Malam panjang telah berlalu. Pagi pun datang kembali. Jasmine tampak ayu pagi ini. Dia duduk di kursi kayu jati di emper ndalem ini. Wajah ayunya agak mendung. Ada gurat kekecewaan di raut wajahnya itu. Matanya yang besar dan sayu itu beberapa kali melihat ke arah jalan. Jasmine menghela nafas. &...
Bagian 14 Lampu neon menerangi ruang ini. Jarum pendek jam di dinding mengarah angka setelah tujuh. Awra termenung. Dia berusaha memahami yang telah terjadi barusan. Dia merasa sekarang saingannya telah muncul. Sesuatu yang wajar memang. Karena Haidar belum jadi miliknya. " Tapi aku 'kan leb...
Bagian 13 Rembulan tertutup awan. Menjadikan malam begitu kelam. Sekelam wajah Awra saat ini. Dengan air mata mengalir di wajahnya itu. Awra tetap tak bergeming dari tempatnya berdiri. " Awra.. " Telinga Awra mendengar suara menyelusup memanggil namanya, halus. Dia tertegun. Dengan sert...
Bagian 12 Habis tarawih Haidar tampak bersantai di selatan masjid. Dia duduk di salah satu bancik penghubung. Wajahnya menunduk. Melihat layar kecil yang ada di tangannya. Di layar itu terdapat banyak pilihan link yang bisa dibuka. Link berita online. Haidar hanya sekedar buka-buka beberapa link ...
Bagian 11 Matahari sudah hampir tenggelam. Dan akan kembali ke peraduannya. Berbanding lurus dengan saat berbuka sudah hampir tiba. Lampu depan masjid juga sudah menyala. Pertanda waktu ghurub ini bukanlah hayalan semata. Haidar berjalan pelan menuju kamar pondoknya. Kamar nomor empat yang mengha...
Bagian 10 Semilir angin yang sebenarnya sejuk seakan tidak terasa oleh Hanif. Hatinya berkecamuk. Pikirannya kacau. Banyak bayangan berkelebat hanya dalam beberapa detik ini. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangkit. " Mau kemana? " Farhana bertanya sambil tersenyum. " Kamu lupa dhawuh
Bagian 9 Angin semilir menggoyang bunga-bunga di depan ndalem. Memberikan nuansa segar bagi mata yang memandangnya. Yang berdampak sejuknya hati sang empunya mata. Hanif lirik Farhana. Yang tersenyum-senyum memandangi bunga-bunga itu. Dari batu tempat duduknya. Di sebelah batu tempat duduk Hanif in
Haidar sedang duduk sendirian di atas batu ini. Batu besar ini. Batu sebesar setengah kamarnya itu. Pikirannya menerawang jauh. Dia agak melamun. Pikirannya menjadi tidak menyatu dengan apa yang sedang dikerjakannya sekarang. " Awra.. " Haidar sebut nama itu. Kemudian menghela nafas. En...
Jam tujuh kurang seperempat terlihat di tembok rumah Awra. Bertepatan adzan isya' berkumandang dari arah masjid. Awra sedang duduk di kursi rumahnya, kursi kayu itu, rumah sederhana ini. Dia memang sengaja duduk di situ sambil menanti isya'. Bibirnya terlihat berkemak-kemik pelan, menjawab lantunan
Matahari mulai meninggi. Walau belum mencapai sepenggalah. Haidar masih berdiri di situ. Di perempatan itu. Kedua matanya memandang punggung Awra yang menjauh bersama Gus Zahid. Haidar terlihat tersenyum samar. Haidar berbalik, setelah Gus Zahid dan Awra berbelok di tikungan jalan. Dia ingin ke p...
Pasar ramai. Awra sedang berdiri di depan seorang ibu separuh baya. Belanja. Daftar belanjaan sudah tidak berguna baginya. Dia sudah hafal di luar kepala mulai nomor urut satunya. " Ini berapa buk? " Tanya Awra. Sambil menunjuk satu porsi bubur. Ibu itu menjawab harganya. Sambil terseny...
Awra ke pasar berjalan kaki. " Kring.. Kring.. " Suara bel sepeda mengagetkannya. Awra minggir sambil menoleh. Awra terkesiap. Gus Zahid naik sepeda di belakangnya. Sampai di tempat Awra, Gus Zahid berhenti. " Mau kemana Ra? " " Mm.. Ke pasar gus. " Sejak disuruh ke ...
" Dina.. " Aku sebut nama itu. " Aku memang telah sembuh. " Batinku pelan. " Berkat doa kalian tentunya. " Batinku lagi sambil tersenyum. " Aku juga telah berusaha menebus kesalahanku. " Air mata Dina yang mengalir karena keputusanku melepasnya. Dengan beru...
Dia sedikit berkeringat di bangku panjang ini. Tapi dia tidak menghiraukannya. Dia malah kelihatan tersenyum sendiri. Dia teringat akan kisah cinta seseorang yang kandas. Yang mana kisah cinta itu melibatkan istrinya sekarang, Dina. " Namanya nasib. " Dia menggumam. Berarti pemuda itu b...
Rindangnya pepohonan menutupi teriknya matahari siang ini. Belakang GM tetap saja sejuk. Tampak seorang gadis berkerudung putih sedang duduk di sebuah bangku panjang. Di bawah salah satu pohon rindang itu. Bangku panjang yang memang digunakan untuk relaksasi di situ. Tubuh gadis itu yang semampai...
Hari memang panas. Menjadikan kaos lengan panjang Dina agak basah oleh keringat. Dina sibuk membuat es teh di dapur. Dua gelas. Yang satu untuk dirinya sendiri. Es teh yang satunya lagi rasa pahit dari tehnya harus terasa. Juga rasa manisnya harus sesuai. Dia sangat paham kesukaan suaminya itu. E...
Habis maghrib. Tampak Dina keluar dari GM. Disusul purnama juga muncul dari lazuardi timur. Dina berlari kecil saat melihatnya. Kemudian dengan ceria berdiri tepat di depannya. " Ngga' mau peluk? " Dia bercanda. " Ihh.. " Dina cuma ber"ihh" saja. " Hmm.. " ...
Sore sudah akan kadaluarsa sebentar lagi. Sang kegelapan akan segera memeluk semua penghuni arcapada. Keadaan pelataran GM terasa sedikit tegang. Aku berbalik kembali dari langkahku. Dia juga mulai berdiri dari duduknya. " Ehh.. " Dina juga merasakan ketegangan ini. Dia juga ikut berdiri
Bagian 15 Angin berhembus pelan di GM ini. Mengibarkan sedikit ujung baju Dina yang geregetan di balik pohon kelengkeng itu. " Ehm.. " Suara deheman orang mengagetkan Dina. Membuat tubuhnya bergetar pelan. Dina menoleh. Kemudian wajahnya memerah. Aku pun berdiri dengan cuek tak jauh dar