Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yodhayasaAvatar border
TS
yodhayasa
Kebatinan/Spiritual Jawa bukan Agama tetapi saling melengkapi
Salam Rahayu, Assalamualaikum....

Mohon ijin kepada moderator Forum Spiritual dan para sesepuh untuk memuat threat Kebatinan/Spiritual Jawa bukan Agama tetapi saling melengkapi.

Threat ini untuk meluruskan kekurang fahaman banyak orang akan penghayat kebatinan/spiritual jawa yang sering di salah artikan, padahal penghayat kebatinan/spiritual jawa dan agama sejatinya saling melengkapi dalam kehidupan di masyarakat.

Threat ini bukan forum debat, meninggikan atau merendahkan satu dengan lainnya, apalagi menyerang keyakinan seseorang, diharapkan terjadi dialog-dialog yang saling mengisi dan melengkapi dengan dilandasi azas toleransi dan sikap saling menghormati.

Terimakasih, Rahayu.


Penghayat Kebatinan/Spiritual Jawa bukan Agama tetapi saling melengkapi


Kebatinan/Spiritual Jawa (Kejawen) pada dasarnya adalah sebuah kepercayaan ketuhanan, bukan agama, dan kepercayaan ketuhanan kejawen itu tidak membutuhkan kitab suci, karena pendekatan mereka kepada Tuhan dilakukan secara langsung dan pribadi, dengan rasa, dengan batin.

Dan pengertian umum Manunggaling Kawula Lan Gusti dalam konsep kejawen adalah hubungan manusia dengan Tuhannya secara langsung dan pribadi, melalui olah rasa dan batin manusia berusaha mengenal Tuhan secara langsung dan menyatu denganNya.

Ketuhanan kejawen itu tidak mendasarkan diri pada ajaran sebuah kitab suci dan tidak melalui nabi-nabi seperti halnya agama modern, tetapi dengan rasa dan batin mereka berusaha mendekatkan diri dan berusaha secara langsung mengenal Tuhan. Itulah yang disebut agama Kaweruh.

Dengan demikian terdapat perbedaan yang signifikan antara agama modern dengan ketuhanan kejawen. Penganut agama modern menggunakan ajaran-ajaran dalam kitab sucinya sebagai sumber pengetahuan mereka tentang Tuhan dan menjadi acuan peribadatan mereka.

Semua keharusan dan larangan di dalam kitab suci harus dipatuhi, menjadi dasar peribadatan yang tidak boleh dilanggar. Pengenalan dan pengetahuan mereka tentang Tuhan umumnya hanyalah sebatas apa yang sudah tertulis dan diajarkan dalam kitab suci dan agama mereka saja, tidak lebih, dan tidak boleh lebih, apalagi menyimpang dari itu, yang kemudian malah banyak memunculkan pencitraan, dogma dan doktrin dan pengkultusan tentang Tuhan, tentang pahala dan dosa, surga dan neraka, sehingga menjadi umum bahwa kemudian mereka akan meninggikan agama dan kitab suci mereka, bahkan mempertuhankannya, lebih daripada mereka mempertuhankan Tuhan.

Sedangkan penganut ketuhanan kejawen berusaha mengenal Tuhan secara langsung dan menyelaraskan kehidupan mereka sesuai penghayatan ketuhanan mereka masing-masing untuk mendapatkan jalan menuju Manunggaling Kawula Lan Gusti.

Ajaran-ajaran kejawen bervariasi dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Budha, Islam, atau Kristen. Perilaku ini dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang mereka terhadap perkembangan jaman. Prinsipnya, yang baik diambil, yang jelek dibuang.

Penerimaan Jawa terhadap nilai-nilai yang datang dari luar diposisikan sebagai ‘baju’, isinya tetap Jawa. Agama yang dianut bisa apa saja, tetapi masyarakat Jawa mempunyai penghayatan sendiri tentang Tuhan. Maka selalu saja ada perbedaan yang signifikan antara Hindu Jawa dan Budha Jawa dengan yang asli di India, dan Islam Jawa dengan yang asli Arab.

Budaya kebatinan Jawa, pada prakteknya, selain berisi ajaran-ajaran budi pekerti dan ketuhanan, juga diwarnai dengan ritual-ritual kepercayaan dan ritual-ritual yang berbau mistik, yang merupakan produk-produk asli kebudayaan Jawa, yang merupakan bagian dari budaya kepercayaan Jawa, seperti keris, wayang, tari-tarian, pencak silat dan musik pengiringnya, aliran kebatinan, merawat sedulur papat, ritual selametan, tahlilan, ruwatan, sedekah bumi, sekatenan - arak pusaka, dsb, walaupun sekarang sudah diisi dengan keagamaan Islam sesuai agama yang sudah dianut.

Kejawen atau Kejawaan (ke-jawi-an) dalam pandangan umum berisi kesenian, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi tradisional orang-orang Jawa. Kejawen juga mencerminkan spiritualitas orang Jawa.

Penganut ajaran kejawen tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian formal seperti agama monoteistik seperti Islam dan Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku dalam upaya mendekatkan diri dan menyelaraskan hidup mereka dengan Tuhan, menjalankan “laku” untuk pencerahan cipta, budi, rasa dan karsa. Ajaran kejawen tidak terpaku pada aturan yang formal seperti dalam agama, tetapi menekankan pada konsep “keselamatan dan keberkahan hidup”.

Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti 'memuliakan' pusaka beserta sesajinya, pertunjukan wayang, pembacaan doa, penggunaan bunga-bunga tertentu sebagai sesaji, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktek klenik dan mistik.

Kejawen adalah kearifan lokal jawa yang mengarahkan kesadaran pada kesejatian diri masing-masing manusia, pengenalan diri pada kehidupan, dan menghidupkan kesejatian yang ada dalam diri manusia. Kejawen adalah budaya kebatinan dan spiritualitas berkenaan dengan keTuhanan dan budi pekerti.

Agama yang dianut bisa apa saja menurut keyakinan masing-masing, tetapi budi pekerti selayaknya menjadi acuan perilaku orang jawa, jangan ditinggalkan. Jangan sampai orangnya beragama dan agamis, tapi perilakunya tidak berbudi pekerti, jauh dari perilaku mulia, apalagi berpribadi mulia. Jangan menjadi orang jawa yang hilang jawa-nya.

Secara kebatinan dan spiritual, mereka percaya bahwa kehidupan manusia di alam ini hanyalah sementara saja yang pada akhirnya nantinya akan kembali lagi kepada Sang Pencipta. Manusia, bila hanya sendiri dan dengan kekuatannya sendiri, adalah bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, lemah dan fana.

Karena itulah manusia harus menyelaraskan diri dengan kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi (roh-roh dan Tuhan), beradaptasi dengan lingkungan alam yang merupakan rahmat dari Tuhan dan memeliharanya, bukan melawannya, apalagi merusaknya. Kepercayaan kepada alam, roh-roh dan Tuhan ini seringkali dikonotasikan sebagai kepercayaan animisme dan dinamisme, yang kontras dengan ajaran agama.

Mereka terbiasa hidup sederhana dan apapun yang mereka miliki akan mereka syukuri sebagai karunia Allah. Mereka percaya adanya 'berkah' dari roh-roh, alam dan Tuhan, dan mereka percaya bahwa kehidupan mereka akan lebih baik bila mereka 'keberkahan'.

Karena itu dalam budaya Jawa dikenal adanya upaya untuk selalu menjaga perilaku, kebersihan hati dan batin dan laku-laku prihatin dan tirakat dan berbagai ritual untuk menjaga supaya hidup mereka selalu diberkahi, seperti ritual Puasa Mutih, Puasa Senin-Kamis, Puasa Wetonan, ritual Sedekah Bumi, Selametan, Syukuran, Ruwatan, ziarah ke makam keluarga dan leluhur, "memuliakan" pusaka yang dimiliki, memberi sesaji kepada roh-roh tertentu di sekitar rumah tinggal, dsb, yang terkesan pada masa sekarang sebagai perilaku mistik dan klenik.

Berbagai perbedaan inilah yang menyebabkan kaum putihan mencela kaum abangan sebagai penganut kepercayaan yang sesat, penuh mitos dan mistik, dan politheis. Tetapi di sisi lain, pihak putihan juga tidak konsisten dengan kemurnian agama mereka, karena mereka juga ikut meramaikan ritual-ritual pihak abangan, seperti acara Garebek Maulud dan Sekatenan, Kirab Pusaka, Selametan, Syukuran, Sedekah Bumi, ziarah kubur, dsb. Sebagian dari mereka juga menjalani kebatinan, keilmuan gaib dan laku prihatin, yang kemudian diajarkan dan diadaptasikan menyatu menjadi ajaran budaya Islam, yang aslinya tidak ada dalam budaya Islam Arab.
Diubah oleh yodhayasa 21-06-2014 02:52
nona212
ekaadhiwibowo
tien212700
tien212700 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
38.1K
185
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
yodhayasaAvatar border
TS
yodhayasa
#54
Agama dan kebatinan/spiritual memiliki keterkaitan yang kuat

Sebenarnya kesalahannya tidak terletak pada agamanya, tetapi manusianya. Manusia yang berpikiran dangkal, yang menghayati dan mengamalkan agama hanya secara sempit.

Manusia yang menjalankan ajaran agama berdasarkan kesombongan agama, dogma dan doktrin agama dan fanatisme sempit, ke-Aku-an beragama dan cinta diri, dan manusia-manusia yang memper-Tuhan-kan dirinya sendiri, yang menganggap pemikiran dan kata-katanya adalah kebenaran mutlak yang harus diikuti oleh orang lain dan akan mengatai orang lain sebagai murtad / kafir jika tidak sejalan dengan kata-katanya, yang menghalalkan segala cara untuk berkuasa atas agama dan menunggangi agama untuk hasratnya berkuasa dan memaksakan kuasanya itu kepada orang lain.

Hubungan manusia dengan Tuhan tidak bisa dicapai dengan doktrinasi agama, atau pun menghafalkan dan mem-beo segala macam doa dan ayat, atau juga membunuhi manusia lain yang tidak sejalan. Segala macam laku ibadah yang kelihatan mata tidaklah dapat dijadikan ukuran keimanan seseorang.

Keimanan harus terlihat dari akhlaknya yang baik dan dari perbuatannya yang juga baik, yang mencerminkan manusia yang berpribadi mulia dan berakhlak mulia, yang mencerminkan hidup manusia yang telah mengenal Allah. Dengan demikian agama dan hubungan manusia dengan Tuhannya akan menjadi bersifat pribadi.

Orang-orang yang telah dalam pemahaman kebatinannya tentang agamanya dan Tuhan akan menemukan bahwa agama adalah bersifat pribadi antara dirinya dengan Tuhan, sehingga agama tidak dapat dipaksakan kepada orang lain.

Kegagalan agama terletak pada kegagalannya, melalui pemuka-pemuka agamanya, dalam membina kebatinan para pemeluknya. Kegagalan yang justru menjauhkan manusia dari sikap arif bijaksana dan berbudi luhur.

Seringkali kegagalan itu juga menyebabkan para penganutnya menjadi munafik, selain karena adanya kekurangan yang tidak didapatkannya dari agamanya, mereka menutup-nutupi keberatannya atas aturan agama atau aturan-aturan dari pemuka agama yang membelenggunya, dan berusaha mempercantik diri supaya itu tidak tampak di hadapan orang lain, karena takut disebut kafir atau tidak beriman.

Bahkan karena adanya ketidak-seragaman kebatinan pada para pemuka-pemuka agama itu pula yang telah memunculkan banyaknya aliran / sekte di dalam suatu agama, dan masing-masing memiliki ke-Aku-an sendiri-sendiri, sehingga manusia terkotak-kotak menjadi kelompok-kelompok yang memuliakan kelompoknya sendiri dan menyalahkan / merendahkan, bahkan menghakimi kelompok yang lain, walaupun masih dalam lingkup agama yang sama.

Agama dan kebatinan sebenarnya memiliki keterkaitan yang kuat. Tetapi seringkali orang memandang dangkal hanya dari bungkusnya saja, bukan isinya. Orang sering mencampur-adukan 2 hal tersebut yang seharusnya memang berbeda.

Karena pemahaman tentang istilah kebatinan dan spiritual yang dangkal dan sempit yang sudah menjauhkan manusia dari pengertian yang benar tentang kebatinan, seringkali orang tidak menyadari bahwa sebenarnya ia sudah menjalankan suatu laku kebatinan / spiritual, karena tidak hanya di dalam kelompok kebatinan dan spiritual, di dalam kehidupan beragama pun ada saja orang yang mendalami agama, melakukan pengenalan yang lebih tentang Tuhan, pencarian spiritual mengenai kebenaran sejati, kebenaran agama dan kebenaran Tuhan, ataupun tentang aspek kebijaksanaan yang lain, yang itu sebenarnya di dalam ia beragama ia sudah menjalankan laku kebatinan agama.

Dalam prakteknya, agama adalah jalan menuju spiritual. Ada juga yang mendapatkan pencerahan dan memiliki pemahaman yang dalam atas agama setelah melakukan pencarian spiritual. Pencapaian spiritual itulah yang menentukan kedalaman pengetahuan dan kebijaksanaan keagamaan seseorang, tetapi jalan yang ditempuh untuk spiritualitas itulah yang seringkali dipertentangkan orang.

Apakah spiritual berada di luar lingkup agama ?

Apakah kita harus mendalami agama saja untuk memahami kebenaran Tuhan ?

Apakah agama adalah satu-satunya jalan untuk memahami kebenaran Tuhan ?

Bagaimana kita tahu kebenaran Tuhan kalau tidak memiliki kebijaksanaan spiritual ?

Bagaimana kita tahu kebenaran agama kalau tidak memiliki kebijaksanaan spiritual ?


Mengerti tentang kegaiban yang dialami manusia saja tidak mampu, bagaimana dapat mengerti dan mengenal Tuhan yang sejatinya adalah sumber dari segala kegaiban ? Itulah keterbatasan pikiran dan akal budi manusia. Karena itulah Allah membekali manusia dengan roh, supaya dengan rohnya manusia dapat mengerti kegaiban hidup dan mengenal Allah dan jalan yang benar menuju Allah, supaya manusia tidak hanya berkeras diri kukuh membela ajaran-ajaran, dogma dan doktrin yang membelenggu akal sehat, yang ia sendiripun tidak mengetahui kebenarannya (bisanya hanya percaya saja pada ajaran agamanya), dan supaya manusia memiliki hikmat kebijaksanaan dalam dirinya tentang Allah dan kebenaranNya.

Seharusnya segala macam agama dan ibadah mengantarkan manusia kepada pribadi dan akhlak yang mulia.

Itulah tujuan diberikannya agama kepada manusia, yaitu supaya manusia mengenal Tuhan-nya, dan hidup sebagai manusia yang sudah mengenal Tuhan, tidak lagi hidup seperti manusia yang tidak mengenal Tuhan, dan untuk menjadi sarana dalam membina hubungan pribadi manusia dengan Tuhan-nya.


Agama itu pada dasarnya mengajar manusia untuk mengenal Tuhan (Gusti Allah).
Agama adalah jalan.
Tujuannya adalah Tuhan.

Secara roh dan batinnya, manusia mengenal suatu Roh Agung yang disebut Tuhan. Tetapi manusia tidak dapat mengenal Tuhan secara langsung dan tidak dapat mencapai-Nya secara langsung, sehingga manusia tidak dapat mengenal Allah dengan benar.

Manusia hanya bisa percaya saja, sesuai panggilan batinnya, dan sesuai ajaran dalam kepercayaan / agama. Sesuai panggilan batinnya manusia mencari Tuhan, tetapi karena ketidak-tahuan tentang Allah yang benar, banyak manusia yang jatuh ke jalan ibadah dan penyembahan yang salah.

Semua suku dan semua kultur memiliki cara untuk mendekati Tuhannya. Mengapa harus dipertentangkan ?
Tetapi karena manusia tidak dapat mengenal Tuhan secara langsung, karena ketidak-tahuan manusia tentang Allah yang benar, maka jalan yang ditempuhnya juga sendiri-sendiri, tidak sama.

Orang yang memahami agama dengan baik pasti toleran, karena sama-sama tidak tahu Allah yang benar (bisanya hanya percaya saja pada ajaran agamanya), tetapi sama-sama punya tujuan yang sama : Tuhan.

Tetapi seringkali manusia salah dalam memahami agama, seolah-olah agama adalah tujuan, sehingga banyak orang yang "memper-Tuhan-kan" agama. Seolah-olah agama adalah Tuhan yang jika sudah menganut agama dianggap tujuannya kepada Tuhan sudah tercapai dan kemudian memaksakan agamanya itu kepada orang lain dan meng-kafir-kan agama lain yang tidak sejalan. Orang buta menuntun orang buta.

Banyak orang yang membuat agama menjadi tujuan, bukan menjadikan agama sebagai jalan menuju Tuhan. Kesucian hati dan kepribadian yang mulia, yang menuntun dan mengarahkan manusia menjadi mahluk mulia tidak diutamakan. Manusia lebih mengutamakan cinta diri, kesombongan dan kehormatan diri, dan ke-Aku-an.

Akibatnya banyak orang yang memaksakan agamanya kepada orang lain, dan menghakimi agama yang lain sebagai sesat, menindas, menganiaya dan membunuh dengan nama agama dan Tuhan, perbuatannya itu tidak memuliakan agama dan Tuhan, malah menjadikan nama agama dan Tuhan menjadi hina dan nista. Bahkan ada juga yang tidak mengutamakan kemuliaan, yang menghasut dan memfitnah agama dan kepercayaan lain untuk menjadikan agamanya sendiri banyak pengikutnya.
0