersedia.

“Siapa yang capek sih Mas? Lagian juga kita sama-sama orang medis, aku juga tau batesan buat aktifitas orang hamil. Dan jangan lupa aku ini istrimu” jawabnya sambil melakukan hobinya, yaitu mencubit perutku.

“Gak sakit Mas?” tanya dia sambil mencubit perutku sekali lagi.

“Enggak, udah kebal. Kulit perutku kayaknya udah kapalan lha wong dari kita pertama kenal udah kamu cubitin terus. itung aja berapa tahun. Untung nih perut awet, bukan pabrikan tiongkok. Kalo gak lambungku dah keluar deh, kalo gak ya minimal usus buntu”

“Hihihi dokter kok ngaco gitu” katanya sambil mengucek wajahku dengan gemas..

“Ehh.. nduk.. ndukk... tanganmu ada apanya tuh?”

“Ehh ya Tuhan ini tadi kan aku makan gak pake sendok, makan ikan asin pake sambel maaf mas, lupa ehh panas gak mas? Eh aduh aduh cuci muka Mas” kata dia dengan tertawa terbahak-bahak.

“Ngawur bener ah punya istri satu ni” kataku sambil segera menuju kamar mandi untuk cuci muka yang sudah berlumur sambal terasi ini.
--
Pagi itu berjalan normal, ya walaupun tidak se normal keluarga lain, dimana pasangan yang belum lama menikah seperti kami biasanya akan saling jaim dan selalu berusaha bermesraan, tapi tampaknya itu tidak berlaku untuk kami, biar saja tidak ada kata-kata puitis, romantisme buat kami adalah saat kami bisa saling melempar senyum seperti pagi ini.
Suara dengan intonasi dan nada yang nyaring dari Risa menghiasi hari-hariku, meski terkadang harus kututupi telingaku karena tingginya resonansi yang dikeluarkan tenggorokannya sangat mengganggu.
Pagi di bulan juni terasa panas, bertolak belakang dari isi sebuah puisi indah karangan Sapardi tentang hujan bulan ini. angin bergerak malas, enggan berdayu menyejukan kulit .yang basah berkeringat.
Matahari sudah meninggi, kulihat bunga-bunga itu memalu dan merunduk dibawah panas..

“Ahh anggrek bulanmu kini bernasib naas nduk” gumamku saat melihat tanaman kesukan Risa merangas diterpa panas..

Minggu pertama bulan juni, dan aku sedang menikmati akhir pekan berdua saja dengan abima di balkon belakang, anak itu tak jemu berceloteh sambil sesekali mengajak berjalan ke rerumputan. Menghraukan cuaca teriknya..

“Bosen Bim?” tanyaku kepadanya..

“Kita udah lama gak jalan-jalan,” kataku sambil menggendongnya menuju kamar.

“Hari ini kita jalan-jalan, seperti kesukaan Ibumu” kataku dan dijawab suara tawanya yang seolah paham apa arti ucapanku..

Kududukan Abima di kursi depan, sebuah sabuk pengaman khusus balita tak lupa kukenakan padanya agar tidak terlalu banyak bergerak..

“Enaknya kemana ya Bim?” tanyaku dengan anehnya..
--
Hari itu kuputuskan pergi dengan anak sematawayangku ini, tak punya tujuan pasti. Hanya berputar dan mengelilingi jalanan disini, kubuka sedikit kaca depan, agar semilir angin dapat masuk dan menyejuki kami didalamnya..
Bau apel dan mawar yang terkabur angin ini sepintas membawa ingatanku kemasalalu..

“Andai kita bisa seperti waktu itu nduk. Bertiga, aku kamu dan Abima..” gumamku perlahan.

“Bukankah kamu yang bilang gak mau bikin Abima kesepian dan mau ngasih dia adik buat temen main?”sekali lagi aku bergumam ditambah senyum masam yang miris..

Tulisanku tak akan berhenti bicara soalnya,tentang kerinduanku padanya yang tak mau berhenti walau sehari.. tidak, maksudku walau sedetik.

Suasananya hampir sama dengan pagi ini, tapi tentunya tanpa kehadiran Risa... secangkir kopi panas yang mengepul,. Aroma segar dari kopi sedikit menjadi terapi tersendiri..
Kusruput sedikit, dan pikiranku kembali mengawang. Kamu tau kepada siapa?
Salah..
Kali ini bukan Risa teman, sungguh.

Ya benar.. ada beberapa wanita yang pernah juga menelisik batinku.. ini serius teman, aku juga manusia biasa sekaligus lelaki normal.. bisa kalian tebak siapa wanita itu?
Bukan... dia bukan Susi, apalagi Dewi.. wanita ini belum pernah kusinggung di buku pertama, Risa juga tidak tau siapa dan ada apa dibalik cerita wanita ini..

Baiklah akan kuceritakan tentangmu, tentang wanita itu yang pernah menghantui malamku, dan pikiran dengan bayangan selalu terisi oleh namanya..
--
Musim Dingin di Aussie, kamu tau? Aku tipe orang yang tidak terlalu tahan dengan hawa dingin. Dan kini aku terjebak disebuah daerah di Victoria tepatnya di sekitaran Mt.Buller karena harus menjalani tugas praktek individu di rumah sakit kecil di dekat sebuah resor lereng gunung salju itu.
Jangan ditanya dingginnya brrrr.. sangat.. sangatt... dan sangat dingin. Untuk ukuran orang yang lahir didaerah tropis sepertiku ini salju benar-benar membuatku muak, apalagi jika badai seperti ini. dan ditambah lagi esok adalah hari raya keagamaanku.

Benar.. besok adalah Idul fitri teman, dan gara-gara tugas kuliah aku terdampar disini sendirian, di sebuah cafe tempat aku berbuka puasa.
Dari balik jendela kurapatkan mantel serta kupluk untuk mengusir dingin ini, sesekali kulayangkan pandangan ke sudut-sudut ruangan untuk mencari termostat. Sekedar ingin tau berapa suhu yang dipakai untuk menghangatkan ruangan ini..

Diluar cafe bergaya bangunan ala-ala Inggris ini kuamati serbuk-serbuk putih itu berjatuhan dari langit yang seolah berjelaga. Angin memperparah kondisi dengan membuatnya makin deras berguguran dari langit.

Hmmm.. terbayang dulu semasa masih baru disini salju merupakan salah satu hal yang ingin sekali kulihat. Salju seolah menjadi daya magis tersendiri bagi orang-orang indonesia yang baru menginjakan kakinya disini.. tapi begitu aku sudah sering merasakannya ternyata salju tidak terlalu bersahabat buatku.

“Zal.. pulang jam berapa? Malem ini kita mau ke Monash lho ya” begitu bunyi pesan singkat yang dikirimkan Dewi..

Ahh benar, besok aku dan kawan-kawanku berencana merayakan Idul Fitri di kota Monash. Paling tidak disana aku bisa menikmati opor ayam dan ketupat. Tapi dengan badai seperti ini mustahil aku bisa kemana-mana. Apalagi ramalan cuaca yang barusan ditayangkan tv di cafe ini mengatakan bahwa di prediksi badai akan berlangsung cukup lama..

Kuhela nafas panjang, sekali lagi kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan untuk membunuh rasa bosan. Long black coffe yang rasanya sudah seperti es kopi itu kuminum dengan perlahan karena tak tahan dengan rasa pahit yang dia tawarkan..
Aku sendiri pun heran, kenapa aku bisa suka dengan kopi padahal rasanya begitu pekat dan pahit.

“shut up your mouth!” suara teriakan nyaring giiringi dengan bunyi benda yang jatuh membuatku menoleh..
Ada sebuah pertengkaran di sudut cafe ini, seorang gadis nampak mengguyurkan air kepada seorang laki-laki sambil berkata-kata kasar.

Kucuripandang kearah mereka, entah mereka sepasang kekasih atau suami istri, tapi keadaan mereka tampak sedang tidak bagus.
Aku mencoba cuek dengan dua orang itu, begitu pula orang-orang lain yang sedang berada disini. kehidupan di Aussie tak jauh beda dengan di Eropa, masing-masing orangnya tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain. Berbeda sekali dengan di Indonesia dengan orang-orangnya yang terkadang suka over kepo.

Prakkk!! Praakk!! Pyarrr!! Gelas-gelas milik cafe ini dilempar begitu saja oleh wanita itu. Membuatku sekali lagi menoleh. “Bakalan rame nih” gumamku sambil melirik beberapa kru cafe ini menghampiri mereka. Kucoba untuk tidak menoleh lagi, tapi kali ini kupasang telingaku untuk menangkap bagaimana percakapan dari keributan itu.. yaaa mungkin inilah fitrahku sebagai orang Indonesia yang serba mau tau urusan orang lain. Benar benar komunal

“Fuc*in cafe!” umpat wanita itu sambil meraih jaketnya dan melangkah keluar ruangan, menembus hujan salju yang masih sangat lebat di lereng Mt.Buller ini.
Dari bali kendela yang terasa kabur untuk memandang itu kuliaht siluet bayangan wanita itu yang tengah berjalan kepayahan menembus badai salju yang sudah menutup tanah beku ini hampir setinggi lutut.
--
22.30 “Alhamdulillah” gumamku sambil melihat jam tanganku. Badai itu sudah berlalu, cahaya kuning dari lampu jalan sudah mengalahkan gelap yang dihasilkan badai tadi..
Kubayar makanan dan minuman yang kumakan tadi dan bergegas pulang.
Semoga saja masih ada taxi yang beroperasi malam ini.

Salju membuat jalanan ini licin, sepatu kets yang kugunakan sudah basah kuyup. Dan kurasakan jari-jari kakiku mengigil kedinginan akibat lelehan salju yang merembes masuk kedalamnya. Dan tampaknya ketakutanku terjadi juga. Jalanan ini benar-benar sepi dan aku berdiri disebuah halte sambil harap-harap cemas dengan berdoa. Semoga saja bisa segera sampai hunian.

Halte itu mempunyai atap, namun tidak punya dinding sesekali angin bertiup membuatku lebih mengencangkan syal yang melilit leherku. Serbuk putih itu juga kembali gugutr, kali ini bukan dari langit. Melainkan dari dahan canyon maple yang tak kuat menahan beban salju diatasnya. Kurogoh saku mantelku dan mengoleskan lips balm agar bibirku tak beku.

“haahhh.. bakalan lama nih” gumamku pelan, dan nafasku berasap seperti napas naga.
Sudah 15 menit disini dan taxi, bis, atau transportasi umum apapun tak muncul barang sebiji, tapi kesialanku nampaknya segera berakhir dari ujung persimpangan sebuah mobil berwarna kuning mulai mendekat sambil memelankan lajunya.

“Need taxi?” tanya sang driver

“tentu saja, disini sangat dingin” jawabku sambil membuka pintu belakang.

Baru setengah badanku masuk, aku dikagetkan dengan seseorang yang tiba tiba muncul di belakangku.

“Bolehkah aku memakai taxi ini dulu?” kata orang itu, ah aku ingat dia adalah gadis yang mengamuk di cafe tadi.

“Maafkan saya. saya sedang buru-buru anda bisa menunggu di halte, mungkin sebentar lagi akan ada bus atau taxi melintas” jawabku cepat sambil masuk kedalam lalu meninggalkan perempuan itu.

Teman, mungkin kalian akan menilai caraku ini kejam. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan seorang perempuan ditengah dinginnya salju?
Tapi ini lain benua teman, disini aku harus serba hati-hati dan jangan terlalu dekat dengan orang asing. Lagi pula aku tidak mau menambah masalah lagi.

Mobil itu berjalan pelan untuk melintas diatas aspal yang licin, dan baru 100 meter berjalan salju mulai turun lagi.

“Cuaca hari ini tampaknya tidak akan baik”driver taxi itu membuka obrolan.

“Ya, tapi semoga saja segera mereda” jawabku

“Kupikir tidak akan secepat itu nak, aku baru mendengar laporan terbaru badai akan segera datang. Kamu adalah penumpang terakhirku.” Jawabnya

Aku memutar kepala ke belakang, dari kaca jalanan terlihat samar dengan warna putih dan kelabu. Pikiranku langsung mengutuk tindakanku barusan

“Gadis tadi bisa mati kedinginan” seolah ada suara dalam kepalaku yang mengatakan begitu.

“Bisa kah kita berbalik untuk sebentar? Aku ingin menjemput gadis tadi, kasihan jika dia tidak mendapatkan kendaraan” kataku sambil menepuk pundak driver itu.

“Kenapa? Apa anda kenal dengan gadis itu?” tanya dia, aku menggeleng.

”Aku hanya ingin membantunya”
Lalu mobil itu berhenti dan memutar arah...

Perkataan driver tadi benar saja. Angin sudah kencang dan salju deras lagi turun dari langit. Ahh semoga gadis itu tidak apa apa. Gumamku.

Jarak pandangmungkin hanya 100 meter, lampu-lampu jalan bahkan hanya berpendar redup, dan kaca mobil itu terlihat sangat buram, lalu taxi berhenti setelah berbalik arah selama beberapa menit.

“Sebaiknya anda cepat, kalau tidak kita akan terjebak badai dalam waktu yang lama” kata si driver.

Aku segera keluar dari mobil, dan mataku memandang sekeliling untuk mencari gadis yang mencari tumpangan barusan. Tapi dia sudah tidak ada lagi, mungkin sudah dapat tumpangan. Toh aku juga sudah berusaha kembali untuk membantu. Kataku dalam hati.

Aku sudah membuka pintu, tapi entah kenapa aku ingin memastikan sekali lagi memeriksa sekeliling untuk mencari wanita tadi . dan benar saja, dia masih disana. Disisi lain dari halte tadi, meringkuk kedinginan di sebuah emperan toko yang sudah tutup .

“Tolong tunggu sebentar, nyalakan saja argonya” kataku kepada driver
Kusebrangi jalanan itu, dan kuhampiri dia.

“Nona, disini sangat dingin. Badai sebentar lagi akan memburuk, sebaiknya kamu ikut saya. saya akan beri tumpangan” kataku kepada gadis yang menopangkan dahinya diatas lutut.

“Nona?” kataku sambil menepuk pundaknya, karena dia tidak menjawab

“Halo, nona” kali ini sambil kugunjang tubuhnya untuk memastikan dia masih dalam keadaan sadar. Lalu brugggg.. dia terjatuh dari duduknya, dia pingsan.

Tanpa babibu kuangkat wanita itu dan dengan setengah berlari aku menuju taxi tumpanganku. Taxi yang mesih menyalakan mesin itu sudah bersiap.

“hurry up!” kata supir taxi yang ikut keluar untuk membantu membuka pintu bagian belakang.

Di kursi belakang aku melakukan pertolongan pertama kepada orang yang mengalami hipotermia, tangannya sangat dingin dan kulitnya kaku. Wanita ini tidak 100% pingsan dia masih setengah sadar sebisa mungkin aku membuat dia sadar.
Mantel yang ia kenakan sudah sangat lembab, beruntung dia memakai sweater dan kaos didalamnya, segera kubuka mantelku dan kupakaikan untuknya.

Wanita itu mulai membuka mata, dengan mengigil dia memandang sekeliling.

“Kamu aman, saya akan mengantarmu ke klinik.” Kataku sambil memakaikan sarung tangan woll milikku kepadanya.

“Tidak perlu, aku akan pulang.” Jawabnya dengan lemas.

“Kamu yakin?

“Ya, tolong antarkan aku ke hotel tempat aku menginap” katanya dengan mulut yang sudah membiru.

Aku mengangguk saja, ya jika dia memang begitu aku malah bersyukur artinya dia tiddak apa-apa dan aku tidak perlu repot menungguinya, lalu aku bisa segera menuju Monash.

“Alamatnya ada pada saku mantelku” telunjuknya mengacung dengan gemetar. Segera saja kurogoh saku mantel yang kutaruh disampingku.

“Ini?” tanyaku sambil menunjukan kunci hotel yang berbentuk kartu itu. Dia mengangguk

Segera kutunjukan pada driver alamat yang tertera pada kartu itu, dan si driver mengiyakan untuk mengantar kesana.

Perjalanan berlanjut, menuruni pegunungan Alps yang membentang di negara bagian New South Wales dan Victoria itu. Salju masih turun namun badai sudah berkurang intensitasnya, masih kulihat pepohonan gum yang rindang batangnya dipenuhi salju. Pemandangan seperti ini yang dulu ingin sekali kulihat.

“Kenapa kamu kembali?” tanya dia

“Karena aku taxi yang kutumpangi adalah yang terakhir” jawabku
Dia terdiam untuk sejenak, membuang pandangan dan berucap lirih.

“Terimakasih, tuan ….....”

“Mark, disini aku dipanggil seperti itu, kamu boleh memanggilku dengan nama itu”

“Baik Mark, namaku Rachel”

satu jam perjalanan untuk sampai ke alamat hotel dimana dia menginap, masih di kawasan pegunungan Alps yang cenderung sepi. Terlebih saat malam seperti ini dan argometer taxi itu terus berputar, sudah lebih dari 25 dollar. Lumayan juga, kataku dalam hati.

“Perempatan itu belok kiri, disitu aku menginap” kata Rachel dengan mulut bergetar.

“Baik, sudah sampai” kata si driver dengan senyum lebar.

“Kamu bisa menuju kamarmu sendiri?” tanyaku

“Ya, aku akan baik-baik saja” jawab dia

“oke, aku akan pulang sekarang, jaga dirimu” kataku sambil membantu membuka pintu mobil.

“ahh, apa anda tidak ikut turun? Maaf seperti yang kubilang tadi. Anda adalah penumpang terakhirku. Dan ini sudah terlalu lewat dari jam kerjaku”

“Tidak bisakah anda mengantar sampai batas kota? Paling tidak ke stasiun. Besok adalah hari penting untukku di Monash”

“aku mohon maaf tuan” jawabnya sambil mematikan argo meternya.

“jam 07.00 pagi, taxi lain akan beroprasi. Semoga beruntung selamat malam” kata dia setelah kami turun.

Aku menghela nafas panjang sambil memonyongkan bibir saat satu-satunya kendaraan yang bisa membawaku ke stasiun sudah melenggang pergi.

“Kamu bisa tidur di kamarku” kata Rachel sambil menepuk pundakku.

Bersambung
Diubah oleh kulon.kali 19-09-2018 18:48
jenggalasunyi
itkgid
alcipea
alcipea dan 22 lainnya memberi reputasi
21
Tutup