- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Catatan:
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :
*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
BAB I & BAB II
BAB III & BAB IV
***
Tralala_Trilili
PROLOG
BAB V
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15- continues
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
***
SEBELUM CAHAYA
PART I
PART II
PART III - The Ghost of You
PART IV
PART V
PART VI
PART VII
PART VIII
Cooling Down
PART IX
PART X - continues
PART XI
PART XII
PART XIII
PART XIV
PART XV
PART XVI
PART XVII A
PART XVII B
PART XVIII
PART XIX - continues
PART XX
PART XXI
PART XXII
PART XXIII
PART XXIV
PART XXV
PART XXVI
PART XXVII
PART XXVIII
PART XXIX
PART XXX
PART XXXI
PART XXXII
PART XXXIII
PART XXXIV
PART XXXV
PART XXXVI - continues
PART XXXVII
PART XXXVIII
PART XXXIX
Vor dem Licht XL - Das Ende
***
BAB V
PART 21
PART 22
Tentang Rasa
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
Von Hier Wegfliegen
Teils Eins - Vorstellen
Teils Zwei - Anfang
Teils Drei - Der Erbarmer
Teils Vier - Von Hier Wegfliegen
Lembayung Senja
Bagian Satu
Bagian Dua
Bagian Tiga
Bagian Empat
Bagian Lima - continues
Bagian Enam
Bagian Tujuh
Bagian Delapan
Bagian Sembilan
Bagian Sepuluh - continues
Breaking Dawn
One Step Closer
Ascension
Throwback Stories
Life is Not Always Fair
Dusk till Dawn
Awal Semula
Untuk Masa Depan
Terimakasih
Omong Kosong
Kepingan Cerita
Menyerah
Restoe
Rasanya - Rasain
Pengorbanan
Menuju Senja
Kenyataan
Wiedersehen
Cobalah untuk Mengerti
Pengorbanan
Tentang Kita
SIDE STORY
VFA
Daily Life I
Daily Life II
Maaf NEWS
Tentang MyPI
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%Franziska Luna Katrina
17%Giovanna Almira
28%Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 02:16
snf0989 dan 123 lainnya memberi reputasi
120
1.9M
Kutip
8.8K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
bunbun.orenz
#6668
Von Hier Wegfliegen
Teils Vier - Von Hier Wegfliegen
Quote:
Semakin lama hubunganku dengan kedua Kakak-beradik yang bernama Saleh dan Melis itu kian akrab. Aku sudah seperti keluarga mereka. Banyak hal baru yang aku pelajari dari Melis dan Saleh. Dari mulai budaya mereka hingga hal yang paling membuatku penasaran. Agama yang mereka anut.
Sebelumnya aku sudah terbiasa berkumpul dengan teman-teman sekolahku yang beragama muslim saat masih di Indonesia. Tapi ada hal yang berbeda ketika aku bertemu dengan dua muslim Kakak-beradik ini. Ada sesuatu yang membuatku penasaran dan mengusik sisi batinku. Mereka berdua seperti memiliki daya tarik tersendiri dimataku ketika melakukan ibadah dan bersosialisasi dengan orang lain.
"Pagi, Katrin". Suara yang cukup terdengar ceria di pagi yang dingin ini membuatku menoleh kearahnya. Aku sudah membuka mata ketika sebelumnya sayup-sayup mendengar do'a yang ia panjatkan. Dan sapaannya itu seolah-olah ingin memastikan kalau wanita yang sedang menginap di rumahnya ini sudah sepenuhnya sadar.
"Pagi, Melis". Jawabku beberapa saat sebelum akhirnya bangun dan duduk diatas ranjang yang seperti enggan membiarkanku terbangun. "Sudah pagi ? Sumpah, rasanya baru saja aku tertidur lima menit".
Melis tersenyum sambil merapihkan simpul hijabnya. "Ya mungkin karena kita tidur cukup larut semalam. Aku akan pergi bersepeda. Kamu mau ikut ?", tanya Melis yang sudah berdiri dan menaruh sajadah disudut kamar. Mungkin Benar kata Melis aku sedikit kurang tidur karena semalaman menunggu dan memperhatikannya shalat malam. Setelah itu aku banyak mendengar penjelasan darinya tentang keutamaan shalat tersebut, sampai tidak terasa sudah pukul tiga dini hari. Tapi tunggu, dia baru saja melaksanakan shalat subuh dan sekarang mengajakku untuk berolahraga.
Aku tahu kalau Melis benar-benar memegang teguh ajaran agamanya. Tapi bagiku tetap saja itu cukup menakjubkan. Bangun ditengah malam untuk beribadah, kemudian pagi sebelum sang fajar menghantarkan kehangatan dia sudah melaksanakan shalat subuh. Dan sekarang, dengan wajah yang ceria ia ingin mengajakku bersepeda di cuaca yang cukup dingin.
"Udaranya segar, ini baik untuk paru-paru kita". Melis mengayuh sepeda dengan cukup pelan. Aku mengikutinya di sisi kiri dengan kecepatan yang sama. Kami berdua mengenakan mantel yang cukup tebal karena sudah bulan Oktober.
Membalut tubuh dengan selimut sambil mendengarkan Für Elise serta ditemani secangkir teh hangat adalah pilihan terbaik menurutku untuk pagi yang cukup dingin ini. Tapi tidak mungkin aku menolak ajakan tuan rumah dan memilih pilihan terbaikku itu. Selama bersepeda kami banyak membicarakan soal pekerjaan baruku. Aku memang baru satu bulan bekerja di salah satu perusahaan advertising. Dan tentu saja pekerjaan itu adalah pengalaman pertamaku setelah lulus kuliah.
"Kita duduk disitu, Katrin".
Melis menepikan sepedanya di dekat pohon setelah melihat sebuah bangku taman. Aku mengikutinya dan kami berdua duduk sambil melepas lelah setelah satu jam bersepeda mengitari kota.
"Melis, apa shalat yang kamu lakukan ditengah malam itu wajib ?", tanyaku mengingat satu pertanyaan yang tak sempat aku tanyakan semalam. Melis membuka sedikit mantel bagian atasnya. Kemudian dia tersenyum kepadaku. "Tidak wajib, Katrin. Shalat malam yang aku lakukan itu termasuk Sunnah", jawabnya. Melis membuka kedua sarung tangannya, lalu ia balik bertanya kepadaku. "Kamu tau arti Sunnah ?", tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepala. "Sunnah itu artinya kebiasaan atau hal yang sering dilakukan. Disini konteksnya adalah kebiasaan yang sering dilakukan oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan salah satu sunnahnya termasuk shalat dua raka'at yang aku lakukan tadi malam". Penjelasannya singkat tapi aku memahami apa yang ia maksud. Aku sudah banyak mendengar dari Melis tentang cerita Rasulullah. Dan beberapa minggu lalu aku sempatkan untuk membeli buku tentang kisah sang kekasih Allah SWT itu.
Aku akui, masih ada banyak hal yang tidak aku pahami tentang perjalanan hidup yang dialami sang Nabi. Aku yang memang tidak mengerti dan tidak bisa menjelaskan bagaimana dan kenapa seorang manusia bisa memiliki hidup yang begitu menakjubkan, bahkan sampai mengalami berapa kejadian diluar logika. Tapi aku bersyukur memiliki Melis yang selalu sabar dengan pertanyaan-pertanyaanku itu. Dia yang selalu bisa menjawab dengan baik atas segala kebingunganku.
"Jika kamu masih ingat perkataanmu beberapa waktu lalu, Katrin. Kamu pernah bilang kita bertemu karena Lindsey. Itu benar. Tapi apa kamu pernah menyangka akulah yang akan dikenalkan Lindsey ? Sedangkan kamu tahu kalau Lindsey memiliki beberapa teman karib disini. Kenapa bukan salah satu dari mereka ? Kenapa saat kamu sedang down, Lindsey memilih mengenalkan kamu kepadaku ?". Melis bertanya dengan sungguh-sungguh tanpa menghilangkan senyuman seperti biasanya. Aku diam beberapa saat, mencerna maksud pertanyaannya itu. "Mungkin Lindsey merasa kamu orang yang paling cocok untuk dikenalkan kepadaku, Melis", jawabku. "Mungkin ? Okey, tapi satu yang aku yakini, Katrin. Tuhan sudah menulis pertemuan kita sebelum aku, kamu dan Lindsey terlahir ke dunia ini. Karena apa yang sudah kita lalui selama ini, sampai nanti kita pergi meninggalkan semuanya, Tuhan sudah menuliskan kisah mahluknya dengan baik". Melis tersenyum lagi. "Dan kita sebagai manusia, tidak mampu mengetahui, bahkan dari kata menerka pun masih jauh rasanya untuk tahu apa yang sudah Tuhan rencanakan dan tulis itu. Yang jelas satu hal, Katrin. Berbuat baiklah dalam hidupmu. Insya Allah Tuhan pun bersamamu dalam setiap langkah".
Aku tidak ingin berdebat. Aku tahu kapasitasku soal hal yang satu ini. Aku memang mengandalkan logika dalam segala hal. Kenapa dan mengapa bisa terjadi hal ini dan itu. Tapi setelah beberapa kejadian yang aku alami selama ini rasanya sekarang aku baru merasakan bahwa jauh didalam hatiku ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang memang seharusnya aku terima tanpa perlu menuntut lebih atas sebuah penjelasan. Karena pada akhirnya aku sadar. Kalau hatiku berkata jujur bahwa memang inilah yang diciptakan oleh Ar-Rahman.
Menjelang sore hari di musim gugur yang cukup dingin ini aku sedang menikmati sebuah kudapan di teras bersama Saleh. Melis belum pulang dari sebuah pengajian yang memang rutin ia ikuti di hari libur. Sore itu suasananya sedikit berbeda. Daun-daun dari pohon Ek di halaman depan seperti berguguran secara perlahan, sedangkan angin yang berhembus cukup kencang. Semua itu membuat pemandangan yang kami lihat seperti sebuah drama melankolis. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak enak di dalam hati.
"Katrin, kamu tidak apa-apa ?". Pertanyaan Saleh cukup membuatku sedikit terkejut. "Em ? Aku ga' apa-apa", jelas nada suaraku mengatakan lain. Saleh menyadarinya. "Ada apa, Katrin ? Apa kamu kurang sehat ?", tanyanya lagi. Kali ini dia memperhatikan wajahku dengan seksama. "Aku... Aku ga' tahu kenapa tiba-tiba perasakaanku ga' enak, Saleh. Seperti ada hal buruk yang akan terjadi".
Aku belum pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya. Aneh. Tapi saat itu aku benar-benar merasa ada yang salah dengan perasakaanku. Entah apa.
"Katrin", Saleh masih menatapku.
"Pejamkan matamu sesaat, lalu tarik nafasmu dalam-dalam, jika tidak keberatan, ucapkan Astagfirullah hal adzim dalam hatimu, baru kemudian keluarkan udaranya dengan perlahan".
Aku mencoba apa yang ia sarankan. Lalu membuka mata setelah melakukannya. Saleh masih menatapku dengan air muka yang tenang. Aku tersenyum kepadanya. "Terimakasih", ucapku. Saleh ikut tersenyum sambil mengangukkan kepalanya. Entah sebenarnya apa yang terjadi. Tapi aku tidak bisa mengelak kalau apa yang aku rasakan setelah itu cukup membuatku tenang.
Sebentar lagi Melis pulang, dan kami berdua rencananya ingin memasak untuk makan malam nanti. Ini bukan sebuah kebiasaan yang pernah kami lakukan sebelumnya. Biasanya aku memasak bersama Melis. Dan aku rasa tidak ada salahnya membantu Saleh menyiapkan makan malam. Tapi sebuah kabar dari handphone yang berada dalam saku mantelku membuat semuanya berubah di hari itu.
Hari itulah yang membuatku berada dalam kehidupanku yang sekarang. Apa yang Melis katakan di taman kota pagi sebelumnya benar-benar membuatku menerima kebenaran tersebut tanpa perlu alasan yang didasari logika. Atas apa yang Tuhan tulis dalam hidup kita sudah tersimpan rapih sebelum manusia itu sendiri terlahir ke dunia ini.
"Halo, Kak".
"Hai, sayang. Apa kabar ?". Suara yang cukup lama tidak aku dengar beberapa bulan terakhir ini terasa janggal. Aku tahu nada suaranya dipaksa agar terdengar senormal mungkin.
"Aku baik. Gimana kabar Kakak dan Derren ?".
"Baik juga. Kalo Derren lagi sedikit demam. Maybe karena perbedaan cuaca disini kali. Eh iya gimana kerjaan kamu ?".
"Perbedaan cuaca ? Ah iya, Kakak lagi pulang ke Indonesia ya ? Pantes kode areanya beda. Kerjaanku lancar ga' ada masalah apapun. Kenapa, Kak ?".
Aku menerka pasti ada yang tidak beres hingga ia pulang ke rumah disaat pekerjaan sedang menumpuk pada bulan-bulan menjelang akhir tahun seperti sekarang. Aku tahu dia selalu pulang saat menjelang Natal saja. Dan aku semakin yakin ada yang tidak beres karena Derren yang masih balita sampai dibawa pulang.
"Ga' ada apa-apa. Cuma pingin tahu kabar adikku yang manja aja. Apa bisa dia survive disana dan jadi karyawan baru. Hihihi".
"Enak aja, aku udah dewasa ya. Aku bisa bersosialisasi dengan baik disini. Lagian udah berapa tahun aku disini. Ga' ada masalah apapun kok. Yang jadi pertanyaanku sekarang. Kenapa Kakak pulang ? Ada masalah apa ?", aku tidak ingin berasa-basi lagi. Aku yakin dia sedang ada masalah.
"Engga, Ay. Ga' ada apa-apa. Kakak ga' ada masalah. Erick baik, Kakak baik, Derren cuma sedikit demam...".
"Kak. Seriously. Ada apa ?".
Rasanya lama sekali aku mendengar jawabannya. Sampai aku bisa mendengar deru nafasnya yang berubah sedikit demi sedikit dan akhirnya suara tangisnya terdengar cukup nyaring.
"Mamah masuk rumah sakit, Ay. Udah tiga hari ini dirawat. Maaf Kakak baru ngabarin kamu karena Papah yang larang. Kami tahu kamu baru keterima kerja. Jadi Papah dan Kakak pikir...".
"Kak, Aku berangkat besok! Tega kamu baru kabarin aku setelah Mamah dirawat tiga hari, Kak!".
"Jangan, Ay. Mamah gak apa-apa. Lagi pula ada kami disini. Kamu baru keterima kerja, ga' mungkin dapet izin untuk pulang kesini".
"Lebih penting mana pekerjaan dengan keluarga, Kak ?! Aku ga' masalah harus resign disini. Kita ga' ada yang tahu sampai kapan kita masih dipertemukan! Dan ini Mamah! Pokoknya aku berangkat besok ke Indonesia!".
"Tapi, Ay.. Denger dulu...".
"Kak! Stop! Aku ga' mau menyesal dikemudian hari! Aku ga' mau kalau sampai Tuhan memisahkan aku sama Mamah dengan cara seperti ini. Kita ga' ada yang tahu kapan kita akan pulang untuk menghadap Tuhankan ?". Entah akupun tidak mengerti dan mungkin saja tidak sadar telah mengatakan hal tersebut. Menyebut-Nya secara naluriah kah ?. Mungkin. Atau memang isi hatiku yang mengatakannya.
"Apa ? Aa-apa, Ay ? Tuhan kata kamu ? Ay, Apa terjadi sama kamu ?". Kakakku jelas terkejut mendengar ucapanku sebelumnya. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan hal yang sedikit rumit. Setidaknya untukku.
"Kak aku ga' bisa jelasin sekarang. Pokoknya besok aku pulang ke Indonesia. Tolong bilang ke Papah untuk jemput aku di bandara. Nanti aku kabarin kamu lagi. Aku mau pulang dulu untuk beresin barang-barangku".
Apa yang baru saja aku dengar benar-benar membuatku harus bergegas pulang ke rumah. Aku pamit kepada Saleh dengan sedikit penjelasan mengenai kondisi Mamah. Saleh ikut mengantarku ke rumah bersama Melis. Saat itu Melis baru saja pulang. Dan sedikit percakapan di dalam perjalanan membuatku sadar akan satu hal lainnya.
"Katrin. Apa kamu akan kembali kesini lagi ?", tanya Saleh yang sedang membawa kendaraan tepat di sampingku.
"Aku ga' tahu, Saleh. Aku ga' tahu kapan aku akan ke Düsseldorf lagi".
"Katrin, aku berharap bisa bertemu denganmu lagi. Semoga Mamahmu bisa kembali sehat seperti sediakala". Melis mengusap pundakku dari arah bangku belakang. Aku menoleh kepadanya dan menggenggam erat tangannya tersebut. "Aamiin. Terimakasih Melis atas do'a mu. Semoga Tuhan masih memberikan kasih-Nya untuk kesembuhan Mamahku", jawabku dengan nada suara yang bergetar.
Melis terkejut. Wajahnya berbinar. "Apa katamu ? Alhamdulillah! Kamu percaya adanya Tuhan, Katrin ?", tanyanya penuh semangat.
Saleh terlihat tersenyum kepada kami berdua. "Ingat Melis, jangan kau tanyakan Tuhan yang mana. Sebuah awal yang baik insya Allah akan berakhir baik juga. Biarkan hati dan batinnya kelak yang akan menuntunnya sendiri kepada Tuhan yang sebenar-benarnya. Kita tidak bisa memakasakan apapun kepada wanita cantik ini kecuali Tuhan pulalah yang menghendakinya". Ucapan Saleh membuat Melis tersenyum lebar. Melis memelukku dari bangku belakang. Aku membalas pelukkan kasih sayang persaudaraan ini.
Aku menyadari akhirnya malam ini menjadi malam perpisahan antara aku bersama kedua Kakak-beradik itu. Kami bukan hanya sekedar teman. Hubungan aku dengan mereka berdua sudah seperti keluarga. Dan suatu hari nanti, aku benar-benar menjadi 'saudara' mereka berdua.
Terimakasih untuk saudariku Melis tersayang dan Saleh Kakakku. Ada banyak hal yang aku pelajari dari kalian berdua. Aku berdo'a segala kebaikkan untuk kalian. Dimanapun kalian berada, semoga kita selalu dalam lindungan-Nya. Much Love ❤️. Katrin.
Aku menunggu di lounge bandara. Keputusanku hari ini untuk pulang ke Indonesia sudah jelas karena kondisi Mamah yang sedang dirawat. Masih satu jam sebelum aku harus check-in. Aku sedang chatting bersama Kakakku dan Melis di bbm.
Pertama Melis meminta maaf tidak bisa mengantarku sampai ke bandara. Aku tahu dia hari ini harus bekerja dan jatah cutinya sudah habis. Aku pun tidak ingin merepotkannya lagi. Dia berulang kali mengingatkan ku untuk tidak melupakannya dan suatu hari nanti agar kembali untuk sekedar menemuinya. Tentu saja aku tidak akan pernah lupa dengannya dan berjanji suatu hari nanti kami akan bertemu lagi.
Kedua kabar lain dari Kakakku. Aku benar-benar tidak percaya akan hal yang satu ini. Apa yang ia ceritakan pada obrolan chatt itu membuatku bertanya-tanya. Terjadi lagikah ? Kenapa Tuhan senang mengujinya dengan cara yang sama. Kabar itu membuat rasa terkejutku melebihi apa yang dikabarkan Kakak tentang Mamah kemarin malam. Karena aku masih tidak percaya, aku memilih untuk mendengarkan langsung setelah meminta nomor kontaknya dari Kakak.
"Halo, dengan siapa ini ?", tanya suara lelaki diujung sana.
"Halo. Apa kabar, Kak Oda ?".
Sebelumnya aku sudah terbiasa berkumpul dengan teman-teman sekolahku yang beragama muslim saat masih di Indonesia. Tapi ada hal yang berbeda ketika aku bertemu dengan dua muslim Kakak-beradik ini. Ada sesuatu yang membuatku penasaran dan mengusik sisi batinku. Mereka berdua seperti memiliki daya tarik tersendiri dimataku ketika melakukan ibadah dan bersosialisasi dengan orang lain.
"Pagi, Katrin". Suara yang cukup terdengar ceria di pagi yang dingin ini membuatku menoleh kearahnya. Aku sudah membuka mata ketika sebelumnya sayup-sayup mendengar do'a yang ia panjatkan. Dan sapaannya itu seolah-olah ingin memastikan kalau wanita yang sedang menginap di rumahnya ini sudah sepenuhnya sadar.
"Pagi, Melis". Jawabku beberapa saat sebelum akhirnya bangun dan duduk diatas ranjang yang seperti enggan membiarkanku terbangun. "Sudah pagi ? Sumpah, rasanya baru saja aku tertidur lima menit".
Melis tersenyum sambil merapihkan simpul hijabnya. "Ya mungkin karena kita tidur cukup larut semalam. Aku akan pergi bersepeda. Kamu mau ikut ?", tanya Melis yang sudah berdiri dan menaruh sajadah disudut kamar. Mungkin Benar kata Melis aku sedikit kurang tidur karena semalaman menunggu dan memperhatikannya shalat malam. Setelah itu aku banyak mendengar penjelasan darinya tentang keutamaan shalat tersebut, sampai tidak terasa sudah pukul tiga dini hari. Tapi tunggu, dia baru saja melaksanakan shalat subuh dan sekarang mengajakku untuk berolahraga.
Aku tahu kalau Melis benar-benar memegang teguh ajaran agamanya. Tapi bagiku tetap saja itu cukup menakjubkan. Bangun ditengah malam untuk beribadah, kemudian pagi sebelum sang fajar menghantarkan kehangatan dia sudah melaksanakan shalat subuh. Dan sekarang, dengan wajah yang ceria ia ingin mengajakku bersepeda di cuaca yang cukup dingin.
"Udaranya segar, ini baik untuk paru-paru kita". Melis mengayuh sepeda dengan cukup pelan. Aku mengikutinya di sisi kiri dengan kecepatan yang sama. Kami berdua mengenakan mantel yang cukup tebal karena sudah bulan Oktober.
Membalut tubuh dengan selimut sambil mendengarkan Für Elise serta ditemani secangkir teh hangat adalah pilihan terbaik menurutku untuk pagi yang cukup dingin ini. Tapi tidak mungkin aku menolak ajakan tuan rumah dan memilih pilihan terbaikku itu. Selama bersepeda kami banyak membicarakan soal pekerjaan baruku. Aku memang baru satu bulan bekerja di salah satu perusahaan advertising. Dan tentu saja pekerjaan itu adalah pengalaman pertamaku setelah lulus kuliah.
"Kita duduk disitu, Katrin".
Melis menepikan sepedanya di dekat pohon setelah melihat sebuah bangku taman. Aku mengikutinya dan kami berdua duduk sambil melepas lelah setelah satu jam bersepeda mengitari kota.
"Melis, apa shalat yang kamu lakukan ditengah malam itu wajib ?", tanyaku mengingat satu pertanyaan yang tak sempat aku tanyakan semalam. Melis membuka sedikit mantel bagian atasnya. Kemudian dia tersenyum kepadaku. "Tidak wajib, Katrin. Shalat malam yang aku lakukan itu termasuk Sunnah", jawabnya. Melis membuka kedua sarung tangannya, lalu ia balik bertanya kepadaku. "Kamu tau arti Sunnah ?", tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepala. "Sunnah itu artinya kebiasaan atau hal yang sering dilakukan. Disini konteksnya adalah kebiasaan yang sering dilakukan oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan salah satu sunnahnya termasuk shalat dua raka'at yang aku lakukan tadi malam". Penjelasannya singkat tapi aku memahami apa yang ia maksud. Aku sudah banyak mendengar dari Melis tentang cerita Rasulullah. Dan beberapa minggu lalu aku sempatkan untuk membeli buku tentang kisah sang kekasih Allah SWT itu.
Aku akui, masih ada banyak hal yang tidak aku pahami tentang perjalanan hidup yang dialami sang Nabi. Aku yang memang tidak mengerti dan tidak bisa menjelaskan bagaimana dan kenapa seorang manusia bisa memiliki hidup yang begitu menakjubkan, bahkan sampai mengalami berapa kejadian diluar logika. Tapi aku bersyukur memiliki Melis yang selalu sabar dengan pertanyaan-pertanyaanku itu. Dia yang selalu bisa menjawab dengan baik atas segala kebingunganku.
"Jika kamu masih ingat perkataanmu beberapa waktu lalu, Katrin. Kamu pernah bilang kita bertemu karena Lindsey. Itu benar. Tapi apa kamu pernah menyangka akulah yang akan dikenalkan Lindsey ? Sedangkan kamu tahu kalau Lindsey memiliki beberapa teman karib disini. Kenapa bukan salah satu dari mereka ? Kenapa saat kamu sedang down, Lindsey memilih mengenalkan kamu kepadaku ?". Melis bertanya dengan sungguh-sungguh tanpa menghilangkan senyuman seperti biasanya. Aku diam beberapa saat, mencerna maksud pertanyaannya itu. "Mungkin Lindsey merasa kamu orang yang paling cocok untuk dikenalkan kepadaku, Melis", jawabku. "Mungkin ? Okey, tapi satu yang aku yakini, Katrin. Tuhan sudah menulis pertemuan kita sebelum aku, kamu dan Lindsey terlahir ke dunia ini. Karena apa yang sudah kita lalui selama ini, sampai nanti kita pergi meninggalkan semuanya, Tuhan sudah menuliskan kisah mahluknya dengan baik". Melis tersenyum lagi. "Dan kita sebagai manusia, tidak mampu mengetahui, bahkan dari kata menerka pun masih jauh rasanya untuk tahu apa yang sudah Tuhan rencanakan dan tulis itu. Yang jelas satu hal, Katrin. Berbuat baiklah dalam hidupmu. Insya Allah Tuhan pun bersamamu dalam setiap langkah".
Aku tidak ingin berdebat. Aku tahu kapasitasku soal hal yang satu ini. Aku memang mengandalkan logika dalam segala hal. Kenapa dan mengapa bisa terjadi hal ini dan itu. Tapi setelah beberapa kejadian yang aku alami selama ini rasanya sekarang aku baru merasakan bahwa jauh didalam hatiku ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang memang seharusnya aku terima tanpa perlu menuntut lebih atas sebuah penjelasan. Karena pada akhirnya aku sadar. Kalau hatiku berkata jujur bahwa memang inilah yang diciptakan oleh Ar-Rahman.
Menjelang sore hari di musim gugur yang cukup dingin ini aku sedang menikmati sebuah kudapan di teras bersama Saleh. Melis belum pulang dari sebuah pengajian yang memang rutin ia ikuti di hari libur. Sore itu suasananya sedikit berbeda. Daun-daun dari pohon Ek di halaman depan seperti berguguran secara perlahan, sedangkan angin yang berhembus cukup kencang. Semua itu membuat pemandangan yang kami lihat seperti sebuah drama melankolis. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak enak di dalam hati.
"Katrin, kamu tidak apa-apa ?". Pertanyaan Saleh cukup membuatku sedikit terkejut. "Em ? Aku ga' apa-apa", jelas nada suaraku mengatakan lain. Saleh menyadarinya. "Ada apa, Katrin ? Apa kamu kurang sehat ?", tanyanya lagi. Kali ini dia memperhatikan wajahku dengan seksama. "Aku... Aku ga' tahu kenapa tiba-tiba perasakaanku ga' enak, Saleh. Seperti ada hal buruk yang akan terjadi".
Aku belum pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya. Aneh. Tapi saat itu aku benar-benar merasa ada yang salah dengan perasakaanku. Entah apa.
"Katrin", Saleh masih menatapku.
"Pejamkan matamu sesaat, lalu tarik nafasmu dalam-dalam, jika tidak keberatan, ucapkan Astagfirullah hal adzim dalam hatimu, baru kemudian keluarkan udaranya dengan perlahan".
Aku mencoba apa yang ia sarankan. Lalu membuka mata setelah melakukannya. Saleh masih menatapku dengan air muka yang tenang. Aku tersenyum kepadanya. "Terimakasih", ucapku. Saleh ikut tersenyum sambil mengangukkan kepalanya. Entah sebenarnya apa yang terjadi. Tapi aku tidak bisa mengelak kalau apa yang aku rasakan setelah itu cukup membuatku tenang.
Sebentar lagi Melis pulang, dan kami berdua rencananya ingin memasak untuk makan malam nanti. Ini bukan sebuah kebiasaan yang pernah kami lakukan sebelumnya. Biasanya aku memasak bersama Melis. Dan aku rasa tidak ada salahnya membantu Saleh menyiapkan makan malam. Tapi sebuah kabar dari handphone yang berada dalam saku mantelku membuat semuanya berubah di hari itu.
Hari itulah yang membuatku berada dalam kehidupanku yang sekarang. Apa yang Melis katakan di taman kota pagi sebelumnya benar-benar membuatku menerima kebenaran tersebut tanpa perlu alasan yang didasari logika. Atas apa yang Tuhan tulis dalam hidup kita sudah tersimpan rapih sebelum manusia itu sendiri terlahir ke dunia ini.
"Halo, Kak".
"Hai, sayang. Apa kabar ?". Suara yang cukup lama tidak aku dengar beberapa bulan terakhir ini terasa janggal. Aku tahu nada suaranya dipaksa agar terdengar senormal mungkin.
"Aku baik. Gimana kabar Kakak dan Derren ?".
"Baik juga. Kalo Derren lagi sedikit demam. Maybe karena perbedaan cuaca disini kali. Eh iya gimana kerjaan kamu ?".
"Perbedaan cuaca ? Ah iya, Kakak lagi pulang ke Indonesia ya ? Pantes kode areanya beda. Kerjaanku lancar ga' ada masalah apapun. Kenapa, Kak ?".
Aku menerka pasti ada yang tidak beres hingga ia pulang ke rumah disaat pekerjaan sedang menumpuk pada bulan-bulan menjelang akhir tahun seperti sekarang. Aku tahu dia selalu pulang saat menjelang Natal saja. Dan aku semakin yakin ada yang tidak beres karena Derren yang masih balita sampai dibawa pulang.
"Ga' ada apa-apa. Cuma pingin tahu kabar adikku yang manja aja. Apa bisa dia survive disana dan jadi karyawan baru. Hihihi".
"Enak aja, aku udah dewasa ya. Aku bisa bersosialisasi dengan baik disini. Lagian udah berapa tahun aku disini. Ga' ada masalah apapun kok. Yang jadi pertanyaanku sekarang. Kenapa Kakak pulang ? Ada masalah apa ?", aku tidak ingin berasa-basi lagi. Aku yakin dia sedang ada masalah.
"Engga, Ay. Ga' ada apa-apa. Kakak ga' ada masalah. Erick baik, Kakak baik, Derren cuma sedikit demam...".
"Kak. Seriously. Ada apa ?".
Rasanya lama sekali aku mendengar jawabannya. Sampai aku bisa mendengar deru nafasnya yang berubah sedikit demi sedikit dan akhirnya suara tangisnya terdengar cukup nyaring.
"Mamah masuk rumah sakit, Ay. Udah tiga hari ini dirawat. Maaf Kakak baru ngabarin kamu karena Papah yang larang. Kami tahu kamu baru keterima kerja. Jadi Papah dan Kakak pikir...".
"Kak, Aku berangkat besok! Tega kamu baru kabarin aku setelah Mamah dirawat tiga hari, Kak!".
"Jangan, Ay. Mamah gak apa-apa. Lagi pula ada kami disini. Kamu baru keterima kerja, ga' mungkin dapet izin untuk pulang kesini".
"Lebih penting mana pekerjaan dengan keluarga, Kak ?! Aku ga' masalah harus resign disini. Kita ga' ada yang tahu sampai kapan kita masih dipertemukan! Dan ini Mamah! Pokoknya aku berangkat besok ke Indonesia!".
"Tapi, Ay.. Denger dulu...".
"Kak! Stop! Aku ga' mau menyesal dikemudian hari! Aku ga' mau kalau sampai Tuhan memisahkan aku sama Mamah dengan cara seperti ini. Kita ga' ada yang tahu kapan kita akan pulang untuk menghadap Tuhankan ?". Entah akupun tidak mengerti dan mungkin saja tidak sadar telah mengatakan hal tersebut. Menyebut-Nya secara naluriah kah ?. Mungkin. Atau memang isi hatiku yang mengatakannya.
"Apa ? Aa-apa, Ay ? Tuhan kata kamu ? Ay, Apa terjadi sama kamu ?". Kakakku jelas terkejut mendengar ucapanku sebelumnya. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan hal yang sedikit rumit. Setidaknya untukku.
"Kak aku ga' bisa jelasin sekarang. Pokoknya besok aku pulang ke Indonesia. Tolong bilang ke Papah untuk jemput aku di bandara. Nanti aku kabarin kamu lagi. Aku mau pulang dulu untuk beresin barang-barangku".
Apa yang baru saja aku dengar benar-benar membuatku harus bergegas pulang ke rumah. Aku pamit kepada Saleh dengan sedikit penjelasan mengenai kondisi Mamah. Saleh ikut mengantarku ke rumah bersama Melis. Saat itu Melis baru saja pulang. Dan sedikit percakapan di dalam perjalanan membuatku sadar akan satu hal lainnya.
"Katrin. Apa kamu akan kembali kesini lagi ?", tanya Saleh yang sedang membawa kendaraan tepat di sampingku.
"Aku ga' tahu, Saleh. Aku ga' tahu kapan aku akan ke Düsseldorf lagi".
"Katrin, aku berharap bisa bertemu denganmu lagi. Semoga Mamahmu bisa kembali sehat seperti sediakala". Melis mengusap pundakku dari arah bangku belakang. Aku menoleh kepadanya dan menggenggam erat tangannya tersebut. "Aamiin. Terimakasih Melis atas do'a mu. Semoga Tuhan masih memberikan kasih-Nya untuk kesembuhan Mamahku", jawabku dengan nada suara yang bergetar.
Melis terkejut. Wajahnya berbinar. "Apa katamu ? Alhamdulillah! Kamu percaya adanya Tuhan, Katrin ?", tanyanya penuh semangat.
Saleh terlihat tersenyum kepada kami berdua. "Ingat Melis, jangan kau tanyakan Tuhan yang mana. Sebuah awal yang baik insya Allah akan berakhir baik juga. Biarkan hati dan batinnya kelak yang akan menuntunnya sendiri kepada Tuhan yang sebenar-benarnya. Kita tidak bisa memakasakan apapun kepada wanita cantik ini kecuali Tuhan pulalah yang menghendakinya". Ucapan Saleh membuat Melis tersenyum lebar. Melis memelukku dari bangku belakang. Aku membalas pelukkan kasih sayang persaudaraan ini.
Aku menyadari akhirnya malam ini menjadi malam perpisahan antara aku bersama kedua Kakak-beradik itu. Kami bukan hanya sekedar teman. Hubungan aku dengan mereka berdua sudah seperti keluarga. Dan suatu hari nanti, aku benar-benar menjadi 'saudara' mereka berdua.
Terimakasih untuk saudariku Melis tersayang dan Saleh Kakakku. Ada banyak hal yang aku pelajari dari kalian berdua. Aku berdo'a segala kebaikkan untuk kalian. Dimanapun kalian berada, semoga kita selalu dalam lindungan-Nya. Much Love ❤️. Katrin.
****
Aku menunggu di lounge bandara. Keputusanku hari ini untuk pulang ke Indonesia sudah jelas karena kondisi Mamah yang sedang dirawat. Masih satu jam sebelum aku harus check-in. Aku sedang chatting bersama Kakakku dan Melis di bbm.
Pertama Melis meminta maaf tidak bisa mengantarku sampai ke bandara. Aku tahu dia hari ini harus bekerja dan jatah cutinya sudah habis. Aku pun tidak ingin merepotkannya lagi. Dia berulang kali mengingatkan ku untuk tidak melupakannya dan suatu hari nanti agar kembali untuk sekedar menemuinya. Tentu saja aku tidak akan pernah lupa dengannya dan berjanji suatu hari nanti kami akan bertemu lagi.
Kedua kabar lain dari Kakakku. Aku benar-benar tidak percaya akan hal yang satu ini. Apa yang ia ceritakan pada obrolan chatt itu membuatku bertanya-tanya. Terjadi lagikah ? Kenapa Tuhan senang mengujinya dengan cara yang sama. Kabar itu membuat rasa terkejutku melebihi apa yang dikabarkan Kakak tentang Mamah kemarin malam. Karena aku masih tidak percaya, aku memilih untuk mendengarkan langsung setelah meminta nomor kontaknya dari Kakak.
"Halo, dengan siapa ini ?", tanya suara lelaki diujung sana.
"Halo. Apa kabar, Kak Oda ?".
Tunggu Aku - Andra & The Backbone
....
Tunggu Aku. Ku akan datang
Tunggu Aku. Ku akan pulang
....
Tunggu Aku. Ku akan datang
Tunggu Aku. Ku akan pulang
....
Diubah oleh bunbun.orenz 20-07-2018 07:13
oktavp dan dany.agus memberi reputasi
4
Kutip
Balas
Tutup