- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Investigasi Supranatural: Dendam Arwah Penunggu Jalan Angker (dongeng seram)
TS
dodydrogba
Investigasi Supranatural: Dendam Arwah Penunggu Jalan Angker (dongeng seram)
Mencoba membagikan karya ane yang baru gan, terinspirasi dari serial Constantine, Supernatural dan DI sini ada Setan, judulnya Investigasi Supranatural: Dendam Arwah Penunggu Jalan Angker. Berkisah tentang Aryo yang kehilangan saudari kembarnya secara misterus, hal itu mengundang rasa penasarannya dan berniat menolongnya, namun sebelum itu ia harus mengikuti permintaan saudarinya itu yaitu menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan kejadian mistis atau supranatural. Semoga bisa terhibur dan mohon kritik dan sarannya.
Spoiler for Bab 1:
Sudah jatuh tertimpa tangga pula, itulah yang dialami oleh Aryo saat ini ketika mendengar sebuah kabar buruk yang menimpa keluarganya. Setelah sebelumnya di putus hubungan kerjanya karena perusahaanya bangkrut, kini ia tengah mencoba tegar setelah tahu saudari kembarnya Arina menghilang di sebuah gunung. Pencarian dan segala usaha lain sudah dilakukan, sayangnya hasil nihil tanpa mendapatkan bukti apa pun. Tim penolong memutuskan untuk menyerah setelah menguber ke segala sisi gunung tersebut yaitu Gunung Sanjaya. Berbeda dengan dirinya, Arina sendiri sedikit unik kehidupannya. Ia tak menjadi karyawan atau wirausahawan seperti pada umumnya namun menjadi praktisi supranatural, para psikolog atau apapun itu yang berkaitan dengan hal - hal berbau supranatural. Ia menolong siapapun yang terkena masalah berbau supranatural. Uniknya walau dibayar secara sukarela atau bahkan kadang tak dibayar sama sekali, entah kenapa ia bisa survive hingga saat ini.
Sedangkan Aryo, ia malah tak mendapatkan kemampuan yang dimiliki Arina sejak lahir yaitu indera ke enam. Tentu ia sangat bersyukur tak bisa berinteraksi dengan mahluk kasat mata di berbagai tempat karena jika tak siap bisa menimbulkan tekanan psikis tersendiri yang mungkin mempengaruhi kehidupannya. Aryo sendiri merupakan pria muda yang cukup tangguh dan pemberani, buktinya ia bahkan sering melewati jalan angker ketika pulang dari kantornya berkali - kali. Ia bahkan lebih takut bertemu begal dan perampok daripada hantu karena taruhannya nyawa terkadang duit. Mungkin karena ia yang tak diberkahi kemampuan unik seperti jadi tak merasa was - was ada aura negatif di sekelilingnya.
Sebelum Arina menghilang, Aryo tak mendapatkan kabar apapun dari saudari kembarnya itu. Mungkin karena kesibukkan yang sangat padat jadi tak sempat mengirim pesan terakhir kepada Aryo. Padahal biasanya Arina akan menyempat mengirim pesan singkat melalui ponselnya kepada saudara kembarnya itu. Ah, andai saja punya kemampuan unik seperti Arina, mungkin hal seperti ini bisa dicegah lebih dulu, batin Aryo. Namun nasi sudah menjadi bubur, yang ia bisa lakukan sekarang adalah mencari tahu siapa saja yang pernah melakukan kontak dengan saudarinya itu.
Di kamar saudarinya yang harum semerbak dan terawat rapi, ia memeriksa satu persatu buku - buku di lemarinya. Berharap keberuntungan menyertainya, berbagai lembar dilirik dengan penuh ketelitian. Sayangnya, tak ada satu pun yang menyertakan nama - nama orang yang dikenalnya. Andai saja ponselnya tertinggal, mungkin masih ada sedikit harapan. Sang ibu sebenarnya sudah merelakan anaknya, ia bahkan rajin beribadah agar anaknya bisa diberi tempat terbaik di sisinya. Berbeda dengan Aryo, walau tak percaya hal yang tak masuk akal, firasatnya terus mengatakan bahwa Arina masih hidup. Usaha pencarian itu juga membuatnya lelah, ia pun merebahkan diri ke kasur milik Arina. Ia tak kuasa menahan kantuk, mata pun ia pejamkan dengan rapat, berharap hari esok lebih baik dari sebelumnya. Aryo akhirnya tertidur pulas di malam yang belum terlalu larut.
Di tengah - tengah tidurnya, ia tenggelam pada lautan mimpi yang sangat dalam. Rasanya aneh, ia sama sekali belum pernah mengalaminya. Lalu ia terjatuh di sebuah hamparan padang rumput yang dibelakangnya terdapat gunung yang besar dan indah. Sebuah siluet bayangan tiba - tiba muncul di depannya, lama - lama berbentuk padat, mirip manusia. Ia sepertinya kenal, itu adalah saudari kembarnya, Arina. Melihat hal itu membuat Aryo merangkak perlahan lalu berdiri tegak. Ia masih tak percaya akan apa yang dipandangnya, ia pun mengucek matanya. Ternyata benar, ia tak salah lihat, kekuatirannya yang memuncak perlahan sirna. Mungkin ini sebuah pertanda jika dia masih hidup ditambah ia punya kemampuan indera ke enam dari lahir. Dengan mental baja ia memberanikan diri untuk bertanya sesuatu kepadanya perihal kehilangannya itu.
"Arina!!! Engkau kah itu?"
Arina tersenyum lalu berbicara sesuatu padanya, "Iya Aryo, ini aku, saudari kembar mu."
"Benerkah itu?? Di mana kah kamu berada sekarang? Kamu tahu ibu dan saudara - saudara kita benar - benar mencemaskan mu, bahkan mereka hampir mengira kamu sudah mati," Aryo menatap dengan penuh kesedihan.
"Aku minta maaf sudah mencemaskan kalian, tapi aku masih hidup," Arina berbicara datar kali ini.
"Kalau begitu biar lah aku menolong mu kali ini, kita bersaudara kembar bukan. Saudara kembar yang baik harus tolong menolong apapun itu kondisinya. Dan mereka tidak akan percaya kamu masih hidup selama diri mu belum diketemukan," Aryo berusaha meyakinkan Arina.
"Tidak perlu Aryo, itu hanya buang - buang waktu dan merepotkan mu saja. Atau malah bisa membuat mu suatu saat terbunuh, apa kamu tak tahu itu?" Arina menolak.
"Tidak perlu??? Apa kamu tak tahu batin derita yang dirasakan ibu mu, tangis harunya tak pernah berhenti sebelum melihat senyum indah mu. Kamu tahu ia sangat mencintai mu, ibu mana yang tak sedih ketika anaknya sedang dalam masalah. Biarkan aku menolong mu Arina, walau mungkin aku bukan orang yang punya kemampuan unik seperti diri mu. Tapi setidaknya aku akan berusaha mati - matian untuk menolong mu," Aryo kembali mencoba meyakinkannya.
Arina tak berkata satu patah kata pun, ia membalikan badannya, menatap langit cerah di atas gunung, tiba - tiba pelangi cantik muncul, menambah pesona indah dari pemandangan tersebut. Ternyata itu adalah gambaran perasaanya, sebuah bentuk komunikasi non verbal yang sangat aneh tapi penuh seni keindahan. Hatinya perlahan luluh ketika mendengar kata ibu, ia teringat ibu selalu mengkuatirkannya ketika ia pergi. Atas dasar itu, maka ia memutuskan untuk menyetujui permohonan saudar kembarnya itu.
"Baiklah, jika kamu ingin menolong ku, maka kamu juga harus menolong yang lain."
"Apa maksud mu Arina, aku tidak mengerti?"
"Lihat lah pelangi itu, indah bukan."
Arina menunjuk dengan tangannya, Aryo menatap dengan serius. Pelangi itu rupanya mengalihkan perhatiannya dari Arina yang perlahan memudar lalu menghilang.
"Arina tunggu!!! Arina!!!" teriak Aryo.
Keanehan kembali terjadi, kali ini semburan api melahap kakinya lalu menuju ke atas. Seketika langit yang cerah menjadi gelap gulita. Ia yang terkejut tak kuasa menahan rasa takutnya.
"Apa yang terjadi, tolong!!!!!"
Dalam seketika ia terbangun dari alam mimpi di luar nalarnya itu. Nafasnya terengah - engah bak habis lari sepuluh kali memutari lapangan. Otaknya berputar memikirkan apa yang baru saja ia alami sebelumnya. Ia menghela nafas sebentar, mencoba untuk lebih rileks, kepalanya mendongak lalu menatap ke arah pintu yang berada tak jauh di depannya. Sebuah jaket wanita berwarna cokelat tergantung pada gantungan di pintu itu. Ada hal yang telah menarik perhatiannya di jaket itu. Iya, merek pelangi, ia teringat perkataan Arina yang terpukau pada pelangi yang indah. Mungkin saja dia bermaksud ada sebuah keindahan di balik jaket itu, tapi apa, tak ada yang tahu. Sejatinya Aryo kesal dengan teka - teki konyol ini, hanya malah mempersulit dirinya menolong saudarinya itu. Tapi sayangnya, itu bagaikan wasiat langung dari nya, dan ketika menolaknya, yang ditakuti adalah kesialan yang menimpa sekitar dirinya atau orang terdekatnya. Mau gak mau, ia mencoba mendekati jaket itu. Tak dirasa waktu berjalan lebih cepat, kini sudah menunjukkan jam empat pagi. Batin Aryo berharap belum terlambat untuk kehilangan saudarinya itu.
Jaket merek pelangi itu dirabanya, dari atas sampai bawah lalu ke segala sisi. Sampai ia berhenti pada bagian tengah jaket itu, terdapat sebuah kantung di luarnya. Dilihatnya kantung itu, tak terdapat apa - apa. Tapi yang aneh terasa padat berisi, membuat kantung itu sedikit berat. Ia coba cek kembali, kali ini dari dalam. Dan ternyata ia menemukan resreting kantung dalam bagian jaket itu. Dengan terburu - buru ia membukanya, akhirnya usahanya tak sia - sia. Ia menemukan sebuah buku kecil yang sepertinya milik Arina. Setelah itu ia mulai berjalan menuju semacam meja belajar di samping lemari. Lembar demi lembar mulai dibukanya, tulisan - tulisan yang ia tatap dengan teliti itu meningkatkan rasa penasaran dari Aryo. Bentuknya seperti sebuah diary, tetapi tak sepenuhnya jadi. Judul dari tulisan catatan harian itu juga terasa aneh, seperti berita kasus kriminal, ada juga yang cuma menunjukan alamat sebuah tempat saja. Ia terus melanjutkan membuka lembaran buku itu hingga ia menemukan sebuah catatan aneh di belakangnya.
"Tanda - tanda kehadiran mahluk astral atau gaib:
1. Timbul bau aneh seperti wangi kemenyan, bau anyir darah atau bau daging busuk secara mendadak.
2. Adanya penerangan lampu yang selalu redup atau kelap - kelip bahkan ketika sudah diganti lampu baru.
3. Perubahan suhu secara mendadak, seperti suhu dingin yang membuat bulu kuduk merinding.
4. Pergerakan benda yang melawan hukum alam, fisika atau apapun itu.
5. Suara - suara aneh yang muncul mendadak seperti tangisan atau tertawa.
Jika aku tak muncul beberapa hari atau tahun, harap hubungi alamat ini:
Jl. Putri Kahiyang, no. 4, perumahan Cempaka Biru, kecamatan Sukamaju."
Lagi - lagi firasat Aryo mengatakan bahwa mungkin ini yang dimaksud menolongnya melalui menolong orang lain. "Apa mungkin aku disuruh menyelesaikan kasus - kasusnya yang belum tuntas itu sebelum menemukan dirinya? Yah, mungkin saja, setidaknya alamat ini mungkin bisa berguna bagi ku dalam mencari dirinya yang hilang," kata Aryo dalam hati.
Niat beserta tekad yang kuat sudah ia bulatkan dalam hati, tak ingin mundur sebelum tujuan tercapai. Pagi hari Aryo menemui ibunya di kamarnya, meminta izin sekaligus pamit kepada ibunya. Ia mencoba mengajak ibunya untuk terus berharap akan sebuah keajaiban bisa menghampiri keluarga mereka.
"Nak, kamu yakin soal ini, bagaimana kalau semua ini sia - sia, bagaimana kalau ini hanya ujian buat keluarga kita agar tetap tabah dalam situasi apa pun," sang ibu kuatir.
"Tenang aja bu, aku yakin keajaiban itu ada. Dan tentu semua masalah yang kita hadapi adalah ujian hidup. Tapi firasat kuat ku mengatakan dia masih hidup," kata Aryo dengan penuh keyakinan.
"Iya, ibu tahu, tapi ibu sudah kehilangan saudari mu untuk saat ini, ibu tak mau kehilangan mu, anak ibu yang masih tersisa dan sangat ibu cintai," ibu yang sedih menggenggam erat tangan anaknya.
"Ibu, Aryo kan sudah besar, sudah mandiri, Aryo bisa kok mengatasi masalah sendiri. Jadi ibu tak perlu berpikir aneh - aneh, entar jadi malah bisa stres sendiri dan Aryo tak ingin ibu seperti itu," kata Aryo dengan tenang.
"Baiklah, ibu tak bisa memaksa mu untuk tetap di sini, kamu sudah besar nak. Aku harap tuhan selalu melindungi dari segala marabahaya," yang tak kuasa menahan sedih mulai meneteskan air mata.
"Ibu, maafkan Aryo sudah merepotkan ibu. Kalau begitu Aryo pamit dulu, bi Sumi, tolong jaga ibu dengan baik ya," Aryo mengusap air mata ibu dan meminta pembantu rumahnya untuk menjaga sang ibu.
"Iya mas, bi Sumi pasti akan menjaga ibu dengan baik," bi Sumi tersenyum lepas.
Senyuman bi Sumi juga menular ke sang ibu, mungkin kini ia lebih lega karena harapan kecil mulai timbul di benak pikirannya akan keberadaan anak perempuannya itu. Sementara itu Aryo berangkat dengan sepeda motor harley milik mendiang ayahnya yang sudah meninggal lima tahun lalu itu. Sambil berkendara, alunan musik Highway to Hell milik AC/DC menyertai perjalanannya, menuju sang matahari terbit di mana harapan akan terus ada selama masih ada hari esok yang cerah.
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9 Part 1
Bab 9 Part 2
Diubah oleh dodydrogba 12-05-2018 07:36
anasabila memberi reputasi
2
8.6K
Kutip
25
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
dodydrogba
#20
Spoiler for Bab 8:
Kampus itu terlihat paling megah dari yang lain, mungkin hanya satu - satunya yang bagus di Muara Buaya. Ini tentu mengingatkan kembali masa - masa kuliah Aryo yang penuh keasyikan ketika berdiskusi bareng membahasa sebuah masalah, penyelenggaraan event atau apa pun itu. Masa - masa penuh kebebasan kecuali mau masuk skripsi. Di sisi lain ia sedikit canggung dan malu ketika harus kembali bertemu dengan mahasiswa - mahasiswi yang usianya jauh lebih muda dari nya. Mereka bahkan ada yang memadu kasih atau pacaran, sedangkan dirinya, istri saja belum punya padahal mau usia kepala tiga. Hari itu ia harus menjalan rencana yang dibuat oleh Risa yaitu menguak informasi dari anaknya Pak Soni dan kemungkin anak semata wayang arwah penasaran itu terutama seputar cincin nikahnya itu. Ia berjalan masuk ke ruang administrasi lalu menanyakan seputar mahasiswi yang bernama Rani yang merupakan anak Pak Soni.
"Permisi bu, saya ingin mencari seseorang mahasiswi di sini?" tanya Aryo.
"Mau cari siapa, kepentingan mu apa, dan yang paling penting, kamu siapa?" ibu tua itu menatapnya dengan tatapan dan suara datar.
"Nama ku eee .... " Aryo baru ingat kalau ia harus memakai nama ketika menginvestigasi seperti yang dikatakan Risa, ia melirik ke sana - ke mari lalu melihat sebuah objek yang menarik perhatian dirinya, setelah itu ia kembali menjawab pertanyaan ibu itu, "Nama ku Philip tanpa s."
"Philip?? Kayak nama lampu ya," ibu itu keheranan.
"Iya, orang tua ku emang unik, dia bahkan menamakan adikku Toshiba hehhe. Oh iya, aku seorang asisten detektif, aku kemari sedang bertugas untuk menguak sebuah kasus. Ini surat kerja ku," Aryo menunjukkan sebuah surat kepada ibu itu.
"Hmmm begitu ya," ibu itu berpikir sebentar, lalu melihat ke arah belakang Aryo, "Kamu beruntung, Rani yang kamu cari sedang berdiri di pojok halaman luar itu, dia memang kadang - kadang suka termenung di tempat itu."
Aryo mengecek tempat yang dituju ibu itu, "Oh begitu ya, terima kasih bu, aku akan segera ke sana."
Aryo meninggalkan ibu itu lalu bergegas menuju mahasiswi itu, sebisa mungkin ia tak ingin mengagetkan atau menimbulkan situasi tak nyaman. Pelajaran negosiasi yang ia dapat ketika kuliah dulu adalah harus membuat orang nyaman, salah satunya adalah dengan menyamakan pikiran, lalu setelah semua menjadi nyaman rasa akrab akan menyusul kemudian, dan terakhir timbulah rasa saling percaya antara dua manusia itu. Ia memberanikan diri untuk berdiri lima langkah di sampingnya, di mana Rani menyenderkan tubuhnya di sebuah tiang dinding. Keduanya menatap sebuah taman indah dipenuhi bunga - bunga yang membuat orang akan relaks jika melihatnya. Tak ingin bermaksud mengangetkan orang yang tertegun melihat cantiknya bunga itu, Aryo pun mencoba berbicara tak terlalu keras dengan memuji sebuah pemandangan yang ada di depan matanya.
"Pemandangannya indah ya, bikin adem di hati," ujar Aryo.
Rani yang mendadak sadar dari lamunannya sedikit bingung dengan kehadiran orang yang ada di sampingnya itu, "Eee iya, bunga itu memang indah, tapi maaf, kalau boleh tahu Anda siapa ya?"
Aryo mengulurkan tangan ke arahnya, "Oh iya, nama ku, Aryo, kamu Rani bukan? Kamu gak perlu was - was apalagi takut. Aku asisten detektif yang diberi tugas khusus untuk menguak sebuah kasus. Ini suratnya, maaf ya, jika mengganggu waktu sebentar."
Rani melihat surat itu, dia pun yakin akan kebenarannya. Rani juga sedikit kaget ada pria dengan tampang cool mendekati dirinya karena sebenarnya ia sendiri masih malas untuk mendekati pria karena terakhir kekasihnya itu berselingkuh di depan matanya. Namun karena pria ini nampak berbeda karena dia bukan mendekatinya untuk membangun jalinan asmara, maka ia pun menolerirnya. Di sisi lain, batin Aryo tak percaya surat tugas jadi - jadian itu bisa berfungsi penuh di situasi seperti ini. Berkat ini entah kenapa semua misi menjadi lebih mudah.
"Sepertinya kamu memang ada tugas dari detektif ya? Maaf jika aku sempat heran dengan orang asing tiba - tiba mendatangi ku. Kalau boleh tahu ini soal kasus apa ya?" Rani penasaran.
"Ini soal kasus kecelakaan yang terjadi di jalan Anggrek Hitam. Tapi kamu perlu begitu tegang, soalnya kita bakal berbicara santai aja kok," Aryo menjawab dengan santai.
Ketika mendengar Anggrek Hitam, batin Rani bak tembak dari dekat. Seperti ada mengganjal perasaanya ketika mendengar nama jalanan itu. Dan benar saja, ibunya yang tercinta itu pernah meninggal dengan tragis di jalanan itu. Tak disadari sebuah tetesan air mata mengaliri pipinya, dengan cepat ia mengusapnya. Aryo yang kurang tahu dengan hal ini entah kenapa juga tiba - tiba merasa iba, seperti ada kesedihan mendalam dari ekspresinya itu.
"Maaf, jika membuat mu bersedih mbak Rani," Aryo merasa tak enak.
"Ah tidak apa - apa, hanya saja entah kenapa ini mengingatkan kepada ibu ku," Rani kembali mengusap matanya, "Ibuku sangat suka menatap taman - taman indah penuh bunga seperti ini, seperti yang kamu bilang kalau kegiatan seperti ini memang membuat adem di hati."
Lagi - lagi Aryo pun kembali ingat sesuatu yang diwanti Risa bahwa cincin itu terkait ibunya, dan Aryo merasa tak enak hati untuk membicarakan itu dengan Rani, tapi demi sebuah misi yang jauh lebih penting, ia harus berusaha profesional dengan menguak informasi terkait hal itu dengan nya.
"Kalau dilihat - lihat ibu mu itu orang yang baik ya," Aryo bertanya sekaligus menenangkan Rani.
"Tentu, dia orang baik dan ramah yang pernah ku kenal. Bahkan dia tidak pernah mengeluh ketika aku berbuat nakal atau ceroboh ketika kecil dulu," kata Rani sambil tersenyum.
"Kamu tahu, dia pernah rela jauh - jauh berjalan kaki untuk sekedar memberiku bekal sekolah yang sempat tak sengaja tertinggal. Motor yang dipakai mogok, dan mau tak mau harus berjalan kaki, dia tak mengeluh akan hal itu. Ketika mengingatnya entah kenapa menjadi sedih sekaligus bahagia, karena dia benar mahluk hidup yang rela berjuang akan sesuatu yang dicintainya," lanjutnya.
"Tapi semua itu berubah semenjak ..." Rani menghela nafas sebentar, sementara Aryo tampak serius mendengarkannya.
"Semenjak kenapa??" kata Aryo sambil mengkerutkan dahi.
"Eeh maaf kalau ini sedikit curhat," Rani merasa tak enak dengan Aryo.
"Tidak masalah kok, bagi ku semua informasi itu berharga, termasuk cerita mu itu," Aryo mencoba membuat suasana lebih santai.
"Semua ini berubah semenjak ayahku berselingkuh di puncak karirnya, dan akhirnya ibu ku mengetahuinya. Dan ... " Rani kembali terdiam, mata menutup dan lagi - lagi cerita menyayat hati itu menusuk batinnya, membuat matanya berkaca - kaca lalu menangis tersedu - sedu.
"Rani kamu tidak apa - apa?" Aryo menanyakan kondisi psikisnya.
Pertanyaan itu dijawab oleh pelukan kesedihan yang datang dari sanubari Rani. Entah kenapa Rani menganggap Aryo ini seorang sosok yang baik sehingga menjadi tempat yang pas untuk mencurahkan hatinya.
"Huhuhu, maafkan aku Aryo, aku suka tenggelam ke dalam emosi sedihku ketika mengingat ini," Rani memeluk erat Aryo.
"Eee tidak apa - apa, santai saja, kita semua pasti punya momen yang buruk bukan, dan kita pasti butuh waktu untuk move on dari hal itu," Aryo yang nampak kikuk dengan pelukan Rani mencoba kembali menenangkannya.
Beberapa saat kemudian Rani melepas pelukan spontan itu, ia kembali menjelaskan curahan hatinya itu kepadanya.
"Maaf jika merepotkan mu, tapi kejadian masa lalu ku memang tak seindah bunga - bunga itu. Ibu memutuskan mengakhiri hidupnya secara tragis dengan berdiri di tengah jalan dan suatu malam sebuah kendaraan menabraknya. Aku benar - benar merasa bersalah akan hal itu. Sampai saat ini aku akan terus berbuat baik dan belajar serius untuk mencapai cita - cita ku yaitu menjadi seorang pengacara profesional, seperti yang diimpikan oleh ibu ku, dan aku sudah bisa memaafkan kesalahan ayahku yang dulu," Rani kini kembali lebih tenang dari sebelumnya.
Keinginan Rani itu benar - benar menyentuh perasaan Aryo, sebuah pujian pun datang dari mulutnya, "Kamu benar - benar anak yang baik Rani, aku yakin ibu mu pasti senang di alam sana."
Keduanya sudah tampak tenang, tapi ponsel Aryo yang berdering lantang dengan suara musik Michael Jackson, Thriller hampir merusak suasana damai yang sudah hampir tercipta. Ia dengan cepat mengangkat setelah sebelumnya memberi kode kepada Risa untuk meninggalkanya sebentar terlebih dahulu. Di sebuah sudut pojokan tak jauh dari situ, Aryo menerima panggilan dari Risa itu.
"Halo, ada apa Risa?"
"Jadi bagaimana? Kamu sudah dapat info seputar cincinnya itu?"
"Ehhh ... Ini baru mau kutanyain."
"Yah kamu ini, ya udah kutunggu perkembangannya nanti."
"Risa, tunggu dulu, aku mau nanya sebentar kepada mu."
"Mau nanya apa?"
"Ibu dari anak ini, jangan - jangan yang menjadi ... ?"
"Ya, kamu benar Aryo, ibunya merupakan arwah penasaran itu."
"Sudah kuduga."
"Ya udah, aku tunggu info dari mu nanti, bye!!!"
Suara telpon terputus menggema di telinga Aryo, ia kini punya tugas berat yaitu menanyakan seputar cincin itu kepada Rani. Ia kembali berjalan ke arah Rani berdiri, berharap ia tidak sedih kembali.
"Maaf Rani, itu tadi dari bos ku, oh iya jika tidak keberatan boleh gak aku tanya sesuatu pada mu?" kata Aryo.
"Tanya apa ya?" Risa menatap dengan rasa heran.
"Eee ini soal ibu mu tadi sih, buat data pelengkap di kantor nanti," Aryo menjawab gugup.
"Oh, begitu, mau nanya apa?" Risa mempersilahkan dengan senang hati.
"Ketika ibu mu meninggal di tempat, apakah ada benda seperti cincin atau kalung dan semacamnya yang sempat terpakai ditubuhnya?" tanya Aryo kali ini sedikit serius dari
Lsebelumnya.
"Benda seperti cincin atau kalung?? Bentar aku ingat dulu," Rani berpikir sebentar lalu kembali menjawab, "Iya aku ingat, polisi sempat memberitahu ayahku kalau ada cincin yang terpasang di tangannya, tapi kini sudah dikembalikan ke toko semula oleh ayahku."
"Kamu tahu tempat toko itu?" Aryo kembali bertanya.
"Tentu saja, tapi terakhir aku lihat, tempat itu sudah berbeda dengan yang dulu. Tapi pemilik tokonya ... sebentar," Rani melihat catatan yang ada di ponselnya, sepertinya semua yang berhubungan dengan keluarganya ada di sana semua, mungkin keluarga adalah segala - galanya bagi nya.
"Ini dia, nama pemilik tokonya adalah Jumadi, dia tinggal di alamat ini," Rani menunjukan ponselnya ke Aryo.
"Wow, terima kasih sekali, informasi ini sangat berguna buat kami. Maaf jika merepotkan mu, aku harap kamu bisa menjadi apa yang ibu mu harapkan," ucap Aryo.
"Terima kasih, saya juga senang bisa melakukan hal yang bermanfaat kepada siapa saja," balas Rani.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, kamu juga mau kuliah kan, ya udah, mudah - mudahan kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti," kata Aryo sambil tersenyum.
Seusai perbincangan itu, Aryo melangkah meninggalkannya. Sembari berjalan, jari - jemarinya dengan lihai mengetik sebuah pesan tentang alamat yang harus dituju oleh Riko dan Risa. Setelah keduanya mendapat balasan pesan singkat itu, mobil langsung mengarah ke alamat yang dituju. Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk menemukan alamat itu. Berkat usaha Aryo, misi ini hampir mencapai titik akhir. Dan sebagai hadiah, Risa mempersilahkan Aryo istirahat di hotel namun sebelum itu ia harus mengantar petugas polisi Dorna untuk pulang ke rumah terlebih dahulu. Setelah sampai di rumah Pak Jumadi, mereka mendapatkan hiburan dari kicauan burung peliharaan bapak itu. Rumahnya tak terlalu besar, tapi cukup untuk menampung lima orang. Sedikit bergaya Jawa kuno di mana masih menggunakan kayu dan genteng khas budaya Jawa itu. Pagarnya tidak terlalu besar, terbuat dari bambu dan dalam kondisi terbuka. Mereka sedikit tak percaya kalau itu dimiliki oleh mantan penjual cincin emas. Sungguh beruntung pada saat itu Riko dan Risa tak disusahkan dengan posisi bapak itu yang sedang pergi ataupun kerja, bapak Jumadi sedang duduk jongkok santai menemani burung kicaunya yang merdu itu.
"Permisi pak maaf mengganggu, apa benar ini dengan Pak Jumadi?" Risa bertanya sopan.
"Iya benar, kalau boleh tahu sampean - sampean ini siapa ya?" Pak Jumadi berdiri dari tempatnya.
"Eeee kami dari ..." Risa bingung mau menjawab apa.
Riko mengambil inisiatif untuk memotongnya agar tidak menimbulkan sifat curiga dari bapak itu, "Kami dari komunitas pengguna cincin emas pak, kalau tidak salah, Pak Soni pernah mengembalikan sebuah cincin di sini."
"Pak Soni?? Pak Soni yang istrinya yang meninggal bunuh diri itu ya?" tanya Pak Jumadi sambil memelankan suaranya.
"Iya pak, kami ini komunitas kemanusiaan yang mau membantu sesama, kebetulan Pak Soni rela menyerahkan cincinnya untuk disumbangkan," Risa menambahkan.
"Ohh, begitu, kalau begitu ayo masuk, kasihan kalian nanti capek berdiri terus, di dalam saya buatkan teh," Pak Jumadi yang akhirnya percaya itu berubah menjadi ramah.
"Wah tak perlu, kita berdiri di sini aja kok pak, tak usah repot - repot," Risa merasa sungkan.
Jawaban itu memantik kejengkelan dari Riko, pasalnya dia dari tadi kehausan dan belum makan, ia pun menginjak kaki Risa lalu berbisik pelan ke arahnya, "Yang benar kak, aku kehausan ini!!!"
"Udah nanti aja, nanti kita makan di rumah makan padang, kamu mau gak??" balas Risa.
"Jadi ini mau nanya soal cincin Pak Soni tadi ya?" omongan Pak Jumadi membuat keduanya mendadak fokus kembali.
"Iya benar pak, apa benar bapak masih menyimpannya?" Risa mencari tahu.
"Sebenarnya saya jawabnya juga bingung," Pak Jumadi menggaruk kepalanya.
"Bingung kenapa pak?" kata Riko.
"Cincin itu diberikan ke saya sebelum dikuburkan, dan tepat saat itu ada orang yang mengaku saudara istri dari Pak Soni yang ingin mengambil kembali cincin itu. Katanya dia sih, cincin itu mau dipakaikan ke mendiang almarhum saat mau dikuburkan. Dan orangnya yang meminta itu tampilannya emang aneh, kayak orang lagi belajar ilmu sakti gitu," Pak Jumadi menjelaskan.
"Tunggu bentar, berarti saat ini cincin itu ada didalam kuburan istri Pak Soni ya?" Risa tak percaya.
"Iya benar seperti itu," jawab Pak Jumadi.
"Oh sialan, aku benar - benar benci pekerjaan seperti ini lagi," Riko mengeluh dengan suara rendah.
"Kalau boleh tahu, di mana ya istrinya dikuburkan?" Risa masih belum puas dengan informasi yang ada.
"Di pemakaman Bukit Jaya Rindang, letaknya dekat jalan Anggrek Hitam," Pak Jumadi memberitahu lokasi yang ada.
Setelah mendapatkan informasi yang diperlukan, rasa tak percaya menghampiri batin Riko dan Risa. Niat mereka yang mau membakar cincin itu hingga meleleh harus lewat cara yang dianggap ilegal namun kadang harus mereka lakukan jika terpaksa yaitu membongkar kuburan milik istri Pak Soni. Walau begitu mereka yang sudah lama tak melakukannya merasa tertantang karena ini merupakan tanda bahwa mereka telah kembali hadir. Tentunya sebagai para detektif di bidang supranatural setelah sekian lama berhenti dari profesi aneh itu. Mereka harus siap dengan segala kemungkinan buruk yang ada termasuk yang satu ini.
"Permisi bu, saya ingin mencari seseorang mahasiswi di sini?" tanya Aryo.
"Mau cari siapa, kepentingan mu apa, dan yang paling penting, kamu siapa?" ibu tua itu menatapnya dengan tatapan dan suara datar.
"Nama ku eee .... " Aryo baru ingat kalau ia harus memakai nama ketika menginvestigasi seperti yang dikatakan Risa, ia melirik ke sana - ke mari lalu melihat sebuah objek yang menarik perhatian dirinya, setelah itu ia kembali menjawab pertanyaan ibu itu, "Nama ku Philip tanpa s."
"Philip?? Kayak nama lampu ya," ibu itu keheranan.
"Iya, orang tua ku emang unik, dia bahkan menamakan adikku Toshiba hehhe. Oh iya, aku seorang asisten detektif, aku kemari sedang bertugas untuk menguak sebuah kasus. Ini surat kerja ku," Aryo menunjukkan sebuah surat kepada ibu itu.
"Hmmm begitu ya," ibu itu berpikir sebentar, lalu melihat ke arah belakang Aryo, "Kamu beruntung, Rani yang kamu cari sedang berdiri di pojok halaman luar itu, dia memang kadang - kadang suka termenung di tempat itu."
Aryo mengecek tempat yang dituju ibu itu, "Oh begitu ya, terima kasih bu, aku akan segera ke sana."
Aryo meninggalkan ibu itu lalu bergegas menuju mahasiswi itu, sebisa mungkin ia tak ingin mengagetkan atau menimbulkan situasi tak nyaman. Pelajaran negosiasi yang ia dapat ketika kuliah dulu adalah harus membuat orang nyaman, salah satunya adalah dengan menyamakan pikiran, lalu setelah semua menjadi nyaman rasa akrab akan menyusul kemudian, dan terakhir timbulah rasa saling percaya antara dua manusia itu. Ia memberanikan diri untuk berdiri lima langkah di sampingnya, di mana Rani menyenderkan tubuhnya di sebuah tiang dinding. Keduanya menatap sebuah taman indah dipenuhi bunga - bunga yang membuat orang akan relaks jika melihatnya. Tak ingin bermaksud mengangetkan orang yang tertegun melihat cantiknya bunga itu, Aryo pun mencoba berbicara tak terlalu keras dengan memuji sebuah pemandangan yang ada di depan matanya.
"Pemandangannya indah ya, bikin adem di hati," ujar Aryo.
Rani yang mendadak sadar dari lamunannya sedikit bingung dengan kehadiran orang yang ada di sampingnya itu, "Eee iya, bunga itu memang indah, tapi maaf, kalau boleh tahu Anda siapa ya?"
Aryo mengulurkan tangan ke arahnya, "Oh iya, nama ku, Aryo, kamu Rani bukan? Kamu gak perlu was - was apalagi takut. Aku asisten detektif yang diberi tugas khusus untuk menguak sebuah kasus. Ini suratnya, maaf ya, jika mengganggu waktu sebentar."
Rani melihat surat itu, dia pun yakin akan kebenarannya. Rani juga sedikit kaget ada pria dengan tampang cool mendekati dirinya karena sebenarnya ia sendiri masih malas untuk mendekati pria karena terakhir kekasihnya itu berselingkuh di depan matanya. Namun karena pria ini nampak berbeda karena dia bukan mendekatinya untuk membangun jalinan asmara, maka ia pun menolerirnya. Di sisi lain, batin Aryo tak percaya surat tugas jadi - jadian itu bisa berfungsi penuh di situasi seperti ini. Berkat ini entah kenapa semua misi menjadi lebih mudah.
"Sepertinya kamu memang ada tugas dari detektif ya? Maaf jika aku sempat heran dengan orang asing tiba - tiba mendatangi ku. Kalau boleh tahu ini soal kasus apa ya?" Rani penasaran.
"Ini soal kasus kecelakaan yang terjadi di jalan Anggrek Hitam. Tapi kamu perlu begitu tegang, soalnya kita bakal berbicara santai aja kok," Aryo menjawab dengan santai.
Ketika mendengar Anggrek Hitam, batin Rani bak tembak dari dekat. Seperti ada mengganjal perasaanya ketika mendengar nama jalanan itu. Dan benar saja, ibunya yang tercinta itu pernah meninggal dengan tragis di jalanan itu. Tak disadari sebuah tetesan air mata mengaliri pipinya, dengan cepat ia mengusapnya. Aryo yang kurang tahu dengan hal ini entah kenapa juga tiba - tiba merasa iba, seperti ada kesedihan mendalam dari ekspresinya itu.
"Maaf, jika membuat mu bersedih mbak Rani," Aryo merasa tak enak.
"Ah tidak apa - apa, hanya saja entah kenapa ini mengingatkan kepada ibu ku," Rani kembali mengusap matanya, "Ibuku sangat suka menatap taman - taman indah penuh bunga seperti ini, seperti yang kamu bilang kalau kegiatan seperti ini memang membuat adem di hati."
Lagi - lagi Aryo pun kembali ingat sesuatu yang diwanti Risa bahwa cincin itu terkait ibunya, dan Aryo merasa tak enak hati untuk membicarakan itu dengan Rani, tapi demi sebuah misi yang jauh lebih penting, ia harus berusaha profesional dengan menguak informasi terkait hal itu dengan nya.
"Kalau dilihat - lihat ibu mu itu orang yang baik ya," Aryo bertanya sekaligus menenangkan Rani.
"Tentu, dia orang baik dan ramah yang pernah ku kenal. Bahkan dia tidak pernah mengeluh ketika aku berbuat nakal atau ceroboh ketika kecil dulu," kata Rani sambil tersenyum.
"Kamu tahu, dia pernah rela jauh - jauh berjalan kaki untuk sekedar memberiku bekal sekolah yang sempat tak sengaja tertinggal. Motor yang dipakai mogok, dan mau tak mau harus berjalan kaki, dia tak mengeluh akan hal itu. Ketika mengingatnya entah kenapa menjadi sedih sekaligus bahagia, karena dia benar mahluk hidup yang rela berjuang akan sesuatu yang dicintainya," lanjutnya.
"Tapi semua itu berubah semenjak ..." Rani menghela nafas sebentar, sementara Aryo tampak serius mendengarkannya.
"Semenjak kenapa??" kata Aryo sambil mengkerutkan dahi.
"Eeh maaf kalau ini sedikit curhat," Rani merasa tak enak dengan Aryo.
"Tidak masalah kok, bagi ku semua informasi itu berharga, termasuk cerita mu itu," Aryo mencoba membuat suasana lebih santai.
"Semua ini berubah semenjak ayahku berselingkuh di puncak karirnya, dan akhirnya ibu ku mengetahuinya. Dan ... " Rani kembali terdiam, mata menutup dan lagi - lagi cerita menyayat hati itu menusuk batinnya, membuat matanya berkaca - kaca lalu menangis tersedu - sedu.
"Rani kamu tidak apa - apa?" Aryo menanyakan kondisi psikisnya.
Pertanyaan itu dijawab oleh pelukan kesedihan yang datang dari sanubari Rani. Entah kenapa Rani menganggap Aryo ini seorang sosok yang baik sehingga menjadi tempat yang pas untuk mencurahkan hatinya.
"Huhuhu, maafkan aku Aryo, aku suka tenggelam ke dalam emosi sedihku ketika mengingat ini," Rani memeluk erat Aryo.
"Eee tidak apa - apa, santai saja, kita semua pasti punya momen yang buruk bukan, dan kita pasti butuh waktu untuk move on dari hal itu," Aryo yang nampak kikuk dengan pelukan Rani mencoba kembali menenangkannya.
Beberapa saat kemudian Rani melepas pelukan spontan itu, ia kembali menjelaskan curahan hatinya itu kepadanya.
"Maaf jika merepotkan mu, tapi kejadian masa lalu ku memang tak seindah bunga - bunga itu. Ibu memutuskan mengakhiri hidupnya secara tragis dengan berdiri di tengah jalan dan suatu malam sebuah kendaraan menabraknya. Aku benar - benar merasa bersalah akan hal itu. Sampai saat ini aku akan terus berbuat baik dan belajar serius untuk mencapai cita - cita ku yaitu menjadi seorang pengacara profesional, seperti yang diimpikan oleh ibu ku, dan aku sudah bisa memaafkan kesalahan ayahku yang dulu," Rani kini kembali lebih tenang dari sebelumnya.
Keinginan Rani itu benar - benar menyentuh perasaan Aryo, sebuah pujian pun datang dari mulutnya, "Kamu benar - benar anak yang baik Rani, aku yakin ibu mu pasti senang di alam sana."
Keduanya sudah tampak tenang, tapi ponsel Aryo yang berdering lantang dengan suara musik Michael Jackson, Thriller hampir merusak suasana damai yang sudah hampir tercipta. Ia dengan cepat mengangkat setelah sebelumnya memberi kode kepada Risa untuk meninggalkanya sebentar terlebih dahulu. Di sebuah sudut pojokan tak jauh dari situ, Aryo menerima panggilan dari Risa itu.
"Halo, ada apa Risa?"
"Jadi bagaimana? Kamu sudah dapat info seputar cincinnya itu?"
"Ehhh ... Ini baru mau kutanyain."
"Yah kamu ini, ya udah kutunggu perkembangannya nanti."
"Risa, tunggu dulu, aku mau nanya sebentar kepada mu."
"Mau nanya apa?"
"Ibu dari anak ini, jangan - jangan yang menjadi ... ?"
"Ya, kamu benar Aryo, ibunya merupakan arwah penasaran itu."
"Sudah kuduga."
"Ya udah, aku tunggu info dari mu nanti, bye!!!"
Suara telpon terputus menggema di telinga Aryo, ia kini punya tugas berat yaitu menanyakan seputar cincin itu kepada Rani. Ia kembali berjalan ke arah Rani berdiri, berharap ia tidak sedih kembali.
"Maaf Rani, itu tadi dari bos ku, oh iya jika tidak keberatan boleh gak aku tanya sesuatu pada mu?" kata Aryo.
"Tanya apa ya?" Risa menatap dengan rasa heran.
"Eee ini soal ibu mu tadi sih, buat data pelengkap di kantor nanti," Aryo menjawab gugup.
"Oh, begitu, mau nanya apa?" Risa mempersilahkan dengan senang hati.
"Ketika ibu mu meninggal di tempat, apakah ada benda seperti cincin atau kalung dan semacamnya yang sempat terpakai ditubuhnya?" tanya Aryo kali ini sedikit serius dari
Lsebelumnya.
"Benda seperti cincin atau kalung?? Bentar aku ingat dulu," Rani berpikir sebentar lalu kembali menjawab, "Iya aku ingat, polisi sempat memberitahu ayahku kalau ada cincin yang terpasang di tangannya, tapi kini sudah dikembalikan ke toko semula oleh ayahku."
"Kamu tahu tempat toko itu?" Aryo kembali bertanya.
"Tentu saja, tapi terakhir aku lihat, tempat itu sudah berbeda dengan yang dulu. Tapi pemilik tokonya ... sebentar," Rani melihat catatan yang ada di ponselnya, sepertinya semua yang berhubungan dengan keluarganya ada di sana semua, mungkin keluarga adalah segala - galanya bagi nya.
"Ini dia, nama pemilik tokonya adalah Jumadi, dia tinggal di alamat ini," Rani menunjukan ponselnya ke Aryo.
"Wow, terima kasih sekali, informasi ini sangat berguna buat kami. Maaf jika merepotkan mu, aku harap kamu bisa menjadi apa yang ibu mu harapkan," ucap Aryo.
"Terima kasih, saya juga senang bisa melakukan hal yang bermanfaat kepada siapa saja," balas Rani.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, kamu juga mau kuliah kan, ya udah, mudah - mudahan kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti," kata Aryo sambil tersenyum.
Seusai perbincangan itu, Aryo melangkah meninggalkannya. Sembari berjalan, jari - jemarinya dengan lihai mengetik sebuah pesan tentang alamat yang harus dituju oleh Riko dan Risa. Setelah keduanya mendapat balasan pesan singkat itu, mobil langsung mengarah ke alamat yang dituju. Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk menemukan alamat itu. Berkat usaha Aryo, misi ini hampir mencapai titik akhir. Dan sebagai hadiah, Risa mempersilahkan Aryo istirahat di hotel namun sebelum itu ia harus mengantar petugas polisi Dorna untuk pulang ke rumah terlebih dahulu. Setelah sampai di rumah Pak Jumadi, mereka mendapatkan hiburan dari kicauan burung peliharaan bapak itu. Rumahnya tak terlalu besar, tapi cukup untuk menampung lima orang. Sedikit bergaya Jawa kuno di mana masih menggunakan kayu dan genteng khas budaya Jawa itu. Pagarnya tidak terlalu besar, terbuat dari bambu dan dalam kondisi terbuka. Mereka sedikit tak percaya kalau itu dimiliki oleh mantan penjual cincin emas. Sungguh beruntung pada saat itu Riko dan Risa tak disusahkan dengan posisi bapak itu yang sedang pergi ataupun kerja, bapak Jumadi sedang duduk jongkok santai menemani burung kicaunya yang merdu itu.
"Permisi pak maaf mengganggu, apa benar ini dengan Pak Jumadi?" Risa bertanya sopan.
"Iya benar, kalau boleh tahu sampean - sampean ini siapa ya?" Pak Jumadi berdiri dari tempatnya.
"Eeee kami dari ..." Risa bingung mau menjawab apa.
Riko mengambil inisiatif untuk memotongnya agar tidak menimbulkan sifat curiga dari bapak itu, "Kami dari komunitas pengguna cincin emas pak, kalau tidak salah, Pak Soni pernah mengembalikan sebuah cincin di sini."
"Pak Soni?? Pak Soni yang istrinya yang meninggal bunuh diri itu ya?" tanya Pak Jumadi sambil memelankan suaranya.
"Iya pak, kami ini komunitas kemanusiaan yang mau membantu sesama, kebetulan Pak Soni rela menyerahkan cincinnya untuk disumbangkan," Risa menambahkan.
"Ohh, begitu, kalau begitu ayo masuk, kasihan kalian nanti capek berdiri terus, di dalam saya buatkan teh," Pak Jumadi yang akhirnya percaya itu berubah menjadi ramah.
"Wah tak perlu, kita berdiri di sini aja kok pak, tak usah repot - repot," Risa merasa sungkan.
Jawaban itu memantik kejengkelan dari Riko, pasalnya dia dari tadi kehausan dan belum makan, ia pun menginjak kaki Risa lalu berbisik pelan ke arahnya, "Yang benar kak, aku kehausan ini!!!"
"Udah nanti aja, nanti kita makan di rumah makan padang, kamu mau gak??" balas Risa.
"Jadi ini mau nanya soal cincin Pak Soni tadi ya?" omongan Pak Jumadi membuat keduanya mendadak fokus kembali.
"Iya benar pak, apa benar bapak masih menyimpannya?" Risa mencari tahu.
"Sebenarnya saya jawabnya juga bingung," Pak Jumadi menggaruk kepalanya.
"Bingung kenapa pak?" kata Riko.
"Cincin itu diberikan ke saya sebelum dikuburkan, dan tepat saat itu ada orang yang mengaku saudara istri dari Pak Soni yang ingin mengambil kembali cincin itu. Katanya dia sih, cincin itu mau dipakaikan ke mendiang almarhum saat mau dikuburkan. Dan orangnya yang meminta itu tampilannya emang aneh, kayak orang lagi belajar ilmu sakti gitu," Pak Jumadi menjelaskan.
"Tunggu bentar, berarti saat ini cincin itu ada didalam kuburan istri Pak Soni ya?" Risa tak percaya.
"Iya benar seperti itu," jawab Pak Jumadi.
"Oh sialan, aku benar - benar benci pekerjaan seperti ini lagi," Riko mengeluh dengan suara rendah.
"Kalau boleh tahu, di mana ya istrinya dikuburkan?" Risa masih belum puas dengan informasi yang ada.
"Di pemakaman Bukit Jaya Rindang, letaknya dekat jalan Anggrek Hitam," Pak Jumadi memberitahu lokasi yang ada.
Setelah mendapatkan informasi yang diperlukan, rasa tak percaya menghampiri batin Riko dan Risa. Niat mereka yang mau membakar cincin itu hingga meleleh harus lewat cara yang dianggap ilegal namun kadang harus mereka lakukan jika terpaksa yaitu membongkar kuburan milik istri Pak Soni. Walau begitu mereka yang sudah lama tak melakukannya merasa tertantang karena ini merupakan tanda bahwa mereka telah kembali hadir. Tentunya sebagai para detektif di bidang supranatural setelah sekian lama berhenti dari profesi aneh itu. Mereka harus siap dengan segala kemungkinan buruk yang ada termasuk yang satu ini.
-1
Kutip
Balas