- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Everlasting Love
TS
robotpintar
Everlasting Love
Quote:
Open up your eyes, then you realise, Here I stand with my everlasting love, Need you by my side Girl to be my pride Never be denied everlasting love.
Sebuah potongan lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi asal Inggris; Jamie Cullum, Lirik yang menggambarkan betapa seorang pria mendambakan gadis impiannya agar selalu bersama-nya, dalam suka, duka dan sepanjang hidup, berbekal sebuah cinta yang (katanya) selamanya! Lalu benarkah ‘cinta’ yang selamanya itu ada?
Ada! Benarkah?
Orang bijak pernah bilang; “Mencintai itu seperti membuat api unggun, saat dibuat dengan komposisi kayu dan angin yang tepat maka akan cukup menghangatkan. Tapi, berhati-hati lah! karena kita tak pernah tau angin akan membuat api-mu padam atau malah bertiup semakin kencang hingga mampu membakarmu..”
Oke! pepatah yang cukup ‘menghibur’ untuk orang yang tengah dilanda asmara. Tapi buat Rendra, seorang pria yang bakal kalian baca kisah hidupnya nanti. Pepatah ini mungkin bukan cuma ‘hiburan’, kalimat ini meresap, mengalir dalam darahnya, menjadi bagian dari gumpalan daging di tubuhnya dan akhirnya menjadi bagian dari diri-nya sendiri.
Ini adalah kisah tentang seorang pemuda setengah bijak, setengah ceroboh, setengah hati bernama Rendra. Yang punya cinta sebesar dunia untuk hobi mendaki gunung.
Happy Reading!
Ternyata cerita ini udah ada yang bikin PDF-nya, thanks banget buat agan benggolo
Quote:
Original Posted By benggolo►halo gan, ini ane buatin versi PDFnya, dari bagian 1 - epilog - bagian 41. semoga membantu Everlasting Love
Quote:
Titipan dari agan Shabutaroyang udah repot-repot bikin PDF untuk cerita gua sebelumnya Everytime (yang udah diclosed) untuk link download PDF-nya silahkan klik disini
Diubah oleh robotpintar 20-11-2015 02:27
corazonraizo882 dan 67 lainnya memberi reputasi
66
709.1K
Kutip
1.9K
Balasan
Thread Digembok
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#769
Worry
Spoiler for Bagian :
Hari ini gua bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah terjun ke usaha cetakan, gua nggak lagi punya banyak kesempatan untuk work out. Yang gua pikirkan hanya kerja, Sofia dengan Arga dan Om gondrong-nya, sementara tubuh gua nggak lagi kebagian jatah untuk 'dimanjakan'. Jadilah hari ini gua khususkan untuk memanjakan tubuh, dengan sedikit push-up, pull-updan running. Langit masih gelap saat gua baru saja keluar dari rumah, sesekali suara deru mesin kendaraan terdengar menggema dari jalan raya yang terletak di ujung gang.
Gua lalu mulai pemanasan ringan dan mulai berlari kecil menyusuri jalan raya menuju ke sebuah taman kecil yang terletak di sebuah komplek perumahan mewah nggak begitu jauh dari rumah. Satu sampai dua jam gua habiskan di taman kecil itu untuk workin' out sederhana, saat matahari sudah cukup menghangatkan pagi dengan sinarnya yang cerah, gua pun memutuskan untuk pulang. Jalan raya yang gua lalu saat berangkat tadi sudah tak lagi lengang, hiruk pikuk kendaraan mulai meramaikan jalan. Walaupun awal weekend, jalan raya Rempoa ini sepertinya tak pernah terlihat lengang, beberapa angkutan umum berwarna putih dan merah hilir mudik, beberapa diantaranya terlihat dalam diam sambil menunggu penumpang, sementara si supir tengah asik dengan mata sembab, rokok ditangan kanan menggantung di pintu jendela mobil dengan handuk melingkar dilehernya, berteriak lemah menawarkan jasa angkutan miliknya. Sementara gua, sambil berlari kecil mencari cari lokasi tempat dulu biasanya tukang nasi uduk langganan gua berjualan, namun hingga pertigaan gang menuju area perumahan gua, tak kunjung nampak terpal biru yang biasanya sering digunakan si mpok pedagang nasi uduk untuk berdagang. Entah mungkin sudah terlewat atau gua yang lupa dimana persis lokasinya, ujung ujungnya gua sampai dirumah dengan tangan hampa.
Sesampainya didepan pekarangan rumah. Gua melihat kehadiran sebuah sedan hatchback berwarna merah yang gua kenali sebagai mobilnya Sofia. Gua mempercepat langkah menuju ke pintu depan, bokap berjalan keluar dari dalam rumah sambil menuntun motor kemudian menyalakannya, beliau hendak berangkat kerja. Bokap ini nggak seperti pemilik pemilik bengkel motor kebanyakan, yang buka bengkel agak siang lalu tutup saat menjelang sore, beliau membuka bengkelnya sejak pagi lalu baru tutup menjelang Isya; "Semakin pagi semakin baik, biar rejeki nggak dipatok ayam" begitu katanya.
Setelah menerima pamit dari bokap, gua lalu masuk kedalam. Didalam, ruang tamu terlihat lengang, di kursi hanya terlihat tas jinjing dan Sweater milik Sofia yang dilampirkan pada punggung kursi. Gua lalu berjalan ke arah kamar, membuka pintunya; kosong. Begitu gua menutup pintu kamar, samar terdengar suara gurauan dari arah dapur. Gua lalu beringsut cepat menuju ke arah datangnya suara, di dapur terlihat nyokap dan Sofia yang tengah duduk bersama diatas lantai dapur. Nyokap sedang 'mengulek' bumbu, sementara Sofia tengah mengupas kulit kentang.
"Lah.. Kapan dateng?" Gua bertanya kepada Sofia sambil berjongkok disebelahnya. Sebelum menjawab, Sofia menoleh dan menggeser bahunya menjauh dari gua, tangan kirinya meraih ujung jilbab-nya untuk menutup hidung.
"Bau.. Ih.. Mandi dulu.." Sofia bicara, nggak menjawab pertanyaan gua.
Gua lalu mengangkat leher kaus yang gua kenakan, mengendusnya sebentar kemudian bangkit berdiri dan buru buru menuju ke kamar mandi. Selesai mandi, gua kembali ke dapur, saat ini Sofia terlihat tengah memotong-motong kentang menjadi seukuran dadu. "Kamu kapan dateng?" Gua bertanya lagi kepadanya.
"Belum lama.." Dia menjawab seraya melirik kearah jam tangan micky mouse yang dikenakannya.
"Oh.. Trus dalam rangka apa nih, kok pagi pagi udah kesini?" Gua bertanya lagi.
"Loh, emangnya nggak boleh?" Sofia balik bertanya.
"Kenapa sih ndra?" Nyokap lalu ikut buka suara.
"Nggak.. Aku kan cuma nanya, fia.."
"Yaa.. Aku iseng aja, mumpung libur..."
"Ooh..." Gua meng-oh-kan jawaban Sofia. Sementara nyokap terlihat tersenyum simpul sambil menuang minyak goreng keatas wajan. Sebuah senyuman bangga, karena anaknya 'diapelin' pagi pagi buta.
"Kamu nggak berangkat kan?" Sofia lalu bertanya ke gua.
"Nngg.. Sebenernya sih mau ke kebayoran, ada kerjaan.." Gua menjawab.
"Nggak senin aja?, sekarang kan sabtu, ndra.." Nyokap kali ini yang mengajukan pertanyaan ke gua, mungkin mewakili Sofia.
"Yaudah aku ikut deh.." Sofia menambahkan.
"Ngikut? Ngapain?"
"Ya nemenin kamu lah, sekalian pengen tau aja"
"Ooh yaudah.."
"Tapi, nanti ya, tanggung.. Bantuin ibu dulu nih.." Sofia bicara sambil menunjuk tumpukan kentang yang telah dikupas dihadapannya.
"Udah nggak apa apa neng, tinggal aja.. Ibu bisa kok sendiri, biasanya juga begitu.." Nyokap berkata ke Sofia sambil menepuk lembut bahunya. Sofia kemudian tersenyum, mengapit tangan nyokap dengan tangannya sendiri, lalu memandang penuh harap ke gua.
Gua menghela nafas, kemudian mengangguk pelan; "yaudah.."
Sesaat berikutnya gua lalu meninggalkan mereka berdua didapur, menuju ke kamar untuk mengambil tas. Dari kamar gua kembali terdengar gurauan Sofia dengan nyokap. Kali ini gua terduduk diatas kasur sambil senyum senyum sendiri, tentu saja kebahagiaan adalah alasannya. Bagaimana tidak, dua orang paling penting dalam hidup gua, kini saling bersisian, ngobrol ramah dan memasak bersama, bahkan Sofia lebih memilih menyelesaikan bantuan memasak terhadap nyokap daripada menemani gua, pacarnya.
Saat hendak berjalan keluar rumah, gua terhenyak sesaat dan duduk diatas kursi ruang tamu. Tadinya gua mau langsung berangkat untuk beli kertas dan ke tukang cetakan, mumpung masih pagi, jadi nggak antri dan belum begitu macet, kerjaan pun kelar sebelum deadline. Tapi, apa daya.. Hati ini seperti memberontak, meminta gua untuk menunggu hingga Sofia selesai membantu nyokap memasak. Ya akhirnya gua pun duduk manis diruang tamu sambil sesekali berbaring di salah satu kursi panjang, mencoba membunuh waktu.
Tik.. Tok.. Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Suara detak jam tangan gua terdengar nyaring ketika gua meletakkan tangan gua diatas dahi sambil berbaring diatas kursi. Sudah hampir satu jam sejak gua memutuskan untuk menunggu Sofia selesai memasak dan menit berikutnya, suara langkah kaki terdengar mendekat, disusul sentuhan tangan yang menepuk bahu gua.
"Ndra.. Ndra.. Kamu tidur?" Nyokap bertanya ke gua, beliau berdiri sambil dihadapan gua sambil melipat celemek yang telah selesai dipakainya.
"Nggak.." Gua menjawab, dengan tetap nggak merubah posisi tubuh dari atas kursi panjang.
"Tuh, udah mateng.. Sarapan dulu.."
Begitu mengetahui bahwa masakan nyokap telah matang, gua lalu bangkit, terduduk sebentar kemudian disambut dengan pemandangan Sofia yang tengah membawa pinggan tahan panas dari dapur ke meja makan. Sebuah pemandangan yang tak biasa gua temui. Nyokap duduk disebelah gua; "Ndra.. Ibu seneng deh kalo punya menantu kayak neng Fia.."
"Hah?"
"Iya.. Cantik, ramah, sopan, bisa masak lagi.." Nyokap bicara pelan, merespon jawaban gua yang belagak kaget.
"Mudah mudahan dia orangnya ya bu.." Gua bicara dengan volume yang sama dengan nyokap, sambil tetap memandang ke arah Sofia yang saat ini sedang kembali kedapur.
"Jangan lama lama ndra.. Inget umur,... Dan takutnya ibu sama bapak keburu..." Nyokap menambahkan, yang lalu buru buru gua potong.
"Iya ibu.."
Gua lalu berdiri dan berjalan menuju ke meja makan, dimana Sofia tengah berdiri disana, menata hasil masakan kompilasi dia dengan nyokap.
"Makan dulu ndra, abis itu aku temenin kamu ke kebayoran.." Sofia berkata ke gua sambil mengelap sisi-sisi pinggan tahan panas yang terkena cipratan bumbu dari sambel goreng kentang yang baru saja matang.
"Iya.. Nggak perlu dilap lap kayak gitu fia.. Ini kan bukan direstaurant.."
"Hehe.. Kebiasaan dirumah soalnya.., aku sendokin nasi-nya ya, mau?"
Gua lalu menganguk cepat sambil tersenyum.
Terdengar suara televisi yang baru saja dinyalakan oleh nyokap. Ya, seperti biasa, setelah selesai masak, nyokap bakalan bersantai ria dengan menonton televisi, terkadang sambil menyetrika atau sekedar membersihkan perabotan dirumah. Sesekali waktu nyokap menelpon Helmi sekedar menanyakan kabar, tetap sambil menonton televisi. Sementara gua menyantap makanan yang baru saja disiapkan oleh Sofia. "Ah, mungkin begini rasanya jika sudah menikah nanti, disiapkan sarapan oleh istri tercinta dirumah" gua membatin dalam hati.
Setelah selesai makan, gua dan Sofia pamit ke nyokap dan bergegas menuju ke Kebayoran Lama, tempat biasa gua membeli kertas. Didalam mobil yang disupiri oleh Sofia, gua beberapa kali melirik ke arah jam tangan; "Ngapain sih dari tadi ngeliatin jam melulu?" Sofia bertanya ke gua tanpa memalingkan pandangannya dari balik kemudi.
"Takut keburu tutup toko kertasnya" gua menjawab, sambil sekali lagi melirik ke arah jam tangan, waktunya menunjukkan pukul 10 lewat. Sebenarnya sih untuk tiba di kebayoran lama nggak begitu memakan banyak waktu, tapi sekarang hari sabtu, toko kertas dan beberapa langganan tempat cetakan gua hanya buka setengah hari, hingga pukul 12 siang. Mungkin gua masih sempat untuk memesan kertas tapi kalau untuk kemudian membuat 'film', memesan pisau 'pond' hingga proses cetaknya, jelas hari ini nggak bakal keburu dan kalau sudah seperti ini terpaksa kerjaan jadi tertunda sampai hari Senin.
"Lah emang tutupnya jam berapa?" Sofia bertanya lagi.
"Kalo sabtu, setengah hari.." Gua menjawab. Sofia lalu mempercepat laju mobilnya.
"Nggak usah ngebut.. Kalo nggak keburu besok senen masih bisa.." Gua menambahkan.
Setelah itu kami berdua terdiam cukup lama, hingga akhirnya Sofia buka suara; "Ndra... Nanti sore aku nemenin Arga ya.."
Kata katanya terdengar mengambang, entah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan. "Kamu nanya atau ngasih tau?"
"Emm... Nanya.." Sofia menjawab, pelan.
"Ooh.. Yaudah.."
"Yaudah apa nih? Yaudah boleh apa yaudah nggak boleh..?"
"Boleh lah, Fia.. Aku kan waktu itu udah pernah bilang, nggak papa kalo kamu mau nemenin Arga terapi, asal..."
"Nggak ndra.. Aku nggak bakal macem macem.."
"Berarti kita nggak bisa malem mingguan dong?"
"Besok kan bisa.." Sofia menjawab pertanyaan gua.
Gua hanya meresponnya dengan anggukan kepala pelan. Sialan! Pikiran negatif gua mulai bekerja, jangan jangan si Arga ini sengaja cari waktu terapi pas malam minggu supaya membatasi hubungan gua dengan Fia. Ya namanya orang sedang cemburu, hal yang positif terkadang jadi terlihat, terdengat dan terasa negatif. Gua sadar akan hal itu, makanya buru buru gua hilangkan pikiran negatif itu dari kepala gua.
Setengah jam berikutnya, kami sudah tiba di toko kertas langganan gua di daerah kebayoran lama. Di jalan inj berbaris aneka kios kios yang menjual jasa percetakan, dari mulai kertas, jasa setting, jasa desain, finishing, sampai kios yang menjual beraneka macam alat dan bahan untuk sablon. Sofia memarkirkan mobilnya dihalaman toko kertas, toko ini salah satu yang paling besar dan luas diantara kios kios lainnya. Halamannya pun cukup luas, bahkan untuk memarkirkan dua truk sekaligus. Gua turun dari mobil sementara, Sofia berniat menunggu didalam mobil.
"Ikut aja yuk.." Gua mengajaknya sebelum menutup pintu depan sebelah kiri.
"Emang lama? Cuma beli kertas doang kan?" Sofia bertanya.
Gua lalu menggelengkan kepala dan sedikit memaksanya untuk ikut masuk kedalam. Dia lalu membereskan tas jinjingnya, mematikan mesin dan mengikuti gua berjalan masuk kedalam. Sampai didalam toko, terlihat beberapa orang pelanggan tengah duduk di bangku berderet yang telah disediakan. Gua berjalan menuju ke sebuah meja panjang dan memesan kertas, setelah itu ikut bergabung dengan pelanggan lain duduk di bangku berderet, Sofia duduk disebelah gua.
"Emang lama ndra?" Dia bertanya ke gua sambil setengah berbisik.
"Ya tergantung.."
"Tergantung apanya?"
"Tergantung keteraediaan kertasnya, kalo kita peaen kertasnya ukuran custom biasanya makan waktu cukup lama.. Karena kertasnya harus dipotong dulu.."
"Oh gitu... Emang kertasnya masih gulungan?" Sofia bertanya lagi, makin penasaran.
"Ada yang gulungan tapi kebanyakan udah jadi lembaran, tapi ukurannya plano?"
"Hah, plano?" Sofia kembali bertanya, gua hanya tersenyum kecil kemudian mulai menjelaskan.
Dalam dunia cetakan, kertas 'mentah' atau kertas yang belum diproses (potong, cetak) punya ukuran yang namanya plano. Biasanya orang awam hanya mengenal ukuran kertas 'standar' seperti A4, A5, A3 atau F4 yang biasa dijual di toko peralatan ATK, sedangkan jika kita membeli kertas di toko kertas besar seperti tempat langganan gua ini, kertasnya masih dalam ukuran plano atau gulungan dan kita bisa order dengan ukuran berapapun yang kita mau, setelah itu barulah dipotong. Nah pada proses potong itu biasanya butuh waktu yang cukup lama, tergantung banyaknya kertas dan antrian.
Sofia manggut manggut mendengar penjelasan singkat dari gua, sementara tangannya sibuk memilin-milin ujung jilbabnya. Setelah menunggu sekitar hampir setengah jam, nama gua lalu di panggil oleh pemuda berambut gondrong yang bertugas dibagian pemotongan dan pengemasan, dia menyerahkan 6 rim kertas Art Paper dengan grammasi 150gr, gua lalu membaginya menjadi dua tumpukan, masing-masing tiga rim dan membawanya. Sofia bangkit dari duduknya, berjalan cepat menyusul gua; “Sini aku bantuin, ndra..”
“Jangan,.. berat..”
Sofia lalu mempercepat langkahnya, menuju ke mobil dan membuka bagasi belakang. Gua menuruni tangga, menuju kearahnya dan meletakan tumpukan kertas itu dalam bagasi.
“Ndra, kamu kalo beli kertas segitu banyak?” Sofia bertanya ke gua sambil masuk kedalam mobil dan duduk dibangku kemudi.
“Iya.. ini mah dikit.. kemaren pernah sampe 10 rim..”
“Hah, 10 tumpuk kayak gitu?”
“Nggak jenis kertas dan grammasi nya laen, lebih berat lagi..”
“Trus, kamu bawa pake apa?”
“Pake motor..” gua menjawab santai.
“Pake motor??” Sofia mengulangi jawabn gua, wajahnya dipalingkan ke gua. Dia seperti menunjukkan wajah kepanikan atau semacam ekspresi tidak percaya yang luar biasa.
“Iya.. pake motor, emang kenapa?”
“Besok besok jangan deh, ndra.. aku anter aja..ya..”
“Lah, nggak usah, kamu lan kerja, lagian aku juga masih bisa naek motor, kalo kelewat banyak biasanya aku dua kali balik..” Gua menjelaskan.
Sofia masih memasang tampang khawatir, sementara mobil yang kami tumpangi mulai berjalan meninggalkan tempat itu, hingga sampai di persimpangan menuju ke arah pasar kebayoran lama, didepan kami melintas seorang pria mengendarai sepeda motor bebek dengan tumpukan-tumpukan kertas diboncengan belakang dan bagian depan motornya. Sofia menunjuk ke arah pria tersebut sambil berkata ke gua; “Tuh, ndra.. kalo kayak gitu kan bahaya..”
“Nggak kok, mereka kan udah biasa.. aku juga udah biasa.. “ Gua membela diri.
“Atau.. kamu pake mobil aku deh kalo pas beli kertas..”
“What! Nggak.. nggak.. nggak usah, aku masih bisa naik motor..”
“Yaah, bahaya tau ndraa..”
“Lagian aku kan nggak bisa.. nyetir..” gua menjawab lirih sambil menyunggingkan senyum kearahnya.
“Ya nanti kursus dulu..”
“Udah, nggak apa-apa Sofia.. aku bisa kok bawa barang sambil naik motor..” gua membuat pernyataan terakhir sambil menggenggam tangan sebelah kirinya. Dia menoleh ke arah gua, menyunggingkan senyum termanisnya dan berkata; “Aku takut kamu kenapa-kenapa..”
Gua menghela nafas kemudian menjawab; “In Sha Allah.. nggak..”
---
Setelah membeli kertas, Sofia lalu mengantarkan gua ke tukang cetak yang juga langganan gua. Dari situ, gua melepas Sofia yang hendak berangkat menjemput Arga untuk terapi. Beberapa kali Sofia bersikeras untuk menunggu gua hingga selesai, dia khawatir gua nggak bisa membawa tumpukan kertas-kertas yang tadi kami beli. Gua mencoba meyakinkan kalau kertas-kertas itu mau dicetak dan nggak mungkin selesai hari ini, barulah setelah itu Sofia bisa gua bujuk dengan mudah untuk meninggalkan gua.
Jam menunjukkan pukul tiga sore saat gua baru saja keluar dari kios tukang setting plat film, gua berjalan pelan menyusuri jalan raya Asyirot, yang masih di area kebayoran lama menuju ke tukan cetak tempat gua tadi berpisah dengan Sofia, setelah menyerahkan plat film ke tukang cetak gua pun pamit untuk pulang. Tapi, alih-alih pulang, entah kenapa hati ini terus berteriak untuk menyusul Sofia ke rumah sakit tempat si Arga di terapi. Akhirnya dengan membulatkan hati, gua memanggil tukang ojek,dengan sebuah siulan keras. Sigap si tukang ojek lalu mengahampiri gua; “Kemana bang?”
“Rumah sakit Pondok Indah..” Gua menjawab mantab, sambil menerima helm yang diserahkan oleh situkang ojek tersebut.
Gua lalu mulai pemanasan ringan dan mulai berlari kecil menyusuri jalan raya menuju ke sebuah taman kecil yang terletak di sebuah komplek perumahan mewah nggak begitu jauh dari rumah. Satu sampai dua jam gua habiskan di taman kecil itu untuk workin' out sederhana, saat matahari sudah cukup menghangatkan pagi dengan sinarnya yang cerah, gua pun memutuskan untuk pulang. Jalan raya yang gua lalu saat berangkat tadi sudah tak lagi lengang, hiruk pikuk kendaraan mulai meramaikan jalan. Walaupun awal weekend, jalan raya Rempoa ini sepertinya tak pernah terlihat lengang, beberapa angkutan umum berwarna putih dan merah hilir mudik, beberapa diantaranya terlihat dalam diam sambil menunggu penumpang, sementara si supir tengah asik dengan mata sembab, rokok ditangan kanan menggantung di pintu jendela mobil dengan handuk melingkar dilehernya, berteriak lemah menawarkan jasa angkutan miliknya. Sementara gua, sambil berlari kecil mencari cari lokasi tempat dulu biasanya tukang nasi uduk langganan gua berjualan, namun hingga pertigaan gang menuju area perumahan gua, tak kunjung nampak terpal biru yang biasanya sering digunakan si mpok pedagang nasi uduk untuk berdagang. Entah mungkin sudah terlewat atau gua yang lupa dimana persis lokasinya, ujung ujungnya gua sampai dirumah dengan tangan hampa.
Sesampainya didepan pekarangan rumah. Gua melihat kehadiran sebuah sedan hatchback berwarna merah yang gua kenali sebagai mobilnya Sofia. Gua mempercepat langkah menuju ke pintu depan, bokap berjalan keluar dari dalam rumah sambil menuntun motor kemudian menyalakannya, beliau hendak berangkat kerja. Bokap ini nggak seperti pemilik pemilik bengkel motor kebanyakan, yang buka bengkel agak siang lalu tutup saat menjelang sore, beliau membuka bengkelnya sejak pagi lalu baru tutup menjelang Isya; "Semakin pagi semakin baik, biar rejeki nggak dipatok ayam" begitu katanya.
Setelah menerima pamit dari bokap, gua lalu masuk kedalam. Didalam, ruang tamu terlihat lengang, di kursi hanya terlihat tas jinjing dan Sweater milik Sofia yang dilampirkan pada punggung kursi. Gua lalu berjalan ke arah kamar, membuka pintunya; kosong. Begitu gua menutup pintu kamar, samar terdengar suara gurauan dari arah dapur. Gua lalu beringsut cepat menuju ke arah datangnya suara, di dapur terlihat nyokap dan Sofia yang tengah duduk bersama diatas lantai dapur. Nyokap sedang 'mengulek' bumbu, sementara Sofia tengah mengupas kulit kentang.
"Lah.. Kapan dateng?" Gua bertanya kepada Sofia sambil berjongkok disebelahnya. Sebelum menjawab, Sofia menoleh dan menggeser bahunya menjauh dari gua, tangan kirinya meraih ujung jilbab-nya untuk menutup hidung.
"Bau.. Ih.. Mandi dulu.." Sofia bicara, nggak menjawab pertanyaan gua.
Gua lalu mengangkat leher kaus yang gua kenakan, mengendusnya sebentar kemudian bangkit berdiri dan buru buru menuju ke kamar mandi. Selesai mandi, gua kembali ke dapur, saat ini Sofia terlihat tengah memotong-motong kentang menjadi seukuran dadu. "Kamu kapan dateng?" Gua bertanya lagi kepadanya.
"Belum lama.." Dia menjawab seraya melirik kearah jam tangan micky mouse yang dikenakannya.
"Oh.. Trus dalam rangka apa nih, kok pagi pagi udah kesini?" Gua bertanya lagi.
"Loh, emangnya nggak boleh?" Sofia balik bertanya.
"Kenapa sih ndra?" Nyokap lalu ikut buka suara.
"Nggak.. Aku kan cuma nanya, fia.."
"Yaa.. Aku iseng aja, mumpung libur..."
"Ooh..." Gua meng-oh-kan jawaban Sofia. Sementara nyokap terlihat tersenyum simpul sambil menuang minyak goreng keatas wajan. Sebuah senyuman bangga, karena anaknya 'diapelin' pagi pagi buta.
"Kamu nggak berangkat kan?" Sofia lalu bertanya ke gua.
"Nngg.. Sebenernya sih mau ke kebayoran, ada kerjaan.." Gua menjawab.
"Nggak senin aja?, sekarang kan sabtu, ndra.." Nyokap kali ini yang mengajukan pertanyaan ke gua, mungkin mewakili Sofia.
"Yaudah aku ikut deh.." Sofia menambahkan.
"Ngikut? Ngapain?"
"Ya nemenin kamu lah, sekalian pengen tau aja"
"Ooh yaudah.."
"Tapi, nanti ya, tanggung.. Bantuin ibu dulu nih.." Sofia bicara sambil menunjuk tumpukan kentang yang telah dikupas dihadapannya.
"Udah nggak apa apa neng, tinggal aja.. Ibu bisa kok sendiri, biasanya juga begitu.." Nyokap berkata ke Sofia sambil menepuk lembut bahunya. Sofia kemudian tersenyum, mengapit tangan nyokap dengan tangannya sendiri, lalu memandang penuh harap ke gua.
Gua menghela nafas, kemudian mengangguk pelan; "yaudah.."
Sesaat berikutnya gua lalu meninggalkan mereka berdua didapur, menuju ke kamar untuk mengambil tas. Dari kamar gua kembali terdengar gurauan Sofia dengan nyokap. Kali ini gua terduduk diatas kasur sambil senyum senyum sendiri, tentu saja kebahagiaan adalah alasannya. Bagaimana tidak, dua orang paling penting dalam hidup gua, kini saling bersisian, ngobrol ramah dan memasak bersama, bahkan Sofia lebih memilih menyelesaikan bantuan memasak terhadap nyokap daripada menemani gua, pacarnya.
Saat hendak berjalan keluar rumah, gua terhenyak sesaat dan duduk diatas kursi ruang tamu. Tadinya gua mau langsung berangkat untuk beli kertas dan ke tukang cetakan, mumpung masih pagi, jadi nggak antri dan belum begitu macet, kerjaan pun kelar sebelum deadline. Tapi, apa daya.. Hati ini seperti memberontak, meminta gua untuk menunggu hingga Sofia selesai membantu nyokap memasak. Ya akhirnya gua pun duduk manis diruang tamu sambil sesekali berbaring di salah satu kursi panjang, mencoba membunuh waktu.
Tik.. Tok.. Tik.. Tok.. Tik.. Tok..
Suara detak jam tangan gua terdengar nyaring ketika gua meletakkan tangan gua diatas dahi sambil berbaring diatas kursi. Sudah hampir satu jam sejak gua memutuskan untuk menunggu Sofia selesai memasak dan menit berikutnya, suara langkah kaki terdengar mendekat, disusul sentuhan tangan yang menepuk bahu gua.
"Ndra.. Ndra.. Kamu tidur?" Nyokap bertanya ke gua, beliau berdiri sambil dihadapan gua sambil melipat celemek yang telah selesai dipakainya.
"Nggak.." Gua menjawab, dengan tetap nggak merubah posisi tubuh dari atas kursi panjang.
"Tuh, udah mateng.. Sarapan dulu.."
Begitu mengetahui bahwa masakan nyokap telah matang, gua lalu bangkit, terduduk sebentar kemudian disambut dengan pemandangan Sofia yang tengah membawa pinggan tahan panas dari dapur ke meja makan. Sebuah pemandangan yang tak biasa gua temui. Nyokap duduk disebelah gua; "Ndra.. Ibu seneng deh kalo punya menantu kayak neng Fia.."
"Hah?"
"Iya.. Cantik, ramah, sopan, bisa masak lagi.." Nyokap bicara pelan, merespon jawaban gua yang belagak kaget.
"Mudah mudahan dia orangnya ya bu.." Gua bicara dengan volume yang sama dengan nyokap, sambil tetap memandang ke arah Sofia yang saat ini sedang kembali kedapur.
"Jangan lama lama ndra.. Inget umur,... Dan takutnya ibu sama bapak keburu..." Nyokap menambahkan, yang lalu buru buru gua potong.
"Iya ibu.."
Gua lalu berdiri dan berjalan menuju ke meja makan, dimana Sofia tengah berdiri disana, menata hasil masakan kompilasi dia dengan nyokap.
"Makan dulu ndra, abis itu aku temenin kamu ke kebayoran.." Sofia berkata ke gua sambil mengelap sisi-sisi pinggan tahan panas yang terkena cipratan bumbu dari sambel goreng kentang yang baru saja matang.
"Iya.. Nggak perlu dilap lap kayak gitu fia.. Ini kan bukan direstaurant.."
"Hehe.. Kebiasaan dirumah soalnya.., aku sendokin nasi-nya ya, mau?"
Gua lalu menganguk cepat sambil tersenyum.
Terdengar suara televisi yang baru saja dinyalakan oleh nyokap. Ya, seperti biasa, setelah selesai masak, nyokap bakalan bersantai ria dengan menonton televisi, terkadang sambil menyetrika atau sekedar membersihkan perabotan dirumah. Sesekali waktu nyokap menelpon Helmi sekedar menanyakan kabar, tetap sambil menonton televisi. Sementara gua menyantap makanan yang baru saja disiapkan oleh Sofia. "Ah, mungkin begini rasanya jika sudah menikah nanti, disiapkan sarapan oleh istri tercinta dirumah" gua membatin dalam hati.
Setelah selesai makan, gua dan Sofia pamit ke nyokap dan bergegas menuju ke Kebayoran Lama, tempat biasa gua membeli kertas. Didalam mobil yang disupiri oleh Sofia, gua beberapa kali melirik ke arah jam tangan; "Ngapain sih dari tadi ngeliatin jam melulu?" Sofia bertanya ke gua tanpa memalingkan pandangannya dari balik kemudi.
"Takut keburu tutup toko kertasnya" gua menjawab, sambil sekali lagi melirik ke arah jam tangan, waktunya menunjukkan pukul 10 lewat. Sebenarnya sih untuk tiba di kebayoran lama nggak begitu memakan banyak waktu, tapi sekarang hari sabtu, toko kertas dan beberapa langganan tempat cetakan gua hanya buka setengah hari, hingga pukul 12 siang. Mungkin gua masih sempat untuk memesan kertas tapi kalau untuk kemudian membuat 'film', memesan pisau 'pond' hingga proses cetaknya, jelas hari ini nggak bakal keburu dan kalau sudah seperti ini terpaksa kerjaan jadi tertunda sampai hari Senin.
"Lah emang tutupnya jam berapa?" Sofia bertanya lagi.
"Kalo sabtu, setengah hari.." Gua menjawab. Sofia lalu mempercepat laju mobilnya.
"Nggak usah ngebut.. Kalo nggak keburu besok senen masih bisa.." Gua menambahkan.
Setelah itu kami berdua terdiam cukup lama, hingga akhirnya Sofia buka suara; "Ndra... Nanti sore aku nemenin Arga ya.."
Kata katanya terdengar mengambang, entah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan. "Kamu nanya atau ngasih tau?"
"Emm... Nanya.." Sofia menjawab, pelan.
"Ooh.. Yaudah.."
"Yaudah apa nih? Yaudah boleh apa yaudah nggak boleh..?"
"Boleh lah, Fia.. Aku kan waktu itu udah pernah bilang, nggak papa kalo kamu mau nemenin Arga terapi, asal..."
"Nggak ndra.. Aku nggak bakal macem macem.."
"Berarti kita nggak bisa malem mingguan dong?"
"Besok kan bisa.." Sofia menjawab pertanyaan gua.
Gua hanya meresponnya dengan anggukan kepala pelan. Sialan! Pikiran negatif gua mulai bekerja, jangan jangan si Arga ini sengaja cari waktu terapi pas malam minggu supaya membatasi hubungan gua dengan Fia. Ya namanya orang sedang cemburu, hal yang positif terkadang jadi terlihat, terdengat dan terasa negatif. Gua sadar akan hal itu, makanya buru buru gua hilangkan pikiran negatif itu dari kepala gua.
Setengah jam berikutnya, kami sudah tiba di toko kertas langganan gua di daerah kebayoran lama. Di jalan inj berbaris aneka kios kios yang menjual jasa percetakan, dari mulai kertas, jasa setting, jasa desain, finishing, sampai kios yang menjual beraneka macam alat dan bahan untuk sablon. Sofia memarkirkan mobilnya dihalaman toko kertas, toko ini salah satu yang paling besar dan luas diantara kios kios lainnya. Halamannya pun cukup luas, bahkan untuk memarkirkan dua truk sekaligus. Gua turun dari mobil sementara, Sofia berniat menunggu didalam mobil.
"Ikut aja yuk.." Gua mengajaknya sebelum menutup pintu depan sebelah kiri.
"Emang lama? Cuma beli kertas doang kan?" Sofia bertanya.
Gua lalu menggelengkan kepala dan sedikit memaksanya untuk ikut masuk kedalam. Dia lalu membereskan tas jinjingnya, mematikan mesin dan mengikuti gua berjalan masuk kedalam. Sampai didalam toko, terlihat beberapa orang pelanggan tengah duduk di bangku berderet yang telah disediakan. Gua berjalan menuju ke sebuah meja panjang dan memesan kertas, setelah itu ikut bergabung dengan pelanggan lain duduk di bangku berderet, Sofia duduk disebelah gua.
"Emang lama ndra?" Dia bertanya ke gua sambil setengah berbisik.
"Ya tergantung.."
"Tergantung apanya?"
"Tergantung keteraediaan kertasnya, kalo kita peaen kertasnya ukuran custom biasanya makan waktu cukup lama.. Karena kertasnya harus dipotong dulu.."
"Oh gitu... Emang kertasnya masih gulungan?" Sofia bertanya lagi, makin penasaran.
"Ada yang gulungan tapi kebanyakan udah jadi lembaran, tapi ukurannya plano?"
"Hah, plano?" Sofia kembali bertanya, gua hanya tersenyum kecil kemudian mulai menjelaskan.
Dalam dunia cetakan, kertas 'mentah' atau kertas yang belum diproses (potong, cetak) punya ukuran yang namanya plano. Biasanya orang awam hanya mengenal ukuran kertas 'standar' seperti A4, A5, A3 atau F4 yang biasa dijual di toko peralatan ATK, sedangkan jika kita membeli kertas di toko kertas besar seperti tempat langganan gua ini, kertasnya masih dalam ukuran plano atau gulungan dan kita bisa order dengan ukuran berapapun yang kita mau, setelah itu barulah dipotong. Nah pada proses potong itu biasanya butuh waktu yang cukup lama, tergantung banyaknya kertas dan antrian.
Sofia manggut manggut mendengar penjelasan singkat dari gua, sementara tangannya sibuk memilin-milin ujung jilbabnya. Setelah menunggu sekitar hampir setengah jam, nama gua lalu di panggil oleh pemuda berambut gondrong yang bertugas dibagian pemotongan dan pengemasan, dia menyerahkan 6 rim kertas Art Paper dengan grammasi 150gr, gua lalu membaginya menjadi dua tumpukan, masing-masing tiga rim dan membawanya. Sofia bangkit dari duduknya, berjalan cepat menyusul gua; “Sini aku bantuin, ndra..”
“Jangan,.. berat..”
Sofia lalu mempercepat langkahnya, menuju ke mobil dan membuka bagasi belakang. Gua menuruni tangga, menuju kearahnya dan meletakan tumpukan kertas itu dalam bagasi.
“Ndra, kamu kalo beli kertas segitu banyak?” Sofia bertanya ke gua sambil masuk kedalam mobil dan duduk dibangku kemudi.
“Iya.. ini mah dikit.. kemaren pernah sampe 10 rim..”
“Hah, 10 tumpuk kayak gitu?”
“Nggak jenis kertas dan grammasi nya laen, lebih berat lagi..”
“Trus, kamu bawa pake apa?”
“Pake motor..” gua menjawab santai.
“Pake motor??” Sofia mengulangi jawabn gua, wajahnya dipalingkan ke gua. Dia seperti menunjukkan wajah kepanikan atau semacam ekspresi tidak percaya yang luar biasa.
“Iya.. pake motor, emang kenapa?”
“Besok besok jangan deh, ndra.. aku anter aja..ya..”
“Lah, nggak usah, kamu lan kerja, lagian aku juga masih bisa naek motor, kalo kelewat banyak biasanya aku dua kali balik..” Gua menjelaskan.
Sofia masih memasang tampang khawatir, sementara mobil yang kami tumpangi mulai berjalan meninggalkan tempat itu, hingga sampai di persimpangan menuju ke arah pasar kebayoran lama, didepan kami melintas seorang pria mengendarai sepeda motor bebek dengan tumpukan-tumpukan kertas diboncengan belakang dan bagian depan motornya. Sofia menunjuk ke arah pria tersebut sambil berkata ke gua; “Tuh, ndra.. kalo kayak gitu kan bahaya..”
“Nggak kok, mereka kan udah biasa.. aku juga udah biasa.. “ Gua membela diri.
“Atau.. kamu pake mobil aku deh kalo pas beli kertas..”
“What! Nggak.. nggak.. nggak usah, aku masih bisa naik motor..”
“Yaah, bahaya tau ndraa..”
“Lagian aku kan nggak bisa.. nyetir..” gua menjawab lirih sambil menyunggingkan senyum kearahnya.
“Ya nanti kursus dulu..”
“Udah, nggak apa-apa Sofia.. aku bisa kok bawa barang sambil naik motor..” gua membuat pernyataan terakhir sambil menggenggam tangan sebelah kirinya. Dia menoleh ke arah gua, menyunggingkan senyum termanisnya dan berkata; “Aku takut kamu kenapa-kenapa..”
Gua menghela nafas kemudian menjawab; “In Sha Allah.. nggak..”
---
Setelah membeli kertas, Sofia lalu mengantarkan gua ke tukang cetak yang juga langganan gua. Dari situ, gua melepas Sofia yang hendak berangkat menjemput Arga untuk terapi. Beberapa kali Sofia bersikeras untuk menunggu gua hingga selesai, dia khawatir gua nggak bisa membawa tumpukan kertas-kertas yang tadi kami beli. Gua mencoba meyakinkan kalau kertas-kertas itu mau dicetak dan nggak mungkin selesai hari ini, barulah setelah itu Sofia bisa gua bujuk dengan mudah untuk meninggalkan gua.
Jam menunjukkan pukul tiga sore saat gua baru saja keluar dari kios tukang setting plat film, gua berjalan pelan menyusuri jalan raya Asyirot, yang masih di area kebayoran lama menuju ke tukan cetak tempat gua tadi berpisah dengan Sofia, setelah menyerahkan plat film ke tukang cetak gua pun pamit untuk pulang. Tapi, alih-alih pulang, entah kenapa hati ini terus berteriak untuk menyusul Sofia ke rumah sakit tempat si Arga di terapi. Akhirnya dengan membulatkan hati, gua memanggil tukang ojek,dengan sebuah siulan keras. Sigap si tukang ojek lalu mengahampiri gua; “Kemana bang?”
“Rumah sakit Pondok Indah..” Gua menjawab mantab, sambil menerima helm yang diserahkan oleh situkang ojek tersebut.
I Love You Too Much- Diego Luna - Ost Book Of Life
I love you too much
to live without you loving me back
I love you too much
heaven's my witness and this is a fact
I know I belong
when I sing this song
There's love above love and it's ours
'cause I love you too much
I live for your touch
I whisper your name night after night
I love you too much
There's only one feeling and I know its right
I know I belong
when I sing this song
There's love above love and it's ours
'cause I love you too much
Heaven knows your name and I've been praying
to have you come here by my side
Without you a part of me is missing
Just to make you my whole life will fly
I know I belong
when I sing this song
There's love above love and it's ours
'cause I love you too much
I love.... you too much
I love you too much
Heaven's my witness and this is a fact
You live in my soul
Your heart is my gold
There's love above love but its mine 'cause I love you
There's love above love and it's yours cause I love you
There's love above love and it's ours if you love me as much
I love you too much
to live without you loving me back
I love you too much
heaven's my witness and this is a fact
I know I belong
when I sing this song
There's love above love and it's ours
'cause I love you too much
I live for your touch
I whisper your name night after night
I love you too much
There's only one feeling and I know its right
I know I belong
when I sing this song
There's love above love and it's ours
'cause I love you too much
Heaven knows your name and I've been praying
to have you come here by my side
Without you a part of me is missing
Just to make you my whole life will fly
I know I belong
when I sing this song
There's love above love and it's ours
'cause I love you too much
I love.... you too much
I love you too much
Heaven's my witness and this is a fact
You live in my soul
Your heart is my gold
There's love above love but its mine 'cause I love you
There's love above love and it's yours cause I love you
There's love above love and it's ours if you love me as much
Diubah oleh robotpintar 16-03-2015 03:28
jiyanq dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Kutip
Balas