BAGI Dandhy Dwi Laksono, film dokumenter bukan sebatas karya seni, tapi juga medium untuk menyadarkan publik akan pelbagai persoalan sosial, ekonomi, dan politik kontemporer. Di tengah kondisi yang sedang tidak baik-baik saja, ia merilis Dirty Vote II O3 bertepatan dengan setahun kinerja pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Senin, 20 Oktober 2025.

Berdurasi empat jam, film ini mengupas strategi rezim yang Dandhy sebut O3, yakni otot, otak, dan ongkos. Otot berupa penguatan institusi keamanan dan militer. Tentara dan polisi kian merangsek ke ranah sipil. Otak adalah membangun koalisi gemuk tanpa oposisi. Sedangkan ongkos adalah mendistribusikan sumber daya ekonomi kepada elite, oligarki, serta pendukung rezim.

Semenjak dirilis dua pekan lalu, Dirty Vote II O3 telah ditonton 1,4 juta kali di YouTube. Meski pemilihan presiden empat tahun lagi, Dandhy tetap menyematkan judul Dirty Vote. Pendiri rumah produksi audio visual Watchdoc ini menjelaskan bahwa vote dalam film kedua merujuk pada bagaimana rezim merancang kemenangan pemilihan umum berikutnya melalui proyek makan bergizi gratis, Koperasi Merah Putih, dan lainnya.

Dandhy tak berharap film dokumenternya mendapat Piala Oscar, seperti The Cove—film tentang perburuan lumba-lumba di Jepang—garapan Louie Psihoyos pada 2010. Dalam wawancara dengan Tempo, Dandhy berharap film dokumenternya menyadarkan kembali publik akan dampak memiliki pemimpin yang terpilih dengan cara curang dan nepotisme.

Film Dirty Vote I membeberkan kebrutalan pemilihan presiden 2024. Dandhy mengamati seolah-olah ada upaya agar publik cepat-cepat move on atau melupakan peristiwa kelam dalam demokrasi Indonesia. Lewat film, Dandhy ingin menunjukkan kondisi Indonesia mutakhir di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Simak wawancara selengkapnya dalam artikel berjudul "Dandhy Dwi Laksono: Indonesia Sedang Tidak Baik-baik Saja".

https://www.tempo.co/wawancara/dirty...-gelap-2085535