- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Pamit Berwisata ke Jepang, Tiphaine Véron Sampai Sekarang Nggak Pernah Pulang


TS
si.matamalaikat
Pamit Berwisata ke Jepang, Tiphaine Véron Sampai Sekarang Nggak Pernah Pulang
Quote:
Tiphaine Véron, lahir pada 22 Juli 1982 di Poitiers, Prancis. Wanita ini tumbuh besar di sebuah rumah pedesaan bersama adik perempuannya, Sibylle, dan saudara laki-lakinya, Damien si sulung dan Stanislas si bungsu. Masa remaja Tiphaine sempat terguncang oleh perceraian orang tuanya.
Dia kemudian menyembunyikan kerapuhan yang membuatnya tidak selalu bisa dipahami oleh orang lain. Meski begitu, hubungan dengan kakak dan adiknya rukun. Hanya saja terkadang, agak sulit untuk berbicara dengan Tiphaine. Dia tidak tahu topik apa yang harus dibicarakan atau bagaimana harus bereaksi. Menurut keterangan Damien si sulung, hal itu menurutnya karena Tiphaine kurang percaya diri.
Selama tahun ketiganya di Universitas Poitiers, tempat dia belajar sejarah seni, Tiphaine bertemu Faty, yang baru saja tiba di Prancis dari Aljazair. Mereka kemudian menjadi teman dekat. Di mata Faty, Tiphaine sosok berbudaya dan sederhana.
Di waktu luangnya, Tiphaine menjadi sukarelawan di berbagai organisasi yang membantu masyarakat miskin. Dia telah membentuk beberapa kelompok kecil pertemanan, termasuk teman-teman SMA-nya, anak laki-laki dengan gangguan bipolar yang ia temui melalui sebuah perkumpulan, dan para tuna rungu yang dengannya ia berlatih bahasa isyarat.
Pada saat menempuh pendidikan SMA sampai kuliah, dia sangat tertarik mempelajari budaya dari negara lain. Yakni Rusia dan Jepang. Pada perkembangannya, Tiphaine kemudian fokus belajar kebudayaan Jepang. Karena baginya negara itu punya tata kota bagus dan aman. Menurut Tiphaine, pergi ke Rusia sendirian bukan hal yang tepat, mengingat dia masih lajang. Sejak saat itu, dia menjadi tergila-gila dengan kebudayaan Jepang dan ingin pergi ke sana.
Quote:
Tiphaine kemudian mulai mengkoleksi berbagai hal tentang Jepang, mulai dari boneka kokeshi kayu kecil dengan berbagai warna dan ukuran menunggu dengan sabar di atas lemari laci tua. Dia juga mengkoleksi kamus bahasa Jepang dan buku karya penulis Haruki Murakami. Tulisan tangan Tiphaine menunjukkan berbagai macam alat bantu ingat untuk mempelajari hiragana dan katakana, alfabet suku kata Jepang.
Tiphaine kemudian mengunjungi Jepang untuk pertama kali pada 2013, sepulangnya dari sana, dia benar-benar senang. Dia menceritakan pengalamannya kepada ibunya, Anne Désert, dan menyebut Jepang sebagai dunia yang ideal baginya. Memuji negara itu bersih, orangnya disiplin, nyaman dan semuanya tertata dengan baik. Tiphaine berencana kembali mengunjungi negara itu dan semakin semangat mempelajari bahasa Jepang.
Satu hal yang menghalangi perjalanan Tiphaine kembali ke Jepang adalah penyakit epilepsi. Kejang epilepsi pertamanya terjadi saat usia 20 tahun. Ketika berada di Poitiers, Tiphaine tinggal di studio kecil beberapa meter dari rumah keluarganya. Karena khawatir, ibunya menyimpan satu set kunci cadangan, untuk membantunya, berjaga-jaga.
Quote:
Ahli saraf mengaitkan kejangnya dengan stres, kelelahan, dan kecemasan tertentu. Kesehatannya memburuk saat ia menyelesaikan tahun pertama magisternya. Selama masa ini, dia menjalani serangkaian rawat inap di rumah sakit, pada tahun 2008, 2010, dan 2012. Kejangnya berkembang menjadi "status epileptikus", komplikasi paling serius dari penyakit tersebut.
Suatu ketika, Tiphaine diinduksi koma. Dan tidak dapat menyelesaikan studinya, pada 2016 setelah menjalani berbagai pengobatan, epilepsi yang dideritanya dinyatakan sembuh. Tiphaine kemudian meraih diploma sebagai asisten pendukung sekolah dan ikut mengajar anak-anak autis. Dia sangat menyukai anak-anak, dia selalu memberi 100% dalam pekerjaannya itu.
Menghilang Tanpa Jejak, Keluarga Terus Mencarinya
Setelah sembuh dari epilepsi, Tiphaine bersiap kembali mengunjungi Jepang. Pada Juli tahun 2018, dia merencanakan mengunjungi Jepang selama 3 minggu. Lokasi yang akan dikunjungi adalah, kota kecil Nikko, 150 km utara Tokyo. Kota ini hanya dihuni 12.000 penduduk. Nikko adalah pusat bersejarah, dihargai karena keindahan pegunungan dan monumennya, yang terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
Seperti Tiphaine Véron, dua belas juta wisatawan berbondong-bondong ke sana setiap tahun untuk mengunjungi kuil Tōshō-gū atau membawa pulang foto kenang-kenangan jembatan merah Shinkyō. Wisata favorit lainnya adalah Gunung Nantai, gunung berapi setinggi 2.486 meter di sebelah barat Nikko. Sejak saat itu, gunung ini telah menjadi tempat ziarah penting bagi agama Buddha dan Shinto.
Perjalanan ke Jepang dimulai Tiphaine pada Kamis, 26 Juli 2018. Dia kemudian mengirim pesan, video dan foto ke grup WhatsApp keluarga, untuk mengabarkan kegiatan perjalanannya. Pesan yang dikirim Tiphaine sebagai berikut:
Kamis, 26 Juli 2018 pukul 20.13: "Itu saja, saya hampir naik pesawat, semuanya berjalan lancar (untuk saat ini). Proses check-in sangat cepat ! Saya selesai makan malam di "Yo Sushi" di Bandara Charles-de-Gaulle, Anda bisa saja berada di Bandara Narita atau Haneda di Tokyo."
Jumat, 27 Juli 2018: “Tiba dengan selamat di Shanghai. Pesawatnya agak terlambat sampai di sana, jadi agak repot untuk transfer, bea cukai, dan bahkan naik pesawat ke Tokyo ! Saya akan segera berangkat !”
Sabtu, 28 Juli 2018 pukul 16.30: “Halo kucing gemuk dan anak kucing. Apa kabar ? Saya sudah tiba di Nikko (“sinar matahari”). Maaf, sinyal di hotel kemarin buruk !”
Sabtu, 28 Juli 2018 pukul 16.33 : “ Pemilik hotel juga menggemaskan, dia memadukan bahasa Jepang dengan bahasa Inggris ! Dia penggemar kura-kura, adonan garam... Saya memberinya boneka kura-kura kecil, dia sangat senang ! Hotelnya lucu, berwarna oranye koral. Nikko dikelilingi pegunungan, kota yang cukup tradisional.”
Quote:
Pada 28 Juli, Thipaine tiba di Tokyo, kemudian langsung menuju ke Nikko. Dia baru sempat mengirim pesan ke grup WhatsApp keluarga pada sore hari. Dia mengatakan menginap di sebuah hotel bernama Turtle Inn. Saat perjalanan menuju hotel, cuaca hujan, dan menurut informasi ada potensi badai Jongdari mendekati Jepang wakti itu. Tiphaine memutuskan tidak ke mana-mana pada malam hari.
Setelah menginap semalam di Turtle Inn, keseokan paginya pada 29 Juli 2018, perempuan Prancis itu sarapan sekitar pukul 08.30. Dia sarapan dengan seorang turis lokal Jepang, dan pada pukul 08.41 turis itu mengambil foto Thipaine dan sekitar ruangan tempat mereka sarapan.
Setelah sarapan, Tiphaine kembali ke kamarnya. Dan pada pukul 10.30 pergi dari hotel sambil membawa tas ransel. Namun, sampai malam, dia tidak pernah kembali. Hari berikutnya tanggal 30 Juli, staf hotel yang khawatir karena Tiphaine tak kunjung kembali, kemudian mengecek kamarnya.
Namun, wanita Prancis itu tidak ada di sana. Sementara paspor dan barang-barang lainnya masih berada di dalam kamar. Manajer hotel kemudian melaporkan hal tersebut kepada polisi. Pada 1 Agustus 2024, Kedutaan Besar Prancis di Jepang kemudian memberitahu keluarga tentang hilangnya Tiphaine.
Quote:
Pada 6 Agustus 2018, tiga saudara kandung Tiphaine pergi ke Jepang untuk memastikan keadaan wanita itu. Sesampainya mereka di Jepang, pencarian besar-besaran dilakukan di kawasan hutan, sungai dan sekitar hotel. Tapi, pencarian itu tidak membuahkan hasil. Waktu itu, ibu Tiphaine, Anne Désert berbicara langsung kepada Presiden Macron untuk membantu mencari putrinya.
Setelah beberapa minggu pencarian tanpa hasil, pada 9 September 2018, adik perempuan Tiphaine, Syblle, meminta turis yang berkunjung ke Nikko membagikan foto yang mereka abadikan. Foto tersebut bisa dijadikan petunjuk tentang keberadaan Tiphaine. Tapi, sekali lagi, upaya ini tidak membuahkan hasil.
Pada 17 Oktober 2018, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengunjungi Prancis, waktu itu Syblle, adik Tiphaine menuju Istana Elise untuk meminta Presiden Macron membujuk Abe melakukan pencarian Tiphaine. Macron kemudian meminta staf kepresidenan untuk mengurus masalah tersebut.
Berlanjut ada 10 November 2018 di Poitiers, 500 orang berkumpul untuk melakukan aksi solidaritas mendukung transparansi kasus hilangnya Tiphaine. Di sisi lain, pencarian Tiphaine di Jepang berlanjut pada 7 - 17 Mei 2019 yang melibatkan ahli penyelamat gunung, tapi belum membuahkan hasil.
Quote:
Pada Agustus 2019, Damien kembali ke Jepang dan mencari di sekitar hotel Turtle Inn, pencarian libatkan 5 sukarelawan dan 7 anjing pelacak, tapi belum membuahkan hasil juga. Di sisi lain, polisi Jepang lebih suka menyebut teori jika Tiphaine hilang di hutan atau terpeleset di sungai dan hanyut terseret banjir. Pasalnya selama pencarian, tim SAR menemukan syal di dekat sungai, yang diduga milik Tiphaine.
Tapi, keluarga menolak klaim polisi yang menyebut Tiphaine terpeleset di sungai dan hanyut terseret banjir. Karena berdasarkan data pelacakan Google Maps yang berhasil diakses, pukul 11.40, ponsel Tiphaine masih online dan posisinya berada tak jauh dari hotel, sampai akhirnya ponsel itu offline karena sambungan wifi-nya terputus. Soal syal yang ditemukan polisi, keluarga menyebut Tiphaine tidak pernah memakai syal.
Pada Aguastus 2018 ditemukan tengkorak manusia di dekat rel kereta kota Nikko, beberapa minggu kemudian dua wanita orang tak dikenal saat berada di parkiran. Sepanjang Oktober 2018 sampai awal 2022 ditemukan 15 jasad dan 33 laporan serangan seksual di kota tersebut. Sisa jasad manusia ditemukan di hutan dan pinggiran sungai sepanjang periode tersebut.
Laporan tersebut tentu membuat keluarga khawatir, meski dari jasad yang ditemukan tidak ada indikasi jika itu adalah Tiphaine. Meski belum berhasil ditemukan, keluarga yakin Tiphaine masih hidup dan berada di suatu tempat di Jepang. Saat dilaporkan hilang, Tiphaine berumur 36 tahun. Ciri fisiknya adalah punya mata warna hijau, rambut kecokelatan dan tinggi badannya 163 cm. Sampai sekarang poster orang hilang atas nama Tiphaine tertempel di penjuru kota Nikko.
Keluarga Tiphaine Tak Pernah Menyerah
Keluarga Tiphaine tak pernah menyerah untuk mencari keberadaan wanita itu, Damien dan Sybell telah pergi ke Jepang sampai 8 kali. Mereka sampai berhenti dari pekerjaannya demi mencari Tiphaine. Biaya yang mereka habiskan sangat mahal, selain untuk beli tiket pesawat, juga habiskan uang untuk sewa penerjemah bahasa Jepang. Keduanya juga tak paham budaya negara itu, hal ini merupakan tantangan berat.
Namun, mereka sampai saat ini berjuang sendiri. Karena polisi Jepang yang sangat kaku terhadap kasus orang hilang. Polisi di Jepang selalu menolak membuka penyelidikan kriminal. Di Jepang, selama belum ada tersangka, kita diberi tahu bahwa penyelidikan semacam ini tidak akan dibuka. Menurut data, total 100 ribu orang Jepang telah menghilang. Kasus ini disebut menghilang secara paksa. Artinya orang-orang itu memang sengaja menghilangkan dirinya sendiri, dan polisi tidak berhak mencarinya.
Bagi polisi Jepang, jika mereka gagal memecahkan kasus itu akan menjadi semacam aib yang memalukan. Jadi, selama belum ada tersangka, mereka menolak untuk menyelidiki lebih serius. Sementara Damien, yang mempertaruhkan nyawa demi menemukan adik perempuannya, terombang-ambing antara harapan dan keputusasaan. Tanpa adanya penyidik yang serius, dia terkadang mengandalkan cenayang atau dukun yang menawarkan jasanya.
Suatu hari seorang perempuan Jepang mengaku telah menerima "pesan" dari Tiphaine. Dengan bantuan bandulnya, ia membawa Damien dan Sibylle ke sebuah kabin kosong untuk mencari sepatu yang konon ditinggalkan turis tersebut. Seorang perempuan Inggris lainnya berhenti di sebuah jalan setapak yang dipenuhi patung-patung Buddha kecil.
Di sana, dia konon merasakan "tangan dingin dan menggigil" perempuan yang hilang itu. Menurutnya, Tiphaine mencoba menyeberangi sungai di dekat jembatan dan jatuh ke air. Hal ini menimbulkan keraguan di benak Damien dan saudara perempuannya, yang terus-menerus dihadapkan dengan hipotesis baru.
Quote:
Pada 2 Juni 2022, Damien dan keluarganya menerbitkan buku berjudul Tiphaine ou es-tu ? (Tiphaine – Where Are You ?). Buku ini berisi detail tentang hilangnya Tiphaine dana proses pencarian yang melelahkan. Buku ditulis Damien dan adiknya Syblle yang merupakan jurnalis.
Pada pertengahan 2025, dirilis film dokumenter dengan judul L' Air humide - Wet Air, yang disutradarai oleh sahabat masa kecil Tiphaine, Cécile Juan, dan tayang pada 18 Juni 2025 di platform VOD SaNoSi.live. Upaya lain dilakukan dengan melaporkan kasus ini ke PBB dan polisi Prancis.
Namun, hubungan antara sistem peradilan Prancis dan otoritas Jepang rumit selama penyelidikan. Kasus ini bahkan nyaris dihentikan. Inilah sebabnya keluarga Tiphaine, didampingi pengacara mereka, Corinne Herrmann, berhasil melimpahkan kasus Tiphaine ke unit Nanterre, yang dibentuk tahun 2022 lalu. PBB dan otoritas Prancis menyerukan penyelidikan kriminal, sementara polisi Jepang justru tidak segera bertindak.
Turis lokal terakhir yang memotret Tiphaine saat sarapan bersama di Turtle Inn, menyebut wanita itu pergi dari hotel mejelang siang hari. Ini sesuai dengan data yang diperoleh keluarga, karena ponsel Tiphaine masih memancarkan sinyal dari kamar hotelnya menjelang siang hari.
Orang terakhir yang melihat Tiphaine adalah manajer hotel sekaligus pemilik tempat itu yang memberi keterangan Tiphaine pergi dari hotel pukul 10.30. Dan ini tidak sesuai dengan data Google Maps Tiphaine. Akan tetapi, polisi tidak menyelidiki pemilik hotel ini. Padahal di negara Barat, orang terakhir yang melihat korban akan diperiksa dan digeledah rumahnya. Hal lain yang diabaikan polisi Jepang adalah bercak darah di dinding kamar hotel Tiphaine, meski cuma sedikit. Bercak darah itu tak bisa diabaikan.
Quote:
Lokasi hotel Turtle Inn menghadap ke vegetasi yang begitu lebat sehingga membuat pemandangan tak terlihat. Hanya suara Sungai Daiya, di belakangnya, yang memecah kesunyian lingkungan yang jauh dari pusat kota Nikko ini. Di musim panas, tepiannya tertutup selimut bambu tebal dan dedaunan yang lebat. Saat hujan, kabut dari hari-hari yang lembap membelai air, membuatnya tampak misterius.
Terlepas dari upaya kepolisian Jepang, satu hal penting masih belum terungkap hingga kini adalah ponsel Tiphaine. Ponsel tersebut masih belum dapat ditemukan, dan prosedur surat perintah dengan operator swasta sangat panjang dan rumit. Memang memungkinkan untuk memulihkan data dari ponsel Tiphaine, meskipun ponsel tersebut merupakan ponsel asing di wilayah Jepang, tetapi hal itu sulit dilakukan. Padahal di Prancis, data ponsel akan diberikan dalam hitungan jam saja.
Yang janggal juga adalah CCTV, tampaknya di hotel itu tidak banyak CCTV yang terpasang, sehingga menyulitkan penyelidikan. Dari pemeriksaan ratusan CCTV di seluruh kota selama 8 jam oleh polisi Jepang juga tak ada hasil. Diduga polisi tak bisa membedakan wajah orang Jepang dan Eropa, pihak keluarga meminta rekaman CCTV diperlihatkan pada polisi Prancis, tapi permintaan itu tak segera ditanggapi. Jadi, sebenarnya di mana dia menghilang ?
Ada ketakutan, jika Tiphaine jadi korban predator seksual. Hal ini sering terjadi di kepada turis asing di Jepang, di mana para predator seksual itu menawarkan jasa pemandu wisata sebagai penyamaran. Kilas balik pada awal 2000-an, Lucie Blackman, perempuan muda Inggris menjadi korban predator seksual dan pelaku kejahatan berantai di Jepang. Ayah Lucie Blackman harus mengajukan banding langsung ke perdana menteri Inggris Tony Blair agar polisi Jepang bertindak dan menemukan putrinya.
Quote:
Pada Mei 2024, keluarga Tiphaine meminta bantuan firma hukum Zimeray & Finelle. Firma yang mengkhususkan diri dalam hukum internasional ini terkenal menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan Jepang. Pada tahun yang sama, Damien mendirikan organisasi bernama Arted yang fokus membantu warga Prancis yang kehilangan keluarganya di luar negeri.
Tahei Ogawa, pensiunan polisi yang ikut membantu penyelidikan, yakin jika Tiphaine jadi korban tindak kejahatan, bukan hilang di sungai akibat terpeleset. Dan pada musim panas 2025, Damien kembali ke Jepang untuk kunjungan ke-9 kalinya. Dia tidak tahu, apakah kunjungan kali ini akan menjadi yang terakhir ? Setelah berbagai upaya dilakukan, keluarganya masih belum menemukan jawaban.
Yang menarik, Turtle Inn terus mendapat ulasan positif dari pengunjung di berbagai platform pemesanan reservasi online. Para pengunjung yang pernah berada di sana kebanyakan tidak tahu, jika hotel itu masih menyimpan teka-teki yang belum terpecahkan.
Semoga kita bisa ambil pelajaran dari kasus ini, sampai jumpa.
Referensi: Le Point| RTL | unispourtipahine.org
Diubah oleh si.matamalaikat 05-10-2025 13:10






ashibnu dan 6 lainnya memberi reputasi
7
806
23


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan