- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
7 Perbuatan Melanggar HAM Yang Dilakukan Oleh Anak-anak
TS
aurora..
7 Perbuatan Melanggar HAM Yang Dilakukan Oleh Anak-anak
Hai Agan dan Sista semuanya!
Shalom Aleichem!

Di thread ini, gue akan membahas tentang topik HAM yang sering banget luput dari perhatian, yaitu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anak-anak. Biasanya, kalau kita ngomongin pelanggaran HAM, yang muncul di otak kita adalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh orang dewasa, seperti penyiksaan, persekusi, diskriminasi rasial, atau kekerasan aparat. Namun, ada sisi lain yang jarang tersorot, bahwa anak-anak pun bisa menjadi pelaku pelanggaran HAM, meskipun sering kali tidak kita sadari.
Sebelum masuk ke inti pembahasan, satu hal harus ditegaskan dulu adalah bahwa anak-anak sebenarnya tidak jahat, tetapi memang punya kesadaran dan kontrol impuls yang masih terlalu rendah, sehingga perlu pembinaan, alih-alih kekerasan.
Dalam konteks HAM, anak-anak tetap punya kapasitas untuk melukai martabat manusia lain, biasanya melalui perilaku impulsif, pengaruh lingkungan, atau kurangnya edukasi dari orang dewasa.
Mari kita bahas satu per satu, supaya lebih jelas dan mudah dipahami.
Quote:
7 Perbuatan Melanggar HAM Yang Dilakukan Oleh Anak-anak
1. Bullying Fisik
Ini contoh paling umum, dan sering dianggap oleh orang dewasa sebagai anak-anak yang sedang bercanda. Padahal, bullying fisik adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia, karena melanggar hak atas rasa aman, hak terbebas dari kekerasan, dan hak atas perlakuan manusiawi.
Bullying fisik meliputi memukul, mencubit, menendang, memaksa teman untuk melakukan aktivitas fisik yang sangat melelahkan (misalnya berlari puluhan putaran atau push up ratusan kali), atau merebut paksa barang milik teman.
Hal ini sangat melanggar HAM, karena tubuh seseorang, termasuk anak-anak, merupakan objek perlindungan hukum internasional. United Nations Convention on the Rights of the Child (CRC) Pasal 19 menegaskan bahwa setiap anak berhak dilindungi dari segala bentuk kekerasan, baik dari orang dewasa maupun teman sebaya.
UNICEF (2020) mencatat bahwa 1 dari 3 anak usia sekolah di seluruh dunia pernah mengalami bullying fisik.
Bahkan, penelitian dari Journal of Adolescent Health menunjukkan bahwa remaja korban bullying fisik memiliki risiko depresi hingga 2,5 kali lebih tinggi.
Ini bukan sekadar kenakalan anak kecil, melainkan benar-benar bentuk pelanggaran HAM yang bisa berdampak jangka panjang.
2. Bullying Verbal
Bullying tidak harus selalu berupa kekerasan fisik. Terkadang, kata-kata jauh lebih menyakitkan daripada pukulan. Anak-anak sering melontarkan bullying verbal dalam bentuk ejekan fisik (seperti “gemuk”, “hitam”, atau “pesek”), penghinaan terkait keluarga, penghinaan terkait status sosial, komentar rasisme, dan kalimat ejekan lainnya yang dilontarkan secara berulang kali hingga membuat seseorang tertekan.
Hal ini termasuk pelanggaran HAM, karena bullying verbal melanggar hak atas martabat manusia, hak bebas dari perlakuan merendahkan, dan hak untuk terbebas dari diskriminasi.
Anak-anak sering melontarkan hal semacam ini tanpa memahami konsekuensinya. Namun, bagi korban, dampaknya bisa berupa luka psikologis jangka panjang, menurunkan rasa percaya diri, bahkan bisa berujung pada depresi dan trauma.
Sebuah penelitian oleh American Psychological Association (APA, 2017) menegaskan bahwa bullying verbal meninggalkan dampak traumatis yang setara dengan bullying fisik.
Jadi, ketika seorang anak menghina anak lain dengan kata-kata ejekan berulang kali, itu bukan sekadar kenakalan biasa, melainkan pelanggaran HAM berbasis martabat.
3. Bullying Dunia Maya
Anak-anak usia 6-12 tahun zaman sekarang sudah melek teknologi sejak kecil. Sayangnya, anak-anak belum bisa sepenuhnya memahami etika digital. Akibatnya muncul perilaku bullying dunia maya, seperti menyebarkan identitas diri atau foto dokumen pribadi teman sekolah di sebuah forum komunitas umum tanpa izin (kalau di Kaskus namanya RL abuse), membuat akun palsu untuk menghina seseorang, mempermalukan teman sekolah melalui komentar publik di media sosial, mengedit foto untuk mempermalukan orang lain, hingga menyebarkan fitnah digital.
Perbuatan ini melanggar hak asasi manusia atas privasi, hak atas perlindungan data pribadi, hak bebas dari penghinaan, dan hak atas rasa aman, termasuk di dunia digital.
Bullying dunia maya bahkan bisa terjadi 24 jam sehari, membuat korban menjadi tidak punya ruang aman.
Laporan Pew Research Center (2022) menunjukkan bahwa 46% remaja pernah mengalami bullying dunia maya dan 32% orang pernah dipermalukan secara daring oleh teman sebayanya. Dalam banyak kasus, pelakunya adalah sesama anak-anak.
4. Diskriminasi Terhadap Teman Yang Berbeda
Terkadang, anak-anak meniru perilaku orang dewasa tanpa memahami bahwa itu salah. Misalnya, menghina teman yang berkulit gelap atau berhidung datar, menolak bermain dengan anak dari agama yang berbeda, membeda-bedakan teman berdasarkan kasta sosial di sekolah, mengejek anak perempuan yang suka berolahraga karena stereotip gender, hingga menghina tubuh teman yang kurus atau gemuk.
Ini termasuk pelanggaran HAM berdasarkan diskriminasi.
Convention on the Rights of the Child pasal 2 dengan tegas melarang segala bentuk diskriminasi terhadap anak.
Data menunjuklan bajwa organisasi Save the Children (2021) menemukan bahwa diskriminasi antar siswa sudah muncul sejak usia 7 tahun, terutama yang berkaitan dengan warna kulit dan gender.
Diskriminasi yang dilakukan oleh anak-anak sangat berbahaya, karena dapat mengakar menjadi perilaku diskriminatif dewasa yang lebih ekstrem.
5. Perusakan Barang Milik Teman Dengan Disengaja
Kalau mendengar tentang pelanggaran HAM, kebanyakan orang langsung membayangkan pembunuhan atau penyiksaan. Padahal, hak milik juga termasuk hak asasi manusia yang dilindungi oleh deklarasi HAM PBB.
Anak-anak sering merusak alat tulis atau tas teman dengan sengaja, membuang barang milik teman, merobek kertas tugas sekolah, menyembunyikan ponsel atau laptop milik teman sampai rusak, bahkan mencorat-coret buku pelajaran milik teman.
Walaupun kelihatannya sepele, perilaku ini termasuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia atas properti.
Selain itu, kalau ditinjau dari aspek psikologis, merusak barang milik seseorang berarti merendahkan martabat pemilik barang tersebut. Hal ini pernah dibahas dalam Child Development Journal (2021), bahwa merusak barang milik teman adalah bentuk kekerasan tidak langsung yang sering disepelekan, padahal dampak negatifnya sangat signifikan.
6. Eksploitasi Teman
Anak-anak, terutama usia sekolah, bisa memanfaatkan kelemahan teman untuk keuntungan pribadi, misalnya memaksa teman mengerjakan PR, meminta uang jajan secara rutin, menyuruh teman membelikan makanan, memanfaatkan rasa takut teman untuk mendapat keuntungan, hingga membentuk hierarki sosial kecil di sekolah.
Ini adalah perbuatan eksploitasi, bentuk pelanggaran HAM yang biasanya dilakukan oleh orang dewasa, tetapi ternyata juga bisa dilakukan oleh anak-anak.
Eksploitasi melanggar hak asasi manusia untuk bebas dari pemaksaan, hak untuk diperlakukan setara, dan hak atas pendidikan (kalau PR dikerjakan oleh pihak lain).
UNICEF menyebut fenomena ini sebagai peer exploitation, dan data penelitian tahun 2019 menunjukkan bahwa 17% anak sekolah pernah dimanipulasi temannya untuk mengerjakan tugas atau memberikan uang jajan.
Eksploitasi bukan sekadar anak nakal yang suka memaksa teman untuk kenyamanan diri sendiri, melainkan bentuk ketidakadilan struktural kecil yang terbentuk di lingkungan sekolah.
7. Mengisolasi Dan Mengucilkan Teman
Ini adalah pelanggaran HAM yang paling sunyi, karena tidak ada kekerasan fisik atau verbal, tetapi justru paling menyakitkan.
Contohnya, tidak mengajak seseorang bermain karena alasan sepele, memboikot teman, memaksa teman lain untuk tidak boleh mengobrol dengan seseorang, memutus komunikasi di grup WA kelas, bahkan sengaja melarang teman ikut dalam tugas kelompok sekolah.
Semuanya itu melanggar hak untuk berpartisipasi sosial, hak untuk tidak diperlakukan secara tidak manusiawi, dan hak atas perlindungan mental dan emosional.
Penelitian dari University of Michigan (2015) menemukan bahwa isolasi sosial pada masa sekolah memiliki dampak jangka panjang yang setara dengan bullying fisik terhadap kesehatan mental.
Pengucilan sosial yang dilakukan anak-anak bisa berdampak pada kecemasan, perasaan kesepian ekstrem, keinginan untuk menarik diri dari sekolah, hingga perkembangan sosial yang terganggu.
Ini bukan sekadar tidak diajak bekerja kelompok, melainkan bentuk pelanggaran HAM sosial.
Quote:
Mengapa Pelanggaran HAM Oleh Anak-anak Sering Disepelekan?
Jawabannya sederhana, yaitu karena masyarakat menganggap anak-anak belum tahu apa-apa.
Namun, berbagai lembaga internasional seperti UNICEF, UNESCO, dan WHO berulang kali menegaskan bahwa perilaku bullying atau diskriminatif pada anak-anak bukan sekadar fase sementara.
Jika tidak ditangani, hal ini bisa berkembang menjadi perilaku kekerasan di masa dewasa, kecenderungan untuk berbuat kriminal, sikap rasisme yang mengakar, ketidakmampuan berempati, hingga hubungan sosial yang buruk.
Laporan WHO (2020) memaparkan bahwa 80% pelaku kekerasan di usia remaja pernah melakukan atau menjadi korban bullying di masa sekolah.
Karena itulah, memahami pelanggaran HAM yang dilakukan anak-anak adalah langkah penting dalam mencegah kekerasan jangka panjang.
Quote:
Bagaimana Cara Mencegah Anak Melakukan Pelanggaran HAM?
1. Edukasi anak sejak dini: Ajari anak konsep empati, toleransi, dan menghargai perbedaan.
2. Komunikasi terbuka: Anak perlu tahu bahwa kata-kata mereka punya konsekuensi.
3. Pembiasaan positif: Berikan teladan nyata, karena anak-anak belajar dari meneladani, bukan dari perintah.
4. Penegakan aturan yang adil: Sekolah harus punya peraturan yang tegas terkait bullying dan diskriminasi.
4. Peran psikolog pendidikan: Anak kecil yang suka berperilaku agresif atau impulsif perlu diarahkan, bukan dihukum.
5. Lingkungan rumah yang sehat: Banyak anak kecil menjadi pelaku bullying karena terlalu sering melihat kekerasan di rumah.
Upaya penegakan HAM bukan hanya untuk orang dewasa saja, melainkan juga untuk membentuk generasi baru yang lebih manusiawi.
Quote:
KESIMPULAN
Pelanggaran HAM bukan hanya sebatas urusan negara, aparat, atau institusi besar. Bahkan, dalam lingkungan kecil seperti SD atau TK, pelanggaran HAM bisa terjadi, bahkan bisa dilakukan oleh anak-anak.
Ketujuh perbuatan yang dibahas tadi sebenarnya sering dianggap sepele, tetapi jika ditelaah lebih dalam, semua perbuatan itu melanggar hak asasi manusia, mulai dari martabat, keamanan, kesetaraan, privasi, hingga hak atas inklusi sosial.
Kesadaran tentang hal ini penting, supaya kita tidak lagi menormalisasi perilaku bullying yang dilakukan oleh anak-anak. Anak-anak tidak jahat, mereka hanya butuh bimbingan, dan kita sebagai orang dewasa memegang peranan penting untuk membentuk karakter manusiawi sejak dini.
Quote:
SUMBER
American Psychological Association. (2017). Bullying and mental health outcomes in adolescents. APA Publishing.
Pew Research Center. (2022). Teens, social media and cyberbullying. Pew Research.
Save the Children. (2021). Child discrimination in early school years. Save the Children International.
UNICEF. (2019). Peer exploitation and child protection. United Nations Children’s Fund.
UNICEF. (2020). Bullying among school-age children: Global analysis. United Nations Children’s Fund.
United Nations. (1989). Convention on the Rights of the Child. United Nations General Assembly.
World Health Organization. (2020). Violence against children: Global status report. WHO.
University of Michigan. (2015). Effects of social exclusion on child development. UM Child Behavior Research Lab.
Child Development Journal. (2021). Indirect aggression in childhood peer relations. Wiley.
@sahabat.006 @fevierbee @bukhorigan
kaum.pedo dan 2 lainnya memberi reputasi
3
152
Kutip
2
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan
