Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ryan.manullangAvatar border
TS
ryan.manullang
Hakekat Massa oleh Elias Canetti

(gahetna.nl)


Elias Canetti (1905-1994)adalah orang Jerman keturunan Bulgaria. Ia dikenal sebagai seorang filsuf, penulis novel, penulis esai, sosiolog, dan penulis naskah drama. Pada 1981 ia meraih hadiah Nobel untuk kategori sastra dan literatur. Karyanya yang paling terkenal adalah Crowds and Power yang diterbitkan pada 1960. Di dalam buku itu, ia mencoba memahami fenomena gerakan massa, dan aspek-aspek yang mengitarinya. Untuk itu ia membaca berbagai peristiwa sejarah, mitos, dan karya-karya sastra yang tersebar di berbagai kebudayaan dunia. Menurut beberapa komentator pemikiran Canetti, buku itu sendiri lahir dari keprihatinan Canetti, ketika melihat pembakaran Palace of Justice di Wina, Austria pada 1927. Buku itu sendiri nantinya terbit pada 1930-an, namun baru menarik perhatian banyak orang pada dekade 1960-an, tepatnya setelah Canetti memperoleh hadiah Nobel untuk kategori sastra dan literatur.

Sebagian besar hidupnya dihabiskan di London. Namun begitu ia tidak banyak mengembangkan hubungan dengan para penulis maupun pemikir dari Inggris. Elias Canetti lahir di Ruse, Bulgaria, dari keluarga pedagang Yahudi. Dari keluarga itu, ayah seorang pengusaha dan ibu seorang pecinta sastra, Canetti memperoleh ketrampilan berbahasa Jerman, Spanyol (kuno), Bulgaria, dan Inggris. Namun pada akhirnya ia memilih untuk menulis di dalam bahasa Jerman, terutama karena cinta dan simpatinya pada kebudayaan Jerman. Pada masa muda ia pernah belajar di Zuerich, dan berhasil menghasilkan karya pertamanya, yakni naskah drama yang berjudul Junius Brutus. Pada masa-masa ini pula, ia berjumpa dengan Bertolt Brecht, dan mulai menulis karya-karya drama dengan tema dasar kegilaan manusia.

Pada 1929 Canetti memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia dari Universitas Wina. Pada masa-masa inilah ia mengalami peristiwa yang nantinya membekas dalam di dalam pikirannya, yakni pembakaran Palace of Justice oleh massa demonstran. Ketika pembakaran terjadi ia tepat berada di antara massa, dan merasakan betul apa yang terjadi, ketika orang hanyut dalam dinamika massa. Rupanya Canetti cukup peka. Ia melihat gejala kebencian dan diskriminasi pada orang-orang Yahudi oleh Nazi Jerman, partai politik yang pada masa itu mulai berkuasa. Ia pun pergi ke Inggris, dan tinggal disana sampai mati. Ketakutan pada fenomena kekerasan massa dan trauma yang dialaminya, akibat diskriminasi Nazi Jerman, mendorongnya untuk menulis buku Crowds and Power. Di dalam buku tersebut, Canetti memulai analisisnya dengan pengandaian dasar, bahwa setiap orang memiliki insting alamiah untuk tergabung di dalam massa. Dan salah satu ciri mendasar dari massa adalah kemampuannya untuk menghancurkan. “Bentuk terendah dari upaya penyelamatan diri”, demikian tulisnya, “adalah membunuh.”

Sebelum ia menjadi terkenal di dunia, karena meraih hadiah Nobel, Canetti hidup dengan amat sederhana di kota kecil bernama Hampstead. Sebagai seorang pribadi ia terkenal amat nyentrik. Ia tak suka mendengarkan orang lain berbicara. Bahkan ia menulis buku hariannya dengan bahasa sandi, sehingga orang lain tidak mengerti. Ia juga terkenal sebagai orang yang sombong. Pada suatu waktu ia diminta untuk menulis esai pendek tentang salah satu buku yang baru terbit di Jerman. Namun ia menolaknya karena ia merasa, bahwa buku itu tidak cukup bagus untuk dikomentari. Berbagai penghargaan diterimanya, seperti Foreign Book Prizev(1949, France), Vienna Prize (1966), Critics Prize (1967, Germany), Great Austrian State Prize (1967), Bavarien Academy of Fine Arts Prize (1969), Bühner Prize (1972), Nelly Sachs Prize (1975), Order of Merit (1979, Germany),,Europa Prato Prize (1980, Italy), Hebbel Prize (1980), Kafka Prize (1981), Great Service Cross (1983, Germany). Selain itu Canetti juga mendapatkan gelar doktor kehormatan dari dua universitas. Pada 13 Agustus 1994, ia meninggal di Zuerich, Swiss.


Crowds and Power
Quote:

Buku Crowds and Power adalah sebuah upaya sistematis untuk memahami hakekat manusia dan masyarakat dalam kaca mata naturalisme Darwinian. Dalam arti ini naturalisme adalah paham yang mencoba memahami manusia sebagai bagian dari alam natural yang tidak memiliki kaitan dengan segala sesuatu yang berbau transenden, seperti ciptaan Tuhan misalnya. Naturalisme banyak menimba pemikiran dari kemajuan ilmu ilmu alam, seperti biologi, di dalam memahami manusia. Robertson –di dalam pemaparannya tentang pemikiran Canetti--menulis dengan amat menarik tentang ini, “Naturalisme Darwinian adalah upaya agung…untuk membawa manusia kembali kepada alam, untuk menyingkirkan semua bentuk rumusan idealistik yang telah mengganggu rumusan asli yakni homo natura.”

Semua ini dimulai ketika Darwin mempublikasikan karyanya yang berjudul The Origin of Species (1859) dan The Descent of Man (1871). Kesimpulan kontroversial dari kedua karya itu adalah, bahwa manusia bukanlah mahluk yang diciptakan menurut citra Tuhan yang agung dan sempurna, melainkan hanya “sejenis hewan yang spesial”. Dengan pemahaman ini para filsuf mulai menyusun sebuah teori tentang lahirnya masyarakat dan berbagai komunitas sosial yang ada di dunia. Caranya tidak lagi melihat ke alam transenden-ilahi melainkan dengan mengamati apa yang terjadi di dalam dunia binatang. Di dalam buku Crowds and Power (selanjutnya disingkat menjadi CP), Canetti banyak mengamati praktek-praktek yang terjadi di dalam peradaban primitif manusia, dan juga perilaku binatang. Dua fenomena ini menjadi titik tolak refleksinya tentang manusia dan peradaban. Di balik upaya Canetti untuk memahami manusia melalui pengamatannya pada perilaku binatang dan perilaku suku-suku primitif, terletak satu motif sederhana, yakni menjadikan manusia sebagai bagian integral dari dunia, dan menjadikan dunia sebagai rumah manusia. Manusia bukanlah mahluk yang lebih tinggi, lebih luhur, atau lebih suci, melainkan merupakan bagian integral dari alam itu sendiri dengan segala keganasan dan ambivalensinya. Namun di sisi lain, seperti dicatat oleh Robertson, perilaku binatang seringkali amat kejam. Ada beberapa binatang yang memakan anaknya sendiri. Beberapa membunuh saudara kandungnya sendiri. Di dalam buku CP, Canetti sempat menggambarkan kemiripan manusia dengan simpanse dengan luar biasa detail, baik dalam soal kejahatan maupun kebaikannya. Sama seperti binatang manusia pun memiliki kekuatan. Bagi Canetti kekuatan manusia adalah sesuatu yang amat individual dan sifatnya alamiah, yakni dalam bentuk kekuatan fisik, seperti juga pada binatang. “Bentuk kekuatan yang paling dasar”, demikian tulis Robertson tentang Canetti, “adalah membunuh mangsa.” Alat yang digunakan untuk membunuh adalah tubuh, yakni organ-organ pelumat yang kuat, yang dimiliki manusia, seperti mulut, cengkraman, gigi untuk mengunyah, dan sebagainya. Semua ini adalah tanda kekuatan alamiah manusia yang bersifat amat primitif. Teror primitif yang sifatnya hewani, seperti kijang yang siap dimangsa oleh singa, bisa muncul, ketika bahu kita dicengkram oleh perampok, atau oleh tatapan ganas dan liar dari pemerkosa.


Teori Massa Canetti
Setiap orang punya kuasa. Dan logika kekuasaan tetaplah sama sejak jaman purba, bahwa apa yang saya rebut dan dapatkan merupakan kerugian dari pihak lain. Dengan logika yang bersifat hewani inilah, menurut Canetti, masyarakat manusia terbentuk. Masyarakat bukanlah komunitas moral maupun keutamaan, melainkan sekumpulan massa yang diperintah oleh satu diktum, entah itu diktum itu terlihat jelas, atau tersembunyi di balik mekanisme-mekanisme yang lebih rumit. Analogi untuk itu adalah massa peziarah di Mekkah yang menantikan tanda dan sabda dari Allah yang diimaninya. Allah adalah pemberi diktum. Sementara manusia adalah hamba yang mesti patuh, atau terkena hukuman yang menyiksa dirinya. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa Canetti melihat manusia, dan segala ciptaannya, sebagai entitas yang kelam dan suram di satu sisi, namun amat variatif di sisi lain. Canetti berpendapat, bahwa kekuatan manusia sudah tercetak di dalam struktur tubuhnya, yakni di dalam bentuk organ yang dimiliki manusia secara alamiah.

Dengan kekuatannya manusia menciptakan peran yang amat alamiah, yakni peran pemangsa dan mangsanya. Inilah esensi dari kehidupan sosial, menurut Canetti. “Kehidupan sosial”, demikian tulis Robertson tentang Canetti, “hanyalah penunda dari permusuhan manusia.” Pandangan ini tidak semata keluar dari spekulasinya, melainkan dari penelitian yang dilakukannya selama bertahun-tahun tentang kehidupan sosial yang ada di berbagai peradaban manusia, dulu maupun sekarang. Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa Canetti adalah seorang pemikir yang berhasil melepaskan diri dari pola berpikir Eurosentrik, yakni melihat dan menilai seluruh peradaban dunia dengan menggunakan standar yang ada di Eropa. Di sisi lain seperti dicatat oleh Robertson, Canetti juga berhasil melepaskan diri dari pola pikir, bahwa apa yang primitif itu tidak berguna, maka tak perlu dipelajari. Justru di dalam berbagai analisisnya, ia berhasil mendapatkan pemahaman yang amat mendalam dan alamiah tentang manusia dengan melihat bagaimana manusia hidup dan bersikap di dalam peradaban primitif. Catatan yang dibuat Robertson tentang Canetti, “Dengan membuka mekanisme kerja kekuatan dan kekuasaan di berbagai kebudayaan yang berbeda, analisisnya membuka semacam kesamaan. Canetti menyatakan bahwa ia berhasil menunjukkan kepada kita tentang substansi yang keras kepala dari kodrat manusia.” Dengan kata lain melalui pengamatannya terhadap kehidupan binatang dan suku-suku primitif di berbagai kebudayaan dunia, Canetti berhasil menemukan hakekat terdalam dari manusia.

Bagi Canetti sendiri massa tidaklah muncul begitu saja, melainkan bertumbuh secara perlahan. Awalnya ada kumpulan orang, yang biasanya terdiri dari 12-15 orang. Mereka tidak berkumpul secara acak, melainkan memiliki satu tujuan yang sama, misalnya untuk bermain golf, berburu di hutan sebagai rekreasi, dan sebagainya. Namun kumpulan orang, menurut Canetti, juga bisa merusak, misalnya untuk tawuran antar pelajar, tawuran antar suporter sepak bola, dan sebagainya. Ia mengamati sesuatu yang menarik di dalam fenomena kumpulan orang, yakni bahwa kumpulan orang adalah bentuk paling purba dari masyarakat, dan seluruh anggotanya berperan sebagai orang-orang yang setara. Tidak ada pemimpin dan tidak ada yang dipimpin. Kumpulan lalu berkembang menjadi massa. Massa sendiri menurut Canetti lebih besar dan ikatan sosialnya jauh lebih longgar, daripada kumpulan. Namun keduanya memiliki kesamaan mendasar, yakni perasaan nikmat di dalam padatnya kerumunan orang. Di dalam massa menurut Canetti, orang-orang modern yang cenderung individualistik kehilangan individualitasnya, dan melebur menjadi tubuh kolektif. Di dalam massa orang dengan senang hati menyerahkan otonomi dirinya, ruang privatnya, dan ruang intimnya kepada kolektivitas. Di dalam bukunya Canetti, sebagaimana ditafsirkan oleh Robertson, menyatakan, bahwa manusia, pada dasarnya, takut untuk bersentuh dengan yang berbeda darinya, yang asing darinya. Namun semua ketakutan itu lenyap, ketika manusia terhisap di dalam massa.

Argumen Canetti adalah bahwa manusia bisa tergabung ke dalam massa, dan melakukan hal-hal yang tak mungkin dilakukannya sendirian, karena ia memiliki kodrat hewani di dalam dirinya. Kodrat hewani tersebut menurut Canetti juga tampak dalam kemampuan manusia untuk berubah. Untuk menggambarkan fenomena ini, ia mengambil contoh kehidupan suku primitif di Afrika. Mereka memiliki apa yang disebut sebagai kecerdasan tubuh, yang berguna untuk merasakan kedatangan orang ataupun binatang, bahkan sebelum binatang ataupun orang tersebut tampak oleh mata. Menurut Canetti orang dari suku primitif Afrika tersebut berubah menjadi mahluk lainnya yang memiliki kepekaan tinggi (bukan lagi manusia), tepat ketika ia menggunakan tubuhnya untuk merasakan kehadiran mahluk di sekitarnya. Ia mengubah identitas dirinya, dan menjadi serupa dengan hewan. Jadi manusia mampu mengubah dirinya. Ia mampu melepas identitas kemanusiaannya, dan menjadi sesuatu yang “lain”. Hal ini pula yang terjadi, ketika manusia terhisap ke dalam massa. Ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi sesuatu yang “lain” dari dirinya, yang menyerupai hewan. Canetti memperoleh pemahaman ini dengan membaca berbagai legenda yang terdapat di hampir semua peradaban manusia, seperti legenda Proteus yang mengubah dirinya untuk menghindari musuh-musuh yang hendak menangkapnya, atau pada agama-agama kuno yang yakin, bahwa seorang pendeta bisa mengubah dirinya menjadi “kendaraan dewa”, dan memiliki kesaktiannya. Dengan kemampuan untuk berubah dan beradaptasi mengikuti lingkungannya, manusia memiliki kekuatan yang amat luar biasa untuk menyelamatkan dan mengembangkan dirinya. Itulah sebabnya mengapa negara dan agama berupaya menjinakkan kemampuan manusia untuk berubah, dan mengaturnya untuk kepentingan mereka.

Menurut Canetti, manusia adalah mahluk yang cair. Oleh sebab itu ia tidak akan pernah bisa dipasung sepenuhnya oleh kekuasaan, sekuat apapun kekuasaan itu. Setiap penguasa totaliter selalu menghendaki rakyatnya untuk patuh, dan tidak berubah. Sikap jinak dan patuh rakyat justru akan memperkuat kekuasaan pemimpin totaliter. Namun menurut Canetti manusia adalah mahluk yang dinamis. Maka manusia tidak akan pernah bisa sungguh dikuasai. Pada satu titik ia akan memberontak, dan pemberontakan itu biasanya dilakukan oleh manusia-manusia yang membentuk massa. Maka massa hadir untuk menantang dan meredam kekuasaan totaliter. Dengan kemampuannya untuk berubah, manusia melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan totaliter, dan membentuk massa untuk memberontak. Semua ini terjadi karena manusia memiliki kodrat hewani di dalam dirinya, yang membuatnya mampu berkumpul, merusak, dan mencipta peradaban sebagai massa. Dengan membaca buku Crowds and Power, menurut Robertson, kita disadarkan, bahwa kita, manusia, adalah mahluk yang bertubuh. Sama seperti hewan kita bisa merusak, dan bersikap kejam, jika diri kita terancam. Dengan melihat kehidupan manusia yang tersebar di berbagai peradaban, dan di pelbagai untaian waktu, Canetti mengajak kita untuk menyadari kodrat alamiah kita sebagai mahluk hidup yang tak jauh berbeda dengan mahluk-mahluk hidup lainnya, bahwa kita sama-sama berproses dengan hewan dan tumbuhan untuk bisa bertahan, dan berkembang di alam yang selalu tak pasti ini. Itulah kebijaksanaan yang ditawarkan oleh Canetti.
***



artikel
Diubah oleh ryan.manullang 16-06-2018 16:39
0
2.7K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ryan.manullangAvatar border
TS
ryan.manullang
#1
Hakekat Massa oleh Elias Canetti

(gahetna.nl)


Elias Canetti (1905-1994)adalah orang Jerman keturunan Bulgaria. Ia dikenal sebagai seorang filsuf, penulis novel, penulis esai, sosiolog, dan penulis naskah drama. Pada 1981 ia meraih hadiah Nobel untuk kategori sastra dan literatur. Karyanya yang paling terkenal adalah Crowds and Power yang diterbitkan pada 1960. Di dalam buku itu, ia mencoba memahami fenomena gerakan massa, dan aspek-aspek yang mengitarinya. Untuk itu ia membaca berbagai peristiwa sejarah, mitos, dan karya-karya sastra yang tersebar di berbagai kebudayaan dunia. Menurut beberapa komentator pemikiran Canetti, buku itu sendiri lahir dari keprihatinan Canetti, ketika melihat pembakaran Palace of Justice di Wina, Austria pada 1927. Buku itu sendiri nantinya terbit pada 1930-an, namun baru menarik perhatian banyak orang pada dekade 1960-an, tepatnya setelah Canetti memperoleh hadiah Nobel untuk kategori sastra dan literatur.

Sebagian besar hidupnya dihabiskan di London. Namun begitu ia tidak banyak mengembangkan hubungan dengan para penulis maupun pemikir dari Inggris. Elias Canetti lahir di Ruse, Bulgaria, dari keluarga pedagang Yahudi. Dari keluarga itu, ayah seorang pengusaha dan ibu seorang pecinta sastra, Canetti memperoleh ketrampilan berbahasa Jerman, Spanyol (kuno), Bulgaria, dan Inggris. Namun pada akhirnya ia memilih untuk menulis di dalam bahasa Jerman, terutama karena cinta dan simpatinya pada kebudayaan Jerman. Pada masa muda ia pernah belajar di Zuerich, dan berhasil menghasilkan karya pertamanya, yakni naskah drama yang berjudul Junius Brutus. Pada masa-masa ini pula, ia berjumpa dengan Bertolt Brecht, dan mulai menulis karya-karya drama dengan tema dasar kegilaan manusia.

Pada 1929 Canetti memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia dari Universitas Wina. Pada masa-masa inilah ia mengalami peristiwa yang nantinya membekas dalam di dalam pikirannya, yakni pembakaran Palace of Justice oleh massa demonstran. Ketika pembakaran terjadi ia tepat berada di antara massa, dan merasakan betul apa yang terjadi, ketika orang hanyut dalam dinamika massa. Rupanya Canetti cukup peka. Ia melihat gejala kebencian dan diskriminasi pada orang-orang Yahudi oleh Nazi Jerman, partai politik yang pada masa itu mulai berkuasa. Ia pun pergi ke Inggris, dan tinggal disana sampai mati. Ketakutan pada fenomena kekerasan massa dan trauma yang dialaminya, akibat diskriminasi Nazi Jerman, mendorongnya untuk menulis buku Crowds and Power. Di dalam buku tersebut, Canetti memulai analisisnya dengan pengandaian dasar, bahwa setiap orang memiliki insting alamiah untuk tergabung di dalam massa. Dan salah satu ciri mendasar dari massa adalah kemampuannya untuk menghancurkan. “Bentuk terendah dari upaya penyelamatan diri”, demikian tulisnya, “adalah membunuh.”

Sebelum ia menjadi terkenal di dunia, karena meraih hadiah Nobel, Canetti hidup dengan amat sederhana di kota kecil bernama Hampstead. Sebagai seorang pribadi ia terkenal amat nyentrik. Ia tak suka mendengarkan orang lain berbicara. Bahkan ia menulis buku hariannya dengan bahasa sandi, sehingga orang lain tidak mengerti. Ia juga terkenal sebagai orang yang sombong. Pada suatu waktu ia diminta untuk menulis esai pendek tentang salah satu buku yang baru terbit di Jerman. Namun ia menolaknya karena ia merasa, bahwa buku itu tidak cukup bagus untuk dikomentari. Berbagai penghargaan diterimanya, seperti Foreign Book Prizev(1949, France), Vienna Prize (1966), Critics Prize (1967, Germany), Great Austrian State Prize (1967), Bavarien Academy of Fine Arts Prize (1969), Bühner Prize (1972), Nelly Sachs Prize (1975), Order of Merit (1979, Germany),,Europa Prato Prize (1980, Italy), Hebbel Prize (1980), Kafka Prize (1981), Great Service Cross (1983, Germany). Selain itu Canetti juga mendapatkan gelar doktor kehormatan dari dua universitas. Pada 13 Agustus 1994, ia meninggal di Zuerich, Swiss.


Crowds and Power
Quote:

Buku Crowds and Power adalah sebuah upaya sistematis untuk memahami hakekat manusia dan masyarakat dalam kaca mata naturalisme Darwinian. Dalam arti ini naturalisme adalah paham yang mencoba memahami manusia sebagai bagian dari alam natural yang tidak memiliki kaitan dengan segala sesuatu yang berbau transenden, seperti ciptaan Tuhan misalnya. Naturalisme banyak menimba pemikiran dari kemajuan ilmu ilmu alam, seperti biologi, di dalam memahami manusia. Robertson –di dalam pemaparannya tentang pemikiran Canetti--menulis dengan amat menarik tentang ini, “Naturalisme Darwinian adalah upaya agung…untuk membawa manusia kembali kepada alam, untuk menyingkirkan semua bentuk rumusan idealistik yang telah mengganggu rumusan asli yakni homo natura.”

Semua ini dimulai ketika Darwin mempublikasikan karyanya yang berjudul The Origin of Species (1859) dan The Descent of Man (1871). Kesimpulan kontroversial dari kedua karya itu adalah, bahwa manusia bukanlah mahluk yang diciptakan menurut citra Tuhan yang agung dan sempurna, melainkan hanya “sejenis hewan yang spesial”. Dengan pemahaman ini para filsuf mulai menyusun sebuah teori tentang lahirnya masyarakat dan berbagai komunitas sosial yang ada di dunia. Caranya tidak lagi melihat ke alam transenden-ilahi melainkan dengan mengamati apa yang terjadi di dalam dunia binatang. Di dalam buku Crowds and Power (selanjutnya disingkat menjadi CP), Canetti banyak mengamati praktek-praktek yang terjadi di dalam peradaban primitif manusia, dan juga perilaku binatang. Dua fenomena ini menjadi titik tolak refleksinya tentang manusia dan peradaban. Di balik upaya Canetti untuk memahami manusia melalui pengamatannya pada perilaku binatang dan perilaku suku-suku primitif, terletak satu motif sederhana, yakni menjadikan manusia sebagai bagian integral dari dunia, dan menjadikan dunia sebagai rumah manusia. Manusia bukanlah mahluk yang lebih tinggi, lebih luhur, atau lebih suci, melainkan merupakan bagian integral dari alam itu sendiri dengan segala keganasan dan ambivalensinya. Namun di sisi lain, seperti dicatat oleh Robertson, perilaku binatang seringkali amat kejam. Ada beberapa binatang yang memakan anaknya sendiri. Beberapa membunuh saudara kandungnya sendiri. Di dalam buku CP, Canetti sempat menggambarkan kemiripan manusia dengan simpanse dengan luar biasa detail, baik dalam soal kejahatan maupun kebaikannya. Sama seperti binatang manusia pun memiliki kekuatan. Bagi Canetti kekuatan manusia adalah sesuatu yang amat individual dan sifatnya alamiah, yakni dalam bentuk kekuatan fisik, seperti juga pada binatang. “Bentuk kekuatan yang paling dasar”, demikian tulis Robertson tentang Canetti, “adalah membunuh mangsa.” Alat yang digunakan untuk membunuh adalah tubuh, yakni organ-organ pelumat yang kuat, yang dimiliki manusia, seperti mulut, cengkraman, gigi untuk mengunyah, dan sebagainya. Semua ini adalah tanda kekuatan alamiah manusia yang bersifat amat primitif. Teror primitif yang sifatnya hewani, seperti kijang yang siap dimangsa oleh singa, bisa muncul, ketika bahu kita dicengkram oleh perampok, atau oleh tatapan ganas dan liar dari pemerkosa.


Teori Massa Canetti
Setiap orang punya kuasa. Dan logika kekuasaan tetaplah sama sejak jaman purba, bahwa apa yang saya rebut dan dapatkan merupakan kerugian dari pihak lain. Dengan logika yang bersifat hewani inilah, menurut Canetti, masyarakat manusia terbentuk. Masyarakat bukanlah komunitas moral maupun keutamaan, melainkan sekumpulan massa yang diperintah oleh satu diktum, entah itu diktum itu terlihat jelas, atau tersembunyi di balik mekanisme-mekanisme yang lebih rumit. Analogi untuk itu adalah massa peziarah di Mekkah yang menantikan tanda dan sabda dari Allah yang diimaninya. Allah adalah pemberi diktum. Sementara manusia adalah hamba yang mesti patuh, atau terkena hukuman yang menyiksa dirinya. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa Canetti melihat manusia, dan segala ciptaannya, sebagai entitas yang kelam dan suram di satu sisi, namun amat variatif di sisi lain. Canetti berpendapat, bahwa kekuatan manusia sudah tercetak di dalam struktur tubuhnya, yakni di dalam bentuk organ yang dimiliki manusia secara alamiah.

Dengan kekuatannya manusia menciptakan peran yang amat alamiah, yakni peran pemangsa dan mangsanya. Inilah esensi dari kehidupan sosial, menurut Canetti. “Kehidupan sosial”, demikian tulis Robertson tentang Canetti, “hanyalah penunda dari permusuhan manusia.” Pandangan ini tidak semata keluar dari spekulasinya, melainkan dari penelitian yang dilakukannya selama bertahun-tahun tentang kehidupan sosial yang ada di berbagai peradaban manusia, dulu maupun sekarang. Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa Canetti adalah seorang pemikir yang berhasil melepaskan diri dari pola berpikir Eurosentrik, yakni melihat dan menilai seluruh peradaban dunia dengan menggunakan standar yang ada di Eropa. Di sisi lain seperti dicatat oleh Robertson, Canetti juga berhasil melepaskan diri dari pola pikir, bahwa apa yang primitif itu tidak berguna, maka tak perlu dipelajari. Justru di dalam berbagai analisisnya, ia berhasil mendapatkan pemahaman yang amat mendalam dan alamiah tentang manusia dengan melihat bagaimana manusia hidup dan bersikap di dalam peradaban primitif. Catatan yang dibuat Robertson tentang Canetti, “Dengan membuka mekanisme kerja kekuatan dan kekuasaan di berbagai kebudayaan yang berbeda, analisisnya membuka semacam kesamaan. Canetti menyatakan bahwa ia berhasil menunjukkan kepada kita tentang substansi yang keras kepala dari kodrat manusia.” Dengan kata lain melalui pengamatannya terhadap kehidupan binatang dan suku-suku primitif di berbagai kebudayaan dunia, Canetti berhasil menemukan hakekat terdalam dari manusia.

Bagi Canetti sendiri massa tidaklah muncul begitu saja, melainkan bertumbuh secara perlahan. Awalnya ada kumpulan orang, yang biasanya terdiri dari 12-15 orang. Mereka tidak berkumpul secara acak, melainkan memiliki satu tujuan yang sama, misalnya untuk bermain golf, berburu di hutan sebagai rekreasi, dan sebagainya. Namun kumpulan orang, menurut Canetti, juga bisa merusak, misalnya untuk tawuran antar pelajar, tawuran antar suporter sepak bola, dan sebagainya. Ia mengamati sesuatu yang menarik di dalam fenomena kumpulan orang, yakni bahwa kumpulan orang adalah bentuk paling purba dari masyarakat, dan seluruh anggotanya berperan sebagai orang-orang yang setara. Tidak ada pemimpin dan tidak ada yang dipimpin. Kumpulan lalu berkembang menjadi massa. Massa sendiri menurut Canetti lebih besar dan ikatan sosialnya jauh lebih longgar, daripada kumpulan. Namun keduanya memiliki kesamaan mendasar, yakni perasaan nikmat di dalam padatnya kerumunan orang. Di dalam massa menurut Canetti, orang-orang modern yang cenderung individualistik kehilangan individualitasnya, dan melebur menjadi tubuh kolektif. Di dalam massa orang dengan senang hati menyerahkan otonomi dirinya, ruang privatnya, dan ruang intimnya kepada kolektivitas. Di dalam bukunya Canetti, sebagaimana ditafsirkan oleh Robertson, menyatakan, bahwa manusia, pada dasarnya, takut untuk bersentuh dengan yang berbeda darinya, yang asing darinya. Namun semua ketakutan itu lenyap, ketika manusia terhisap di dalam massa.

Argumen Canetti adalah bahwa manusia bisa tergabung ke dalam massa, dan melakukan hal-hal yang tak mungkin dilakukannya sendirian, karena ia memiliki kodrat hewani di dalam dirinya. Kodrat hewani tersebut menurut Canetti juga tampak dalam kemampuan manusia untuk berubah. Untuk menggambarkan fenomena ini, ia mengambil contoh kehidupan suku primitif di Afrika. Mereka memiliki apa yang disebut sebagai kecerdasan tubuh, yang berguna untuk merasakan kedatangan orang ataupun binatang, bahkan sebelum binatang ataupun orang tersebut tampak oleh mata. Menurut Canetti orang dari suku primitif Afrika tersebut berubah menjadi mahluk lainnya yang memiliki kepekaan tinggi (bukan lagi manusia), tepat ketika ia menggunakan tubuhnya untuk merasakan kehadiran mahluk di sekitarnya. Ia mengubah identitas dirinya, dan menjadi serupa dengan hewan. Jadi manusia mampu mengubah dirinya. Ia mampu melepas identitas kemanusiaannya, dan menjadi sesuatu yang “lain”. Hal ini pula yang terjadi, ketika manusia terhisap ke dalam massa. Ia tidak lagi menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi sesuatu yang “lain” dari dirinya, yang menyerupai hewan. Canetti memperoleh pemahaman ini dengan membaca berbagai legenda yang terdapat di hampir semua peradaban manusia, seperti legenda Proteus yang mengubah dirinya untuk menghindari musuh-musuh yang hendak menangkapnya, atau pada agama-agama kuno yang yakin, bahwa seorang pendeta bisa mengubah dirinya menjadi “kendaraan dewa”, dan memiliki kesaktiannya. Dengan kemampuan untuk berubah dan beradaptasi mengikuti lingkungannya, manusia memiliki kekuatan yang amat luar biasa untuk menyelamatkan dan mengembangkan dirinya. Itulah sebabnya mengapa negara dan agama berupaya menjinakkan kemampuan manusia untuk berubah, dan mengaturnya untuk kepentingan mereka.

Menurut Canetti, manusia adalah mahluk yang cair. Oleh sebab itu ia tidak akan pernah bisa dipasung sepenuhnya oleh kekuasaan, sekuat apapun kekuasaan itu. Setiap penguasa totaliter selalu menghendaki rakyatnya untuk patuh, dan tidak berubah. Sikap jinak dan patuh rakyat justru akan memperkuat kekuasaan pemimpin totaliter. Namun menurut Canetti manusia adalah mahluk yang dinamis. Maka manusia tidak akan pernah bisa sungguh dikuasai. Pada satu titik ia akan memberontak, dan pemberontakan itu biasanya dilakukan oleh manusia-manusia yang membentuk massa. Maka massa hadir untuk menantang dan meredam kekuasaan totaliter. Dengan kemampuannya untuk berubah, manusia melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan totaliter, dan membentuk massa untuk memberontak. Semua ini terjadi karena manusia memiliki kodrat hewani di dalam dirinya, yang membuatnya mampu berkumpul, merusak, dan mencipta peradaban sebagai massa. Dengan membaca buku Crowds and Power, menurut Robertson, kita disadarkan, bahwa kita, manusia, adalah mahluk yang bertubuh. Sama seperti hewan kita bisa merusak, dan bersikap kejam, jika diri kita terancam. Dengan melihat kehidupan manusia yang tersebar di berbagai peradaban, dan di pelbagai untaian waktu, Canetti mengajak kita untuk menyadari kodrat alamiah kita sebagai mahluk hidup yang tak jauh berbeda dengan mahluk-mahluk hidup lainnya, bahwa kita sama-sama berproses dengan hewan dan tumbuhan untuk bisa bertahan, dan berkembang di alam yang selalu tak pasti ini. Itulah kebijaksanaan yang ditawarkan oleh Canetti.
***



artikel
Diubah oleh ryan.manullang 16-06-2018 16:39
0