- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
![breaking182](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/07/27/avatar3247450_6.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
![URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990](https://s.kaskus.id/images/2018/02/12/3247450_20180212021327.jpg)
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
![nuhazainuloh088](https://s.kaskus.id/user/avatar/2021/08/26/default.png)
![jamalfirmans282](https://s.kaskus.id/user/avatar/2021/08/28/default.png)
![rokendo](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/10/09/avatar8268684_1.gif)
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.2K
Kutip
809
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
![breaking182](https://s.kaskus.id/user/avatar/2011/07/27/avatar3247450_6.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
breaking182
#276
ASMARA BERUJUNG BENCANA
Quote:
Ketika matahari mulai bergeser tepat di atas kepala. Mangun Sarkoro tepat menginjakkan kaki di mulut desa Ngotho di kawasan Yogyakarta sebelah selatan. Wajahnya tampak kuyu dan menyiratkan ketegangan. Tatkala dilihatnya berdera putih menempel di depan gerbang desa. Berkibar lemah ditiup angin semilir siang itu.
“ Ada yang meninggal ”
Desisnya dalam hati.
“ Mudah –mudahan bukan dia. Hatiku tiba –tiba berdebar –debar kencang “.
Mangun Sarkoro mempercepat langkah kakinya. Setengah berlari dia memasuki desa Ngotho. Langkahnya terhenti di sebuah rumah yang terletak di tengah desa. Rumah itu tampak ramai oleh orang – orang desa yang sedang melayat. Lutut Mangun Sarkoro serasa goyah badannya limbung kemudian jatuh berlutut di tanah.
Seorang lelaki tinggi bertubuh kurus, mengenakan kemeja hitam dan di padu dengan sarung batik gelap baju, menyeruak di antara mereka yang hadir lalu menghampiri Mangun Sarkoro yang masih duduk berlutut. Lelaki tadi menepuk bahu Mangun Sarkoro, berusaha menariknya seraya mengucapkan kata-kata membujuk.
"Sudah Mangun. Cukup….. Relakan Nawang pergi. Biar arwahnya tenang di alam baka…"
Setelah membujuk berulang kali dan menarik tubuh Mangun Sarkoro itu dengan susah payah, akhirnya lelaki tadi Barjo, teman seperjuangan Mangun Sarkoro berhasil membuatnya berdiri dan duduk di sebuah kursi yang berjajar rapi memenuhi pekarangan rumah. Mangun Sarkoro mengusap mukanya beberapa kali. Namun air mata tak kunjung terbendung. Butiran air mata itu mengalir perlahan di kedua pipinya.
"Kasihan Nawang… Kasihan anakku…" kata Mangun Sarkoro berulang kali.
“ Dimana bayi ku Barjo? Apakah bayi ku tidak apa –apa?!”
“ Hartono tidak apa –apa Mangun. Anak itu sehat tidak kurang satu apa pun”.
“ Aku harus membawanya pergi dari sini Barjo. Aku takut dia....”
Mangun Sarkoro menghentikan kalimatnya.
“ Dia ... Dia siapa Mangun? Siapa yang kau maksud dengan dia?”
“ Tidak apa Barjo. Aku hanya terlalu sedih sehingga aku tidak sadar dengan apa yang terlontar dari mulut ku ini “.
Mangun Sarkoro berbohong untuk hal ini.
“ Aku ingin melihat Nawang untuk yang terakhir kali “.
“ Aku antar kau ke dalam Mangun”.
Barjo membimbing Mangun Sarkoro masuk ke dalam rumah. Langkah Mangun Sarkoro nampak gontai dan tidak bertenaga. Ketika lelaki tua pengurus jenazah yang merupakan sesepuh desa Ngotho memberitahu bahwa kain kafan siap untuk ditutupkan, serta merta Mangun Sarkoro menubruk jenazah istrinya. Dipeluknya kuat-kuat seperti tak akan dilepaskan lagi.
Orang-orang perempuan yang ada di ruangan besar itu tak dapat menahan keharuan dan ikut berkaca –kaca. Sebelum kain kafan ditutup dia masih sempat mencium kedua pipi jenazah. Lalu dia tegak bersandar ke tiang besar ruangan dengan wajah yang ditutup dengan kedua tangan, menangis terisak-isak. Begitu kain kafan ditutup dan diikat pada ujung kepala dan ujung kaki, beberapa orang masuk membawa usungan. Jenazah dimasukkan ke dalam usungan, ditutup dengan beberapa lapis kain batik, lalu di atas sekali kain hijau berumbai rumbai benang kuning emas.
Tak lama kemudian jenazah di bawa ke mesjid besar untuk disembahyangkan. Selesai disembahyangkan, sebelum diberangkakan menuju pemakaman, lelaki tua yang merupakan sesepuh desa Ngotho menyampaikan sambutan pendek, mengharap agar sanak keluarga yang ditinggalkan bersikap tabah menghadapi musibah itu, memohon agar almarhumah dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya, lalu mendoakan agar almarhumah diberi tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah.
Selesai upacara pendek itu, jenazah pun diusung ke pemakaman yang terletak tidak terlalu jauh. Di depan sekali Mangun Sarkoro berjalan membawa payung besar untuk melindungi usungan dari teriknya sengatan matahari di siang itu. Selewatnya tengah hari rombongan yang terdiri hampir seratus orang itu sampai di pintu gerbang pemakaman. Berbondong –bondong berjalan masuk ke dalam area pemakaman. Usungan diturunkan, diletakkan di tepi liang lahat. Satu demi satu kain penutup usungan dibuka. Sambil tiada hentinya melafalkan doa-doa, jenazah kemudian dikeluarkan dari usungan, diangkat oleh empat orang sementara tiga orang lainnya sudah lebih dulu masuk ke dalam kuburan, menunggu dan menyambut jenazah.
Jenazah telah disemayamkan di peristirahatan yang terakhir. Papan kayu dijajarkan agar jenazah tidak berubah dari tempatnya semula. Tiga orang yang berada di dalam lubang telah melompat keluar. Perlahan –lahan beberapa orang menimbun jenazah itu denga tanah merah yang masih basah. Tidak lama kemudian lubang kubur itu telah tertutup gundukan tanah. Mangun Sarkoro masih berjongkok di samping makam. Matanya kelihatan sembab. Barjo yang berada di sampingnya hanya terdiam membisu. Hingga pada akhirnya, orang –orang kampung telah meninggalkan pekuburan. Tinggal Mangun Sarkoro dan Barjo yang duduk di samping makam itu.
“ Kematian Nawang terus terang mendadak sekali Mangun. Saat itu sore hari dia pamit untuk mandi dan mencuci baju di belik ( mata air yang biasanya dipakai mandi orang jaman dahulu). Lewat maghrib tidak juga kunjung pulang. Hartono menangis terus minta netek. Hatiku terus terang khawatir terjadi apa –apa pada istri mu itu “.
Mangun Sarkoro mendengar perkataan Barjo dengan seksama. Meskipun saat itu kesedihan masih sangat tergambar jelas di raut wajahnya.
“ Akhirnya aku putuskan untuk menyusul ke belik dengan beberapa warga. Sampai disana aku lihat tubuh Nawang terbaring di atas batu besar yang ada di tengah belik itu. Tidak ada tanda –tanda jatuh atau dianiaya orang. Pakaiannya juga masih utuh melekat di badan. Aku raba denyut nadi....”
Barjo tidak meneruskan ucapannya ketika dilihat sahabatnya itu berkaca –kaca tidak mampu membendung kesedihan yang mencekam.
Suara Mangun Sarkoro bergetar.
“ Dimana anak ku kau titipkan Barjo?”.
“ Aku titipkan di rumah saudaraku. Di seberang desa ini. Sejak kepergian istri mu dia menangis terus tanpa henti. Lalu aku titipkan ke tempat Narsih agar ada yang merawat dan mengurusinya “.
Barjo menjawab sembari menghela nafas panjang.
“ Terimakasih atas budi baik mu Barjo. Malam ini juga aku akan membawa Hartono ke desa Tawang. Aku memiliki anak perempuan di desa Tawang. Biarlah Hartono diasuh oleh kakaknya. Tolong antar aku ke tempat saudara mu itu “.
“Apakah tidak sebaiknya kau menginap dulu disini barang semalam atau menunggu tujuh hari istri mu berpulang?”
Barjo mencoba membujuk sahabatnya itu untuk tinggal.
“ Situasinya tidak mendukung Barjo. Aku harus cepat meninggalkan tempat ini”.
“ Baiklah kalau begitu. Aku tidak dapat menahan keinginan mu. Ayo aku antar ke tempat saudara ku di desa Tamanan”.
Mangun Sarkoro mengusap nisan kayu istrinya
“ Aku pergi Nawang. Anak kita harus tetap hidup “.
Mangun Sarkoro lalu beranjak dari tempatnya duduk. Diikuti oleh Barjo. Dua orang itu pun berjalan meninggalkan pekuburan yang mulai terasa sepi. Matahari baru saja tenggelam. Dalam udara yang beranjak gelap itu keadaan di pekuburan Jatilandak nampak diselimuti kesunyian padahal belum lama berselang rombongan pengantar jenazah yang berjumlah hampir seratus orang meninggalkan tempat itu. Di ujung kanan tanah pekuburan, dibawah pokok batang kamboja kecil tampak seongguk tanah makam yang masih merah ditaburi oleh bunga-bunga aneka warna. Dikejauhan terdengar suara kicau burung yang kembali ke sarangnya. Lalu sunyi lagi dan udara semakin gelap.
Pada saat itulah lima sosok kecil seukuran bocah usia sepuluh tahun berpakaian serba hitam muncul dari arah timur tanah pekuburan. Kelimanya sesaat tegak berhenti meneliti keadaan. Ketika tidak seorangpun kelihatan di tempat itu, kelimanya melangkah dengan kaku menuju kuburan baru. Di nisan kuburan baru tertera nama “ Nawang “. Kelima sosok bocah itu berjalan tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Setelah berada tepat dionggokan kuburan baru. Lima sosok bocah ini dengan cepat menggali makam itu. Tanpa menggunakan alat. Mereka menggali menggunakan sepuluh jari yang ada di kedua tangannya.
Tidak ada sepatah katapun yang terucap. Kelimanya bekerja keras dan cepat, tidak berhenti-henti menggali sembari sesekali keluar senandung aneh yang keluar dari mulut – mulut kecil itu. Tidak berapa lama kelima sosok bocah itu telah menggali sampai ke dasar makam. Sederet papan kayu yang berjajar menyamping tampak terlihat disana. Salah seorang dari bocah berpakaian hitam itu dengan cepat menyingkirkan papan –papan itu. Terlihat sesosok mayat perempuan terbungkus kain kafan yang masih bersih terbujur kaku. Kelima bocah itu dengan sigap mengangkat mayat wanita tersebut. Dua bocah menahan di bagian bahu, dua bocah lainnya menahan bagian kaki dan satu bocah sisanya menahan dibagian tengah. Lima sosok itu bagai terbang membawa mayat yang masih terbungkus kain kafan. Sesekali terdengar lagi senandung aneh dari kelima sosok bocah itu. Bayangan kelima bocah aneh itu menghilang di balik rumpun pohon kamboja di ujung makam Jatilandak.
“ Ada yang meninggal ”
Desisnya dalam hati.
“ Mudah –mudahan bukan dia. Hatiku tiba –tiba berdebar –debar kencang “.
Mangun Sarkoro mempercepat langkah kakinya. Setengah berlari dia memasuki desa Ngotho. Langkahnya terhenti di sebuah rumah yang terletak di tengah desa. Rumah itu tampak ramai oleh orang – orang desa yang sedang melayat. Lutut Mangun Sarkoro serasa goyah badannya limbung kemudian jatuh berlutut di tanah.
Seorang lelaki tinggi bertubuh kurus, mengenakan kemeja hitam dan di padu dengan sarung batik gelap baju, menyeruak di antara mereka yang hadir lalu menghampiri Mangun Sarkoro yang masih duduk berlutut. Lelaki tadi menepuk bahu Mangun Sarkoro, berusaha menariknya seraya mengucapkan kata-kata membujuk.
"Sudah Mangun. Cukup….. Relakan Nawang pergi. Biar arwahnya tenang di alam baka…"
Setelah membujuk berulang kali dan menarik tubuh Mangun Sarkoro itu dengan susah payah, akhirnya lelaki tadi Barjo, teman seperjuangan Mangun Sarkoro berhasil membuatnya berdiri dan duduk di sebuah kursi yang berjajar rapi memenuhi pekarangan rumah. Mangun Sarkoro mengusap mukanya beberapa kali. Namun air mata tak kunjung terbendung. Butiran air mata itu mengalir perlahan di kedua pipinya.
"Kasihan Nawang… Kasihan anakku…" kata Mangun Sarkoro berulang kali.
“ Dimana bayi ku Barjo? Apakah bayi ku tidak apa –apa?!”
“ Hartono tidak apa –apa Mangun. Anak itu sehat tidak kurang satu apa pun”.
“ Aku harus membawanya pergi dari sini Barjo. Aku takut dia....”
Mangun Sarkoro menghentikan kalimatnya.
“ Dia ... Dia siapa Mangun? Siapa yang kau maksud dengan dia?”
“ Tidak apa Barjo. Aku hanya terlalu sedih sehingga aku tidak sadar dengan apa yang terlontar dari mulut ku ini “.
Mangun Sarkoro berbohong untuk hal ini.
“ Aku ingin melihat Nawang untuk yang terakhir kali “.
“ Aku antar kau ke dalam Mangun”.
Barjo membimbing Mangun Sarkoro masuk ke dalam rumah. Langkah Mangun Sarkoro nampak gontai dan tidak bertenaga. Ketika lelaki tua pengurus jenazah yang merupakan sesepuh desa Ngotho memberitahu bahwa kain kafan siap untuk ditutupkan, serta merta Mangun Sarkoro menubruk jenazah istrinya. Dipeluknya kuat-kuat seperti tak akan dilepaskan lagi.
Orang-orang perempuan yang ada di ruangan besar itu tak dapat menahan keharuan dan ikut berkaca –kaca. Sebelum kain kafan ditutup dia masih sempat mencium kedua pipi jenazah. Lalu dia tegak bersandar ke tiang besar ruangan dengan wajah yang ditutup dengan kedua tangan, menangis terisak-isak. Begitu kain kafan ditutup dan diikat pada ujung kepala dan ujung kaki, beberapa orang masuk membawa usungan. Jenazah dimasukkan ke dalam usungan, ditutup dengan beberapa lapis kain batik, lalu di atas sekali kain hijau berumbai rumbai benang kuning emas.
Tak lama kemudian jenazah di bawa ke mesjid besar untuk disembahyangkan. Selesai disembahyangkan, sebelum diberangkakan menuju pemakaman, lelaki tua yang merupakan sesepuh desa Ngotho menyampaikan sambutan pendek, mengharap agar sanak keluarga yang ditinggalkan bersikap tabah menghadapi musibah itu, memohon agar almarhumah dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya, lalu mendoakan agar almarhumah diberi tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah.
Selesai upacara pendek itu, jenazah pun diusung ke pemakaman yang terletak tidak terlalu jauh. Di depan sekali Mangun Sarkoro berjalan membawa payung besar untuk melindungi usungan dari teriknya sengatan matahari di siang itu. Selewatnya tengah hari rombongan yang terdiri hampir seratus orang itu sampai di pintu gerbang pemakaman. Berbondong –bondong berjalan masuk ke dalam area pemakaman. Usungan diturunkan, diletakkan di tepi liang lahat. Satu demi satu kain penutup usungan dibuka. Sambil tiada hentinya melafalkan doa-doa, jenazah kemudian dikeluarkan dari usungan, diangkat oleh empat orang sementara tiga orang lainnya sudah lebih dulu masuk ke dalam kuburan, menunggu dan menyambut jenazah.
Jenazah telah disemayamkan di peristirahatan yang terakhir. Papan kayu dijajarkan agar jenazah tidak berubah dari tempatnya semula. Tiga orang yang berada di dalam lubang telah melompat keluar. Perlahan –lahan beberapa orang menimbun jenazah itu denga tanah merah yang masih basah. Tidak lama kemudian lubang kubur itu telah tertutup gundukan tanah. Mangun Sarkoro masih berjongkok di samping makam. Matanya kelihatan sembab. Barjo yang berada di sampingnya hanya terdiam membisu. Hingga pada akhirnya, orang –orang kampung telah meninggalkan pekuburan. Tinggal Mangun Sarkoro dan Barjo yang duduk di samping makam itu.
“ Kematian Nawang terus terang mendadak sekali Mangun. Saat itu sore hari dia pamit untuk mandi dan mencuci baju di belik ( mata air yang biasanya dipakai mandi orang jaman dahulu). Lewat maghrib tidak juga kunjung pulang. Hartono menangis terus minta netek. Hatiku terus terang khawatir terjadi apa –apa pada istri mu itu “.
Mangun Sarkoro mendengar perkataan Barjo dengan seksama. Meskipun saat itu kesedihan masih sangat tergambar jelas di raut wajahnya.
“ Akhirnya aku putuskan untuk menyusul ke belik dengan beberapa warga. Sampai disana aku lihat tubuh Nawang terbaring di atas batu besar yang ada di tengah belik itu. Tidak ada tanda –tanda jatuh atau dianiaya orang. Pakaiannya juga masih utuh melekat di badan. Aku raba denyut nadi....”
Barjo tidak meneruskan ucapannya ketika dilihat sahabatnya itu berkaca –kaca tidak mampu membendung kesedihan yang mencekam.
Suara Mangun Sarkoro bergetar.
“ Dimana anak ku kau titipkan Barjo?”.
“ Aku titipkan di rumah saudaraku. Di seberang desa ini. Sejak kepergian istri mu dia menangis terus tanpa henti. Lalu aku titipkan ke tempat Narsih agar ada yang merawat dan mengurusinya “.
Barjo menjawab sembari menghela nafas panjang.
“ Terimakasih atas budi baik mu Barjo. Malam ini juga aku akan membawa Hartono ke desa Tawang. Aku memiliki anak perempuan di desa Tawang. Biarlah Hartono diasuh oleh kakaknya. Tolong antar aku ke tempat saudara mu itu “.
“Apakah tidak sebaiknya kau menginap dulu disini barang semalam atau menunggu tujuh hari istri mu berpulang?”
Barjo mencoba membujuk sahabatnya itu untuk tinggal.
“ Situasinya tidak mendukung Barjo. Aku harus cepat meninggalkan tempat ini”.
“ Baiklah kalau begitu. Aku tidak dapat menahan keinginan mu. Ayo aku antar ke tempat saudara ku di desa Tamanan”.
Mangun Sarkoro mengusap nisan kayu istrinya
“ Aku pergi Nawang. Anak kita harus tetap hidup “.
Mangun Sarkoro lalu beranjak dari tempatnya duduk. Diikuti oleh Barjo. Dua orang itu pun berjalan meninggalkan pekuburan yang mulai terasa sepi. Matahari baru saja tenggelam. Dalam udara yang beranjak gelap itu keadaan di pekuburan Jatilandak nampak diselimuti kesunyian padahal belum lama berselang rombongan pengantar jenazah yang berjumlah hampir seratus orang meninggalkan tempat itu. Di ujung kanan tanah pekuburan, dibawah pokok batang kamboja kecil tampak seongguk tanah makam yang masih merah ditaburi oleh bunga-bunga aneka warna. Dikejauhan terdengar suara kicau burung yang kembali ke sarangnya. Lalu sunyi lagi dan udara semakin gelap.
Pada saat itulah lima sosok kecil seukuran bocah usia sepuluh tahun berpakaian serba hitam muncul dari arah timur tanah pekuburan. Kelimanya sesaat tegak berhenti meneliti keadaan. Ketika tidak seorangpun kelihatan di tempat itu, kelimanya melangkah dengan kaku menuju kuburan baru. Di nisan kuburan baru tertera nama “ Nawang “. Kelima sosok bocah itu berjalan tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Setelah berada tepat dionggokan kuburan baru. Lima sosok bocah ini dengan cepat menggali makam itu. Tanpa menggunakan alat. Mereka menggali menggunakan sepuluh jari yang ada di kedua tangannya.
Tidak ada sepatah katapun yang terucap. Kelimanya bekerja keras dan cepat, tidak berhenti-henti menggali sembari sesekali keluar senandung aneh yang keluar dari mulut – mulut kecil itu. Tidak berapa lama kelima sosok bocah itu telah menggali sampai ke dasar makam. Sederet papan kayu yang berjajar menyamping tampak terlihat disana. Salah seorang dari bocah berpakaian hitam itu dengan cepat menyingkirkan papan –papan itu. Terlihat sesosok mayat perempuan terbungkus kain kafan yang masih bersih terbujur kaku. Kelima bocah itu dengan sigap mengangkat mayat wanita tersebut. Dua bocah menahan di bagian bahu, dua bocah lainnya menahan bagian kaki dan satu bocah sisanya menahan dibagian tengah. Lima sosok itu bagai terbang membawa mayat yang masih terbungkus kain kafan. Sesekali terdengar lagi senandung aneh dari kelima sosok bocah itu. Bayangan kelima bocah aneh itu menghilang di balik rumpun pohon kamboja di ujung makam Jatilandak.
Quote:
Kabut tipis turun merayap diantara pepohonan yang berdiri kaku. Semakin mendekati tengah malam kabut semakin tebal. Jalan tembus ke tengah hutan tampak suram menggidikkan. Sebuah mobil putih melaju dengan kecepatan penuh, sesekali terseok –seok dengan susah payah melindas jalanan berbatu dan lubang –lubang menganga di sepanjang jalan. Cahaya lampu mobil yang diperkuat dengan lampu kabut membias samar di dalam mobil tersebut.
Melalui kaca depan terlihat wajah seorang lelaki paruh baya berwajah klimis dan berbadan tegap yang setengah condong ke arah kemudi. Tangan kanannya dengan tangkas mengoper tongkat gigi kopling. Sesosok bayi laki –laki terbalut kain tebal dan memakai topi kupluk hingga menutupi kedua telinganya tampak bergerak -gerak di sebelahnya. Bayi itu berada di dalam sebuah kotak kecil beralaskan kain. Sebentar –sebentar terdengar celotehan tertahan dari mulutnya setiap kali mobil terbanting sewaktu melewati jalan berlubang.
Sesekali lelaki setengah baya pengemudi mobil melirik ke kaca spion samping. Matanya membeliak liar menatap kegelapan di luar mobil. Jelas ketakutan dan kecemasan tergambar kelas di wajahnya yang sedikit pucat. Secara naluri ia dihinggapi perasaan ada sesuatu yang terus mengikuti gerak laju kendaraannya, serta terus –menerus mengintai. Mesin mendadak mati dan mobil itu terhentak diam.
Lelaki paruh baya yang duduk di belakang kemudi bergumam resah.
“ Mesinnya mati. Entah kenapa mobil ini tiba-tiba mogok “.
Lelaki paruh baya tadi dengan muka yang mulai terlihat gugup berusaha memutar kunci kontak. Gagal. Dicobanya berulang –ulang tapi tetap saja gagal.
Tiba –tiba saja bayi yang terbaring itu menangis. Suaranya menggema di kegelapan malam.
“ Cup ... cup ... anak pintar anak ganteng jangan menangis. Bapak akan coba memperbaiki mobil ini. Kamu harus tenang Hartono “.
Lelaki paruh baya ini mengelus pipi bayi yang masih menangis itu. Berusaha untuk menenangkannya kembali. Akhirnya bayi itu terdiam lagi.
“ Jangan –jangan bahan bakarnya habis? Tapi tidak mungkin Barjo telah mengisi penuh tadi sore”
Dan lelaki itu melirik jarum penunjuk indikator bahan bakar. Masih tersisa separoh lebih.
“ Mungkin kipas putus atau ....”
Ia menarik tombol pembuka kap depan. Membuka pintu samping keluar untuk membuka kap mesin depan mobil itu. Dengan bantuan sampu senter kecil ia memeriksa mesin dengan teliti dan tak lama masuk lagi ke dalam mobil, setelah lebih dulu membanting kap depan sampai tertutup rapat.
“ Aneh... “
bisiknya lirih.
“ Aku yakin tidak ada sesuatu yang salah atau rusak “.
Lelaki itu berusaha lagi menghidupkan mesin mobilnya. Mobil itu hanya menggeram sebentar kemudian mati lagi.
“ Ada yang tidak beres pada mobil ini”.
Mesinnya mendadak mati tanpa sebab yang jelas.
“ Jangan –jangan ini perbuatannya”.
Wajah lelaki paruh baya yang ternyata Mangun Sarkoro itu memucat seperti kertas.
Mangun Sarkoro tercekat. Menelan ludahnya yang tiba –tiba terasa getir di tenggorokan. Dirabanya ujung gagang pistol yang terselip di pinggangnya
Melalui kaca depan terlihat wajah seorang lelaki paruh baya berwajah klimis dan berbadan tegap yang setengah condong ke arah kemudi. Tangan kanannya dengan tangkas mengoper tongkat gigi kopling. Sesosok bayi laki –laki terbalut kain tebal dan memakai topi kupluk hingga menutupi kedua telinganya tampak bergerak -gerak di sebelahnya. Bayi itu berada di dalam sebuah kotak kecil beralaskan kain. Sebentar –sebentar terdengar celotehan tertahan dari mulutnya setiap kali mobil terbanting sewaktu melewati jalan berlubang.
Sesekali lelaki setengah baya pengemudi mobil melirik ke kaca spion samping. Matanya membeliak liar menatap kegelapan di luar mobil. Jelas ketakutan dan kecemasan tergambar kelas di wajahnya yang sedikit pucat. Secara naluri ia dihinggapi perasaan ada sesuatu yang terus mengikuti gerak laju kendaraannya, serta terus –menerus mengintai. Mesin mendadak mati dan mobil itu terhentak diam.
Lelaki paruh baya yang duduk di belakang kemudi bergumam resah.
“ Mesinnya mati. Entah kenapa mobil ini tiba-tiba mogok “.
Lelaki paruh baya tadi dengan muka yang mulai terlihat gugup berusaha memutar kunci kontak. Gagal. Dicobanya berulang –ulang tapi tetap saja gagal.
Tiba –tiba saja bayi yang terbaring itu menangis. Suaranya menggema di kegelapan malam.
“ Cup ... cup ... anak pintar anak ganteng jangan menangis. Bapak akan coba memperbaiki mobil ini. Kamu harus tenang Hartono “.
Lelaki paruh baya ini mengelus pipi bayi yang masih menangis itu. Berusaha untuk menenangkannya kembali. Akhirnya bayi itu terdiam lagi.
“ Jangan –jangan bahan bakarnya habis? Tapi tidak mungkin Barjo telah mengisi penuh tadi sore”
Dan lelaki itu melirik jarum penunjuk indikator bahan bakar. Masih tersisa separoh lebih.
“ Mungkin kipas putus atau ....”
Ia menarik tombol pembuka kap depan. Membuka pintu samping keluar untuk membuka kap mesin depan mobil itu. Dengan bantuan sampu senter kecil ia memeriksa mesin dengan teliti dan tak lama masuk lagi ke dalam mobil, setelah lebih dulu membanting kap depan sampai tertutup rapat.
“ Aneh... “
bisiknya lirih.
“ Aku yakin tidak ada sesuatu yang salah atau rusak “.
Lelaki itu berusaha lagi menghidupkan mesin mobilnya. Mobil itu hanya menggeram sebentar kemudian mati lagi.
“ Ada yang tidak beres pada mobil ini”.
Mesinnya mendadak mati tanpa sebab yang jelas.
“ Jangan –jangan ini perbuatannya”.
Wajah lelaki paruh baya yang ternyata Mangun Sarkoro itu memucat seperti kertas.
Mangun Sarkoro tercekat. Menelan ludahnya yang tiba –tiba terasa getir di tenggorokan. Dirabanya ujung gagang pistol yang terselip di pinggangnya
BERSAMBUNG
Diubah oleh breaking182 05-03-2018 03:05
![knoopy](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/05/29/avatar7960142_4.gif)
knoopy memberi reputasi
3
Kutip
Balas
Tutup