Kaskus

News

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Satu Tahun Prabowo, Amnesty: Erosi HAM Terparah sejak Reformasi

Satu Tahun Prabowo, Amnesty: Erosi HAM Terparah sejak Reformasi
Sebanyak 5.538 orang korban penggunaan kekuatan eksesif dan kekerasan aparat pada tiga demonstrasi besar dalam satu tahun pemerintahan Prabowo.
20 Oktober 2025 | 18.57 WIB

Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid memberikan keterangan setelah selesai mengikuti sidang perdana gugatan praperadilan untuk kliennya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, 17 Oktober 2025. Tempo/Ilham Balindra
AMNESTY International Indonesia menilai situasi hak asasi manusia terkikis dalam satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan erosi HAM itu terjadi akibat kebijakan, tindakan, hingga praktik otoriter oleh pemerintahan saat ini.

Usman menyebut, sejak Prabowo dan Gibran dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2024, tidak ada kemajuan berarti di bidang HAM, baik terbebas dari rasa takut maupun dari rasa kekurangan.

“Sebaliknya, terjadi erosi terparah sepanjang masa reformasi,” kata Usman lewat keterangan tertulis, pada Senin, 20 Oktober 2025.


Ia mengatakan, penyebab erosi HAM itu di antaranya pembuatan kebijakan pemerintah yang populis, tapi tidak partisipatif. Pemerintah tak berdialog dengan masyarakat terlebih dahulu, tapi mereka justru menjadikan penyusunan kebijakan populis sebagai pilihan utama. Pemerintah baru berdialog dengan masyarakat saat protes massa meluas atau korban jiwa berjatuhan.

“Kebijakan yang pada masa pemerintahan lalu melanggar hak asasi justru berlanjut. Polanya sama, tanpa partisipasi aktif warga,” kata Usman.

Amnesty Internasional Indonesia mencatat sebanyak 5.538 orang menjadi korban penggunaan kekuatan eksesif dan kekerasan aparat lainnya pada tiga demonstrasi besar yang terjadi sepanjang satu tahun pemerintahan Prabowo. Ketiga demonstrasi itu adalah unjuk rasa memprotes pengesahan Undang-undang tentang Tentara Nasional Indonesia pada Maret 2025, demonstrasi menuntut kesejahteraan buruh pada Mei 2025, serta unjuk rasa menolak tunjangan jumbo anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada akhir Agustus 2025.

Dari tiga demonstrasi itu, sesuai dengan catatan Amnesty Internasional Indonesia, sebanyak 4.453 orang ditangkap, 744 orang menjadi korban kekerasan fisik, dan 341 orang korban akibat penggunaan water cannon dan gas air mata.

Setelah gelombang demonstrasi di terakhir Agustus 2025, sebanyak 12 aktivis yang ditahan. Mereka disangka menghasut dan memprovakasi unjuk rasa tersebut. Dua orang lagi dilaporkan masih hilang hingga kini.

Menurut Usman, negara juga tidak serius mengusut demonstrasi Agustus yang mengakibatkan 10 orang meninggal. “Tim Gabungan Pencari Fakta juga batal dibentuk. Padahal itu amat penting untuk membongkar aktor yang paling bertanggung jawab. Komite Reformasi Polri juga menguap,” ujar Usman.

Ia juga menyoroti keengganan pemerintah mengevaluasi kebijakan maupun memastikan akuntabilitas polisi. “Presiden malah memunculkan label negatif seperti 'anarkis', 'makar', 'asing', bahkan 'teroris' kepada pengunjuk rasa. Padahal mereka adalah mahasiswa, pelajar sekolah, pegiat literasi, dan warga biasa,” kata Usman.

Di samping itu, Amnesty Internasional Indonesia juga mengkritik terbitnya Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Polri pada 29 September 2025. Usman menilai Peraturan Kapolri itu justru melonggarkan wewenang polisi, terutama ihwal penggunaan senjata api.

Selanjutnya, Amnesty Internasional Indonesia menemukan kasus kekerasan aparat yang tidak terkait demonstrasi terjadi selama setahun terakhir. Amnesty mencatat sebanyak 119 korban kekerasan aparat, dengan rincian korban penangkapan 13 orang, kekerasan fisik 93 orang, penyiksaan 27 orang. Selanjutnya, korban penembakan 9 orang, pemerasan 5 orang, dan pembunuhan di luar hukum sebanyak 42 orang.

Data tersebut belum termasuk kasus kekerasan akibat konflik di Papua. "Amnesty Internasional Indonesia sedang memverifikasinya," kata dia.

Amnesty Internasional Indonesia juga menemukan erosi kebebasan sipil, seperti serangan ke pembela HAM sebanyak 268 kasus. Rinciannya, pelaporan ke polisi sebanyak 46 orang, penangkapan 17 orang, kriminalisasi 35 orang. Lalu percobaan pembunuhan sebanyak 6 orang, serangan fisik 153 orang, serta serangan ke tempat kerja pembela HAM sebanyak 11 kasus.

Dalam catatan Amnesty Internasional Indonesia, jurnalis dan pegiat adat mengalami serangan terbanyak, masing-masing 112 orang dan 81 orang korban. “Ini termasuk teror bom molotov ke kantor media Jubi di Jayapura, Papua, pada 16 Oktober 2024, yang melibatkan militer tapi justru menguap,” kata Usman.

Di ranah digital, Amnesty Internasional Indonesia menemukan sebanyak 14 jurnalis dan lembaga media mengalami serangan. Angka itu belum termasuk 20 kasus kriminalisasi yang dituduh melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

“Apa pun alasannya, manusia berhak atas perlakuan manusiawi. Apalagi jika menyatakan wacana kritis di ruang sipil. Jika ada pembungkaman suara-suara kritis oposisi, maka yang terbangun adalah atmosfer ketakutan,” ujar Usman.

Catatan Amnesty Internasional Indonesia lainnya mengenai kasus diskriminasi atas nama agama. Selama satu tahun pemerintahan Prabowo, menurut Usman, telah terjadi 13 kasus diskriminasi terhadap hak beragama. Antara lain, sebanyak 7 kasus penyegelan rumah ibadah, 5 kasus intimidasi atau pembubaran kegiatan jemaah, dan satu kasus individu

Usman menyebut, sejak Prabowo dan Gibran dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2024, tidak ada kemajuan berarti di bidang HAM, baik terbebas dari rasa takut maupun dari rasa kekurangan.


“Sebaliknya, terjadi erosi terparah sepanjang masa reformasi,” kata Usman lewat keterangan tertulis, pada Senin, 20 Oktober 2025.
Ia mengatakan, penyebab erosi HAM itu di antaranya pembuatan kebijakan pemerintah yang populis, tapi tidak partisipatif. Pemerintah tak berdialog dengan masyarakat terlebih dahulu, tapi mereka justru menjadikan penyusunan kebijakan populis sebagai pilihan utama. Pemerintah baru berdialog dengan masyarakat saat protes massa meluas atau korban jiwa berjatuhan.

“Kebijakan yang pada masa pemerintahan lalu melanggar hak asasi justru berlanjut. Polanya sama, tanpa partisipasi aktif warga,” kata Usman.

Amnesty Internasional Indonesia mencatat sebanyak 5.538 orang menjadi korban penggunaan kekuatan eksesif dan kekerasan aparat lainnya pada tiga demonstrasi besar yang terjadi sepanjang satu tahun pemerintahan Prabowo. Ketiga demonstrasi itu adalah unjuk rasa memprotes pengesahan Undang-undang tentang Tentara Nasional Indonesia pada Maret 2025, demonstrasi menuntut kesejahteraan buruh pada Mei 2025, serta unjuk rasa menolak tunjangan jumbo anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada akhir Agustus 2025.

Dari tiga demonstrasi itu, sesuai dengan catatan Amnesty Internasional Indonesia, sebanyak 4.453 orang ditangkap, 744 orang menjadi korban kekerasan fisik, dan 341 orang korban akibat penggunaan water cannon dan gas air mata.

Setelah gelombang demonstrasi di terakhir Agustus 2025, sebanyak 12 aktivis yang ditahan. Mereka disangka menghasut dan memprovakasi unjuk rasa tersebut. Dua orang lagi dilaporkan masih hilang hingga kini.

Menurut Usman, negara juga tidak serius mengusut demonstrasi Agustus yang mengakibatkan 10 orang meninggal. “Tim Gabungan Pencari Fakta juga batal dibentuk. Padahal itu amat penting untuk membongkar aktor yang paling bertanggung jawab. Komite Reformasi Polri juga menguap,” ujar Usman.

Ia juga menyoroti keengganan pemerintah mengevaluasi kebijakan maupun memastikan akuntabilitas polisi. “Presiden malah memunculkan label negatif seperti 'anarkis', 'makar', 'asing', bahkan 'teroris' kepada pengunjuk rasa. Padahal mereka adalah mahasiswa, pelajar sekolah, pegiat literasi, dan warga biasa,” kata Usman.

Di samping itu, Amnesty Internasional Indonesia juga mengkritik terbitnya Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Polri pada 29 September 2025. Usman menilai Peraturan Kapolri itu justru melonggarkan wewenang polisi, terutama ihwal penggunaan senjata api.

Selanjutnya, Amnesty Internasional Indonesia menemukan kasus kekerasan aparat yang tidak terkait demonstrasi terjadi selama setahun terakhir. Amnesty mencatat sebanyak 119 korban kekerasan aparat, dengan rincian korban penangkapan 13 orang, kekerasan fisik 93 orang, penyiksaan 27 orang. Selanjutnya, korban penembakan 9 orang, pemerasan 5 orang, dan pembunuhan di luar hukum sebanyak 42 orang.

Data tersebut belum termasuk kasus kekerasan akibat konflik di Papua. "Amnesty Internasional Indonesia sedang memverifikasinya," kata dia.

Amnesty Internasional Indonesia juga menemukan erosi kebebasan sipil, seperti serangan ke pembela HAM sebanyak 268 kasus. Rinciannya, pelaporan ke polisi sebanyak 46 orang, penangkapan 17 orang, kriminalisasi 35 orang. Lalu percobaan pembunuhan sebanyak 6 orang, serangan fisik 153 orang, serta serangan ke tempat kerja pembela HAM sebanyak 11 kasus.

Dalam catatan Amnesty Internasional Indonesia, jurnalis dan pegiat adat mengalami serangan terbanyak, masing-masing 112 orang dan 81 orang korban. “Ini termasuk teror bom molotov ke kantor media Jubi di Jayapura, Papua, pada 16 Oktober 2024, yang melibatkan militer tapi justru menguap,” kata Usman.

Di ranah digital, Amnesty Internasional Indonesia menemukan sebanyak 14 jurnalis dan lembaga media mengalami serangan. Angka itu belum termasuk 20 kasus kriminalisasi yang dituduh melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

“Apa pun alasannya, manusia berhak atas perlakuan manusiawi. Apalagi jika menyatakan wacana kritis di ruang sipil. Jika ada pembungkaman suara-suara kritis oposisi, maka yang terbangun adalah atmosfer ketakutan,” ujar Usman.

Catatan Amnesty Internasional Indonesia lainnya mengenai kasus diskriminasi atas nama agama. Selama satu tahun pemerintahan Prabowo, menurut Usman, telah terjadi 13 kasus diskriminasi terhadap hak beragama. Antara lain, sebanyak 7 kasus penyegelan rumah ibadah, 5 kasus intimidasi atau pembubaran kegiatan jemaah, dan satu kasus individu.

https://www.tempo.co/politik/satu-ta...ormasi-2081512

masalah masifnya pelanggaran HAM


0
134
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan