- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Sang Wakil Janji [TAMAT]
TS
dudatamvan88
Sang Wakil Janji [TAMAT]
TRILOGI
OTHER STORY OF BORNEO
SEASON III
Salam Para penghuni Jagad KASKUSTerutama Yang bermukim Di SubFor SFTH.
Hari ini saya akan menulis Season III dan yang akan menjadi akhir Dari Trilogi Other Story Of Borneo yang Telah ane tulis sebelumnya.
Mohon Kritik dan Saran Buat ane yang Nubie ini ya.
Oo iya.. Dimohon kepada pare reader agar mengikuti dan mematuhi aturan yang berlaku di SFTH dan ane ga mentolelir apapun bentuk keKEPOan yang berlebihan..
OTHER STORY OF BORNEO
SEASON III
Salam Para penghuni Jagad KASKUSTerutama Yang bermukim Di SubFor SFTH.
Hari ini saya akan menulis Season III dan yang akan menjadi akhir Dari Trilogi Other Story Of Borneo yang Telah ane tulis sebelumnya.
Mohon Kritik dan Saran Buat ane yang Nubie ini ya.
Oo iya.. Dimohon kepada pare reader agar mengikuti dan mematuhi aturan yang berlaku di SFTH dan ane ga mentolelir apapun bentuk keKEPOan yang berlebihan..
Quote:
Quote:
PROLOG
Semuanya mengerucut tepat di depan mataku seakan - akan aku adalah antagonis utamanya.
Aku benar - benar merasa menjadi orang yang salah yang berada ditempat yang salah hingga aku harus mengembalikan semua yang kubuang.
Apa memang harus seperti ini??
Semua yang kualami telah menyeretku dalam lingkaran rumit dan menjauh dari tujuan awalku saat berangkat ke pulau ini.
Aku hanya ingin membangun ulang hidupku dari nol. Tapi sekarang Aku sudah menantang orang yang jelas dan sangat jelas berada jauh diatasku.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku saat MATImenjadi salah satu pilihanya.
Saat semuanya terpampang dengan jelas di depan mataku. Saat aku mulai merasa mampu menghadapi segalanya yang telah menyeretku.
Tia. Lusi. Aku berjanji akan mengakhirinya tak lama lagi. Mungkin tak lama lagi pula aku akan bertemu kalian. Atau mungkin kalian harus menunggu lebih lama lagi untuk bertemu denganku.
Semuanya mengerucut tepat di depan mataku seakan - akan aku adalah antagonis utamanya.
Aku benar - benar merasa menjadi orang yang salah yang berada ditempat yang salah hingga aku harus mengembalikan semua yang kubuang.
Apa memang harus seperti ini??
Semua yang kualami telah menyeretku dalam lingkaran rumit dan menjauh dari tujuan awalku saat berangkat ke pulau ini.
Aku hanya ingin membangun ulang hidupku dari nol. Tapi sekarang Aku sudah menantang orang yang jelas dan sangat jelas berada jauh diatasku.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku saat MATImenjadi salah satu pilihanya.
Saat semuanya terpampang dengan jelas di depan mataku. Saat aku mulai merasa mampu menghadapi segalanya yang telah menyeretku.
Tia. Lusi. Aku berjanji akan mengakhirinya tak lama lagi. Mungkin tak lama lagi pula aku akan bertemu kalian. Atau mungkin kalian harus menunggu lebih lama lagi untuk bertemu denganku.
Quote:
Quote:
Quote:
Diubah oleh dipretelin 12-04-2018 08:07
dodolgarut134 dan 36 lainnya memberi reputasi
37
805.3K
3.2K
Thread Digembok
Tampilkan semua post
TS
dudatamvan88
#1858
DOA UNTUK AYAH
Secangkir kopi dan beberapa batang rokok menemani pagiku di teras rumah rian. Suasana ini membuat pikiranku melayang. Melayang ke masalalu dan semua dosaku. Namaku adalah Ganindra Basudewa yang diambil dari penggabungan antara dua tokoh pewayangan yaitu Sang dewa perang penjaga surga bernama indra dan salah satu awatara trimurti Whisnu. Aku tak pernah mempermasalahkan apalagi mempertanyakanya. Yang aku tau ayahku pun juga memiliki nama yang diambil dari nama tokoh wayang yaitu Bala Puntadewa yang berarti adalah teman Puntadewa (nama lain dari prabu Yudhistira yang merupakan anak sulung dari kelima Pandawa). Ayahku memiliki perawakan yang kurus dan tinggi dengan standar SNI jawa timur. Bentuk wajahnya khas seperti pada orang jawa pada umumnya tapi kebanyakan teman dan tetangga menganggap jika ayahku ini memiliki wajah seperti orang – orang arab yang bermukim di wilayah Ampel Surabaya. Beliau memiliki sifat yang tegas dan disisi lain sangat lembut kepada keluarga yang tergantung dari situasi apa yang dihadapinya. Entah makanan apa yang tidak disukainya karena beliau hampir sama sekali tidak pernah menolak apa yang telah dimasak oleh ibuku dan yang paling menjadi faforit beliau adalah Terong bakar dengan sambel terasi. Untuk ketegasan mungkin pada saat beliau menghajarku di kamar mandi karena kedapatan mengambil rsebatang rokok dari kantong baju beliau dan menghisapnya di kamarku.
“Le.. impian ayah ini Cuma biar kamu dan adekmu itu bisa hidup dengan lebih baik dari ayah.. perjuangan ayah hanya sebatas ini dan ga bisa memberi lebih pada kalian berdua.. sekolah yang tinggi le biar kamu ga jadi pesuruh seperti ayah ini.. pesen ayah.. tolong jangan memperebutkan rumah reyot ini sama adekmu.. ayah tau kamu pasti bisa jadi orang yang punya nama nantinya” Begitulah kata – kata beliau pada saat aku duduk di kelas dua SMA dan sedang menemani beliau memasang batu bata.
Ya. Kejadian itu berlangsung saat satu tahun sebelum aku Lulus sekolah SMA dan membangkang dari ucapanya agar aku tidak perlu merantau dan ayahku akan berjuang sekuat tenaga agar aku bisa mengenyam bangku perkuliahan. Tapi jiwa mudaku begitu berkobar saat itu. Dengan penuh keyakinan membara aku melangkah meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat berlindungku untuk mengadu nasib ke ibukota. Dengan menjual radio pemberian beliau di pasar gembong aku akhirnya mendapatkan uang Rp. 98.000.- dan menjadi modalku untuk berangkat mengadu nasib Ke ibukota. Kereta api Gaya Baru Malam Selatan menjadi saksi saat ia mengantarkan dan menurunkanku di stasiun Jatinegara. Salah satu hal yang membuatku termenung dan menangis saat mengingat beliau adalah saat dia menceritakan perihal kenakalanku dahulu. Tentang bagaimana aku menangin dengan sejadi – jadinya karena semua teman sebayaku sedang berangkat ke sekolah dan aku sendiri baru berumur empat tahun dan itu belum memenuhi kriteria usia untuk memasuki sekolah dasar. Dengan penuh perjuangan hingga sandal jepit yang beliau kenakan pada saat itu terputus dikarenakan berkeliling dengan menggendongku mencari sekolah dasar yang bersedia menerimaku sebagai muridnya. Ya. Pada saat itu keluarga kami hanya memiliki sebuah sepeda kebo butut sebagai kendaraan yang dengan pertimbangan demi keselamatanku akhirnya beliau memilih untuk berjalan kaki.
“Tolonglah pak.. supaya anak saya ini bisa diterima di sekolah ini..” ujar ayahku pada seorang kepala sekolah sebuah sekolah dasar yang kami hampiri di sang itu dengan nada yang cukup memelas.
“Wah saya yang sangat berterima kasih kalo bapak bersedia menyekolahkan anak bapak disini” jawab si bapak kepala sekolah itu dengan senyum yang tersungging lebar di wajahnya.
Dan alasan kenapa bapak kepala sekolah saat itu langsung menerima dengan senyum yang lebar aku ketahui setelah aku menginjak bangku SMA saat ayahku menceritakanya padaku. Beliau berkata jika aku adalah murid pelengkap. Bisa dibilang pelengkap karena jika pada tahun itu penerimaan siswa baru tidak mencapai dua puluh lima anak maka sekolah akan digabungkan dengan sekolah yang ada disebelahnya. Dan ya. Akulah anak ke dua puluh lima itu. Sedikit merasa bangga memang karena aku merasa menyelamatkan sekolah dasar itu hingga bisa berdiri sampai saat ini.
“Kenapa ga mau pake sepatu?? Ini udah dibelikan ayah sepatu baru.. bisa nyala tuuuh” ujar ibuku yang sedang memaksaku untuk memakai sepatu.
Tapi itulah kelakuanku. Walaupun dimataku saat itu lampu yang ada disisi belakang sepatu itu terlihat keren tapi aku sama sekali tak mau memakai bahkan menyentuhnya. Aku tetap bersikeras dengan tangisanku yang kencang dan semakin kencang hingga ayahku akhirnya mengalah dan menggendongku dan membawaku ke hari pertama sekolahku. Saat itu ayahku mengantarku hingga ke dalam kelas dan beliaulah yang memilihkan tempat duduk untukku. Beliau tanpa lelah mencoba menenangkanku dari tangis higga keramaian kelas membuat perhatianku teralih dan akupu n berhenti menangis. Teralihkan oleh suasana ramainya kelas bukan semerta – merta menyelesaikan masalah yang dihadapi ayahku pada waktu itu. Kini timbul masalah baru. Saat aku memperhatikan semua kaki teman sekelas aku pun semakin menangis menjadi – jadi karena hanya aku sendiri yang tidak memakai sepatu dan pada saat itu ayahku tidak membawa sepatu yang telah beliau beli dan meninggalkanya dirumah. Pengorbanan yang selalu berhasil membuatku menangis. Beliau kembali menggendongku untuk pulang dan memakaikanku sepatu. Mengantarku kembali hingga ke dalam kelas tentu saja. Dan jarak yang beliau tempuh saat itu tidak kurang dari satu kilometer jauhnya dalam satu kali perjalanan menggendongku. Semua kenangan itu begitu membuatku tersulut emosi saat aku Mudik lebaran di tahun di tahun itu. Tahun yang terasa sangat kelam untukku. Tahun 2013. Aku pulang dengan penuh kebanggan karena membawa seorang menantu untuk ayahku sanggup membeli dua tiket kereta kelas eksekutif (Argo Bromo Anggrek) yang mengantarku selama sembilan jam perjalanan. Jauh lebih cepat dari kereta yang kutumpangi saat pertama kali ke Jakarta dahulu yang menempuh perjalanan selama sembilan belas jam. Saat aku mengucap salam di tempat yang selama ini kupanggil rumah aku sama sekali tidak melihat ayahku hingga tak lama kemudian seorang wanita keluar. Dia adalah istri kedua dari ayahku. Sejak ibuku wafat saat aku hendak masuk ke jenjang SMP satu tahun berselang ayahku menikahi wanita ini. Dia keluar denga tatapan nanar melihat ke arahku.
“Ngapain kamu datang?? Ga ada yang bisa kamu bawa dari sini.. aku istrinya dan aku berhak atas semua ini” ujar wanita itu sebelum aku sempat berbicara satu patah katapun.
“Bu.. aku pulang.. ni bulan puasa kok marah – marah?? Bapak mana??” ujarku selembut mungkin walaupun tanda tanya besar sedang menindih kepalaku saat itu.
“Bapakmu udah mati.. mending sekarang kamu pergi” bentaknya sambil membanting pintu.
DEG
“mati??” ujarku terkejut.
Seketika itu pula emosiku langsung memuncak dan menendang pintu yang sudah dikunci dari dalam oleh wanita itu. Dengan semua yang telah kupelajari dari pak aksa maka terlepaslah daun pintu yang kutendang itu dari engselnya hingga menimpa wanita itu yang tanpa kuketahui ternyata sedang menahan pintu dari dalam. Dengan emosi yang memuncak aku berteriak sekencang – kencangnya untuk mencari ayahku. Segala yang ada di depanku tak luput dari sasaran emosiku hingga semuanya berserakan. Kursi yang melayang hingga piring terbang dan entah apalagi yang aku lakukan saat itu dengan tangisan keras sambil memanggil ayahku hingga Adikku Putri memelukku dengan erat dari belakang.
“MAAAASSSS.. UWEESS MASSS.. UWESSSS” ujar putri dengan tangisan yang tak kalah keras sambil memelukku.
Mendengar tangisan seorang gadil kecil yang paling kusayangi di dunia ini membuat tubuhku lemas seketika hingga kami berdua larut dalam tangisan kami masing – masing. Setelah emosiku mereda putri mengantarku untuk pergi ke makam ayah. Pergi ke makam orang yang paling berjasa di hidupku. Tangisanku pecah dengan sangat keras saat aku memeluk tanah gundukan dengan tulisan Bala Puntadewa di salah satu nisannya. Sebuah tangisan yang tak mungkin bisa diredam oleh siapapun. Sebuah tangis penyesalan karena beberapa bulan yang lalu sebelum menikah aku sempat pulang untuk meminta restu kepada bapakku. Aku menjelaskan jika aku akan menikah dengan wanita yang kutemui di perantauan. Walaupun awalnya ayahku tidak memberi restu tapi akhirnya dengan semua penjelasanku akhirnya beliau mau memberikan restu itu. Tapi beliau tidak mau untuk hadir di pernikahanku tanpa memberi tahu alasanya dan saat itu dengan emosi yang menjulang aku meninggalkanya. Dan sekarang aku tau alasanya. Beliau sedang sakit saat itu. Karena semua kebodohan emosiku saat itu aku tidak menyadarinya.Terlambat. Terlambat. Dan terlambat. Sebuah penyesalan yang tak akan pernah berakhir. Tangan yang dahulu menggendongku. Kaki yang dulu mengantarku kemanapun aku meminta dalam tangisan. Senyum yang dulu selalu membuatku berhenti menangis. Telapak tangan kasar yang selalu memberikan hal yang aku inginkan dahulu. Tapi bahkan aku tidak ikut mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan terakhirnya. Betapa berdosa dan hinanya aku ini.
“AAAYYYYAAAAAAAAAHHHH” Teriakku dengan keras dan sekeras kerasnya.
Tapi kenapa tak ada yang memberikan kabar kepadaku?? Sempat aku menoleh ke arah putri untuk marah. Tapi melihat wajah putih bersih yang sedang menangis di pelukanku itu selalu dan sangat sanggup untuk meredam semua emosiku.
“Le.. impian ayah ini Cuma biar kamu dan adekmu itu bisa hidup dengan lebih baik dari ayah.. perjuangan ayah hanya sebatas ini dan ga bisa memberi lebih pada kalian berdua.. sekolah yang tinggi le biar kamu ga jadi pesuruh seperti ayah ini.. pesen ayah.. tolong jangan memperebutkan rumah reyot ini sama adekmu.. ayah tau kamu pasti bisa jadi orang yang punya nama nantinya” Begitulah kata – kata beliau pada saat aku duduk di kelas dua SMA dan sedang menemani beliau memasang batu bata.
Ya. Kejadian itu berlangsung saat satu tahun sebelum aku Lulus sekolah SMA dan membangkang dari ucapanya agar aku tidak perlu merantau dan ayahku akan berjuang sekuat tenaga agar aku bisa mengenyam bangku perkuliahan. Tapi jiwa mudaku begitu berkobar saat itu. Dengan penuh keyakinan membara aku melangkah meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat berlindungku untuk mengadu nasib ke ibukota. Dengan menjual radio pemberian beliau di pasar gembong aku akhirnya mendapatkan uang Rp. 98.000.- dan menjadi modalku untuk berangkat mengadu nasib Ke ibukota. Kereta api Gaya Baru Malam Selatan menjadi saksi saat ia mengantarkan dan menurunkanku di stasiun Jatinegara. Salah satu hal yang membuatku termenung dan menangis saat mengingat beliau adalah saat dia menceritakan perihal kenakalanku dahulu. Tentang bagaimana aku menangin dengan sejadi – jadinya karena semua teman sebayaku sedang berangkat ke sekolah dan aku sendiri baru berumur empat tahun dan itu belum memenuhi kriteria usia untuk memasuki sekolah dasar. Dengan penuh perjuangan hingga sandal jepit yang beliau kenakan pada saat itu terputus dikarenakan berkeliling dengan menggendongku mencari sekolah dasar yang bersedia menerimaku sebagai muridnya. Ya. Pada saat itu keluarga kami hanya memiliki sebuah sepeda kebo butut sebagai kendaraan yang dengan pertimbangan demi keselamatanku akhirnya beliau memilih untuk berjalan kaki.
“Tolonglah pak.. supaya anak saya ini bisa diterima di sekolah ini..” ujar ayahku pada seorang kepala sekolah sebuah sekolah dasar yang kami hampiri di sang itu dengan nada yang cukup memelas.
“Wah saya yang sangat berterima kasih kalo bapak bersedia menyekolahkan anak bapak disini” jawab si bapak kepala sekolah itu dengan senyum yang tersungging lebar di wajahnya.
Dan alasan kenapa bapak kepala sekolah saat itu langsung menerima dengan senyum yang lebar aku ketahui setelah aku menginjak bangku SMA saat ayahku menceritakanya padaku. Beliau berkata jika aku adalah murid pelengkap. Bisa dibilang pelengkap karena jika pada tahun itu penerimaan siswa baru tidak mencapai dua puluh lima anak maka sekolah akan digabungkan dengan sekolah yang ada disebelahnya. Dan ya. Akulah anak ke dua puluh lima itu. Sedikit merasa bangga memang karena aku merasa menyelamatkan sekolah dasar itu hingga bisa berdiri sampai saat ini.
“Kenapa ga mau pake sepatu?? Ini udah dibelikan ayah sepatu baru.. bisa nyala tuuuh” ujar ibuku yang sedang memaksaku untuk memakai sepatu.
Tapi itulah kelakuanku. Walaupun dimataku saat itu lampu yang ada disisi belakang sepatu itu terlihat keren tapi aku sama sekali tak mau memakai bahkan menyentuhnya. Aku tetap bersikeras dengan tangisanku yang kencang dan semakin kencang hingga ayahku akhirnya mengalah dan menggendongku dan membawaku ke hari pertama sekolahku. Saat itu ayahku mengantarku hingga ke dalam kelas dan beliaulah yang memilihkan tempat duduk untukku. Beliau tanpa lelah mencoba menenangkanku dari tangis higga keramaian kelas membuat perhatianku teralih dan akupu n berhenti menangis. Teralihkan oleh suasana ramainya kelas bukan semerta – merta menyelesaikan masalah yang dihadapi ayahku pada waktu itu. Kini timbul masalah baru. Saat aku memperhatikan semua kaki teman sekelas aku pun semakin menangis menjadi – jadi karena hanya aku sendiri yang tidak memakai sepatu dan pada saat itu ayahku tidak membawa sepatu yang telah beliau beli dan meninggalkanya dirumah. Pengorbanan yang selalu berhasil membuatku menangis. Beliau kembali menggendongku untuk pulang dan memakaikanku sepatu. Mengantarku kembali hingga ke dalam kelas tentu saja. Dan jarak yang beliau tempuh saat itu tidak kurang dari satu kilometer jauhnya dalam satu kali perjalanan menggendongku. Semua kenangan itu begitu membuatku tersulut emosi saat aku Mudik lebaran di tahun di tahun itu. Tahun yang terasa sangat kelam untukku. Tahun 2013. Aku pulang dengan penuh kebanggan karena membawa seorang menantu untuk ayahku sanggup membeli dua tiket kereta kelas eksekutif (Argo Bromo Anggrek) yang mengantarku selama sembilan jam perjalanan. Jauh lebih cepat dari kereta yang kutumpangi saat pertama kali ke Jakarta dahulu yang menempuh perjalanan selama sembilan belas jam. Saat aku mengucap salam di tempat yang selama ini kupanggil rumah aku sama sekali tidak melihat ayahku hingga tak lama kemudian seorang wanita keluar. Dia adalah istri kedua dari ayahku. Sejak ibuku wafat saat aku hendak masuk ke jenjang SMP satu tahun berselang ayahku menikahi wanita ini. Dia keluar denga tatapan nanar melihat ke arahku.
“Ngapain kamu datang?? Ga ada yang bisa kamu bawa dari sini.. aku istrinya dan aku berhak atas semua ini” ujar wanita itu sebelum aku sempat berbicara satu patah katapun.
“Bu.. aku pulang.. ni bulan puasa kok marah – marah?? Bapak mana??” ujarku selembut mungkin walaupun tanda tanya besar sedang menindih kepalaku saat itu.
“Bapakmu udah mati.. mending sekarang kamu pergi” bentaknya sambil membanting pintu.
DEG
“mati??” ujarku terkejut.
Seketika itu pula emosiku langsung memuncak dan menendang pintu yang sudah dikunci dari dalam oleh wanita itu. Dengan semua yang telah kupelajari dari pak aksa maka terlepaslah daun pintu yang kutendang itu dari engselnya hingga menimpa wanita itu yang tanpa kuketahui ternyata sedang menahan pintu dari dalam. Dengan emosi yang memuncak aku berteriak sekencang – kencangnya untuk mencari ayahku. Segala yang ada di depanku tak luput dari sasaran emosiku hingga semuanya berserakan. Kursi yang melayang hingga piring terbang dan entah apalagi yang aku lakukan saat itu dengan tangisan keras sambil memanggil ayahku hingga Adikku Putri memelukku dengan erat dari belakang.
“MAAAASSSS.. UWEESS MASSS.. UWESSSS” ujar putri dengan tangisan yang tak kalah keras sambil memelukku.
Mendengar tangisan seorang gadil kecil yang paling kusayangi di dunia ini membuat tubuhku lemas seketika hingga kami berdua larut dalam tangisan kami masing – masing. Setelah emosiku mereda putri mengantarku untuk pergi ke makam ayah. Pergi ke makam orang yang paling berjasa di hidupku. Tangisanku pecah dengan sangat keras saat aku memeluk tanah gundukan dengan tulisan Bala Puntadewa di salah satu nisannya. Sebuah tangisan yang tak mungkin bisa diredam oleh siapapun. Sebuah tangis penyesalan karena beberapa bulan yang lalu sebelum menikah aku sempat pulang untuk meminta restu kepada bapakku. Aku menjelaskan jika aku akan menikah dengan wanita yang kutemui di perantauan. Walaupun awalnya ayahku tidak memberi restu tapi akhirnya dengan semua penjelasanku akhirnya beliau mau memberikan restu itu. Tapi beliau tidak mau untuk hadir di pernikahanku tanpa memberi tahu alasanya dan saat itu dengan emosi yang menjulang aku meninggalkanya. Dan sekarang aku tau alasanya. Beliau sedang sakit saat itu. Karena semua kebodohan emosiku saat itu aku tidak menyadarinya.Terlambat. Terlambat. Dan terlambat. Sebuah penyesalan yang tak akan pernah berakhir. Tangan yang dahulu menggendongku. Kaki yang dulu mengantarku kemanapun aku meminta dalam tangisan. Senyum yang dulu selalu membuatku berhenti menangis. Telapak tangan kasar yang selalu memberikan hal yang aku inginkan dahulu. Tapi bahkan aku tidak ikut mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan terakhirnya. Betapa berdosa dan hinanya aku ini.
“AAAYYYYAAAAAAAAAHHHH” Teriakku dengan keras dan sekeras kerasnya.
Tapi kenapa tak ada yang memberikan kabar kepadaku?? Sempat aku menoleh ke arah putri untuk marah. Tapi melihat wajah putih bersih yang sedang menangis di pelukanku itu selalu dan sangat sanggup untuk meredam semua emosiku.
* * * * * * * * * * * * *
Tangan Kasarmu itu telah membesarkanku.
Langkah gontaimu itu telah memberikan sesuap nasi untuk keluarga kecilmu.
Tangisanku adalah semangatmu.
Tawaku adalah ketenanganmu.
Perjuanganmu adalah awal dari setiap detak jantungku.
Semua yang engkau ajarkan padaku tentang kehidupan adalah buku terindah dengan tinta emas yang akan terus kuwariskan kepada anak cucuku nantinya.
Walaupun mereka diluar sana meributkan tentang Tiga perkara setelah kematian tapi Doa anakmu ini tak akan pernah terputus untukmu. Karena Aku. Ganindra Basudewa. Anakkmu ini akan terus meyakini jika doa tidak pernah mengenal pertalian darah.
Tangan Kasarmu itu telah membesarkanku.
Langkah gontaimu itu telah memberikan sesuap nasi untuk keluarga kecilmu.
Tangisanku adalah semangatmu.
Tawaku adalah ketenanganmu.
Perjuanganmu adalah awal dari setiap detak jantungku.
Semua yang engkau ajarkan padaku tentang kehidupan adalah buku terindah dengan tinta emas yang akan terus kuwariskan kepada anak cucuku nantinya.
Walaupun mereka diluar sana meributkan tentang Tiga perkara setelah kematian tapi Doa anakmu ini tak akan pernah terputus untukmu. Karena Aku. Ganindra Basudewa. Anakkmu ini akan terus meyakini jika doa tidak pernah mengenal pertalian darah.
dodolgarut134 dan 26 lainnya memberi reputasi
27