TS
andyay
[Orific] Catatan Kepengecutan
Orific yang terinspirasi oleh Oreimo+School Days
genre : Comedy, Romance, School Life, Slice of Life, sisanya nyusul
genre : Comedy, Romance, School Life, Slice of Life, sisanya nyusul
Spoiler for Prolog:
Gerbang sekolah itu cukup megah untuk seorang dengan penampilanku ini.
Dibanding dengan sekolahku dulu, tempatku belajar kini bisa dibilang benar benar lebih kecil namun kemegahannya? Jangan bandingkan sekolah pinggiran kota dengan tengah kota, itulah yang terpikirkan dibenakku ketika hari pertama sekolah.
Sekolahku dulu hanya sebuah gedung tua peninggalan Belanda yang terdiri dari belasan gedung tua sebagai ruang kelas, sebuah sangar tari yang dilengkapi peralatan gamelan, gedung olah raga, dan sebuah lapangan sepak bola yang cukup membuatmu kelelahan dengan memutarinya 10x setiap semesternya.
Orang-orang bilang bangunan tersebut bekas rumah sakit jepang karena aura mistisnya walau kenyataanya bangunan tersebut memiliki model arsitektur kolonial kuno dengan langit langit yang berjarak cukup jauh dari lantai.
Berada di pinggiran kota yang cukup damai, dengan luas yang cukup untuk membuat sebuah pusat perbelanjaan dengan tempat parkir outdoor, begitulah yang aku pikirkan tentang sekolah lamaku.
Namun aku tak akan menceritakan cerita-cerita tentang masa-masa bodoh ketika disana, karena sekarang aku seorang murid SMA, dimana tokoh utama sebuah manga ato anime sering menjabarkannya sebagai “pusatnya titik balik kehidupan masa remaja.”
Dengan bermodalkan kalimat itu aku mencoba menyongsong sebuah era baru yang ku sebut Masa SMA.
Terlalu naif jika orang lain mendengarnya, hanya bermodal sebuah kata-kata tokoh fiktif seorang anak laki-laki yang baru menginjak usia 15 tahun dengan tinggi kurang dari 165cm dengan berat tidak sampai 45kg dan berpengelihatan kurang peka karena terlalu banyak berhadapan dengan benda elektronik berusaha menaklukan kejamnya masa masa SMA.
Dibanding dengan sekolahku dulu, tempatku belajar kini bisa dibilang benar benar lebih kecil namun kemegahannya? Jangan bandingkan sekolah pinggiran kota dengan tengah kota, itulah yang terpikirkan dibenakku ketika hari pertama sekolah.
Sekolahku dulu hanya sebuah gedung tua peninggalan Belanda yang terdiri dari belasan gedung tua sebagai ruang kelas, sebuah sangar tari yang dilengkapi peralatan gamelan, gedung olah raga, dan sebuah lapangan sepak bola yang cukup membuatmu kelelahan dengan memutarinya 10x setiap semesternya.
Orang-orang bilang bangunan tersebut bekas rumah sakit jepang karena aura mistisnya walau kenyataanya bangunan tersebut memiliki model arsitektur kolonial kuno dengan langit langit yang berjarak cukup jauh dari lantai.
Berada di pinggiran kota yang cukup damai, dengan luas yang cukup untuk membuat sebuah pusat perbelanjaan dengan tempat parkir outdoor, begitulah yang aku pikirkan tentang sekolah lamaku.
Namun aku tak akan menceritakan cerita-cerita tentang masa-masa bodoh ketika disana, karena sekarang aku seorang murid SMA, dimana tokoh utama sebuah manga ato anime sering menjabarkannya sebagai “pusatnya titik balik kehidupan masa remaja.”
Dengan bermodalkan kalimat itu aku mencoba menyongsong sebuah era baru yang ku sebut Masa SMA.
Terlalu naif jika orang lain mendengarnya, hanya bermodal sebuah kata-kata tokoh fiktif seorang anak laki-laki yang baru menginjak usia 15 tahun dengan tinggi kurang dari 165cm dengan berat tidak sampai 45kg dan berpengelihatan kurang peka karena terlalu banyak berhadapan dengan benda elektronik berusaha menaklukan kejamnya masa masa SMA.
Diubah oleh andyay 22-08-2013 00:01
0
932
Kutip
3
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
andyay
#1
Hari Pertama MOS
Spoiler for :
“Alamsyah Nur Rizki.”
Aku pun maju menuju barisan yang berada disebelah tangga dan berdiri dibelakang seorang pria dengan tinggi sekitar 170cm beralmamater biru, berkacamata, dan beberapa kumis dan jengot seperti bekas dicukur namun belum cukup bersih, wajahnya mungkin tidak cukup tua untuk seorang mahasiswa yang akan lulus dan menjadi seorang guru.
“Dari sini kalian ikuti saya menuju ruang kelas kalian, berjajarlah yang rapi jangan sampai berdesakan atau tertinggal.”
Itu pesannya sebelum memulai perjalanan, cukup lucu ketika dia mengatakannya, mungkin berdesakan cocok dengan suasana ini, tapi tertinggal? Jangan bergurau, bagaimana mungkin sekolah dengan luas tidak sampai 100mx100m ini membuat kami tersesat atau tertinggal barisan?.
Kami pun berjalan tidak sampai 20m dan berhenti disebuah kelas yang berada diujung bangunan yang pintu masuknya tertutup dengan tangga.
Pantas saja ia memberi pesan agar kami tidak tersesat, ternyata gedung ini penuh dengan pintu yang tertutup dengan tangga tangga untuk menghemat tempat.
“Inilah ruang kelas sementara kalian, masuklah sesuai barisan dan jangan saling berebut tempat duduk.”
“Sementara?.” Tanya seorang gadis dibelakangku.
“iya, sementara.”
“Apa maksudnya?”
“2 Bulan lagi pasti kalian akan mengerti.”
Untuk seorang mahasiswa PKL orang ini cukup punya nyali untuk membuat beberapa calon siswa seperti kami merasa jengkel, tapi tak apalah setelah 6 bulan pasti kami tidak perlu bertemu lagi dengannya.
Akupun mencari tempat duduk yang berada ditengah, tidak terlalu depan atau terlalu belakang.
Terlalu mencolok dihari pertama sekolah bukanlah tipe pemalu sepertiku, duduk didepan layaknya orang pintar atau duduk dibelakang layaknya berandalan kelas.
Setelah menaruh tas dan keadaan mulai tenang pria itupun mulai berbicara kembali.
“Perkenalkan nama saya Ridwan, tidak perlu basa basi karena kita hanya bertatap muka kurang lebih 6 bulan.”
“Nama saya Noviana Kartikasari, pembimbing sementara mata pelajran Biologi, senang berkenalan dengan kalian.”
Ketika kalimat itu muncul aku baru sadar bahwa pembimbing kami ada 2 orang, seorang perempuan dengan kerudung putih dan beralmamater biru, penampilan yang normal untuk mahasiswa PKL akhir akhir ini.
“Baiklah, tidak adil jika hanya kami yang mengenalkan diri, sekarang giliran kalian.”
“Kami panggil menurut absensi agar lebih adil dan mudah kalian hafalkan.”
“Absen nomor 1, Adam Guntur.”
Seperti sudah mengerti apa yang akan terjadi tiba-tiba seorang pemuda dengan tinggi sekitar 169cm dan berpostur tegak layaknya calon security yang duduk meja depan sebelah kiriku pun berdiri dan maju kedepan kelas.
“Perkenalkan nama saya Adam Guntur, bisa kalian panggil Adam, penduduk asli kota ini, asal sekolah SMP 6, informasi lebih lanjut bisa kalian tanyakan.”
“Nomor telepon mungkin.” Tanya mbak Novi
“Itu Privasi, kalau mau bisa dibelakang nanti.”
“Kalau Facebook atau jejaring sosial lain?.”
“Sama seperti nama saya, tidak saya aneh anehkan seperti remaja sekarang.”
Kurang Ia berusaha memberi sebuah kesan bahwa dia orang baik-baik dan memiliki selera humor, meski aku tidak tertawa sama sekali dengan yang diucapkannya.
“Mungkin itu cukup, tidak adil jika sesuai absensi atau kami yang memilih, selanjutnya akan dipilih oleh anak yang ada didepan.”
Baiklah, dengan begini aku tak perlu maju karena secara alfabet aku absen setelah dia.
“Laki-laki yang pakai jaket hijau.”
Sial, entah ini takdir atau apa, tapi percuma tidak sesuai absen jika aku tetap maju setelah dia
“Ya, adek yang pakai jaket hijau silahkan maju.”
“Tidak perlu minder, hanya perkenalan biasa.”
Aku pun mulai berdiri dari tempat duduk dan melangkah ke depan kelas dengan malas. Kebiasaan itu tidak pernah lepas dariku, mungkin sudah pada dasarnya jadi pemalas itu melekat padaku.
“Nama saya Alamsyah Nur Rizki, kalian bisa panggil Alam, dari SMP 1, kurang lebih sisanya bisa kalian tanyakan.”
“Alamat?” tanya Mbak Novi
“Masih di kota ini, dekat perbatasan.”
“Tepatnya? Perbatasan kota setidaknya mengitari kota ini.”
“********, lengkapnya bisa ditanyakan nanti.” Jawabku seadanya
“mungkin itu sudah cukup, silahkan pilih temanmu untuk maju.” Kata mas Ridwan yang terlihat mulai bosan.
Sebagai seorang lelaki sejati yang masih belum mempunyai keberanian dan masih mempunyai nilai moral tentu saja yang kupilih adalah…………. Seorang lelaki yang tidak begitu mencolok.
Bukanlah tipeku yang dihari pertama langsung menujuk siswi paling cantik di kelas.
Atapun menunjuk siswa yang terlihat paling bergaya atau tampan, bisa-bisa mereka menganggapku penyuka sesama jenis.
Mas Ridwan terlihat tambah bosan, sepertinya dia mulai tidak tertarik dengan perkenalan ini karena hanya sesama jenis yang saling menunjuk meski dalam ruangan ini perbandigan lelaki dan perempuan bisa dibilang 1 : 2.
Singkat cerita hampir secara berurutan hanya para siswa saja yang maju dan memilih siswa yang lain, mungkin ini lebih cocok jadi kelas khusus lelaki dengan siswi sebagai panjangan.
“Perempuan yang pakai kerudung di meja nomor 2 dari depan yang dekat pintu.” Jawab seorang siswa yang aku tidak ingat namanya karena tepuk tangan setiap ada yang maju dan kembali ke tempat duduk.
Kupikir mas Ridwan akan sedikit bersemangat, ternyata aku salah.
Dia hanya melirik sebentar dan kembali ke posisi menompang dagu di meja guru.
Pria ini benar benar tidak mempunyai niat kecuali segera lulus dan lepas dari gelar mahasiswa tingkat akhir.
“Nama saya Luthfi Ratnasari, biasa dipanggil Ufi, dari SMP yang mayoritas bersekolah disini.” Jawab siswi itu.
“Mungkin ada siswa yang mau bertanya? Alamat rumah atau nomor HP?” jawab Mbak Novi seakan kami para buaya yang lapar akan daging segar setelah dipindahkan ke kebun binatang.
Situasi pun mulai membalik, dari yang tadinya hanya siswa, kini serbuan siswi yang mulai berdatangan di depan kelas.
Seperti senjata api yang dengan cepat ditembakan dan amunisinya diganti berkali-kali, para siswi memperkenalkan dirinya dan berlari ke tempat duduknya, sungguh kegaduhan yang aneh.
Hingga seorang siswi yang menarik perhatianku, tidak begitu cantik namun lumayan manis.
Tinggi antara 152-155cm dengan kerudung kotak, kulit kecoklatan sawo matang dan dilengkapi dengan hidung mancung.
“Nama saya Hadinda Hanapsari, bisa kalian panggil Dinda, dari SMP 6.”
Suaranya cukup manis, meski terdengar sedikit genit dan menggoda meski aku yakin pasti beberapa siswa merasa aneh dan geli, tapi itu cukup menarik perhatian ku.
Dan murid terakhir yang memperkenalkan diri…..
“Nama saya Reynal Adias, biasa dipanggil Kebo atau Aldi, Rey juga boleh kalok mau kedenger keren.”
“Mas, ga salah ya?” tanya mbak Novi.
“salah apanya ya?”
“Mas bukan mahasiswa PKL juga ya?”
“Kok bisa mbak?”
“itu jenggot sama kumis, sama muka om om.”
“ga gitu mbak, gini gini saya belom sweet seventeen dan masih berjiwa muda.”
Jika dilihat dari tampilannya, dia lebih cocok jadi guru sejarah atau bahasa lokal yang berbulu lebat ditangan maupun kaki.
Awalnya aku tak percaya dia baru lulus SMP jika teman-teman yang 1 SMP dengannya dulu tidak membelanya.
Singkat cerita hari itu hanya diisi dengan pembagian kelas, perkenalan diri, games yang kurang menarik dengan hukuman menyanyi di depan kelas.dan diakhiri doa tanpa ada pengenalan sekolah sama sekali. Mereka bilang “kalian akan terbiasa dengan sendirinya.”
Aku pun maju menuju barisan yang berada disebelah tangga dan berdiri dibelakang seorang pria dengan tinggi sekitar 170cm beralmamater biru, berkacamata, dan beberapa kumis dan jengot seperti bekas dicukur namun belum cukup bersih, wajahnya mungkin tidak cukup tua untuk seorang mahasiswa yang akan lulus dan menjadi seorang guru.
“Dari sini kalian ikuti saya menuju ruang kelas kalian, berjajarlah yang rapi jangan sampai berdesakan atau tertinggal.”
Itu pesannya sebelum memulai perjalanan, cukup lucu ketika dia mengatakannya, mungkin berdesakan cocok dengan suasana ini, tapi tertinggal? Jangan bergurau, bagaimana mungkin sekolah dengan luas tidak sampai 100mx100m ini membuat kami tersesat atau tertinggal barisan?.
Kami pun berjalan tidak sampai 20m dan berhenti disebuah kelas yang berada diujung bangunan yang pintu masuknya tertutup dengan tangga.
Pantas saja ia memberi pesan agar kami tidak tersesat, ternyata gedung ini penuh dengan pintu yang tertutup dengan tangga tangga untuk menghemat tempat.
“Inilah ruang kelas sementara kalian, masuklah sesuai barisan dan jangan saling berebut tempat duduk.”
“Sementara?.” Tanya seorang gadis dibelakangku.
“iya, sementara.”
“Apa maksudnya?”
“2 Bulan lagi pasti kalian akan mengerti.”
Untuk seorang mahasiswa PKL orang ini cukup punya nyali untuk membuat beberapa calon siswa seperti kami merasa jengkel, tapi tak apalah setelah 6 bulan pasti kami tidak perlu bertemu lagi dengannya.
Akupun mencari tempat duduk yang berada ditengah, tidak terlalu depan atau terlalu belakang.
Terlalu mencolok dihari pertama sekolah bukanlah tipe pemalu sepertiku, duduk didepan layaknya orang pintar atau duduk dibelakang layaknya berandalan kelas.
Setelah menaruh tas dan keadaan mulai tenang pria itupun mulai berbicara kembali.
“Perkenalkan nama saya Ridwan, tidak perlu basa basi karena kita hanya bertatap muka kurang lebih 6 bulan.”
“Nama saya Noviana Kartikasari, pembimbing sementara mata pelajran Biologi, senang berkenalan dengan kalian.”
Ketika kalimat itu muncul aku baru sadar bahwa pembimbing kami ada 2 orang, seorang perempuan dengan kerudung putih dan beralmamater biru, penampilan yang normal untuk mahasiswa PKL akhir akhir ini.
“Baiklah, tidak adil jika hanya kami yang mengenalkan diri, sekarang giliran kalian.”
“Kami panggil menurut absensi agar lebih adil dan mudah kalian hafalkan.”
“Absen nomor 1, Adam Guntur.”
Seperti sudah mengerti apa yang akan terjadi tiba-tiba seorang pemuda dengan tinggi sekitar 169cm dan berpostur tegak layaknya calon security yang duduk meja depan sebelah kiriku pun berdiri dan maju kedepan kelas.
“Perkenalkan nama saya Adam Guntur, bisa kalian panggil Adam, penduduk asli kota ini, asal sekolah SMP 6, informasi lebih lanjut bisa kalian tanyakan.”
“Nomor telepon mungkin.” Tanya mbak Novi
“Itu Privasi, kalau mau bisa dibelakang nanti.”
“Kalau Facebook atau jejaring sosial lain?.”
“Sama seperti nama saya, tidak saya aneh anehkan seperti remaja sekarang.”
Kurang Ia berusaha memberi sebuah kesan bahwa dia orang baik-baik dan memiliki selera humor, meski aku tidak tertawa sama sekali dengan yang diucapkannya.
“Mungkin itu cukup, tidak adil jika sesuai absensi atau kami yang memilih, selanjutnya akan dipilih oleh anak yang ada didepan.”
Baiklah, dengan begini aku tak perlu maju karena secara alfabet aku absen setelah dia.
“Laki-laki yang pakai jaket hijau.”
Sial, entah ini takdir atau apa, tapi percuma tidak sesuai absen jika aku tetap maju setelah dia
“Ya, adek yang pakai jaket hijau silahkan maju.”
“Tidak perlu minder, hanya perkenalan biasa.”
Aku pun mulai berdiri dari tempat duduk dan melangkah ke depan kelas dengan malas. Kebiasaan itu tidak pernah lepas dariku, mungkin sudah pada dasarnya jadi pemalas itu melekat padaku.
“Nama saya Alamsyah Nur Rizki, kalian bisa panggil Alam, dari SMP 1, kurang lebih sisanya bisa kalian tanyakan.”
“Alamat?” tanya Mbak Novi
“Masih di kota ini, dekat perbatasan.”
“Tepatnya? Perbatasan kota setidaknya mengitari kota ini.”
“********, lengkapnya bisa ditanyakan nanti.” Jawabku seadanya
“mungkin itu sudah cukup, silahkan pilih temanmu untuk maju.” Kata mas Ridwan yang terlihat mulai bosan.
Sebagai seorang lelaki sejati yang masih belum mempunyai keberanian dan masih mempunyai nilai moral tentu saja yang kupilih adalah…………. Seorang lelaki yang tidak begitu mencolok.
Bukanlah tipeku yang dihari pertama langsung menujuk siswi paling cantik di kelas.
Atapun menunjuk siswa yang terlihat paling bergaya atau tampan, bisa-bisa mereka menganggapku penyuka sesama jenis.
Mas Ridwan terlihat tambah bosan, sepertinya dia mulai tidak tertarik dengan perkenalan ini karena hanya sesama jenis yang saling menunjuk meski dalam ruangan ini perbandigan lelaki dan perempuan bisa dibilang 1 : 2.
Singkat cerita hampir secara berurutan hanya para siswa saja yang maju dan memilih siswa yang lain, mungkin ini lebih cocok jadi kelas khusus lelaki dengan siswi sebagai panjangan.
“Perempuan yang pakai kerudung di meja nomor 2 dari depan yang dekat pintu.” Jawab seorang siswa yang aku tidak ingat namanya karena tepuk tangan setiap ada yang maju dan kembali ke tempat duduk.
Kupikir mas Ridwan akan sedikit bersemangat, ternyata aku salah.
Dia hanya melirik sebentar dan kembali ke posisi menompang dagu di meja guru.
Pria ini benar benar tidak mempunyai niat kecuali segera lulus dan lepas dari gelar mahasiswa tingkat akhir.
“Nama saya Luthfi Ratnasari, biasa dipanggil Ufi, dari SMP yang mayoritas bersekolah disini.” Jawab siswi itu.
“Mungkin ada siswa yang mau bertanya? Alamat rumah atau nomor HP?” jawab Mbak Novi seakan kami para buaya yang lapar akan daging segar setelah dipindahkan ke kebun binatang.
Situasi pun mulai membalik, dari yang tadinya hanya siswa, kini serbuan siswi yang mulai berdatangan di depan kelas.
Seperti senjata api yang dengan cepat ditembakan dan amunisinya diganti berkali-kali, para siswi memperkenalkan dirinya dan berlari ke tempat duduknya, sungguh kegaduhan yang aneh.
Hingga seorang siswi yang menarik perhatianku, tidak begitu cantik namun lumayan manis.
Tinggi antara 152-155cm dengan kerudung kotak, kulit kecoklatan sawo matang dan dilengkapi dengan hidung mancung.
“Nama saya Hadinda Hanapsari, bisa kalian panggil Dinda, dari SMP 6.”
Suaranya cukup manis, meski terdengar sedikit genit dan menggoda meski aku yakin pasti beberapa siswa merasa aneh dan geli, tapi itu cukup menarik perhatian ku.
Dan murid terakhir yang memperkenalkan diri…..
“Nama saya Reynal Adias, biasa dipanggil Kebo atau Aldi, Rey juga boleh kalok mau kedenger keren.”
“Mas, ga salah ya?” tanya mbak Novi.
“salah apanya ya?”
“Mas bukan mahasiswa PKL juga ya?”
“Kok bisa mbak?”
“itu jenggot sama kumis, sama muka om om.”
“ga gitu mbak, gini gini saya belom sweet seventeen dan masih berjiwa muda.”
Jika dilihat dari tampilannya, dia lebih cocok jadi guru sejarah atau bahasa lokal yang berbulu lebat ditangan maupun kaki.
Awalnya aku tak percaya dia baru lulus SMP jika teman-teman yang 1 SMP dengannya dulu tidak membelanya.
Singkat cerita hari itu hanya diisi dengan pembagian kelas, perkenalan diri, games yang kurang menarik dengan hukuman menyanyi di depan kelas.dan diakhiri doa tanpa ada pengenalan sekolah sama sekali. Mereka bilang “kalian akan terbiasa dengan sendirinya.”
0
Kutip
Balas