- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
BEM se-UI Desak Pemerintah Cabut Gelar Pahlawan Soeharto
TS
mabdulkarim
BEM se-UI Desak Pemerintah Cabut Gelar Pahlawan Soeharto

Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dinilai bertentangan dengan Undang-Undang tentang Gelar, Tanda, Jasa, dan Tanda Kehormatan.
11 November 2025 | 17.48 WIB
Aliansi Nasional Pemuda Mahasiswa melakukan unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Kebudayaan, Jakarta, 10 Oktober 2025. Tempo/Ilham Balindra
ALIANSI Badan Eksekutif Mahasiswa se-Universitas Indonesia (Aliansi BEM se-UI) menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Soeharto. Wakil Ketua BEM UI Brevka Noufalio, yang mewakili Aliansi BEM se-UI, mengatakan penolakan tersebut merupakan komitmen Aliansi BEM se-UI pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
“Kami menolak dan menuntut pencabutan seluruh bentuk gelar kehormatan maupun pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto karena bertentangan dengan prinsip keadilan, kemanusiaan, dan nilai-nilai reformasi,” kata Brevka dalam pernyataan tertulisnya, pada Selasa, 11 November 2025.
Aliansi BEM se-UI ini juga menolak segala bentuk manipulasi sejarah dan glorifikasi terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Brevka mendesak pemerintah dan lembaga negara untuk menjalankan tanggung jawab moral dan sejarah dalam memastikan bahwa rezim otoriter tidak pernah lagi dimuliakan dan tidak pernah lagi berulang di masa depan
“Kami mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama orang muda, untuk menjaga warisan reformasi, mengawal kebenaran sejarah, dan melawan segala bentuk distorsi narasi yang mengkhianati perjuangan rakyat,” ujar Brevka.
Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional di masa pemerintahan Prabowo Subianto, tahun ini. Adapun Prabowo pernah menjadi menantu Soeharto.
Penetapan gelar pahlawan nasional itu dibacakan oleh Sekretaris Militer Presiden, Wahyu Yudhayana, di Istana Negara, pada Senin, 10 November 2025. Sebanyak sepuluh nama yang mendapat gelar pahlawan nasional, pada 2025. Mereka adalah Soeharto; Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid; aktivis buruh yang dibunuh di masa Orde Baru, Marsinah; mantan Menteri Hukum Mochtar Kusumaatmadja; pendiri sekolah agama Islam perempuan pertama di Indonesia, Rahmah El Yunusiyyah.
Selanjutnya, mantan Komandan Resimen Para Komando TNI Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie Wibowo; Raja Bima XIV, Nusa Tengara Barat, Sultan Muhammad Salahuddin; ulama asal Bangkalan, Jawa Timur, Syaikhona Muhammad Kholil; Raja Kerajaan Raya Simalungun ke-14, Sumatera Utara, Tuan Rondahaim Saragih Garingging; dan Raja Tidore, Sultan Zainal Abidin Syah.
Dalam pembacaan Keputusan Presiden tentang Penetapan Pahlawan Nasional 2025 itu, Soeharto dinilai berjasa dalam perjuangan kemerdekaan. Penguasa Orde Baru itu dianggap berjasa sebagai wakil komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Yogyakarta dan memimpin pelucutan senjata Jepang di Kotabaru, Yogyakarta, pada 1945.
Brevka Noufalio mengatakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto merupakan bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan penderitaan rakyat Indonesia pada masa kekuasaan Orde Baru. “Soeharto bukanlah figur yang mencerminkan nilai-nilai kepahlawanan,” kata Brevka.
Ia berpendapat, berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, gelar pahlawan diberikan berdasarkan beberapa asas, di antaranya asas kemanusiaan dan keadilan. Kemudian ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 itu mengatur bahwa seseorang hanya dapat disematkan gelar pahlawan apabila memenuhi beberapa syarat, di antaranya memiliki integritas moral dan keteladanan.
“Dengan adanya asas dan syarat tersebut, Soeharto tidak layak mendapat gelar pahlawan,” ujar Brevka.
Brevka mengatakan, selama berkuasa, Soeharto telah memimpin rezim dengan cara menindas, mengekang, dan mengorbankan rakyat. Selain itu, kata dia, Soeharto juga melanggengkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Ia juga menyinggung berbagai pelanggaran hak asasi manusia di masa Orde Baru, mulai dari tragedi kekerasan politik setelah peristiwa 1965, penembakan misterius (petrus) pada 1982-1985, hingga penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi pada 1998.
https://www.tempo.co/politik/bem-se-...eharto-2088576
Forum Cik Di Tiro Gelar Rapat Umum, Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Kompas.com, 11 November 2025, 15:31 WIB Wisang Seto Pangaribowo, Ihsanuddin Tim Redaksi Lihat Foto Forum Cik Di Tiro saat menggelar aksi, Selasa (11/11/2025)(KOMPAS.COM/WISANG SETO PANGARIBOWO)
YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Forum Cik Di Tiro menggelar Rapat Oemoem Meluruskan Sejarah Indonesia, sebagai bentuk penolakan terhadap penetapan Presiden Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo sebagai pahlawan nasional.
Koordinator acara, Marsinah, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan respons atas kembalinya narasi militerisme dan pengaburan sejarah yang semakin masif.
“Untuk pertemuan ini, dilatarbelakangi kegelisahan kita. Ini kegelisahan berulang menjelang Hari Pahlawan, selalu bertanya-tanya siapa yang akan diberi gelar pahlawan,” ujar Marsinah, Selasa (11/11/2025).
Menurut Marsinah, sebelum penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional, sudah muncul narasi-narasi di publik yang menyebut Soeharto lebih baik daripada Jokowi.
“Penyebaran narasi tentang Soeharto jauh lebih baik daripada Jokowi itu bukan sekadar perbandingan tokoh, tapi bagian dari pembentukan narasi pengaburan sejarah,” jelasnya.
Ia menyebut, forum ini menjadi ruang bagi kelompok yang selama ini termarjinalkan untuk menyuarakan pandangannya.
“Tepat 10 November, Soeharto ditetapkan, termasuk Sarwo Edhie, yang darahnya berlumuran di mana-mana,” kata Marsinah.
Singgung Peristiwa 1965 Menanggapi pernyataan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti keterlibatan Soeharto dalam peristiwa 1965-1966, Marsinah menyatakan penolakan.
“Hari ini ibu-ibu korban 65 menyatakan, ‘kami korban nyata berpuluh-puluh tahun hidup di penjara karena kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Soeharto’,” ujarnya.
Selama hidup, para penyintas peristiwa 1965 disebut kerap dicap sebagai komunis karena melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru.
“Rapat umum ini juga menjadi bentuk perlawanan atas upaya mengaburkan sejarah ketidakadilan dan kekejaman Soeharto terhadap korban 65,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon, menyatakan tidak pernah ada bukti keterlibatan Soeharto dalam genosida 1965-1966.
“Enggak pernah ada buktinya kan? Enggak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Enggak ada,” kata Fadli Zon di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (5/11/2025).
https://yogyakarta.kompas.com/read/2...awan-nasional.
desakan pencabutan
Tokoh komunis macam Tan Malaka dan Alimin saja yang ditetapkan pahlawan nasional di masa Sukarno tak dicabut di masa Presiden Suharto yang anti komunis. Jadi tak pernah ada pencabutan pahlawan nasional selama ini.
purnamaazhar323 dan 5 lainnya memberi reputasi
4
476
39
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan