Tumbuh dewasa di pedesaan yang tak jauh dari lalu lalang kendaraan ruas pantura enggan membuatku nyaman. Walau dekat dengan hiruk pikuk perbatasan antar kabupaten namun nyatanya desa ini jauh dari kata "ramai" bagiku.
Kepercayaan akan tahayul dan perlombaan untuk memperkaya diri semakin memperburuk citra masyarakat disini.
"andai saja bapak tidak terima tawaran menjadi mudin pasti aku tidak akan terjebak disini" mungkin hanya itulah angan yang selalu ada dalam benakku.
Bagaimana tidak aku sangat takut berada disini, jika selama kanak-kanak aku selalu merasakan keramaian ibukota.
"nduk, nanti kalau pulamg dari masjid sampean mampir dulu ke rumah budhe ainun nggeh minta jaitan baju ibuk yang sudah jadi. Duitnya sudah ibuk kasih kemarin" ucap ibu yang membuyarkan lamunan keresahaanku selama ini.
"enggeh buk" jawabku diiringi senyum tipis tak mengembang.
Alarm di ponselku berbunyi, aku harus bergegas mengantarkan berkas ke karang taruna desa sebelah untuk mengadakan rapat kartar antar desa, namun aku tak mungkin menaiki kuda besi sendirian karena kedua orangtuaku paham betul bagaimana hambatan yang ada di sepanjang jalan raya itu.
"buk, mau pamit dulu kerumah mbak pipit mau nganter berkas" izinku yang hanya dijawab dengan do'a keselamatan untukku.
Di sepanjang perjalanan ke desa sebelah hanya doa yang terucap di mulutku.
"dek zahrin, nanti sampean nunggu di sepeda saja ya. Aku aja yang masuk" kata mbak pipit
"oalah iya mbak kalau gitu" jawabku.
Sesampainya di rumah ketua karang taruna desa sebelah aku hanya menunggu mbak pipit dari luar sambil membalas chat yang masuk di ponselku. Dari kejauhan nampak sosok yang tak asing bagiku "pak shodiq" sapaku pada lelaki paruh baya yang masih semangat mendorong gerobak tahu tek yang mulai sama rentanya dengannya.
"eh mbak zahrin, sampean ada perlu apa kok kesini?" tanyanya saat kudekati
"iniloh pak nganter mbak pipit ke rumah mas yoga buat ngasih berkas" jawabku sambil menyunggingkan senyum sementara pak shodiq sibuk membuat beberapa porsi tahu tek dengan tangan keriputnya itu.
"pak, anak sampean kan banyak yang udah kerja enak. Sampean kok masih jualan tahu tek, mbokyo lebih enak istirahat saja dirumah pak" kataku mencoba menasehati pak shodiq
"tidak perlu mbak, lebih baik bapak ngasi makanan istri bapak dari uang halal daripada dari uang yang tidak tahu asal-usulnya darimana" jawaban pak shodiq ini membuatku kaget dan penasaran apa maksudnya tetapi aku hanya diam saja tanpa bertanya arti dari perkataan pak shodiq itu.
Tiba-tiba saja pak shodiq memberiku dua bungkus tahu tek yang baru saja dibuatnya itu "ini mbak buat keluarga sampean"
" loh pak , tapi aku nggak bawa uang" kataku bingung
"gakpapa. mbak. Kemarin mas fadil nolongin bapak jatuh di depan kantor kecamatan. Ini tanda terimakasih bapak" jawabnya dengan lembut
"gak usah pak, bapak jual saja biar bapak gak rugi" tolakku halus agar tidak menyinggung hatinya
"enggak mbak, bapak ikhlas kok. Rezeki sudah ada yang mengatur. Sampean doakan saja semoga dagangan bapak laris" jawabnya yang membuatku tidak tega untuk menolak pemberiannya itu dan akhirnya aku pun menerimanya.