Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

karikai04Avatar border
TS
karikai04
Warga yang Arak dan Telanjangi Pasangan di Cikupa Bisa Kena Pidana
Quote:

JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengecam aksi main hakim sendiri yang dilakukan warga Cikupa, Kabupaten Tangerang dengan mengarak dan menelanjangi pasangan yang mereka tuduh berbuat mesum. Peneliti ICJR Maidina Rahmawati menyebutkan, aksi tersebut brutal dan patut diganjar dengan pidana berlapis.

"Apa yang dilakukan oleh warga Cikupa tersebut telah melanggar hak atas privasi pasangan yang bersangkutan, dan dilakukan tanpa hak dan wewenang apapun. Padahal diketahui tidak ada perbuatan apapun terkait dengan kesusilaan yang dilakukan oleh pasangan tersebut," ujar Maidina dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/11/2017).

Menurut Maidina, tindakan warga yang main hakim sendiri atau persekusi tersebut dapat diganjar dengan tindak pidana kesusilaan di depan umum sesuai Pasal 282 ayat (1) KUHP dan Pasal 35 UU Pornografi tentang menjadikan orang lain objek atau model yang bermuatan pornografi. Sayangnya, penerapan kedua pasal itu berpotensi menyerang balik korban.

Maidina menilai fakta itu harusnya jadi pertimbangan pemerintah dan DPR yang tengah membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKHUP) di Parlemen. Beberapa pasal dalam RKUHP, khsusunya mengenai tindak pidana kesusilaan, kata kata Maidina, justru membuka kesempatan main hakim sendiri oleh warga.

"Pertama, ketentuan Pasal 2 ayat (1) RKUHP yang mengatur perluasan asas legalitas hukum pidana Indonesia dimana dalam pasal ini hukum yang hidup di masyarakat menetukan dapat/tidaknya seseorang dipidana, hal ini jelas menimbulkan celah hukum yang sangat multi tafsir dan melahirkan potensi terjadinya tindak pidana main hakim sendiri," katanya.

Maidina mengatakan norma hukum pidana harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti apa yang dibaca (lex stricta) dan tidak multitafsir (lex certa). Mengakomodir hukum yang hidup di masyarakat yang sifatnya sangat dinamis, subjektif, dan sangat bergantung pada konsep mayoritas secara jelas akan melahirkan norma hukum yang tidak jelas yang melanggar fungsi hukum pidana itu sendiri untuk melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang negara.

Kedua, ketentuan Pasal 484 ayat (1) huruf e RKUHP memberikan definisi luas mengenai tindak pidana zina. Zina diartikan termasuk di dalamnya persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkimpoian yang sah. Dalam Pasal 484 ayat (2) dijelaskan bahwa tindak pidana ini dapat dituntut jika adanya pengaduan dari suami, istri atau pihak ketiga yang tercemar.

"Lagi-lagi ketentuan ini justru menghadirkan potensi main hakim sendiri karena adanya 'pihak ketiga yang tercemar' diperbolehkan untuk melakukan penuntutan.. Unsur ini sangat multitafsir dan tidak ada penjelasan spesifik mengenai “pihak ketiga yang tercemar”," ujar Maidina.

Menurut Maidina, unsur “persetubuhan antara laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkimpoian yang sah” rentan disalahgunakan.

Ketentuan Pasal 484 ayat (1) huruf e yang hanya memberi batas terjadinya persetubuhan secara potensial justru dapat menyasar korban-korban rudapaksaan dengan pembuktian yang cukup sulit. Aparat penegak hukum lantas menggunakan ketentuan pasal ini yang mana mereka tidak perlu membuktikan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga relatif lebih mudah pembuktiannya dan lantas berpotensi mengkriminalisasi korban.

Ketiga, ketentuan Pasal 488 RKUHP yang mengkriminalisasi “melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkimpoian yang sah”.

Maidina menilai Ketentuan Pasal ini juga rentan memicu terjadinya persekusi oleh masyarakat sekitar karena tidak jelasnya aturan yang dimaksud.

Dalam pasal tersebut dimuat ketentuan mengenai “perkimpoian yang sah” dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 tentang Perkimpoian diakui bahwa perkimpoian yang sah adalah perkimpoian yang dilaksanakan berdasarkan agama. Satu-satunya pengaturan yang menyebutkan agama-agama yang diakui adalah UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pada penjelasan Pasal 1 disebutkan terdapat 6 agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius).

"UU ini sebenarnya mengakomodir agama selain keenam agama yang disebutkan, namun pada praktiknya administrasi pencatatan perkimpoian hanya tersedia bagi keenam agama tersebut, aliran agama dan penghayat kepercayaan lain sulit untuk melakukan pencatatan perkimpoiannya yang berakibat pada lahirnya potensi penilaian bahwa perkimpoian yang dilakukan tidak sah," ujarnya.

Per Agustus 2017 Disdukcapil Kabupaten Tangerang menyatakan bahwa terdapat hampir 50 persen pasangan suami istri di kabupaten Tangerang yang tidak dicatatkan perkimpoiannya.

Jika ketentuan Pasal 488 RKUHP ini disahkan, maka penafsiran “hidup bersama sebagai suami istri di luar perkimpoian yang sah” dapat menyasar kelompok rentan yang pemenuhan haknya untuk membentuk keluarga tidak diakomodasi oleh negara. Masyarakat dan aparat dengan sewenang-wenang dapat menyatakan perkimpoian warga penganut kepercayaan tertentu tidak sah dan menuntutnya dengan pidana.

"Pada intinya, permasalahan kesusilaan sangat erat kaitannya dengan moral di masyarakat lengkap dengan tendensi dan subjektivitas masyarakat mayoritas sekitarnya, bagaimana pun juga hukum pidana harus dibuat berdasarkan asas legalitas yang tidak boleh dilanggar," kata Maidina.

Quote:


hahahah, moga dipenjara dah yang ngarak,
kalo emang mw tertib pantesnya ndak perlu pake ditelanjangin segale, uda kaya paling bener aje hidup lu pada,
cukup bawa ke kantor kepala desa dipanggil ortunya, kelar masalah,
emoticon-Blue Guy Bata (L)emoticon-Blue Guy Bata (L) emoticon-Blue Guy Bata (L)

0
49.7K
128
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
pigmankafirAvatar border
pigmankafir
#3
Banyak orang terperangkap dalam upaya mencari Allah melalui agama. Manusia pikir dengan keaktifannya beribadah, mereka dapat menemukan Allah, namun kenyataannya nol besar. Getolnya seseorang dalam mencari Allah malah menimbulkan rasa fanatisme yang destruktif! Akibatnya bukan Tuhan yang ditemukan, namun malah sebaliknya mereka menggendong setumpuk aturan-aturan yang mengakibatkan kemunafikan dan menghasilkan penghancuran atas pengikut kepercayaan lain. Ini realitas yang terjadi terhadap para pengikut agama yang radikal, mengatasnamakan agama dan Allah untuk menghalalkan segala cara supaya dapat membantai sesamanya.

Hasrat sebuah agama tentunya haruslah membawa seluruh pengikutnya menemukan Tuhan yang benar. Namun kalau boleh jujur, jatidiri agama itu sendiri bukanlah pribadi, yang mampu membawa seseorang kepada keselamatan. Jika bukan suatu pribadi maka ia tidak bisa aktif, inovatif dan sudah pasti terus stagnan, tidak memiliki nafas kehidupan, menthok sampai di situ. Biasanya orang mati, tubuhnya keras, tidak lentur, maunya tetap seperti itu!

Ada nasihat yang baik buat seluruh jemaat manapun: “jangan mengikuti pemimpin rohani yang sedang parkir!” Sampai kapanpun akan terus ada di tempat, gerah dan gelisah. Tolok ukurnya apakah ia melaju terus ke sorga atau parkir dalam ketidakpastian kuburan. Kalau ia tetap ada di peristirahatan terakhirnya, waspadalah!

Sebuah agama adalah suatu lembaga yang formatnya jelas tidak bisa dirubah. Terkadang, sekalipun salah, harus terus tetap dipertahankan oleh para pengikutnya. Ketidakjernihan dalam bertindak membuat okol (otot) dan bukan akal menjadi dasar tindakannya yang membabi buta. Rasul Paulus menekankan bahwa orang percaya merupakan pelayan Perjanjian Baru yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh, sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan
0