Quote:
Bus kecil jurusan ke pantai Baron bergerak dengan tersengal –sengal suara mesinnya mengeluarkan asap kelabu kehitaman. Pekat dan tebal menambah polusi udara di sekitar. Lampu sign di atas bumper sebelah kanan beberapa saat berkedip –kedip memancarkan sinar kuning kemudian padam. Tinggal lampu belakang berwarna merah yang kadang terlihat tatkala si sopir menginjak rem. Dan makin lama makin mengecil di kejauhan. Lalu menghilang di ujung tikungan jalan.
Sasongko membetulkan ransel yang sedari tadi menempel erat di punggung. Ditarik dalam – dalam nafasnya. Di depannya berdiri tegak gapura di sisi badan tertera “ Gerbang Desa Sambirejo “.
Sedikit gontai diayunkan kakinya memasuki gerbang desa Sambirejo. Perasaannya tiba –tiba sangat tidak enak. Tatkala dilihatnya berdera putih menempel di depan gerbang desa. Berkibar lemah ditiup angin semilir pagi itu.
“ Ada yang meninggal ” Desisnya dalam hati.
Bayangan ibunya yang hampir dua hari ini selalu muncul. Kembali berputar.
“ Mudah –mudahan bukan .......”
Sasongko tidak berani meneruskan kegundahan hatinya. Sasongko mempercepat langkah kakinya. Setengah berlari dia memasuki desa Sambirejo. Langkahnya terhenti di tengah jalan. Dilihatnya beberapa orang berjalan berlawanan arah dengan langkahnya. Rasa penasaran membuatnya bertanya pada salah seorang pemuda yang dia kenal sebagai Kohar. Tetangga yang rumahnya tidak begitu jauh dari tempat tinggal Sasongko.
“ Kohar....”
Pemuda yang dipanggil Kohar itu yang semula berjalan tertunduk menengadahkan kepalanya. Begitu tahu siapa yang memanggilnya. Kohar segera menghampiri Sasongko.
“ Mas Sasongko, tadi malam di tunggu Lik Karto..."
“ Lik Karto?”
“ Mengapa Lik Karto menunggu saya?”
Kohar terdiam. Dia ingin mengatakan hal yang sesungguhnya di malam itu. Tapi hal itu di tahannya kuat –kuat. Paras wajahnya terlihat gugup dan tegang. Disembunyikan cepat –cepat hal itu dari Sasongko.
“ Nanti tanya saja sama Lik Karto Mas. Sekarang lebih baik Mas, ikut saja melayat ke tempat Idam “
“ Apa?!! “
“ Idam meninggal?!”
“ Inalilahi....dia meninggal karena apa? “
“ Kecelakaan? “
Kohar hanya mengangguk lemah. Tanpa banyak bicara akhirnya kedua pemuda itu berjalan beriringan menuju rumah Idam. Rumah Idam terletak di tengah desa. Rumah itu tampak ramai oleh orang – orang desa yang sedang melayat. Puluhan kursi berjajar rapi memenuhi pekarangan yang telah diberi tratak sebagai peneduh. Sasongko duduk disamping Kohar. Mereka berdua duduk di paling ujung dekat pintu keluar dari pekarangan.
Beberapa pelayat yang melihat kedatangan Sasongko nampak berbisik – bisik. Hal itu sempat terlihat oleh Sasongko. Kembali hati pemuda anak sulung mendiang Hartono itu bergedup kencang. Seperti ada keganjilan dan keanehan dari pandangan mata para penduduk desa.
“ Ada apakah gerangan? “ Hati Sasongko bertanya –tanya.
Penasaran yang menggebu –gebu itu perlahan coba diabaikan.
“ Nantilah, setelah ini aku akan bertanya pada Lik Karto “
Karena hanya keluarga dari Lik Karto yang masih mau membantu semenjak Hartono mendiang ayahnya ketahuan muja siluman ular. Pada saat itu keluarganya sempat akan diusir dan dikucilkan dari desa. Namun, berkat Lik Karto dan keluarganya yang berhasil membujuk para warga desa sehingga aksi pengusiran itu urung terjadi.
Mbok Tini mengusap mukanya beberapa kali. Namun air mata tak kunjung terbendung keluar dari perempuan tua ini. Anaknya yang paling kecil telah meninggal dunia dengan mengenaskan. Sebelum kain kafan ditutup dia masih sempat mencium kedua pipi jenazah. Lalu dia tegak bersandar ke tiang besar ruangan dengan wajah yang ditutup dengan kedua tangan, menangis terisak-isak.
" Idam…. Idam… Malang sekali nasibmu. Mengapa kau cepat meninggalkan simbok?! “
" Kasihan Idam … Kasihan anakku…" kata Mbok Tini berulang kali.
Diantara puluhan pelayat kelihatan kepala desa Sambirejo duduk berdampingan dengan seorang lelaki paruh baya memakai baju batik berwarna coklat gelap sebuah peci hitam menutup kepala memperlihatkan sebagian rambutnya yang sudah berwana kelabu. Orang yang bersikap pendiam tak banyak bicara ini Lik Karto ketua RT desa Sambirejo. Parasnya terlihat murung ada kesedihan yang tidak bisa diungkapkan disana. Lubuk hatinya yang paling dalam lelaki paruh baya ini merasa sangat bersalah.
Secara tidak langsung maut yang merenggut Idam andil dari dirinya. Jika saja pagi itu dia tidak menyuruh Idam untuk pergi ke Nglipar sudah tentu kejadian ini tidak akan terjadi. Tapi semua sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Terlintas dalam bayangannya baru tadi malam dia menunggui jenazah Marni yang keadaannya sangat mengenaskan. Dan pagi ini dihadapkan lagi dengan sesosok mayat dengan kondisi yang tidak kalah mengerikan. Mayat dengan luka menganga di leher. Tertusuk bilah besi pembatas jalan. Hingga hampir tembus ke dada. Lelaki itu menggigit kuat –kuat bibirnya. Menahan suatu ganjalan yang terasa sangat besar memenuhi rongga dada dan pikirannya.
Quote:
Karena pekuburan terletak cukup jauh di luar desa maka setelah jenazah disembahyangkan dan dimasukkan ke dalam usungan lalu dinaikkan ke atas sebuah gerobak terbuka, ditarik oleh dua ekor sapi, dikusiri oleh seorang lelaki tua berwajah kotor ada luka sodetan di pipi kirinya dan kepalanya hampir tenggelam di dalam caping bambu lebar yang dikenakannya. Paras dan gerik gerik kusir ini sangat mencurigakan. Namun karena semua perhatian orang lebih tertuju pada keluarga yang ditimpa musibah itu maka tak seorangpun yang memperhatikan keanehan kusir gerobak itu. Juga tidak seorangpun yang menyadari kalau kusir gerobak tersebut bukanlah penduduk desa Sambirejo ataupun desa tetangga. Juga tak seorangpun ingin atau merasa perlu tahu bagaimana kusir bersama gerobaknya tahu- tahu sudah ada di sana, padahal bukan kusir dan gerobak itulah yang semula dipesan.
Di bawah matahari pagi beranjak siang iring –iringan rombongan pengantar jenazah bergerak menuju pekuburan, mengikuti gerobak sapi yang berjalan perlahan. Sesampai di pekuburan, udara yang tadi cerah tampak mendung. Lik Karto memberi isyarat agar pemakaman segera dilakukan secepatnya sebelum hujan turun. Maka usungan diturunkan dari gerobak sapi, jenazah dikeluarkan dan segera dimasukkan ke liang lahat.
Matahari baru saja tenggelam. Mendung yang sedari tadi pagi menggelayuti masih saja nampak tebal menghitam. Dalam udara yang beranjak gelap dan pekat itu keadaan di pekuburan Jatianom nampak diselimuti kesunyian padahal belum lama berselang rombongan pengantar jenazah yang berjumlah hampir seratus orang meninggalkan tempat itu. Di ujung kanan tanah pekuburan, dibawah sepokok batang kamboja kecil tampak seongguk tanah makam yang masih merah ditaburi oleh bunga-bunga aneka warna. Dikejauhan terdengar suara kicau burung yang kembali ke sarangnya. Lalu sunyi lagi dan udara semakin gelap.