drupadi5Avatar border
TS
drupadi5
Cerita Yang Belum Berakhir
Kisah kita berbeda kawan, suka duka kita tidak pernah sama, meski kita hidup berpuluh-puluh tahun jalan hidup kita pun tidak pernah melengkung ke arah yang sama, memainkan suatu cerita dengan peran yang berbeda-beda, yang nanti, entah kapan, hanya akan berujung pada suatu akhir dimana waktu bukan lagi milik kita....

tapi bagaimana jika akhir itu pun tidak berarti sebuah penyelesain dari cerita kita?



*****

02.30 am

Subuh ini, sepulang kerja, seperti biasa suami dan anakku udah pada pulas tertidur. Kulepaskan dulu helm, jaket, dan semua atribut pengaman dan pelindung, sebelum sedikit membasuh diri.

Menenangkan diri sejenak sebelum bertemu kasur, kubuka hape BB jadulku, ada satu notif kalau ada yg mengirim pesan lewat FB messenger. Langsung kubuka,

dah pake BB ya, boleh minta PIN mu?


Sebuah pesan singkat, tp cukup membuat jantungku berdesir aneh. Setelah berpikir sejenak, kubalas pesan itu...

Bole, ini PIN ku %^&$#@


Bukan tanpa alasan kuberikan contactku, hanya karena rasa penasaran yang telah terpendam bertahun-tahun dan... sebuah penyelesaian

*****

prologue
part 1 jadi mahasiswa
part 2 baksos
part 3 mas kayon
part 4 karena matras
part 4.2 obrolan pertama
part 5 karena pertanyaan dan jawaban konyol
part 6 kesurupan???
part 7 sopir dan assisten sopir
part 8 around me
part 9 mabuk
part 10 pasar loak
part 11 pelukis malam
part 12 baksos in action
part 13 yunita
2014
part 14 would you be
part 15 would you be (2)
part 16 would you be mine?
part 17 hilang
part 18 second chance...1
part 19 second chance...2
part 20 second chance...3
part 21 SMS
part 22 blind love
part 23 blind love 2
part 24 blind love 3
part 24 blind love 4 (17+)
part 25 blind love 5
part 26 blind love 6
part 27 siksaan 1
part 28 Mr. Lee
part 29 siksaan 2
part 30 following the flow (cinta tanpa logika)
part 31 following the flow (cinta tanpa logika 2)
part 32 heart breaker
part 33 kehilangan
part 34 solo fighter
part 35 kejutan
part 36 perbedaan itu (ngga) indah
2008
part 37 the next steps
part 38 dewa bisma
part 39 anak rantau
part 40 penantian
part 41 akhir dari penantian
2009
all i want
part 42 and story goes on...
part 43 nelangsa
part 44 a gift
part 45 trouble maker
part 46 trouble maker 2
part 47 tentang dewa
part 48 tentang dewa 2
part 49 is it real?
part 50 is it real? 2
part 51 rasa itu
part 52 jealouse
part 53 Jakerdah
part 54 drama queens
part 55 i feel you
part 56 ikatan
part 57 September 2006
part 58 july 2009
part 59 ujian pertama
part 60 ujian kedua
part 61 ujian yg sebenarnya
Part 62 Dewa Rasya
part 63 kembali
part 64 Namy
part 65 batas benci dan cinta
part 66 trouble maker
part 67 trouble maker 2
part 68 trouble maker 3
Diubah oleh drupadi5 23-11-2019 16:42
mmuji1575
a.w.a.w.a.w
Grazie.Pradana
Grazie.Pradana dan 9 lainnya memberi reputasi
10
36.8K
323
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
drupadi5Avatar border
TS
drupadi5
#227
Part 53 Jakerdah
Kami berangkat dari S** dengan di temani oleh Pak Arman. Sebelum berangkat aku pun sudah mengabari Dewa. Sebenernya dia ngga setuju aku melanjutkan training ke Jakarta.

Berkali2 dia menyarankanku untuk balik ke Denpasar saja atau cari alternative kota lain untuk melanjutkan training ini.

“Yang mana bisa kayak gitu Wa, ini kan kelanjutan buat pelatihannya lagian juga udah di bayar full di awal, rugi banyak dong klo aku ngga ikutan,” jelasku di suatu kesempatan ketika aku memberitahunya tentang rencana keberangkatanku ke Jakarta

“gitu ya?” dari suaranya tampaknya dia kecewa aku ngga bisa menurutinya

“emangnya kenapa sih Wa? Kok kayanya kamu ngga suka bgt aku ke Jakarta, bukannya kamu pernah di sana juga?”

“justru karena aku pernah hidup di sana, aku ngga mau kamu ke sana.”

“kan cuma sementara aja, cuma 2 bulan aja kok.”

“sehari pun kalau bisa ngga usah tinggal di sana.”

“kamu was2 kenapa sih?”

“Jakarta itu ngga sama kaya Denpasar atau S** Dy..”

“inget ngga, kamu dulu juga bilang hal yg sama waktu aku mau pindah dari Denpasar ke S** dan ngga ada apa2 kan?!”

“Tapi Jakarta itu lebh sadis dari S** Dy…”

“Kamu aja bisa hidup sendiri di Jakarta, masa aku ngga sanggup, apalagi aku kan ngga sendiri, ada temen2 yg lain juga.“

“beda Dy, aku ini cowok, ngga masalah hidup di mana pun. Sedangkan kamu itu cewek, kamu harus lebih extra hati2 lagi…kamu jauh dari keluarga dan aku pun ngga ada di sana buat jagain kamu, aku ngga bisa berbuat banyak kalau hanya jagain kamu dengan bantuan sukmaku aja.”

Oh..ok, sekarang aku mengerti kenapa dia begitu tidak mendukungku ke Jakarta. Kekhawatirannya terlalu berlebihan.

“Dewa, aku janji aku bakalan jaga diri. Aku akan lebih hati2 lagi nanti di sana. Janji ngga akan sembarangan lagi,” ujarku berusaha menyakinkan dia , yah meski pun aku tahu dia ngga akan bisa aku yakinkan.

“beneran lho, janji! Ke mana2 jangan sendirian, harus ada temennya dan satu lagi, kalau mau naik angkot kamu pilih2 angkot yg kira2 aman.”

Nah yg ini aku bingung, gimana bedain angkot aman dan yg ngga aman.

“caranya bedain gimana Wa?”

“kamu liat aja sepintas dari luar klo ngga ada ceweknya, isinya cowok2 semua, ngga usah naik, bilang aja ngga jadi sama sopirnya..”

“ya ampun Wa, kan ngga mesti kalau cowok2 berarti penjahat kan?”

“tuh kan di kasi tau malah ngga percaya.”

“iya…iya…percaya…”

“aku tahu kamu itu orangnya penasaran, pengen tahuan, dan suka coba2, makanya aku jadi khawatir,”

“hahahaha Dewa, Dewa, biasa aja lah, ngga segitunya lah aku….udah ah ngga usah berlebihan gitu,”

“pokoknya janji ya kamu harus lebih hati2 di sana.”

“siap, Boss!!!”

****

Tempat pertama yg aku datangi begitu sampai Jakarta adalah training centre G yg berlokasi di seputaran Jakarta barat.

Dari tempat itu rombongan mulai terpecah. Iya, kami tinggal di tempat terpisah, karena jumlah kami berbanyak jadilah tempat kostnya ngga bisa di satu tempat, ada 3 tempat di dipilih buat tempat kost kami, Aisyah dan bbrp temen2 yg asli S** dapat tempat kost yg paling deket dengan tempat training, pas banget di sampingnya tempat training bahkan tembok pagar tempat training adalah pembatas halaman samping dan belakang rumahnya. Rumah kostnya berlantai 2, kebetulan Aisyah dapat kamar sendiri yg ada di lantai satu, sedangkan temen2 yg lain dapatnya di lantai 2.

Lalu Rara, Pretty, dan Nadya dapat satu tempat kost yg letaknya agak masuk ke dalam gang yg letaknya persis di seberang jalan di depan tempat training.

Sedangkan, aku, May, Jeny, Yuna, dan Rahma dapat satu tempat kost yg letaknya paling jauh. Rumahnya masuk gang, gangnya sendiri sekitar 20 meter dr tempat training, dari mulut gang masih masuk lagi sekitar 500 meter dengan jalan yg berkelak kelok. Aku sudah membayangkan bakalan lumayan jauh berjalan dari kostan ke tempat training.

Pertama kali aku lihat rumah yg bakalan jadi tempat tinggalku selama 2 bulan ke depan, jujur saja aku rada2 kaget. Kesan pertama yg aku tangkap adalah ini rumah sepertinya sudah lama tidak di tinggali. Terbukti dari sampah2 dedaunan yg sudah mengering yg berserakan di halaman depan. Pagarnya tembok warna putih yg sudah kusam dan di sepanjang atas tembok dipancangi besi,tingginya sekitaran dadaku, tidak terlalu tinggi, dari luar pagar bisa terlihat jelas ke dalam rumah.

Di samping barat teras ada ruang kosong yg ditumbuhi rumput liar dan sebuah pohon besar, ntah pohon apa namanya aku tidak terlalu memperhatikan. Sedangkan di sebelah timurnya, ada sebuah gerbang lagi yg cukup lebar untuk di lewati sebuah mobil ukuran besar, ternyata di sebelah timur ada ruang yg seperti jalan untuk menuju ke bangunan yg ada di belakang rumah kostanku ini. Di belakang ternyata ada sebuah bangunan lantai 2 yg tidak berpenghuni. Aku tidak pernah masuk bahkan melewati batas antara bangunan kostku dengan bangunan belakang itu, entah kenapa perasaanku selalu deg2an setiap kali menyapukan pandangan ke arah bangunan itu.

Rumah kostku sendiri terdiri dari satu ruang tamu, yg cukup luas untuk kami berlima, ya satu rumah ini hanya kami yg akan menempati, tuan rumahnya tinggal di tempat yg berbeda, nanti akan ada kakak dari tuan rumah yg rumahnya persis di depan rumah kostku yg akan membantu kalau kami nantinya perlu bantuan.

Ada satu ruang tengah yg luas tapi sayangnya ngga ada televise di sini, terbayang bakalan sangat membosankan nantinya.
Ada dapur di belakang ruang tengah, satu kamar mandi luar yang bersebelahan dengan dapur, dan di masing2 kamar sudah ada kamar mandinya. Masing2 anak dapat masing2 satu kamar, kecuali aku. Aku sekamar dengan May, karena rupanya Ce Meilan tidak ikut pelatihan di sini. Kata May dia ikut ke Jakarta tapi tinggal di rumah saudara mereka di kawasan Jakarta Utara.

Kamar yg deket dengan ruang tamu adalah kamarnya Jeny. Trus di sebelahnya ada kamarku dan May. Di ruang tengah berseberangan dengan dapur, ada seperti lorong kecil yg yg di ujung kanan kirinya ada masing2 sebuah kamar yg di tempati Yuna dan Rahma. Selama aku tinggal di sana sekali pun aku ngga pernah masuk ke kamar Yuna dan Rahma, gimana mau masuk ke kamar, begitu aku masuk selangkah ke lorong itu saja bulu kudukku langsung meremang hebat, selalu sperti itu, jadi aku pikir lebih baik aku ngga maksa masuk ke sana. Karena itulah kalau aku ada perlu sama Yuna atau Rahma palingan aku tunggu sampai mereka keluar kamar, atau aku teriak2 aja dr ruang tengah.

Gimana dengan kamarku sendiri? Lumayan. Lumayan serem? Jangan dong! Lumayan adem, luas, sayangnya agak kusam, tempat tidurnya tanpa ranjang jadinya kasurnya lesehan gitu di lantai, untungnya May fine2 aja dengan tempat tidurnya, dia ngga banyak protes. Aku memeriksa kamar mandi yg ada di dalam kamarku. Begitu membuka pintu, bau apek dan pengap langsung menyeruak hidungku dan lagi2 bulu kudukku berdiri. Aku paksakan masuk, tentunya dengan deg2an sangat, kamar mandinya kotor, kusam, sudah berkerak dimana2. Ah,,,ngga yakin deh bakalan mandi di sini.

Cepat2 aku keluar dari kamar mandi dan juga dari kamarku. Aku melangkah ke kamar Jeny. Dia sedang membongkar kopernya, aku melihat2 ke sekeliling kamarnya, kemudian melongok ke kamar mandinya, ngga jauh beda dengan kamar mandi di kamarku.

“ono opo mba?” tanyanya ketika aku menutup pintu kamar mandinya

“ngga apa2. Jelek yah kamar mandinya,” sahutku

“wis ta, mandi di luar wae,” sahutnya cuek. Aku rebahan di kasurnya.

“eh, malah tiduran sini, ngga beres2 kmu ta?”

“ntar aja, biar May aja dulu.”

Dia diem aja ngga menyahutiku. Sedangan pikiranku sendiri menerawang kemana2. Katanya Jakarta kok suasananya malah lebih spoky dari Bali, sih, gumamku dalam hati.

Di Bali, dateng ke tempat yg katanya angker, ngga pernah sekalipun aku merinding seperti sekarang.
Ah, sudahlah… liat nanti aja, betah atau ngga nih tinggal di sini.

“abis beres2 ke tempatnya anak2 yg lain yuk, Jen?” ajakku

“ayok, tapi mandi dulu ya,” sahutnya.

“mandi di mana ya?”

“di luar aja mbak, di dalem juga ngga ngalir airnya. “

“oya? Jadi ngga ada air?”

“iya aku udah coba td, coba aku cek yg di luar,” sahutnya langsung menuju ke kamar mandi di luar.

“ngalir mbak airnya!!” Jeny berteriak kencang dr belakang. Aku langsung menyusulnya ke belakang.

“bersihin dulu bak mandinya Jen, sini aku aja,” sahutku. Jeny beringsut mundur memberikanku ruang untuk masuk. Mulai lah aku membersihkan kamar mandi itu, keadaannya lebih baik lah dari kamar mandiku dan Jeny.

Selesai membersihkan kamar mandi, aku dan Jeny mandi bergiliran, dan kemudian bergegas keluar ke tempat kost anak2 yg lain bersama dengan May, dan Rahma.

Sedangkan Yuna menolak ikutan karena katanya cowoknya janji mau telpon. Okeh, yang pacaran ngga usah di gangguin.

Sebelum meningalkannya sendirian di rumah, aku bertanya berkali2 padanya, yakin dia mau sendirian di rumah. Dan dia pun mengiyakan setiap kali kutanya.

Rumah yg pertama aku dan teman2 sambangi adalah tempatnya Aisyah.
Sama seperti tempat kostku, tempat ini pun ngga ada tuan rumahnya, rumah di bagian depan yg merupakan tempat tinggal si empunya rumah di biarkan kosong, menurut orang yg bertugas membersihkan tempat itu yg empunya rumah hanya beberapa bulan sekali datang ke sana menengok rumahnya.

Dari luar rumah ini tampak tertutup sekali. Pagarnya tinggi banget dengan gerbang yg selalu terkunci. Akses masuk adalah sebuah pintu kecil di samping kiri pagar yg langsung menghubungkan ke halaman samping rumah.
Rumahnya cukup asri, bagian samping dan belakang tampak pohon2 bambu hias yg menjulang dari balik tembok pembatas tempat training juga mendukung suasana rumah ini.

Di halaman samping juga di tanami tumbuhan hias, tepat di depan pintu2 kamar yg berjejer. Ada 3 kamar di lantai bawah ini. Salah satunya adalah kamarnya Aisyah.

Sedang anak2 yg lain ada di lantai 2. Aku dan Jeny hanya menengok sekilas ke dalam kamarnya. Suasana rumah ini sebenernya jauh lebih mending dari pada kostanku. Tapi kok aku merasa suasananya sangat lembab dan suram. Apa karena akses matahari yg sedikit masuk ke dalam rumah? Entahlah?!

Rumah kedua yg aku sambangi adalah rumah kostnyannya Pretty, Rara, dan Nadya. Jujur saja rumah mereka ini yg paling ‘wajar’ yg aku rasain. Terasa hidup dan nyaman. Apa karena ada pemilik rumah yg juga tinggal di sana sehingga kenyamanannya bisa terjaga? Entahlah?!

Rara dan Pretty tinggal sekamar di lantai 2 sedangkan Nadya sekamar sendiri, yg kamarnya ada di bagian dalam rumah.

Kami berkumpul di lantai 2, di kamarnya Rara. Sedang asyik2nya ngobrol, ponselku berbunyi, sebuah panggilan masuk dari Dewa. Aku keluar dari kamar untuk menerima panggilannya, dan duduk di kursi tamu yg ada di balkon.

“ya Wa?”

“lg ngapain?” tanyanya

“lagi main ke kostnya Rara.”

“sendirian?”

“ngga sama anak2 yg lain yg serumah sama aku.”

“oh…udah makan?”

“belumlah, ntar aja sekalian balik ke kost. Kamu lagi ngapain?”

“masih di klinik, mau siap2 balik ke mess juga sekarang.”

“ya udah, ntar aku sms deh kalau udah di kost.”

“iya. Hati2 baliknya.”

“siap.”

*****

Percakapanku dan Dewa berakhir dan dibarengi dengan ajakan Jeny buat cari makan malam. Ngga susah buat cari warung di sini, hampir sepanjang jalan isinya warung makan dan konter pulsa. Selesai beli makan, kami langsung balik ke kostan.

Sampai rumah kost, keadaan sunyi bgt, mana lampunya lampu bohlam kuning yg remang2 gitu yg di pasang di teras rumah. Asli ini rumah kok serem gini wujudnya.

Aku langsung masuk, dan memanggil Yuna. Tapi berkali2 aku panggil masih belum ada sahutan. Aku meminta Rahma buat cek ke kamarnya. Untungnya kamarnya ngga dikunci dan ternyata Yuna sedang tidur. Parah nih anak jam segini tidur.

Selesai makan, aku masuk kamar dan mendapati May yg malam itu memilih ngga makan juga sudah tertidur di kamar. Aku memilih duduk di sofa yg ada di ruang tengah.

Di ruang tamu, ada Jeny dan seorang cowok yg entah siapa. Agak heran juga sama anak satu itu cepet bgt dapet temennya belum juga sehari di sini.

“mba Dy, kenalan gih sama Raka, dia dari Bali juga lho!” tiba2 saja Jeny sudah ada di belakangku.

Aku agak tertarik mendengar kalau ternyata si cowok rupanya sedaerah denganku. Aku mengikuti saran Jeny dan ikut bergabung dengannya di ruang tamu.

“Raka, ini Mba Dyan, dari Bali juga lho!” suara renyah Jeny memperkenalkanku kepada cowok di depanku yg bernama Raka ini.

“Hai, Dyan,” aku mengulurkan tangan mengajaknya berjabat tangan yg dibalasnya dengan jabatan erat di tanganku.

“Di bali mana tinggalnya?” tanyaku

“aku di denpasar.”

“sama dong, di mananya?”

“di M******”

“oh di sana,” sahutku.

“deketan ya mba?” tanya Jeny

“yah 20 menitan naik motor dari rumahku,” sahutku.

“kamu daerah mana rumahnya?” tanya si Raka

“aku di G****.”

“Oh iya2 tau..”

“pasti dulu sma nya di sma ** ya, kalau rumahnya daerah sana?” tebakku

“hehehe iya, kok tahu sih?”

“wah berarti anak jenius ini!” candaku karena emang anak2 sms ** terkenal pinter2.

“ngga jugalah,” sahutnya merendah

“ya jelas pinter lah Mba, lulusan Curug nih!” samber si Jeny tiba2. Wah calon pilot nih anak pikirku.

“biasa aja lah, “ sahutnya lagi2 merendah

“oya? Lgs di kontrak sama **?”

“iya kebetulan kemarin dulu ngelamar dan lolos, jadi sekarang masih pendidikan lagi.”

“wah, hebat selamat ya!” ujarku
memberikannya selamat karena memang ngga semua lulusan dari sekolah penerbangan bisa langsung mendapat kontrak di maskapai. Berarti Raka ini memang special.

Dia hanya tersenyum menanggapi pujianku.

“kamu sendiri dari sma mana?” tanyanya

“satu nomor di belakang nama sma kamu,” sahutku

“sma **? Wah hebat juga tuh, gudangnya seniman itu di sana.”

“hahaha sayangnya aku ngga jago nyeni,” sahutku

“dia mah udah sarjana mas Raka, udah ada titelnya,” samber Jeny lagi.

“oh udah selesai kuliah ya, di Bali?”

“iya di denpasar….” Kalimatku terpotong karena ponselku berbunyi, panggilan masuk dari Dewa

“sorry, ntar ya…” aku permisi lalu bergegas ke ruang tengah supaya bisa lebih leluasa bicara dengan Dewa

“hallo…. Iya Wa?” sapaku begitu mendengar suaranya

“udah makan?”

“udah. Kamu udah?”

“udah tadi. Lagi ngapain?”

“Lagi ngobrol td sama Jeny, trus ada kenalannya Jeny, orang Bali ternyata. Jadi ya ngobrol2 aja.”

“hm.. cowok ya?”

“iya.”sahutku

“oh iya, jangan di pakai dulu ya kamar mandi kamu yg di kamar?”

Aku mengernyitkan dahi mendengarnya.

“tadi siang aku coba cek, ada penghuninya, ntar aku suruh dia pindah dulu, baru kamu bisa pakai.”

“kok kamu tahu?” setelah pertanyaan itu terlontar baru aku sadari kalau itu pertanyaan yg sangat bodoh, seakan2 aku baru kemarn mengenal Dewa.

“ya kan aku coba liatin.”

“trus…yg lainnya gimana?”

“yg lain apanya?” tanyanya balik nanya

“aku ngerasa ini rumah lama ngga ditempati, suasananya ngga ngenakin, kemana2 bawaannya merinding aja.”

Dewa malah tertawa mendengar keluhanku.

“ngga usah di hiraukan, cuekin aja, yg penting kamar kamu bersih dan ngga di gangguin. Bilang aku nanti ya kalau ada yg gangguin kamu. Udah aku peringati sih, tp biasanya yg begituan tergantung diri kalian sendiri, dilihat labil dikit aja lgs di jadiin sasaran. Kamu tetap rajin doa dan inget hati2 sama lingkungan sekitar.“ lagi2 aku dapat warning darinya.

“iya iya beres!”

“udah ya, kamu istirahat aja sekarang pasti capek kan , ngga usah di lanjutin ngobrolnya. Trus kapan mulai training lagi?”

“besok dah mulai kok.”

“nah apalagi gitu, istirahat ya, nanti aku temenin.”

“iya.” Sahutku.

Aku yg biasanya ngga akan mudah terlelap di tempat baru, malam ini dengan cepat bisa langsung hilang hanyut dalam mimpi.
0