Kalau kamu pernah main game era PS1 sampai PS2, pasti kamu tahu rasanya deg-degan menunggu momen cutscene CGI(Computer-Generated Imagery). Itu lho, sebuah adegan sinematik super keren yang terkadang muncul secara tiba-tiba setelah kita jungkir balik ngalahin boss atau menyelesaikan sebuah misi penting dalam sebuah games.

Grafisnya jauh di atas gameplay, kameranya dramatis, musiknya bikin merinding. Menurut saya CGI bukan sekadar pemanis cerita, itu adalah sebuah "hadiah". Hadiah yang cuma muncul di momen-momen spesial, seperti kejutan langka yang sengaja disimpan developer game untuk memanjakan mata dan hati para gamer.

Di masa itu, CGI bukan sekadar pamer kemajuan teknologi, Ia adalah bagian dari bentuk penghargaan. Developer paham kalau gamer butuh "alasan"untuk terus maju. Jadi, cutscene pre-rendered itu sengaja dibuat jarang, biar ada rasa “ditunggu-tunggu”. Ada kontras yang jelas: gameplay dengan poligon sederhana lalu tiba-tiba meledak jadi adegan sinematik bak film layar lebar. Dan justru karena jarang muncul, nilainya jadi berlipat ganda.

Tapi semua berubah, saat grafis real-time di era PS4 - PS5 mulai menyentuh kualitas CGI itu sendiri. Batasn "itu"hilang... Gameplay dan cutscene jadi nyaris tak terbedakan. Banyak developer kini memilih menceritakan kisah secara mulus dari awal sampai akhir tanpa potongan dramatis yang mencolok. Akibatnya? Sensasi “wow” yang dulu bikin gamer betah duduk hingga larut malam kini mulai menghilang.

Bukan berarti cutscene modern jelek, malah luar biasa, tapi ketika semuanya indah setiap saat, maka"keindahan" itu jadi sebuah hal biasa.

Pergeseran dari reward-based storytellingmenuju continuous storytelling sudah menjadi DNA dari games-games modern. Dulu kita main demi mendapatkan hadiah visual yang langka. Sekarang, kita dibawa dalam alur cerita yang konstan, di mana reward itu tidak lagi datang dalam bentuk lonjakan grafis, tapi dalam kedalaman narasi cerita. Bagi sebagian gamer, ini kemajuan; bagi yang lain, ini "kehilangan".

Pertanyaannya sekarang: bisakah rasa itu kembali? Mungkin jawabannya bukan sekadar yaatau tidak, tapi bagaimana kita memaknai “hadiah” dalam sebuah perjalanan cerita.

Di dunia nyata, kita pun hidup dalam ritme yang sama; bekerja keras, jatuh bangun, lalu berharap ada momen "manis"sebagai balasanya. Jika hadiah itu datang terlalu sering, maka nilainya tentu akan luntur. Jika terlalu jarang, semangat kita bisa padam.

Game klasik mengajarkan kita satu hal; "bahwa reward terasa indah justru karena ia langka, karena kita menunggu, karena kita berjuang untuk mendapatkannya".

Mungkin inilah filosofi yang mulai hilang dari game modern, tapi tetap tersimpan abadi dalam hati para-gamers. Bahwa rasa puas bukan lahir dari visual yang indah, melainkan dari perjuangan menuju momen itu sendiri.

Dalam setiap cutscene langka, ada pesan bahwa "kesabaran"akan selalu berbuah, dan bahwa manisnya sebuah hadiah baru terasa jika sebelumnya kita pernah merasakan getirnya sebuah perjalanan.