Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

casanova.manAvatar border
TS
casanova.man
Love is You

Thanks a lot Mas Agha untuk Cover nya



PROLOGUE


Quote:


***

Gue adalah seorang lelaki, anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adik gue adalah seorang perempuan.

Kehidupan gue biasa saja, dan gue patut bersyukur akan hal itu. Papah adalah lelaki yang bekerja sebagai seorang pilot di sebuah maskapai penerbangan asing, dan Mamah adalah seorang wanita karir yang bekerja di salah satu perusahaan BUMN.

Tapi, kedua orangtua gue bercerai pada saat gue menginjak masa putih-abu, sejak perceraian mereka, gue dan kedua saudara gue ikut Papah dan tinggal bersama Mamah baru kami. Kejadian tersebut tidak begitu mempengaruhi kehidupan pribadi gue secara psikologis.

Dan cerita ini akan bermula ketika gue baru saja menjalani semester awal perkuliahan di salah satu kota yang berada di pulau jawa. Semoga cerita ini bisa menunjukkan bahwa cinta itu tidak sepahit serbuk kopi hitam di pagi hari.

Dan nama gue adalah Gimma...


Quote:



Quote:
Diubah oleh casanova.man 23-12-2017 14:50
anasabila
bukhorigan
bukhorigan dan anasabila memberi reputasi
4
19.5K
91
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
casanova.manAvatar border
TS
casanova.man
#48
Dua
Malam itu ga terbayang dibenak gue kalau akhirnya di hari pertama gue ngekos, harus mendengar curhat dari seorang cewe yang bernama Intan, tetangga kamar sebelah gue. Sebenarnya apa yang Intan ceritakan adalah urusan pribadinya, gue hanya perlu menjadi pendengar yang baik.

Intan masih menangis sesaat setelah gue berjongkok dihadapannya. Tidak berapa lama akhirnya dia menceritakan apa yang sudah terjadi sampai membuatnya bersedih di malam itu.

Gue mendengarkan sambil duduk disebelahnya. Walaupun awalnya gue sama seperti kalian saat itu, menebak bahwa persoalan yang dialaminya tidak jauh dari sebuah hubungan dengan seorang cowo atau pacarnya, tapi kenyataannya bukan seperti itu.

Intan menceritakan kalau dia bertemu dengan Ibunya, ya orangtuanya. Awalnya gue tidak berfikir kalau ternyata dia dan Ibunya memiliki hubungan yang kurang baik, ya semacam perselisihan antara orangtua dan anak. Intan sudah tidak pernah pulang ke rumahnya sejak dua minggu belakangan, yang menyebabkan itu semua adalah pertengkaran antara dia dan Ibunya tersebut. Gue tidak bisa menjelaskan ke kalian masalah apa yang saat itu sedang Intan hadapi, tapi gue berharap kalian mengerti tanpa perlu gue jelaskan.

Sampai akhirnya si Ibu datang dan memarahi anak cewenya itu habis-habisan, gue tidak mendengar ada pertengkaran sebelumnya, yang ternyata memang Intan dimarahi bukan di kosan, melainkan di sebuah tempat makan. Dan puncaknya dia harus menahan sakit juga malu di hadapan banyak orang karena Ibunya menampar Intan di tempat umum.

Gue masih terdiam ketika Intan selesai bercerita. Suara tangisnya sudah mulai reda, hanya sesekali gue mendengar suara nafasnya yang sesegukan.

"Ehm Tan, gue ikut prihatin ya", gue melirik ke kanan untuk melihat wajahnya yang masih tertunduk.

Dia masih diam, beberapa helaian rambutnya menutupi wajah, sehingga gue tidak bisa melihat raut mukanya itu.

"Jujur aja, gue ga tau harus nanggepin gimana, mungkin apa yang Ibu lo lakuin itu cuma pelampiasan sesaat aja, ya kayak emosi sesaat gitu", lanjut gue.

"Engga gitu juga harusnya Gim". Inta mendongakan kepalanya.

Sekarang gue bisa melihat wajahnya yang letih ditambah matanya yang sudah sembab karena menangis terus menerus.

"Iya sih, Ibu lo udah berlebihan, tapi...", gue membuang muka ke depan, melihat langit gelap tanpa bintang diatas sana.
"Tapi gue yakin, gimanapun dia tetep sayang lo Tan".

Engga banyak yang bisa gue lakukan selain mencoba menjadi pendengar yang baik untuknya, gue sendiri ga mau sampai salah menilai Intan atau bahkan Ibunya itu. Persoalan pribadinya sedikit rumit, dan gue sadar, kalau gue hanya sebatas orang baru di lingkungan ini, gue ga bisa sembarangan memberikan dia masukkan.

"Ya udah, lo mending istirahat ya Tan, udah tengah malem gini, besok lo ada kuliah juga kan ?".

Intan melirik menatap gue dan sedikit gue bisa melihat dia tersenyum.

"Sorry ya Gim, jadi bikin lo dengerin curhat gue malem-malem gini, padahal gue tau lo besok harus ospek pagi-pagi".

"Ah engga apa-apa kok, maaf juga tapi ya Tan, gue ga bisa kasih masukkan apa-apa ke lo, hehehe...".

"Engga apa-apa Gim, makasih udah mau dengerin cerita gue, ya udah gue masuk dulu ya, istirahat juga Gim". Intan bangun dari duduknya.

Gue pun bangun.

"Sama-sama Tan, semoga esok pagi lebih cerah buat hati lo, dan selamat malam Tan", ucap gue sebelum kembali ke kamar.

Gue baru saja membuka kembali pintu kamar untuk masuk ketika Intan kembali memanggil gue.

"Gim".

Gue kembali mundur satu langkah sambil melirik kearah kamarnya.

Intan berdiri, menyamping kearah gue sambil tersenyum dengan memeluk kusen pintu kamarnya.

"Selamat malam juga", ucapnya sebelum kami benar-benar masuk ke kamar masing-masing dan beristirahat malam itu.

Keesokan paginya gue bangun ketika jam waker dan suara adzan subuh berkumandang. Dengan masih merasa kantuk yang berat, gue paksakan untuk bangun.

Gue masih terduduk di sisi kasur, mengumpulkan sisa kesadaran yang masih melayang-layang diatas kepala gue seperti woody woodpeckerketika kepalanya dikelilingi bintang-bintang.

Setelah itu barulah gue bergegas untuk mandi lalu melaksanakan ibadah subuh sebagiamana kewajiban seorang muslim.

Sekitar pukul enam pagi gue keluar kamar dan mencari sarapan untuk mengisi tenaga, yang gue yakin hari ini bakalan menjadi hari pertama gue di kampus untuk dikerjai oleh panitia ospek. Saat gue melewati kamar tetangga gue, lampu di dalam kamarnya sudah menyala yang bisa terlihat dari ventilasi, dan ada suara tivi dari dalam sana. Ah, Intan udah bangun juga rupanya.

Gue sarapan dulu di dekat kampus, oh ya jarak kosan gue ke kampus bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki, sekitar sepuluh menit mungkin, tidak terlalu jauh menurut gue.

Saat itu gue sedang makan bubur bersama calon maba lainnya. Gue tau mereka adalah maba seperti gue karena pakaian yang mereka kenakan sama dengan gue, kemeja putih, celana hitam dan tidak lupa atribut konyol yang sudah di perintahkan sebelumnya oleh panitia ospek untuk kami. Gue sendiri belom memakai atribut konyol itu, ngapain juga gue pakai dari kosan kalau nyatanya itu atribut hanya akan diperiksa ketika nanti kami sudah memasuki kampus.

Selesai sarapan, gue bersama maba lainnya masuk kedalam kampus di sebrang sana, gue mencari lapangan di gedung D, dimana tempat ospek fakultas gue akan dilaksanakan.

Tidak banyak cerita yang bisa gue tulis selama ospek hari pertama berlangsung, sama halnya dengan kampus lain gue rasa. Hanya pembagian kelompok, membuat yel-yel dan tidak lupa beberapa tugas konyol yang gue yakin tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelajaran akademik apapun.

Selesai ospek, gue tidak langsung pulang walaupun hari sudah mulai sore. Gue masih duduk di dekat lapangan bersama teman-teman kelompok gue karena memang ada beberapa tugas untuk kami diskusikan.

Sore itu, gue bersama Ari, Diaz, Dinda, Stevi dan Mela berdiskusi soal tugas kelompok yang diberikan panitia ospek untuk kelompok kami. Mereka yang gue sebut adalah teman-teman baru gue di kampus ini.

"Eh gue laper, makan dulu kek", ucap Diaz tiba-tiba saat kami masih asyik berdiskusi.

Oh ya, saat itu ketua kelompok kami adalah Ari.

Sedikit tentang teman-teman baru gue itu.

Diaz berasal dari luar pulau jawa, dia anak perantauan dari Sumatera, perawakannya cukup tinggi dan berbadan besar, rambutnya dipotong cepak seperti tentara, anaknya asyik dan terkadang gaya bahasanya lucu, mungkin karena dia berasal dari daerah. Kemudian ada Ari yang datang dari kota penghasil apel, Malang. Ari ini orangnya sangat sopan, berbeda dengan kami, tutur katanya masih sangat baik, terlihat kalau dia sedang ngobrol, bahasanya masih memakai aku-kamu walaupun sebenarnya gue agak geli ketika mendengarnya dari seorang cowo. Lalu ada Dinda dan Mela yang berasal dari kota yang sama, mereka berdua dari Ibu kota. Mela kadang suka heboh sendiri, tipe cewe yang rame dan pembangkit suasana, dia memakai kacamata dengan potongan rambut seleher dan poni yang membuatnya terlihat manis, oh iya potongan rambut Mela sama seperti model potongan rambut polwan.

Kemudian ada Dinda, menurut gue pribadi, dan kelak semua teman-teman seangakatan kami juga mengakui kalau cewe satu itu adalah cewe tercantik di fakultas kami ini. Rambutnya dikuncir kuda, yang jika di gerai panjangnya sampai sepunggung, kulitnya kuning langsat, khas seperti pribumi dari ranah sunda, walaupun dia lahir di Jakarta. Ada tahi lalat di ujung dekat alis kanannya, yang gue rasa malah membuat penampilannya menjadi lebih menawan.

Yang terakhir ada Stevi, seorang cewe dengan penampilan biasa saja tapi ada yang berbeda menurut gue. Stevi ini adalah cewe yang paling baik di kelas kami, setidaknya itu yang akan gue lihat kedepannya. Dia memiliki paras yang manis, tidak secantik Dinda tapi tidak membosankan untuk dipandang, sama seperti Mela. Gue rasa mungkin itu inner beauty yang terpancar dari sosok Stevi. Ah ya, penampilannya memang sederhana, dengan potongan rambut lurus sebahu, mata yang sedikit sipit karena memang dia keturunan chinese dan berkulit paling putih di kelas kami.

"Yang lain gimana ? Mau makan dulu dan istirahat ?", tanya Ari kepada kami.

"Ya udah deh hayu, gue juga belom shalat ashar tadi", jawab Mela sambil mulai bangun dari duduknya, lalu diikuti kami semua.

Kemudian gue dan yang lainnya menunggu di dekat gerbang kampus, sedangkan Dinda menemani Mela yang masih beribadah di masjid kampus. Selang beberapa menit, dua cewe itupun menghampiri kami.

"Mau pada makan dimana ?", tanya Mela yang baru saja datang bersama Dinda.

"Yang deket-deket aja, tuh ada banyak pilihan", ucap Diaz sambil menunjuk pedagang makanan di sebrang kampus.

"Gue mau makan soto aja kayaknya, kalian mau apa ?", tanya gue yang sudah menjatuhkan pilihan terlebih dulu untuk menyantap makanan berkuah santan.

"Ya udah deh, samain aja, yuk..", ajak Dinda yang diamini juga oleh yang lainnya.

Untung saja saat itu masih ada meja panjang yang masih kosong, jadi kami tidak harus makan secara terpisah berenam.

Sambil menyantap makanan masing-masing, kami kembali berdiskusi dan mengerjakan tugas kelompok pada dua lembar kertas folio, saat itu yang menulis Stevi. Sampai akhirnya selesai makan dan bersamaan dengan selesainya juga tugas tersebut.

"Ini tugas yang bawa Ari aja ya, kan Ari ketua kelompoknya", ucap Stevi sambil menyerahkan kertas folio itu kepada Ari.

"Oke, besok jangan pada telat ya datangnya, eh aku duluan ya, ada Ibu ku di kosan soalnya", ucap Ari kepada kami.

Kemudian Ari bangun dan memanggil tukang soto untuk membayar makanannya, tapi ada rejeki hari itu untuk kami. Stevi membayar semua makanan yang kami pesan sore itu, dan tentu saja kami tidak menolak kebaikannya. Berkah di hari pertama ospek menurut gue.

Saat Ari, Diaz dan Mela sudah duluan pulang, gue masih berdiri di dekat kampus bersama Stevi dan Dinda. Gue yang sedang merokok dan memainkan handphone, di colek bahu gue oleh Dinda yang berdiri di samping kanan.

Gue melirik kepadanya sambil memberikan raut muka bertanya tanpa suara.

"Tuh, liat siapa yang jemput Stevi", jawab Dinda sambil menunjuk seseorang yang turun dari mobil bmw dengan dagunya.

Seorang cowo turun dari mobil dan mendekati kami, sepertinya cowo yang sudah bekerja karena terlihat dari pakaiannya yang rapih.

"Udah selesai Vi ? Mau pulang sekarang ?", tanya cowo tersebut ketika sudah berada dihadapan Stevi.

"Udah Koh, oh iya kenalin dulu, ini temen-temen baru aku", jawab Stevi sambil menengok kepada gue dan Dinda.

"Hai, saya Mikel, kakaknya Stevi", ucap cowo itu yang ternyata adalah kakaknya Stevi.

Gue dan Dinda pun berkenalan dengan Mikel. Gue tersenyum ketika Mikel berkenalan dengan Dinda, jelas terlihat kalau Mikel terpesona dengan kecantikan teman baru gue itu, sampai-sampai jabatan tangannya belum juga dilepas.

"Eh udah megang tangannya Koh, aku laporin Ci Meymey loch".

Ucapan adiknya itu langsung membuat kakaknya salah tingkah. Mikel tersenyum malu, sedangkan Dinda hanya menggelengkan kepalanya sambil cekikin pelan.

"Din, Gim, Stevi duluan ya, sampai ketemu besok", ucap Stevi sebelum benar-benar pulang bersama kakaknya.

"Oh iya, hati-hati di jalan ya Stevi, makasih tadi traktirannya", jawab Dinda.

"Iya makasih juga Vi, jangan sungkan buat neraktir lagi ya nanti, hehehe", timpal gue bercanda.

Stevi tertawa pelan sambil berlalu.

"Yaaa.. Udah punya cewe ternyata kokohnya Stevi, ada yang patah hati nih", ucap gue setelah mobil bmw itu beranjak pergi.

"Ih apaan deh Gim, maksudnya lo gitu yang patah hati ?", ledek Dinda sambil menengok kepada gue.

"Hahaha, ya kali gue demen sama kakaknya. Kan tadi jelas tuh dari bahasa tubuhnya siapa yang suka, hehehe", jawab gue.

"So tau deh, siapa juga yang suka sama kakaknya Stevi, udah ah pulang yu Gim", ajak Dinda sambil mulai berjalan.

"Eh sebentar, emang kosan lo sebelah mana ?", tanya gue sambil mulai mengikutinya berjalan.

"Deket sama kosan lo kok", jawabnya.

Memang sebelumnya, saat kami masih makan tadi, sempat saling menanyakan tempat tinggal masing-masing. Yang gue tau, Ari dan Diaz ternyata satu kosan, dan daerahnya berbeda dengan kosan gue. Mela pun sama, kos dengan jarak yang agak jauh dengan kami. Sedangkan Stevi ikut tinggal bersama kakaknya yang memang bekerja di kota ini dan mengontrak sebuah rumah.

Nah kosan Dinda ternyata satu daerah dengan gue, walaupun gue belum tau dimana tepatnya.

Kami berdua masih berjalan ketika adzan maghrib sudah mulai berkumandang. Ketika itu gue sudah hampir sampai di kosan.

"Nah itu kosan gue Din, kalo kosan lo masih jauh dari sini ?", tanya gue setelah melihat tempat gue ngekos, yang tinggal beberapa meter di depan dari tempat kami berjalan.

Dinda hanya mengangguk sambil tersenyum tanpa menengok kepada gue.

"Kenapa lo ? Malah senyum-senyum", tanya gue yang sedikit heran.

Dia hanya menggelengkan kepalanya kali ini, sampai akhirnya kami berdua sudah sampai di depan kosan gue.

"Mau mampir dulu Din ?", tanya gue menawarkan.

"Kamar lo yang mana Gim ?", dia malah balik bertanya sambil menyapukan pandangannya ke kosan di depan kami ini.

"Tuh yang diatas paling ujung", gue tunjuk kamar gue yang memang terlihat jelas dari depan gerbang ini.

"Oh yang diatas itu, kalo gue yang itu, Gim", jawab Dinda sambil tersenyum lebar.

Gue ikut melirikan mata ketika satu tangannya terangkat dan jari telunjuknya menunjuk sebuah jendela kamar lantai tiga yang berada di sebrang kami.

"Hah ? Lo ngekos disitu ?", tanya gue sedikit terkejut.

"Hahaha, iya", Dinda tertawa melihat gue yang sedikit kaget.

Ternyata cewe tercantik itu ngekos di sebrang kosan gue, dan kamarnya berada di lantai tiga. Kosan di sebrang itu memang terlihat lebih mewah dari tempat kos gue, bentuknya pun berbeda, yang nampak dari depan seperti bangunan kantoran, tidak seperti kosan, dan kosan Dinda itu sampai memiliki empat lantai dengan halaman parkir kendaraan yang luas.

"Yaudah deh, gue ke kamar dulu ya, mau mandi, lengket rasanya nih seharian di kampus", ucap Dinda sebelum menyebrang jalan untuk menuju kosannya.

"Sip...".

Gue pun masuk kedalam kosan, berjalan melewati kamar lantai bawah yang saat itu sedang ada beberapa anak kosan yang nongkrong di depan kamarnya masing-masing, untuk sekedar menyapa gue pun permisi ke mereka sambil tersenyum.

Hari ini sebenarnya ga terlalu cape buat gue, tapi rasa lengket di badan karena keringat yang sudah mengering membuat gue ingin buru-buru mandi.

Gue membuka pintu kamar tepat saat kamar disebelah gue ikut terbuka dari dalam.

"Hei, udah balik lo ?", sapa Intan yang sebagian tubuhnya masih tertutup pintu kamar karena dia buka sedikit.

"Eh, iya Tan.. Lo juga udah balik dari kampus nih ?" tanya gue balik.

"Dari sore gue sih, cuma sedikit mata kuliahnya hari ini, eh gimana tadi ospeknya ?", kali ini dia buka lebar pintu kamarnya.

Malam itu dia mengenakan kaos bergambar band Rolling Stone, dengan lidah melet yang khas sebagai logo band tersebut tercetak di kaos berwarna dasar putih. Celana yang ia kenakan yang membuat gue sedikit salah tingkah, Intan mengenakan hotpants yang hanya menutupi sedikit paha mulusnya.

"Ng.. Engga gimana-gimana sih, gitu aja Tan", jawab gue sekenannya karena kurang fokus.

"Dikerjain ga sama senior ?".

Gue cuma menggelengkan kepala.

"Yaudah sana mandi dulu, abis itu buruan keluar lagi ya", pintanya.

"Eh ? Mau ngapain emangnya ?".

"Udah ga usah banyak tanya, pokoknya cepetan mandi terus keluar lagi, gue tunggu", perintahnya kali ini sambil mulai menutup pintu kamarnya.

Gue mendengus sebelum masuk ke kamar dan bergegas mandi.

Agak lama gue rasa setelah mandi dan berganti baju, gue keluar kamar dan cukup kaget melihat dua cewe yang sedang mengobrol di depan kamar Intan.

"Dinda ?", tanya gue ketika teman kampus gue itu sedang asyik mengobrol dengan Intan.

"Hei Gim", sapanya sambil tersenyum.

"Ini temen lo mau ngajak beli alat ospek bareng katanya", timpal Intan.

"Iya Gim, buat besok yang tadi disuruh panitia tadi. Lo belom beli juga kan ?", tanya Dinda.

Gue berjalan mendekati mereka.

"Oiya ya, gue lupa, untung lo datang, yaudah hayu, eh.. Sebentar ya Din", gue menengok kepada Intan kali ini.
"Tadi ada apa Tan ? Lo nyuruh gue buru-buru mandi terus keluar kamar".

"Ah itu gampang, nanti aja, mending lo beli perlengkapan ospek dulu sama Dinda, daripada kena hukuman", jawab Intan.

Ya sudahlah, fikir gue. Akhirnya gue pun pergi berdua dengan Dinda.

Gue dan Dinda yang memang tidak memiliki kendaraan di kota yang baru bagi kami ini memilih untuk naik angkutan umum, memangnya ada lagi yang bisa kami gunakan selain transportasi umum gitu ?.

Sepanjang perjalanan ke toserba, toko serba ada. Kami berdua banyak mengobrol soal asal-usul kami, mmm... Sebenarnya gue sih yang lebih banyak cerita, karena Dinda yang ga berhenti bertanya.

"Oh lo aslinya dari Jakarta, terus tinggal di Cibubur sekarang ?", tanya Dinda saat kami masih berada di dalam angkot.

"Iya Din, gue ikut Papah sama Mamah baru gue, adek cewe gue juga sih", jawab gue.

"Adek lo cewe ? Sekolah smp apa sma Gim ?", tanyanya lagi.

"Iya, masih smp kelas dua sekarang Din, ngomong-ngomong, lo sendiri gimana ?".

"Gimana apanya ?".

"Ya ceritanya gantian lah, lo di Jakarta gimana gitu, masa gue terus yang cerita", jawab gue pura-pura keki.

"Hahaha, ya ga gimana-gimana, gitu-gitu aja gue. Tinggal sama ortu, ada kakak gue juga yang masih kuliah, gue cuma dua bersaudara", jawab Dinda sambil tersenyum lebar.

Tidak lama kami pun sampai ditempat tujuan, setelah turun dari angkot, gue membayar ongkos untuk kami berdua.

Gue dan Dinda seperti anak smp yang baru mau masuk sma, menanyakan beberapa alat tulis dan hal lainnya kepada penjaga toko toserba. Sampai akhirnya semua barang yang kami butuhkan terbeli dan keluar toko, tentu saja setelah membayar di kasir.

"Din, tadi lo kenalan sama Intan ?", tanya gue saat kami sudah menyebrang jalan dan menunggu angkot.

"Iya, tadi pas gue ngetuk pintu kamar lo, Kak Intan keluar kamarnya, terus ngobrol dan kenalan deh, dia itu ternyata kakak tingkat kita ya Gim", jawab Dinda.

"Oh gitu, iya dia senior di fakultas kita, gue juga baru kenal kemaren sih, kebetulan juga tetangga kamar kos", timpal gue.

"Orangnya baik, cantik, pasti lo suka ya sama dia ? Cieee...", tiba-tiba saja Dinda meledek gue sambil tertawa pelan.

"Hah ? Hahaha... Apaan sih Din, ya kali baru kenal langsung suka", jawab gue sambil keheranan.

"Ya kan bisa aja Gim, kan ada tuh yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama".

"Tapi gue ga gitu ke dia, lagian dia udah punya cowo", jawab gue sambil memperhatikan angkot yang berseliweran.

"Oh ya ? Lo tau darimana ?".

Gue menengok kepada Dinda sambil tersenyum lebar.

"Nebak aja, hehehehe...".

"Iiih so tau dasar, malah maen tebak-tebak aja".

"Ya kan lo bilang sendiri dia cantik, masa cewe secantik Intan belom punya cowo".

"Hmmm.. Berarti menurut lo gue juga udah punya cowo dong ?", tanyanya lagi tiba-tiba.

Sebelumnya saat kami masih berkumpul di kampus tadi, gue dan teman-teman kelompok memang sedikit membahas soal siapa cewe-cewe bibit unggul, alias maba-maba cantik di fakultas kami, lalu kesebutlah nama Dinda sebagai salah satu yang tercantik, dan sialnya, gue yang pertama kali bilang kalau Dinda paling cantik dihadapan mereka semua.

"Ya.. Ng... Ng... Ga tau juga sih Din, bisa jadi mungkin, gue ga tau lo udah punya cowo apa belom", jawab gue kikuk.

Dinda hanya tertawa mendengar jawaban gue, dan gue rasa dia sadar kalau gue sedikit malu dan salah tingkah.

Sekitar pukul delapan lewat, kami berdua akhirnya sampai di depan kosan.

"Jangan telat besok Din bangunnya", ucap gue sebelum masuk ke kosan.

"Hahaha, lo tuh yang kayaknya kebluk kalo tidur deh".

"Enak aja, yaudah gue masuk dulu ya Din, sampe ketemu besok".

"Iya sama-sama".

Gue masuk tanpa menengok lagi kepada teman kampus gue itu, baru berjalan beberapa langkah di halaman kosan. Dinda kembali memanggil gue.

"Gimma", panggilnya sedikit berteriak.

Gue menengok lagi, ternyata dia masih berdiri di depan pagar kosan.

"Gue.. Belom.. Punya... Pacar..", ucapnya sedikit pelan.
0