Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

casanova.manAvatar border
TS
casanova.man
Love is You
Love is You
Thanks a lot Mas Agha untuk Cover nya



PROLOGUE


Quote:


***

Gue adalah seorang lelaki, anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adik gue adalah seorang perempuan.

Kehidupan gue biasa saja, dan gue patut bersyukur akan hal itu. Papah adalah lelaki yang bekerja sebagai seorang pilot di sebuah maskapai penerbangan asing, dan Mamah adalah seorang wanita karir yang bekerja di salah satu perusahaan BUMN.

Tapi, kedua orangtua gue bercerai pada saat gue menginjak masa putih-abu, sejak perceraian mereka, gue dan kedua saudara gue ikut Papah dan tinggal bersama Mamah baru kami. Kejadian tersebut tidak begitu mempengaruhi kehidupan pribadi gue secara psikologis.

Dan cerita ini akan bermula ketika gue baru saja menjalani semester awal perkuliahan di salah satu kota yang berada di pulau jawa. Semoga cerita ini bisa menunjukkan bahwa cinta itu tidak sepahit serbuk kopi hitam di pagi hari.

Dan nama gue adalah Gimma...


Quote:



Quote:
Diubah oleh casanova.man 23-12-2017 14:50
anasabila
bukhorigan
bukhorigan dan anasabila memberi reputasi
4
19.5K
91
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
casanova.manAvatar border
TS
casanova.man
#12
Satu
Suara-suara dari bunyi kendaraan di jalan raya membuat gue terbangun dan mengumpulkan kesadaran beberapa detik. Gue lihat ke luar bus yang gue tumpangi, ternyata sebentar lagi perjalanan gue di kota baru ini akan sampai di terminal antar kota.

Gue turun bersama penumpang lain di dalam terminal. Memandang sekeliling tempat dimana cukup banyak orang-orang yang hilir mudik untuk transit dari tempat asal mereka ke tempat tujuan barunya, sama seperti gue.

Gue berjalan sambil memasang earphone untuk menuju luar terminal bus, sampai akhirnya gue naiki sebuah angkutan umum dalam kota, yang akan membawa gue ke sebuah tempat dimana pengalaman baru sudah menanti.

...If I could, then I would
I'll go wherever you will go
Way up high or down low, I'll go wherever you will go...


Suara alunan lagu wherever you will gonya The Calling menemani perjalanan gue hingga sampai di sebuah rumah berlantai dua di pinggir jalan. Gue turun dan membayar ongkos angkutan untuk kemudian bergegas memencet bel di samping pagar rumah tersebut.

Seorang pria yang gue taksir berumur sekitar empat puluh tahunan berjalan dari arah halaman rumah, lalu membuka pagar dan menyapa gue.

"Siang Mas, ada perlu apa ya ?", tanya pria tersebut sopan.

"Siang Pak, saya yang mau kost, satu minggu lalu orangtua dan kakak saya kesini, yang dari Cibubur", jawab gue sambil tersenyum.

"Dari Cibubur ? Oh ini Mas Gimma bukan ? Soalnya Ibu kost sempet kasih tau saya tadi pagi, kalo siang ini ada anak baru yang mau kost, namanya Gimma, oh kenalin nama saya Didin, biasa dipanggil Pak Didin sama anak-anak sini".

"Iya, saya Gimma", balas gue lalu menyambut jabat tangannya.

"Ayo mari masuk Mas Gimma, sini saya bantu bawa kopernya", Pak Didin mengajak gue untuk masuk setelah bersalaman, kemudian membawakan koper.

Gue berjalan dibelakangnya sambil memandang sekeliling. Bangunan kost-an ini berbentuk huruf U, dimana setiap sisi bangunan terdapat lima kamar kost di bagian bawah dan sama jumlahnya dengan lantai atas. Kemudian ada dapur yang cukup luas di ujung selatan bangunan pada masing-masing lantai.

"Pak, saya dapat lantai dua ya ?", tanya gue sambil terus mengikutinya berjalan.

Seperti yang sudah diberitahukan Papah sebelumnya, gue bakalan dapet kamar di lantai dua.

"Iya Mas, tadi pagi Ibu pemilik kost ini bilang, Mas Gimma nanti nempatin kamar nomor sepuluh, yang pojok itu", jawabnya sambil melirik keatas bangunan di sisi kanan kami.

Gue berhenti sebentar memandangi kamar nomor sepuluh dari bawah sini, letaknya tepat berada di ujung mengarah ke utara, ke depan jalan raya. Gue alihkan pandangan saat seseorang keluar dari kamar yang berada di sebelah kamar yang akan gue tempati, kemudian kembali berjalan menaiki tangga mengikuti Pak Didin.

"Siang Non Intan, mau kuliah ya ?".

Gue ikut berhenti dibelakang Pak Didin tepat satu tangga sebelum sampai di selasar lantai dua.

"Eh Pak Didin, iya nih Pak biasalah ada kuliah siang", jawab cewe yang sebelumnya gue lihat keluar dari kamarnya tadi itu.
"Eh ada penghuni baru ya Pak ?", tanyanya melirik kearah gue.

"Oh iya, ini namanya Mas Gimma, bakalan jadi tetangga Non Intan, nanti nempatin kamar disebelah, nomor sepuluh itu", jawab Pak Didin sambil memperkenalkan gue.

"Hai Mba, kenalin saya Gimma", sapa gue ramah sambil mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri.

"Hai Gim, gue Intan. By the way panggil Intan aja, ga usah pake Mba segala, umur kita kayaknya ga jauh deh", jawab Intan sambil tersenyum dan menyambut tangan gue.

Gue menganggukkan kepala, mengiyakan ucapannya.

"Ya udah, gue duluan ya Gim, mau ngampus dulu, daaah juga Pak Didiiin", lanjut Intan dengan sedikit berteriak kepada gue dan Pak Didin sambil menuruni tangga dan berlalu.

"Hati-hati Non, hehehe...", Pak Didin terkekeh melihat Intan yang sedikit terburu-buru menuruni tangga sambil melambaikan tangannya tanpa menoleh lagi kepada kami berdua.

Gue yang masih melihat Intan dari atas sini, dikejutkan oleh Pak Didin yang menepuk bahu gue pelan.

"Udah Mas Gimma, entar juga bisa ketemu lagi sama Non Intan", ucap Pak Didin sambil tersenyum jahil.

Gue pun kembali berjalan mengikutinya lagi sambil tersenyum malu dan menggaruk kepala bagian belakang yang sebenarnya tidak gatal.

Sampai di ujung balkon, Pak Didin langsung membuka kamar yang bernomor sepuluh. Kami berdua masuk ke dalam kamar, Pak Didin meletakkan koper gue di dekat meja belajar sederhana, kemudian dia menyerahkan kunci kamar kepada gue sebelum pergi dan mengingatkan gue sedikit aturan di kosan ini.

"Kalo ada perlu apa, sms atau telpon saya aja ya Mas, saya masih ada kerjaan di dapur", ucap Pak Didin sebelum pamit.

"Iya Pak, makasih banyak ya, saya juga mau langsung bongkar barang-barang nih".

Kamar kos ini cukup luas, standar isi perlengkapan yang disediakan pihak kost, ada kasur, meja belajar sederhana dan kursi kayu, lemari pakaian dan terakhir nilai lebihnya mungkin, kamar mandi di kosan ini berada di dalam kamar. Setiap penghuni memiliki kamar mandi masing-masing di dalam kamar mereka.

Hari ini adalah pertama kalinya gue hidup mandiri, jauh dari keluarga dan teman-teman. Di kota ini, gue sebenarnya memiliki saudara sepupu dari Mamah. Dia sudah masuk semester dua tahun ini, karena memang umurnya yang lebih tua satu tahun dari gue. Mungkin lain waktu gue ceritakan tentang sepupu gue itu.

Gue langsung mengeluarkan barang-barang yang gue bawa di dalam tas carrier dan juga koper, kemudian menata pakaian ke dalam lemari dan meletakan beberapa barang pribadi di meja belajar. Hampir satu jam kurang lebih, akhirnya selesai beres-beres, sekarang gue berniat untuk membilas tubuh karena rasanya badan gue sudah lengket.

Selesai membersihkan badan dan terasa lebih segar, perut gue yang sekarang minta diperhatiin. Gue langsung mengambil dompet di saku celana denim yang sebelumnya di gantungkan di belakang pintu kamar mandi, lalu keluar kamar.

Di sekitar lingkungan kos ternyata cukup banyak pedagang kaki lima yang berjualan. Tidak perlu jauh-jauh gue berjalan, akhirnya gue memilih untuk mengisi perut dengan makan nasi goreng yang tidak jauh dari tempat kos.

Saat itu sudah pukul tiga sore, selesai makan di tempat dan baru saja mau membayar makanan, seorang cewe menyapa gue dari belakang.

"Hallo Gim".

Gua menengok kebelakang.

"Eh, elo Tan, udah pulang lagi ?", ucap gue setelah melihat Intan yang berdiri di belakang bersama satu cewe lainnya.

"Iya Gim, cuma sebentar tadi. Lo abis makan ?", tanyanya.

"Iya, laper abisnya tadi dari dateng belom makan gue, lo mau makan juga ?", tanya gue sambil terkekeh.

"Hahaha, dasar. Iya nih, samaan laper abis ngampus. Oh kenalin dong, ini temen kampus gue", Intan melirik kepada cewe yang berada disampingnya.

Sesosok cewe yang manis menurut gue, dengan rambutnya yang sebahu dikuncir kuda dan tubuhnya yang sedikit lebih pendek dari Intan, tersenyum manis.

"Hai gue Gimma, tetangga kamarnya Intan", sapa gue.

"Hai gue Mayang, temen kampusnya Intan", balas cewe yang bernama Mayang itu.

"Oh ya Gim, ngobrol dulu lah sama gue disini, kita kan bakal sering ketemu nih", ajak Intan sebelum memesan makananya.

Akhirnya, gue dan kedua cewe itu pun duduk di bangku plastik. Gue duduk dihadapan Intan, sedangkan Mayang duduk bersebelahan dengan Intan. Sedikit sifat tentang sosok Intan, dia adalah cewe yang supel, periang, ramah dan mudah bergaul. Untuk fisiknya, gue rasa dia adalah sosok cewe yang cukup mempunyai banyak fans di kampus, engga heran karena memang selain memiliki wajah yang cantik dan tubuh proporsional, Intan juga selalu tersenyum kepada setiap orang.

Sambil menikmati makanan, Intan dan Mayang banyak bertanya tentang gue, dari mulai asal kota gue dimana, sekolah dimana, sampai akhirnya fakultas yang gue pilih disini.

"Oh lo bakal jadi junior kita dong, ya ga May ?", ucap Intan kepada Mayang.

"Iya Tan. By the way, lo mulai ospek besok kan ?", tanya Mayang kali ini.

"Iya, besok pagi gue udah mulai dikerjain nih sama senior-senior kampus, hahahaha..." jawab gue sambil tertawa memikirkan esok hari yang bakal melelahkan bersama Maba lainnya.

"Ah bawa santai aja, fakultas kita ospeknya ga ada yang sadis-sadis kok Gim", jawab Mayang.

"Iya Gim, palingan cuma disuruh mandi lumpur yang ada kebo nya", timpal Intan dengan wajah santainya.

Gue sedikit melongo, yang bener aja ospek suruh mandi lumpur dan ada kebonya...

Mayang yang menyadari gue bengong, tertawa pelan.

"Hihihi... Takut yaaa ?", ucap Mayang sambil menunjuk wajah gue.

"Hahaha, belom apa-apa kena lo kita kerjain..", tawa renyah dari tetangga kamar gue itu membuat gue semakin salah tingkah.

"Ah gue kira beneran...", sungut gue sedikit keki.

"Hehehe, Oh iya, lo disini ada sodara ga sih ?", tanya Intan sambil mengelap mulutnya dengan tissu.

"Ada, tapi agak jauh dari sini, dia juga kuliah, beda kampus juga sih", jawab gue sambil mengeluarkan sebungkus rokok.

"Ooh, ya berarti ga terlalu di asingkan ya", ucapnya lagi.

"Di asingkan ? Maksudnya ?", gue merengut.

"Ya lo kan lagi ngekos, yang namanya anak kos jauh dari orangtua dan temen-temen lama, secara ga langsung kayak di asingkan tuh... Seperti adik Gimma ini", jawab Intan sambil memasang wajah meledek gue.

Mayang yang melihat gue menahan emosi hanya bisa tertawa pelan.

Gue ga nyangka kalo ternyata cewe cantik yang baru pertama kali gue kenal hari ini mempunyai sifat yang ngeselin juga.

Seneng lo ya gue akuin cantik ?.

Malam harinya gue berada di kamar, selesai makan dan ngobrol bareng tadi sore bersama dua cewe yang baru gue kenal, sekarang gue sedang merapihkan barang-barang untuk keperluan ospek.

"Beres juga, tinggal istirahat nih", ucap gue setelah selesai beres-beres.

Gue lihat jam waker yang berada di meja belajar sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Walaupun belum terlalu larut, tapi gue lebih memilih untuk tidur dan beristirahat lebih awal, maksudnya sih biar besok lebih fresh.

Tapi sepertinya malam pertama gue ngekos disini engga bisa gue lewati dengan beristirahat dan tidur lebih cepat.

Selimut baru saja gue tarik dan lampu kamar sudah padam ketika gue mendengar suara yang cukup membuat waktu istirahat gue terganggu. Awalnya gue berusaha cuek dan tidak perduli, tapi lama kelamaan suara itu semakin jelas gue dengar.

Dengan rasa kantuk yang mulai hilang, akhirnya gue bangun dan berjalan pelan-pelan kearah pintu, gue sibakan sedikit gordin jendela untuk melihat siapa yang sedang menangis malam-malam begini.

Gue buka pintu kamar dan melongokkan kepala kearah kanan.

"Intan ?".

Cewe yang baru gue kenal tadi siang itu sedang terduduk di depan pintu kamarnya yang terbuka, wajahnya tidak bisa gue lihat karena terbenam diantara kedua lutut kakinya yang ia angkat sebatas dada, kedua tangannya melingkar menahan lututnya.

"Tan ?", panggil gue lagi sedikit keras.

Intan masih tidak menyahut, hanya suara tangisannya yang bisa gue dengar.

Gue memutuskan untuk keluar kamar dan menghampirinya.

"Tan, lo kenapa nangis ?", gue sudah berjongkok dihadapannya.

"Tan ? Ada apa ?", tanya gue lagi yang masih belum juga dijawabnya.

Untuk beberapa saat gue biarkan dirinya larut dalam kesedihan, menunggunya sampai mau bercerita.

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya kedua tangannya bergerak, melepaskan tahanan pada lututnya, da perlahan wajahnya pun terangkat.

Tapi gue masih belum bisa melihat jelas wajahnya, karena rambutnya yang panjang itu menutupi sebagian wajahnya. Sebenarnya gue cukup terkejut karena rambutnya sedikit berantakan. Gue rasa dia baru saja mengalami hal buruk.

Dan kenyataan yang gue lihat selanjutnya lebih dari apa yang gue bayangkan...

"Astagfirullah!", gue beristigfar secara spontan.

"Gim hiks hiks...", suaranya terdengar tersedu-sedu.

Matanya sedikit bengkak karena menangis, tapi yang membuat gue mengucapkan istigfar adalah pipi kirinya yang memerah, dan gue yakin, rona merah itu bukanlah sebuah riasan kosmetik.

"Lo diapain Tan ?", tanya gue yang masih terkejut sambil memegang lengan kanannya.

Gue tidak bisa ngomong apa-apa lagi setelah dia langsung menubruk tubuh gue. Dia memeluk gue dengan erat dan menyandarkan kepalanya ke dada gue.

Tangisnya kemudian kembali gue dengar, dan kali ini terasa lebih menggema di telinga gue. Seolah-olah gue bisa merasakan apa yang sedang di deritanya.

Tanpa bermaksud kurang ajar, pelan-pelan gue usap punggungnya.

"Tan, sabar ya.. Tenangin diri lo dulu", ucap gue mencoba menenangkannya.

Kembali hanya suara tangisannya yang gue dengar sebagai jawaban.



~~~



Walaupun gue ga mau mengawalinya dengan melihat lo menangis seperti itu, tapi akhirnya, gue harus akui, karena kejadian malam itulah kita berdua bisa saling mengenal lebih dekat satu sama lain.
1