- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
AJI: demokrasi Indonesia sedang “sakit” dan jurnalis dibungkam dengan “cara senyap”


TS
mabdulkarim
AJI: demokrasi Indonesia sedang “sakit” dan jurnalis dibungkam dengan “cara senyap”

Emanuel Riberu
Last updated: September 13, 2025 3:51 pm
Author : Emanuel Riberu
Pembukaan Festival Media ke 9 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia di Gedung Benteng Ujung Pandang, Makassar. - Jubi/Emanuel Riberu
Makassar, Jubi – Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Indonesia menggelar Festival Media atau FesMed 2025 di Gedung Benteng Ujung Pandang, Makassar, sejak Jumat hingga Minggu 14 September 2025. Agenda tahunan AJI Indonesia ini mempertemukan ratusan jurnalis, akademisi, aktivis, hingga komunitas sipil dari berbagai daerah.
FesMed ke-9 AJI ini bertema “Kondisi Demokrasi, Kebebasan Bersuara, dan Kebebasan Pers”. Hajatan tersebut dirangkai dengan diskusi, pameran, lokakarya hingga pertunjukan seni. Adapun diskusi terkait kondisi demokrasi, kebebasan pers, HAM, keadilan ekologi hingga kebebasan berekspresi.
Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida, mengatakan teman festival media tahun ini cukup serius menggambarkan kondisi Indonesia: kondisi demokrasi, kebebasan bersuara dan kebebasan Pers, juga fokus pada kerusakan lingkungan, inklusivitas dan bagaimana jejaring lintas elemen masyarakat sipil bisa bergerak bersama.
“Ini bukan acara seremonial. Tema ini menunjukkan kita berkumpul kembali, karena ada sesuatu yang penting yaitu demokrasi kita sedang sakit. Penyakit paling berbahaya yang menyerang demokrasi hari ini adalah pembungkaman kebebasan pers,” kata Nany saat membuka FesMed AJI 2025.
Demokrasi sedang sakit
Nany Afrida menegaskan bahwa demokrasi tidak lahir dari istana, bukan dari meja para penguasa. Demokrasi lahir dari suara rakyat. Jurnalis berperan menjaga agar suara rakyat itu tetap terdengar, sebab kebebasan pers adalah nafas demokrasi. Tanpa pers yang bebas, rakyat hanya diberi propaganda. Tanpa jurnalis yang bisa bekerja merdeka, yang tersisa hanyalah kebohongan yang dipoles jadi kebenaran semu.
“Yang kita saksikan hari ini jurnalis terus dibungkam, diintimidasi, dikriminalisasi. Kamera dirampas, ponsel disita, bahkan dipukul di lapangan hanya karena mereka menjalankan tugas. Ada sensor halus melalui tekanan iklan dan kepentingan politik. Ada undang-undang yang dijadikan alat untuk menakut-nakuti media. Apakah ini demokrasi? Atau jalan kembali ke sistem otoriter dengan wajah baru,” ujarnya.
Dibungkam secara senyap
Nany Afrida menyoroti ancaman lain terhadap kebebasan Pers yang dianggap mematikan, yakni pemutusan hubungan kerja atau PHK massal jurnalis. Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 1.300 jurnalis di-PHK. Di balik setiap angka itu, ada keluarga yang kehilangan nafkah, ada anak yang kehilangan masa depan. Dan lebih dari itu, ada publik yang kehilangan mata dan telinga.
“PHK bukan hanya soal pekerjaan. PHK jurnalis adalah pembungkaman dengan cara senyap. Ketika satu jurnalis di-PHK, satu mata rakyat ditutup. Ketika satu media dimatikan, satu telinga rakyat ditulikan. Dan ketika pers mati, seluruh rakyat dibutakan,” katanya.
Nany berujar jurnalis merupakan orang-orang terpilih. Profesi jurnalis adalah untuk orang-orang yang berani. Mereka maju ke garis depan. Mereka berhadapan dengan aparat, berhadapan dengan pengusaha, bahkan berhadapan dengan ancaman keselamatan diri.
“Jurnalis tidak punya senjata, tidak punya kekuasaan. Yang mereka bawa hanya pena, kamera, dan keberanian. Tapi dengan itu, mereka bisa membongkar korupsi, menyingkap kerusakan lingkungan, dan memperjuangkan suara rakyat kecil. Itu pekerjaan paling berani,” tegasnya.
Nany mengatakan jurnalis itu pekerjaan untuk orang-orang terpilih, yang siap dengan hal yang tidak populer. Siap dengan hal yang buruk karena berdiri di atas fakta untuk kepentingan umum. Para pihak menggunakan segala cara untuk membungkam fakta yang disampaikan jurnalis, dan mereka sering menggunakan alat-alat negara untuk membungkam si pemberi berita.
“Jurnalis dibenci karena mereka konsisten bekerja memberikan kebenaran. Orang yang melakukan kesalahan membenci jurnalis. Orang yang korupsi membenci jurnalis. Pemerintah yang otoriter membenci jurnalis. Pengusaha yang merusak lingkungan membenci jurnalis. Makin banyak jurnalis yang jadi korban kekerasan, maka artinya negara juga dalam masalah,” ujarnya.
Jurnalis harus dilindungi
Nany Afrida mengatakan jurnalis harus dilindungi. Melindungi jurnalis berarti melindungi demokrasi. Sebab mesti diingat, kebebasan pers hanya berarti kalau ia inklusif. Suara jurnalis perempuan, suara jurnalis daerah, suara media kecil—semua harus dilindungi. Karena justru dari merekalah lahir cerita-cerita yang sering diabaikan.
“Dan perjuangan ini [kebebasan Pers] tidak bisa dilakukan sendirian. Jurnalis harus membangun jejaring lintas elemen masyarakat sipil. Aktivis lingkungan, pegiat HAM, buruh, mahasiswa, komunitas adat, seniman—semua harus bergandengan tangan. Karena tanpa pers, perjuangan mereka juga akan hilang,” kata dia.
Apabila jurnalis dibungkam, tidak ada orang yang akan meliput kerusakan hutan, sungai yang diracuni limbah, menyuarakan masyarakat adat yang kehilangan tanahnya, masalah korupsi hingga persoalan-persoalan lainnya dalam konteks demokrasi dan keadilan masyarakat.
“Yang meliput itu jurnalis. Bukan influencer. Bukan Buzzer. Jurnalis, karena mereka meliput dengan jujur dan demi publik. Kebebasan pers bukan hanya urusan wartawan. Kebebasan pers adalah urusan rakyat. Karena pers yang bebas berarti informasi yang bebas untuk rakyat. Karenanya jurnalis tidak bisa berjuang sendiri,” tutupnya. (*)
https://jubi.id/dunia/2025/aji-demok...n-cara-senyap/
kondisi jurnalis di era sekarang


indent.smk memberi reputasi
1
309
28


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan