Keesokan pagi-nya, gua mencoba menghubungi Marcella. Sebuah hal yang sudah sangat jarang gua lakukan. Seperti biasa, Marcella sudah lebih dulu mengirim SMS ke gua untuk mengingatkan solat Subuh.
Nada sambung terdengar beberapa kali hingga akhirnya terdengar suara operator provider yang ‘ngasih’ informasi bahwa yang bersangkutan tidak menjawab panggilan. Gua terus mencoba menghubungi-nya, namun hasilnya tetap sama; nggak diangkat. Menjelang siang, gua mencoba menghubungi-nya lagi dan tetap masih dengan hasil yang sama. Hingga saat Adzan solat Dzuhur menggema, sebuah pesan masuk; dari Marcella. Gua nggak langsung membuka isi pesan dari-nya, melainkan langsung menekan tombol panggil. Terdengar kembali nada sambung yang begitu familiar, kali ini gua nggak perlu menunggu terlalu lama. Suara Marcella terdengar di ujung sana;
“Hallo…”
“Kok gua telpon dari tadi nggak diangkat?”gua membuka obrolan dengan sebuah pertanyaan tanpa lebih dulu menyapa atau bertanya tentang kabarnya.
“Hape-nya di tas tadi…”Marcella menjawab singkat, nada bicaranya terdengar datar.
“Ooh.. lagi ngapain?”
“Lagi diem aja..”
“Ooh.. masih disekolah?”
“Dirumah..”Marcella kembali menjawab dengan intonasi yang sama datarnya.
“Nggak sekolah?”
“Libur”
“Ooh.. libur apaan?”
“Libur akhir semester lah..”
“Hah? Berarti lu udah lulus dong?”
“Udah..”
“Kok nggak ngasih tau?”
“Loh, selama ini gue selalu SMS ngasih kabar ke lo tentang hidup gue disini rif...”
“Ngasih kabar kayak gitu kok lewat SMS, emang nggak bisa telpon?”
“Loh sebelum-sebelumnya gue selalu nyoba telpon lo kok, dan lo tau kan kalo lo nggak mau jawab telpon dari gue..”
“Lah.. kok jadi seakan-akan gua yang salah sih?”Gua mencoba memberikan argument.
“Udah lah rif, nggak usah telpon kalo cuma pengen ngajak berdebat..”
“Gua nggak ngajak berdebat, gua cuma pengen tau..”
“Pengen tau tentang apa? Tentang kabar gue? Tentang hidup gue? Boro-boro lo nanya kabar gue selama ini gimana? SMS dari gue aja nggak pernah lo baca..”
“Ya kan lu tau gua agak sulit baca SMS..”
“Emang lo pikir gue nggak tau, gue tau rif, bahkan mungkin gue orang yang paling tau tentang lo.. makanya gua nggak pernah kirim SMS dengan kalimat terlalu panjang atau Bahasa gaul yang njelimet.. gue bahkan udah prepare untuk nggak dapet balesan SMS dari lo, karena hal itu.. tapi nggak berarti juga lo bebas nggak ngasih kabar, rif..”
Gua lalu terdiam.
Marcella lalu kembali bicara lagi;
“Kenapa ya, kok gue ngerasa kayak cuma gue doang butuh lo.. sedangkan lo sepertinya nggak butuh banget ngasih kabar ke gue..”
Gua masih terdiam.
“Sebenernya ada apa sih, rif?”
“Maksudnya?”
“Apa ada orang lain yang lebih care ke lo?”
Gua kembali terdiam.
“Rif..”
“Jawab..”
Gua nggak kuasa untuk menjawabnya, satu-satu-nya cara adalah dengan berbohong.
“Nggak ada cel, kan lu udah tau kalo gua lagi sibuk...”
“Yaudah makanya besok-besok kasih tau kalo sibuk, kan telpon sebentar bisa, paling cuma dua menit..”
“Iya.. iya maaf…”
“Yaudah, lo jaga kesehatan disana.. jangan lupa kalo ada rejeki, nanti liburan kesini, gue kangen..”
“Iya, liat nanti deh..”
Kemudian percakapan gua dan Marcella pun kembali berjalan normal. Ganjalan di hati sih tetap masih ada tapi entah kenapa hati ini jadi terasa sedikit lega.
---
Menjelang liburan akhir semester, gua udah planning untuk kembali ke Jakarta. Pulang melepas rindu kepada Bapak dan Ibu di rumah, sekalian ketemu sama teman-teman semasa SMA dulu dan Marcella tentunya. Perihal Fani, masih dalam area abu-abu di dalam pikiran gua.
Suatu malam, menjelang esoknya gua berangkat ke Jakarta, Fani menyambangi gua dikamar. Di mengetuk pintu kamar gua yang memang dibiarkan terbuka. Sambil tersenyum dia berdiri diambang pintu.
“Rif, jadi ke Jakarta besok?”
“Jadi..”Gua menjawab sambil melanjutkan beberes kamar.
“Bareng ya..”
“Hah!?”gua tertegun.
“Kenapa?”
“Nggak papa.. tapi gua naek bis..”
“Justru itu, gua keabisan tiket kereta, pengen naek bis sendiri, tapi takut..”
“Yaudah..”
Besok paginya, selepas solat subuh gua dan Fani sudah menginjakkan kaki di terminal. Setelah membeli karcis bus malam dan menunggu cukup lama, akhirnya gua dan Fani bisa duduk nyaman didalam bus. Jam menunjukkan pukul 10 pagi saat bus yang kami tumpangi akhirnya meninggalkan kota Semarang. Memang buat yang punya ongkos berlebih, naik kereta cepat dari Semarang ke Jakarta nggak bakal menghabiskan waktu lama, paling sekitar 8-10 jam-an. Sedangkan buat yang punya kocek pas-pasan kayak gua, naik bis malam merupakan satu-satunya solusi yang bisa gua temui. Beda-nya, bus malam nggak secepat dan senyaman kereta api. Biasanya bus dari Jawa tengah menuju ke Jakarta bakal menempuh waktu kurang lebih12-14 jam-an, tergantung pada kondisi jalan yang kami lalui. Biasanya kalau musim liburan seperti sekarang ini, banyak jalan yang macet dan tentu saja waktu yang dibutuhkan pun cenderung bertambah.
Menurut penuturannya, Fani merupakan anak bungsu dari 2 bersaudara. Ayahnya merupakan pegawai Polisi dengan jabatan yang cukup ‘lumayan’, sementara Ibunya juga masih bekerja sebagai PNS di sebuah kelurahan di Jakarta. Jadi, untuk urusan ekonomi, Fani sama sekali nggak kekurangan. Yang jadi masalah saat ini adalah, Fani nggak terbiasa naik bus AC ekonomi yang jarak tempuhnya jauh. Baru berjalan sekitar 2-3 jam-an dia sudah mengeluh pusing dan mual. Maklum, bus yang kami tumpangi memang belum memiliki suspensi udara yang bisa meminimalisir guncangan, ditambah gaya mengemudi si supir sedikit ugal-ugalan dan AC yang hembusannya hambar terasa hanya anginnya saja. Nggak lama, Fani pun muntah-muntah.
Gua lalu memijat pelan tengkuk-nya.
“Lagian, bukannya naek kereta aja..”
“Ya kalo dapet tiketnya, gue juga maunya naek kereta, rif..”
Setelah meminum obat, mulai dan pusingnya pun mulai mereda. Dia menyandarkan kepalanya di pundak gua, sementara kakinya dinaikkan keatas bangku dan ditekuk hingga lututnya bearada diantara dagu. Gua hanya mampu merasakan wangi rambut-nya yang lembut sambil tetap bertahan dengan posisi duduk gua yang mulai pegal.
Disaat seperti ini, gua mulai merasa kalau Fani sedikit banyak memiliki ‘rasa’ terhadap gua. Entah ini hanya tingkat kepercayaan diri gua yang over atau mungkin Fani memang sengaja ingin menunjukkannya. Tapi, gua nggak mau gegabah. Gua nggak mau terburu-buru, let it flow!
Hati kecil gua seperti memberontak. Entah apa gerangan yang bergejolak, tapi bayangan dikepala berkali-kali menampilkan sosok Marcella. Gua mengusap wajah, berusaha menghilangkan bayangan tersebut dari benak gua.
Ah! Apa yang terjadi dengan gua?
Sejatinya bisa saja selesai dari perjalanan ini gua lalu berusaha keras untuk melupakan Fani dan kembali kepelukan Marcella seutuhnya. Atau paling tidak, ada usaha yang gua lakukan untuk melakukan hal itu. Tapi, entah kenapa gua seperti tersihir, atau bukan.. bukan.. ini bukanlah perihal sihir, nalar atau logika. Ini merupakan Basic Insting manusia, insting dasar laki-laki. Laki-laki seperti gua yang kurang mendapat perhatian dan butuh untuk selalu di pedulikan. Bukan hanya lewat SMS atau telpon, melainkan sebuah perhatian yang nyata, yang nggak gua dapat dari Marcella.
Lagi-lagi gua melakukan sebuah pembelaan. Pembelaan yang gua tau sebenarnya nggak banyak benar-nya. Tapi, nggak juga sepenuhnya salah.
Cinta itu nggak bisa disalahkan. Tapi, cinta yang bukan pada tempatnya juga nggak sepenuhnya benar.
Sesampainya di Jakarta, gua menemani Fani sebentar, menunggu dijemput oleh Ayahnya. Saat itu Jakarta masih lengang, jam menunjukkan pukul 5 dini hari. Jalan-jalan terlihat kosong, sementara lampu-lampu penerangan masih terlihat menyala, memberikan sinarnya yang kemerahan. Semilir hembusan angina menerpa wajah gua yang kaku, kaku karena selama hampir semalaman terpapar AC yang nggak normal. Fani baru saja pergi dijemput oleh Ayahnya yang berpenampilan necis. Bah, orang tua mana yang sempet-sempetnya necis, subuh-subuh, hanya untuk menjemput anaknya di terminal bus? Ya cuma ayahnya Fani. Nggak lama berselang, suara klakson motor mengagetkan gua. Sebuah Honda GL100 tua berwarna merah berhenti dengan pria duduk diatasnya. Pria itu hanya mengenakan celana pendek dan sebuah jaket yang warna sedikit pudar dengan sandal jepit swallow menghiasi kaki-nya. Iya, dia bokap gua.
---
Jadwal pertama begitu sampai Jakarta, setelah temu kangen dengan keluarga adalah Marcella. Tapi, entah darimana asalnya, tiba-tiba Ilham sudah duduk manis di teras rumah gua begitu gua hendak berangkat.
“Buset, kayak dedemit lu, muncul tiba-tiba..”Gua berkata ke Ilham yang masih duduk manis sambil menghisap sebatang rokok.
“Mau kemana lu?”
“Ke tempat Marcella..”
“Ooh, yaudah ntar gua balik lagi dah..”Ilham berkata kemudian bergegas bangkit dari duduk-nya.
“Nggak usah, udah ntar gampang agak sorean gua kesananya..”
“Yaudah..”Ilham kemudian kembali duduk.
Dia menyibak rambutnya yang dibiarkan panjang hingga melewati bahu, saat bergerak terdengar bunyi gemrincing aneh yang keluar dari lengannya yang penuh dengan gelang. Ilham nggak banyak berubah, dia masih terlihat cuek dan ‘berantakan’, yang berbeda hanya dari rambut dan gigi-nya yang kali ini dilapis dengan kawat gigi.
“Itu ngapa gigi, lu gituin?”gua bertanya sambil menunjuk kearah gigi gua sendiri.
“Oh, ini.. lagi trend aja..”
“Oh, gua pikir biar nggak kabur tuh gigi..”
Nggak lama membahas masalah gigi yang dipagar, kemudian obrolan mulai beralih. Setelah kopi tersaji, kami mulai berbagi pengalam kuliah masing-masing. Hingga sampai titik dimana Ilham akhirnya mengeluarkan sebuah pertanyaan krusial;
“Gimana lu sama Marcella?”
Gua tersenyum tipis, kemudian menjawab;
“Baik-baik aja..”
Tapi, entah kenapa tiba-tiba ada dorongan yang besar untuk bercerita tentang problema gua dengan Fani kepada Ilham. Yang, Finnaly gua ceritakan.
Ilham mendengarkan dengan seksama, sesekali dia menggelengkan kepala, mungkin karena kecewa dengan sikap gua dan kadang ditimpali dengan;
“Parah lu“. Kalau bisa dihitung, mungkin selama obrolan kami itu, Ilham lebih dari dua puluh kali mengatakan
“Parah lu“, sedikit lebih banyak dari jumlah rokok yang dihisapnya.
“Udah sono, samperin Marcella..”Ilham tiba-tiba berdiri.
Melihat gua yang masih bengong karena cerita gua yang terinterupsi, dia menepuk bahu gua cukup keras dan mengulangi ucapannya;
“Udah buruan sono..”
Gua pun bergegas menghampiri Marcella.
Ada banyak perasaan yang berkecamuk sepanjang perjalanan gua menuju ke rumah Marcella. Masih ternginang jelas dibenak gua ucapan Ilham tadi;
“Lu ke-enakan banget jadi cowo, Marcella kurang apaan sih boy? Kurang cakep gimana lagi? Kurang perhatian gimana coba?, kok bisa-bisanya lu kepikiran selingkuh.. ngehe juga lu..”
Akhirnya, gua membulatkan tekad untuk ‘kembali’ kepada Marcella, kembali kepada cinta yang seharusnya. Gua bertekad untuk melupakan Fani, nggak mencoba memberikan peluang kepada siapapun untuk mengisi sedikit celah kosong dihati ini.
Begitu sampai, rumah Marcella terlihat sepi. Lampu rumahnya dibiarkan tidak menyala. Beberapa kali gua mengetuk pintu pagar dan memanggil-manggil namanya tapi nggak ada jawaban. Gua lalu mencoba menghubungi, nomor ponselnya; yang lalu terdengar suara operator yang bilang kalau nomor yang anda hubungi tidak aktif atau diluar jangkau-an. Damn! Nggak habis akal, gua lalu menyalakan motor dan bergegas menuju ke bengkel Opa Lie jie, yang jaraknya nggak terlalu jauh dari rumah Marcella.
Beruntung, menjelang Maghrib, bengkel Opa masih buka.
Seorang pria Cina tua, mengernyitkan dahi dan memandang melalui kaca mata bacanya yang sedikit merosot. Dia tersenyum dan melambai ke arah gua yang masih memarkirkan sepeda motor.
“Arif.. Lu olang apa kabar?”Opa menyapa gua bersemangat.
“Baik kek, baik..”
“Duduk…”Opa mempersilahkan gua duduk disalah satu bangku kayu tinggi yang terletak dibalik etalase tempat onderdil-onderdil motor terpajang.
Opa lalu bergegas kebelakang, dan kembali lagi dengan membawa segelas teh hangat didalam cangkir tanah liat.
“Ayo, minum dulu..”
“Makasih kek.. oiya, tadi saya kerumah, nggak ada orang..”
“Ooo.. iya.. cela baru berangkat tadi pagi ke Bandung..”
“Hah, ngapain?”
“Dia ditelima kuliah disana..”
“Kira-kira kapan pulangnya kek?”
“Katanya sih, nanti kalau libulan smestel..”
What? Gua hampir memuntahkan teh dari dalam mulut saat mendengar jawaban dari Opa. Gua lalu buru-buru mengeluarkan ponsel dari dalam kantung celana dan mulai membaca pesan dari Marcella yang dari kemarin belum sempat gua baca. Cukup lama gua terdiam saat membaca pesan tersebut. Antara sulit merangkai kata yang cukup panjang dan sulit mempercayai isi dari pesan tersebut.
Perlahan pandangan mulai nanar, gua nggak lagi mempedulikan si Opa yang tengah menjelaskan sistem kerja di bengkelnya, gua nggak lagi mempedulikan apapun yang ada disekitar. Gua lalu berdiri dan berjalan menuju keluar, masih memegan ponsel, gua membungkuk, menundukkan kepala sementara kedua tangan gua bertumpu pada lutut. Membiarkan darah mengalir lebih cepat ke otak, agar pikiran kembali jernih. Sementara, ponsel gua masih menampilkan pesan dari Marcella;
“Gw diterima di Bandung, hari ini berangkat. Kalo lo nggak langsung telpon gw, berarti gw anggap lo nggak baca SMS ini…”
Sebuah tepukan membuyarkan pikiran gua, Opa berdiri disamping gua sambil menjulurkan sebuah kertas.
Selembar kertas organizer berwarna merah muda dengan motif Winnie the pooh yang dilipat menjadi empat kini berada ditangan gua. Perlahan gua membuka lipatannya, terlihat tulisan tangan Marcella yang ditulis dengan huruf capital dengan lekukan yang tegas dan jelas, dan gua mulai membacanya;
Quote:
“RIF, CINTA NGGAK MENGENAL TEMPAT, WAKTU DAN JARAK. MUNGKIN BISA SAJA TERLAMBAT DAN MUNGKIN BISA SAJA BANYAK RINTANGAN. TAPI, SEJAUH APAPUN CINTA TERPISAH, DIA PASTI AKAN MENEMUKAN JALAN UNTUK PULANG. JIKA MEMANG INI CINTA, SUATU SAAT KITA PASTI BERTEMU LAGI. ENTAH DITEMPAT SEDERHANA SEPERTI DIBAWAH TERPAL BERWARNA BIRU ATAU DIKURSI KAYU BELAKANG SEKOLAH, ENTAH…
SAAT INI KITA MEMANG BERBEDA. TAPI, MUNGKIN SUATU SAAT NANTI NGGAK ADA LAGI ARIF ATAU MARCELLA, NGGAK ADA LAGI CINA ATAU JAWA, YANG ADA HANYA AKU DAN KAMU; KITA”
I LOVE YOU.. AYIIIIPPPPP