arga.mahendraaAvatar border
TS
arga.mahendraa
Gunung Hutan Dan Puisi
Pada pekat kabut yang menjalar di hamparan tanahtanah tinggi
Kulantunkan katakata sebagai penggalan doa
Untukmu yang kini telah sempurna hadir..

Pada peluh yang telah mengalir
Ketika kita ayunkan langkahlangkah
Menuju tempattempat teduh
Untuk menyemayamkan rasamu dan rasaku
Kini telah menyatu sudah
dan beku udara ini akan semakin kuat mengikatnya

Kita memang sering berbeda dalam banyak Hal
Namun Gunung, Hutan Dan Puisi selalu mampu menyatukannya..

***






Sebelumnya ijinkan saya untuk ikut berbagi cerita di forum ini. Forum yang sudah lumayan lama saya ikuti sebagai SR.. Salam kenal, saya Arga..

Cerita saya mungkin tidak terlalu menarik dan membahana seperti cerita-cerita fenomenal di SFTH ini. Hanya cerita biasa dari bagian kisah hidup saya. Semoga masih bisa dibaca dan dinikmati.

Seperti biasa, seluruh nama tokoh, dan tempat kejadian disamarkan demi kebaikan semuanya. Boleh kepo, tapi seperlunya saja ya.. seperti juga akan seperlunya pula saya menanggapinya..

Update cerita tidak akan saya jadwalkan karena saya juga punya banyak kesibukan. Tapi akan selalu saya usakan update sesering mungkin sampai cerita inI tamat, jadi jangan ditagih-tagih updetannya yaa..

Baiklah, tidak perlu terlalu berpanjang lebar, kita mulai saja...

****


Medio 2005...
Hari itu sore hari di sela kegiatan pendidikan untuk para calon anggota baru organisasi pencinta alam dan penempuh rimba gunung yang aku rintis tujuh tahun yang lalu sekaligus sekarang aku bina. Aku sedang santai sambil merokok ketika salah satu partnerku mendatangiku.

"Ga, tuh ada salah satu peserta cewek yg ikut pendidikan cuma karena Ada pacarnya yang ikut, kayaknya dia ga beneran mau ikut organisasi deh, tapi cuma ngikut pacarnya"

"Masak sih? Yang mana? Kok aku ga perhatiin ya" jawabku

"Kamu terlalu serius mikirin gimana nanti teknis di lapangan sih Ga, malah jadi ga merhatiin pesertamu sendiri" lanjutnya

"Coba deh nanti kamu panggil aja trus tanyain bener apa ga, namanya Ganis.. aku ke bagian logistik dulu" Kata temanku sambil meninggalkanku

"OK, nanti coba aku tanya" jawabku

"Pulangin aja kalo emang bener Ga.. ga bener itu ikut organisasi cuma buat pacaran" sahutnya lagi dari kejauhan sambil teriak

Dan aku pun cuma menjawab dengan acungan jempol saja

***


Pada malam harinya aku mengumpulkan seluruh peserta pendidikan di lapangan. Malam itu ada sesi pengecekan logistik peserta sekaligus persiapan untuk perjalanan ke gunung besok pagi untuk pendidikan lapangan.

Kurang lebih 2 jam selesai juga pengecekan logistik seluruh peserta pendidikan. Dan aku pun memulai aksiku.

"Yang merasa bernama Ganis keluar dari barisan dan maju menghadap saya sekarang..!!!" Teriakku di depan mereka

Tak lama keluarlah seorang cewek dari barisan dan menghadapku. Aku tidak terlalu memperhatikan wajahnya, entah cantik atau biasa saja aku tak terlalu peduli karena aku sudah sedikit emosi sejak sore tadi temanku mengatakan kalau dia ikut kegiatan ini cuma karena pacarnya ikut.

"Benar kamu yang bernama Ganis?"

"Ya benar, Kak"

"Kamu ngapain ikut kegiatan ini!?"

"Karena saya ingin jadi anggota Kak"

"Dasar pembohong..!!!" Bentakku seketika

Dan dia pun langsung menunduk

"Hey, siapa suruh nunduk?? Kalau ada yang ngomong dilihat!! Kamu tidak menghargai seniormu!!"

"Siap, maaf Kak" jawabnya sambil langsung melihatku

"Saya dengar kamu ikut kegiatan ini karena pacar kamu ikut juga!! Benar begitu? Jawab!!"

"Siap, tidak Kak, saya ikut karena saya sendiri ingin ikut, tidak ada hubungannya dengan pacar!" Jawabnya tegas

"Tapi pacar kamu juga ikut kan!?"

"Siap benar"

"Siapa namanya!?"

"Alan Kak"

"Yang merasa bernama Alan, maju ke depan" teriakku di depan peserta lainnya

Kemudian datanglah cowok bernama Alan itu di depanku

"Benar kamu yang bernama Alan?" Tanyaku pada cowok itu

"Siap, benar Kak" jawabnya

"Benar kamu pacarnya Ganis?"

"Siap benar Kak"

"Kamu ikut kegiatan ini cuma buat ajang pacaran!!?? Kamu cuma mau cari tempat buat pacaran??"

"Tidak Kak"

"Kalian berdua masih mau jadi anggota organisasi ga!!?"

"Siap, masih mau Kak" jawab mereka berdua

"Baik, saya berikan pilihan, kalian berdua saat ini juga putus dan lanjut ikut pendidikan, atau tetap pacaran tapi sekarang juga pulang tidak usah lanjut ikut pendidikan dan jadi anggota organisasi.. silahkan tentukan pilihan sekarang!!"

***

Spoiler for INDEX:


Polling
Poll ini sudah ditutup. - 10 suara
Siapakah yang bakal jadi istri TS?
Rika
30%
Winda
20%
Dita
0%
Ganis
40%
Tokoh Yang Belum Muncul
10%
Diubah oleh arga.mahendraa 20-10-2018 06:37
anasabila
kimpoijahat
kimpoijahat dan anasabila memberi reputasi
3
31.1K
264
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
arga.mahendraaAvatar border
TS
arga.mahendraa
#188
43. Hadiah Untuk Ganis
Oktober 2008

Hari-hari terus berlalu. Hubunganku dengan Ganis semakin dekat, bahkan sangat dekat. Aku mulai yakin bahwa Ganislah yang akan kujadikan pendamping hidupku selamanya. Meski masih tetap ada ganjalan dari keluarganya, tapi aku masih ada keyakinan bahwa suatu saat semuanya pasti bisa teratasi. Hubunganku dengan Pita juga masih berlanjut. Berlanjut dalam arti pertemanan. Setidaknya aku menganggapnya seperti itu. Aku tidak tau apakah Pita juga sama menganggapku cukup sebagai teman atau lebih, aku tidak peduli. Yang terpenting aku tidak melewati batas-batas yang kutentukan sendiri. Beberapa kali Pita menawariku untuk bekerja di kantornya dengan bantuannya. Tapi aku selalu menolak. Aku tidak ingin berhutang budi dengan siapapun, karena aku sadar suatu saat aku pasti harus membayarnya.

"Terima aja tawaranku, Ga. Kalau kamu mau, bisa langsung kerja, gak perlu syarat-syarat yang ribet. Aku bisa bantu" ucap Pita suatu sore ketika kami berada di sebuah cafe di kotaku.

"Sorry, Pit. Aku gak bisa. Aku gak mau ngrepotin kamu. Aku juga gak mau hutang budi" ucapku.

"Aku gak merasa direpotin kok, Ga. Dan kamu jangan pernah menganggap hutang budi kalau aku bantu kamu. Aku sama sekali gak mengharapkan balasan apapun dari kamu" ucapnya.

"Meskipun kamu bilang seperti itu, hati nuraniku tetap berkata lain, Pit. Dan aku gak mau terbebani dengan rasa hutang budi ini kalau aku gak bisa membayarnya" ucapku.

"Kamu gak perlu bayar apa-apa, Ga. Cukup kamu mau jadi teman baikku aja. Anggap aja itu balasannya kalau memang kamu menganggapnya hutang budi" ucapnya.

"Sorry Pit. Aku tetep gak bisa. Biar aku berusaha sendiri aja. Aku tetap teman baikmu kok meskipun aku gak kerja di tempatmu" ucapku sambil tersenyum.

"Ya udah kalo emang kamu bener-bener gak mau, Ga. Padahal aku harap kamu mau biar kita bisa lebih sering ketemu" ucapnya.

"Kalau aku ada waktu aku pasti mau kok ketemu sama kamu" ucapku.

"Kalau suatu saat kamu berubah pikiran, bilang aja ya sama aku. Kapanpun kamu mau pasti selalu ada kesempatan selama aku masih kerja di situ" ucapnya.

"OK gampang" jawabku.

Begitulah Pita. Dan percakapan seperti itu tidak hanya sekali dua kali terjadi. Sering sekali Pita memintaku menerima tawarannya untuk bekerja di kantornya. Padahal kalau aku mau, aku bisa langsung jadi salah satu staf tetap di kantornya dengan kesempatan karir yang bagus. Tapi hidup kan bukan melulu soal uang dan karir. Ada banyak hal yang jadi pertimbangan alasan penolakanku yang salah satunya adalah aku sedikit menghindari intensitas pertemuanku dengan Pita. Bagaimanapun juga aku merasakan ada hal lain ketika Pita menginginkan untuk lebih sering bertemu denganku. Dan itu tidak sekedar urusan pertemanan semata.

***

Ganis sudah mulai aktif kuliah sekarang. Soal kado untuknya yang aku janjikan dulu untuk hadiah kelulusannya aku belum memenuhinya. Jujur saja aku memang masih bingung akan memberinya apa karena aku dulu pernah menjanjikan hadiah yang bukan berupa barang. Ganis memang tidak pernah menanyakannya lagi. Entah dia sudah lupa atau sudah malas bertanya karena aku tak kunjung memenuhi janjiku.

Hari jumat malam aku sedang nongkrong di outlet HP dan Pulsa milik Irham. Irham punya sampingan buka toko jual beli HP baru/second dan jual pulsa yang buka tiap sore sampai malam, sedangkan paginya dia bekerja. Sejak siang tadi aku sudah memikirkan tentang hadiah untuk Ganis yang aku janjikan. Aku sudah mendapatkan ide, tapi resikonya ketika aku melakukannya aku harus benar-benar sudah siap seperti prinsipku sejak dulu. Hadiah untuk Ganis yang kupikirkan adalah penampilan baru dengan menghilangkan rambut gondrongku. Sejak dulu aku sudah bertekad, aku hanya akan memotong rambut panjangku jika aku sudah mendapatkan orang yang bisa menerimaku apa adanya tanpa melihat materi ataupun kulit luar dan aku mencintainya sepenuh hatiku. Ganis memang bisa menerimaku apa adanya tanpa pernah mengeluh atas segala kekuranganku. Tapi apakah aku sudah mencintainya sepenuh hatiku? Entahlah.. Aku terkadang juga bingung dengan perasaanku sendiri. Saat ini aku memang sudah ada rasa cinta dengan Ganis. Tapi apakah aku mencintainya sepenuh hatiku? Aku tidak tau. Anggap saja begitu lah.. siapa tau besok aku memang mencintainya sepenuh hatiku.

Setelah beberapa waktu mempertimbangkannya dan telah menghabiskan berbatang-batang rokok, akhirnya aku masuk juga ke tukang cukur rambut di sebelah tokonya Irham. Beberapa anak yang saat itu ikut nongkrong sempat kaget ketika melihatku masuk ke tukang cukur rambut.

"Mau potong rambut bang?" Ucap salah seorang di antara mereka.

"Bang jangan bang... Ntar hujan gede bang.. hahahahaha" sahut salah seorang yang lain diikuti tawa mereka.

"Sialan.. masa tirakat gw udah kelar" sahutku.

"Emang tirakat biar apaan, bang?" Tanya salah satu diantara mereka.

"Biar sakti" jawabku lalu masuk ke ruangan tukang cukur.

Ketika rambutku sedang di potong, anak-anak yang nongkrong tadi tiba-tiba masuk dan memotretku dari berbagai sisi ketika rambutku sedang di potong. Sialan aku tidak bisa menghindar karena proses mencukur rambut sedang berlangsung. Ya sudah lah biarkan saja, itung-itung memberi hiburan kepada mereka. Bukankah membuat orang lain bahagia itu termasuk sedekah dan mendapatkan pahala?

Setelah beberapa saat akhirnya proses mencukur rambut pun selesai. Aku melihat wajahku di kaca besar yang tertempel di dinding ruang cukur rambut ini. Hmmmm.. ternyata aku memang jauh lebih ganteng kalau penampilanku seperti ini. Ganis pasti suka. Hahahahaha, batinku. Aku memang tidak memberitahu Ganis kalau aku mencukur rambutku. Biarlah jadi kejutan besok ketika aku bertemu dengannya.

"Wuidiih... Ganteng banget bang.. kalo gw cewek udah gw cium loe, bang. Hahahaha" ucap salah satu anak ketika aku keluar dari ruang tukang cukur.

"Kupret... Eh mana foto gw tadi? Kirim sini buat kenang-kenangan gw potong rambut pertama setelah gondrong" ucapku.

"Nyalain blutut, bang" sahut salah satu dari mereka.

Aku pun menerima kiriman beberapa foto ketika proses potong rambut tadi. Lucu sih. Foto itu juga masih tersimpan di file laptopku sampai sekarang.

Malam itu akhirnya aku nongkrong bercanda-canda dengan anak-anak. Tak jarang mereka meledekku karena penampilan baruku. Ada yang bilang kelihatan kayak ABG, ada juga yang bilang kayak gigolo. Sialan disamain dengan gigolo. Kayak mereka tau aja penampilan gigolo seperti apa. Hingga dini hari baru aku pulang dan beristirahat. Rencana besok sore aku akan ke kost Ganis untuk memperlihatkan penampilan baruku yang juga hadiah untuknya sekaligus menjemputnya untuk pulang karena besok hari sabtu dan minggunya dia libur.

***

Keesokan harinya ketika aku bangun tidur dan ketemu mamaku, beliau tak henti-hentinya memuji penampilan baruku. Katanya jadi jauh lebih ganteng. Sebelumnya pas gondrong juga ganteng tapi sekarang jauh lebih ganteng, begitu katanya. Yaa namanya seorang ibu, mau seperti apapun penampilan anak laki-lakinya pasti dibilang ganteng. Hahahaha. Beliau sampai sempat berkata ingin bikin selamatan buat ngerayain dipotongnya rambutku. Busyet.. pakai selamatan segala cuma gara-gara potong rambut. Tapi kalau dipikir-pikir wajar juga sih, aku memelihara rambut gondrong sejak tahun 2001. Tahun 2000 mulai dipanjangkan dan setelah setahun baru terlihat gondrong. Artinya aku punya rambut gondrong selama 7 tahun. Lumayan lama juga. Mungkin selama 7 tahun itu mamaku jengkel dengan penampilanku yang seperti preman pasar. Tapi beliau memang tidak pernah memprotesnya apalagi memaksaku potong rambut. Sekarang tanpa di suruh tau-tau aku sudah potong rambut, wajar saja kalau beliau senang. Benar juga, mamaku akhirnya benar-benar membuat selamatan kecil-kecilan. Hanya nasi putih dengan lauk pauk dibagikan ke tetangga sekitar rumah dengan alasan syukuran saja. Tidak bilang syukuran atas dipotongnya rambutku. Ada-ada saja.

Selepas ashar aku berangkat menuju kost Ganis. Hari ini dia masih ada kuliah sampai jam 3. Padat sekali jadwal kuliahnya. Wajar sih, karena masih semester 1. Nanti kalau sudah masuk semester 3 ke atas baru jarang kuliah di kelas tapi lebih banyak praktek, baik di klinik maupun rumah sakit untuk menerapkan teori yang didapatkan dari kelas. Jurusan keperawatan, kebidanan dan sejenisnya memang harus banyak praktek. Karena merawat orang sakit tidak hanya sekedar teori tapi harus praktek terus menerus supaya mahir dan bisa memberikan pelayanan terbaik.

Sekitar jam 4 aku sudah sampai di depan kostnya. Setelah memarkirkan motor aku segera mengetuk pintunya. Tak berapa lama terdengar suara pintu di buka dari dalam yang ternyata Ganis sendiri yang membukanya.

"Hai" ucapku ketika pintu sudah terbuka sempurna.

Ganis yang kaget melihat penampilan baruku tak berkata apapun. Dia hanya menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Kok diem aja sih.. haloooo... Kenal sama aku gak?" Ucapku.

"Ini beneran kamu, Om?" Ucapnya seolah tak percaya.

Tanpa menjawab apapun aku langsung mencium pipinya.

"Iiih.. main sosor aja.." ucapnya.

"Gak boleh?" Ucapku.

"Hehehehehe"

"Kok cuma ketawa" ucapku.

"Aku masih gak percaya, Om. Kok gak ngasih tau aku kalo udah potong rambut. Kapan ini om?" Ucapnya.

"Kalo aku ngasih tau ya namanya bukan kejutan. Tadi malam aku potong rambut, Til" ucapku.

"Ini aku gak disuruh masuk?" Sambungku.

"Eh iya lupa.. maap2.. ayo masuk om.. aku masih kaget dan gak percaya kalo kamu udah potong rambut, om" ucapnya sembari mengajakku masuk dan duduk di kursi tamu kostnya.

"Jadi gini, Til. Aku kan pernah janji mau kasih kado buat kelulusanmu dulu kan? Nah ini kadonya. Kan aku pernah bilang kadonya bukan dalam bentuk barang. Tapi maaf telat ya" ucapku.

"Hahahahaha. Aku seneng banget, Om. Sekarang kamu jadi tambah ganteng. Makasih kadonya. Berkesan banget ini om" ucapnya sembari merangsek ke dalam pelukanku.

"Jangan gini ah, Til. Gak enak kalo ada yang lihat" ucapku.

"Gak ada.. kost sepi, om. anak2 kost udah pada pulang semua. Tinggal aku doang ini" ucapnya.

"Kok kamu gak pulang juga?"

"Nungguin tukang ojeknya lama banget"

"Hahahaha.. tukang ojek ganteng ya" aku memeluknya. Karena kost sepi, jadi lumayan ada kesempatan dikit.

"Gantengan kunci.. ahahahahaha" dia pun semakin manja dalam pelukanku.

Tanpa banyak bicara, kami sudah asyik bermesraan. Saling beradu ciuman di kursi tamu kostnya. Beberapa menit kami saling menumpahkan rasa cinta yang mungkin sedikit (atau banyak) bercampur nafsu. Semakin lama, semakin kuat pula nafsu menguasai kami berdua. Di dukung suasana kost yang sepi juga.

"Di kamarku aja, Om" ucapnya.

"Gak pa2?" Ucapku.

Ganis hanya mengangguk dan menarikku masuk ke dalam kamarnya. Setelah menutup dan mengunci pintu kamar, kami melakukan sesuatu yang ingin dilakukan. Sekitar satu jam lamanya kami berdua di dalam kamar bersimbah keringat. Bukan karena panas atau gerah, sebab kipas menyala dan menyemburkan anginnya dengan membabi-buta. Nafas kami pun memburu, bukan karena sedang berolah-raga, bahkan kami tidak banyak membuat gerakan. Tapi memang benginilah keadaannya. Keringat dan rasa lelah bercampur dengan lenguhan lembut ketika aku dan Ganis telah mencapai batasnya. Aku memeluknya erat lalu mencium lembut bibir dan keningnya. Kemudian aku membersihkan sisa cairan nista yang ada di perutku dan kembali mengenakan pakaianku. Ganis pun melakukan hal yang sama. Mengenakan kembali pakaiannya dan segera bersiap untuk pulang. Tidak, aku dan Ganis tidak sampai sejauh itu. Tepatnya belum. Hingga saat ini mahkota Ganis masih tetap kokoh di tempatnya karena aku belum mengambilnya. Aku hanya bermain dengan ujung jariku saja pada batas pinggir jurang indahnya. Sedangkan dia mengimbangi hanya dengan permainan tangan dan mulutnya saja.

"Aku mandi dulu ya, Om? Habis mandi kita langsung pulang" ucapnya.

"Ya udah sana. Aku tunggu di depan ya" ucapku.

"Gak mau ikut?" Ucapnya

"Boleh?"

Ganis hanya memberikan senyumnya sebagai jawaban dan aku mengartikannya dengan jawaban 'iya'. Tanpa banyak pertimbangan, aku pun mengikutinya masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Sebetulnya aku sudah mandi sebelum berangkat ke kostnya tadi. Tapi barusan keringatku jatuh bercucuran, jadi tak ada salahnya aku mandi lagi. Tak perlu aku ceritakan apa yang terjadi di dalam kamar mandi. Karena di dalam kamar mandi masih tetap sama, kami tetap bermain dalam batas aman. Tak ada keringat yang terlihat bercucuran, karena sudah bercampur dengan guyuran air shower yang membasahi tubuh kami. Meskipun penggalan-penggalan nafas kami yang memburu masih tetap tak mampu kami tahan. Usai mandi dengan ekstra scene yang cukup memakan waktu, kami pun akhirnya keluar setelah berpakaian lengkap dan segera meninggalkan kost laknat ini untuk pulang ke rumah.
0