Quote:
Original Posted By guitarista►
Dokter tidak bisa dong memvonis bener atau gak putusan hakim.
Tapi yang disayangkan para dokter adalah, kenapa keterangan saksi ahli tidak dipertimbangkan?
Yang pertama masalah emboli. Jelas2 saksi ahli mengatakan emboli adalah kasus yang tidak bisa diduga dan sangat sulit ditangani.
Ya g kedua masalah informed consent. Padahal jelas ini kasus gawat darurat, sudah ditegaskan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa “Dalam keadaan DARURAT, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran”.
See? Ini yang membuat para dokter tidak tenang. Berusaha menolong sesuai standrd tertinggi keilmuan kedokteran, tapi ujungnya yang dinilai adalah hasil...bukan pada usahanya. Padahal kontrak teraupetik bukan pada hasil tapi pada usaha. Sering kan kita dengar "dokter hanya perantara, Tuhan lah yang menyembuhkan"
Quote:
Original Posted By Squeal►
Ane orang awam, gan. bukan dokter..
Tapi baca2 di google..
The failure of doctors to properly diagnose and treat pulmonary embolism is a leading cause of
unnecessary death in the United States. Scientists estimate that as many as 60,000 Americans die annually as a result of the failure to properly diagnose pulmonary embolism.
Prompt treatment can reduce the mortality of pulmonary embolism by 90 percent.
Source
Jadi itu sesuatu yg sulit diduga, tapi kalo dokterna sigap, gak bakalan tewas. unnecessary death, bukan unavoidable death. Secara logika klo "sulit ditangani" pasti yg tewas di meja operasi jauh lebih banyak.
Trus kalo urusan informed consent, ya nanganin dalam keadaan darurat ama malsuin tanda tangan urusannya lain..
"Masih dalam bunyi putusan itu, bahwa kemudian setelah dilakukan pemeriksaan Laboratorium Forensik Cabang Makassar, Sulawesi Selatan, dan berdasarkan hasil pemeriksaan Kriminalistik pada 9 Juni 2010 juga menyatakan, tanda tangan dalam surat persetujuan itu bukan tanda tangan asli Siska.
"Menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan atau spurious signature," tulis pertimbangan putusan kasasi sebagaimana Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik. (Fiq/Yus)"
Source
Jadi agak susah ya klo pake double standard.
saksi ahli bidang kedokteran yg menyatakan embolism tidak bisa diduga diduga dan sulit ditangani = Fakta
Tapi saksi forensik yg menyatakan itu tanda tangan palsu = gak kompeten
Nah justru ini dipermasalahkan, benarkah itu standar tertinggi ?
Trus terang, ane sih agak gerah mengingat banyak jurusan kedokteran (and jurusan lain) sekarang bisa masuk lewat "jalur khusus". Klo dulu, mungkin yg keterima di kedokteran tuh "cream of the crop", yg terbaik diantara yg terbaik klo sekarang kalo ortunya bisa keluarin ratusan juta, bisa masuk.
Masih dijaga kah standar kehormatan dokter oleh MKDKI ? atau diturunkan sedikit mengingat jumlah dokter di indonesia masih kurang.
Menarik, neh!..
Ane jadi inget pilot project INA-DRG (atau apalah namanya)-nya Kementrian Kesehatan yang nyempet rame dan pernah dibahas sama Ahok di rapat yutub-nya bareng IDI karena KJS ditambah program INA-CBG--silahkan cari di PemprovDKI, ini kalo nggak salah pas awal-awal Jokowi-Ahok baru naik tahta.
INA-DRG ini kalo nggak salah dibuat untuk bikin SOP NASIONAL untuk tiap-tiap penanganan penyakit. Gampangnya adalah, SOP untuk nyembuhin bisul sampai kanker di ujung Aceh sampe ujung Merauke itu sama--tujuannya untuk melindungi pasien dari malpraktek oknum dokter dan melindungi dokter dari kriminalisasi.
Katanya, sih, IDI dan Kemenkes sedang bikin SOP-SOP tersebut, kira-kira apa kabarnya, yah? Ada yang tau?