- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
KontraS Desak TNI Segera Ditarik dari Pengamanan Unjuk Rasa
TS
mabdulkarim
KontraS Desak TNI Segera Ditarik dari Pengamanan Unjuk Rasa

Cut Mutiara - Selasa, 09 September 2025 16:59 WIB
KontraS Desak TNI Segera Ditarik dari Pengamanan Unjuk Rasa
Staf Divisi Advokasi KontraS pada suatu moment memberikan keterangan pers. (Foto : Dok)
Kitakini.news - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara melontarkan kritik tajam terhadap sikap pemerintah dalam merespons gelombang unjuk rasa yang marak terjadi belakangan ini. KontraS menilai Presiden Prabowo Subianto belum mampu melepaskan watak militeristiknya sebagai mantan prajurit, sehingga pendekatan keamanan yang dipilih justru memperkeruh suasana.
Sorotan ini muncul setelah pernyataan Prabowo dalam pertemuan dengan sejumlah pemimpin redaksi media beberapa waktu lalu. Saat ditanya mengenai desakan masyarakat agar Tentara Nasional Indonesia (TNI) ditarik dari tugas pengamanan aksi demonstrasi, Prabowo tidak menunjukkan niat untuk mengabulkan tuntutan tersebut.Bagi KontraS, penarikan TNI dari pengamanan sipil merupakan salah satu tuntutan utama masyarakat, yang juga termasuk dalam rangkaian 17+8 tuntutan publik yang disampaikan dalam berbagai aksi. Pelibatan TNI dianggap menyalahi prinsip demokrasi karena salah satu pasal dalam Undang-Undang TNI tentang operasi militer selain perang memperbolehkan prajurit membantu kepolisian dalam menjaga ketertiban. Pasal inilah yang sebelumnya juga ditolak kelompok masyarakat sipil dalam proses revisi UU TNI.
Menurut KontraS, kehadiran aparat militer di lapangan justru menimbulkan rasa takut, bukan rasa aman, bagi warga yang sedang menyampaikan pendapat. Alih-alih menjadi pelindung, TNI dinilai berpotensi menambah ancaman dan represi terhadap kebebasan sipil. Prabowo sendiri kerap beralasan bahwa keterlibatan TNI diperlukan demi menjaga stabilitas keamanan. Namun alasan ini dipandang tidak relevan, apalagi menyusul tuduhan makar dan terorisme yang dialamatkan kepada para demonstran. Gelombang aksi belakangan bahkan diwarnai penangkapan ribuan orang, sedikitnya sepuluh orang meninggal dunia, serta maraknya kriminalisasi aktivis dengan tuduhan provokasi.
KontraS menilai, Prabowo seolah menutup mata terhadap kenyataan bahwa demonstrasi besar-besaran itu merupakan ekspresi kemarahan organik rakyat atas tekanan ekonomi, kebijakan politik yang menyulitkan kehidupan sehari-hari, hingga arogansi sejumlah pejabat publik yang dianggap melecehkan masyarakat. Pertanyaan publik pun menguat: jika memang ada kelompok yang menunggangi aksi, mengapa justru aktivis kemanusiaan seperti Delpedro dan kawan-kawan yang ditangkap dan dikriminalisasi, padahal mereka selama ini dikenal bekerja untuk memperjuangkan hak asasi manusia?Watak keras kepala Prabowo dalam mempertahankan peran militer di ruang sipil semakin menegaskan pendekatan militeristik yang berpotensi melanggar hak berpendapat. KontraS menilai pola ini tidak menyelesaikan masalah, melainkan membuka ruang baru bagi kekerasan aparat dan pembungkaman aspirasi rakyat.
Fakta di lapangan juga memperlihatkan hal serupa. Misalnya, laporan majalah Tempo yang menyingkap dugaan keterlibatan sejumlah prajurit TNI dalam aksi provokasi massa di beberapa daerah. Bentuknya mulai dari mobilisasi peserta aksi melalui pesan WhatsApp hingga ucapan provokatif di lokasi demonstrasi. Di Medan, pada 1 September lalu, massa aksi bahkan berhasil menangkap seseorang yang berulang kali memprovokasi kericuhan. Orang tersebut mengaku sebagai prajurit TNI yang berdinas di Kodim 0102 Medan. Meski pengakuan itu dibantah Kapendam I/BB Kolonel Inf Asrul Kurniawan Harahap, KontraS menilai semestinya Kodam mendorong kepolisian untuk memproses hukum orang tersebut. Jika benar ia bukan anggota TNI, maka yang bersangkutan telah mencoreng nama institusi dengan mengaku-ngaku sebagai prajurit.
Serangkaian bantahan dari petinggi TNI tidak serta-merta menghapus dugaan keterlibatan prajurit dalam provokasi. Menurut KontraS, justru karena adanya bukti dan temuan media, investigasi yang transparan dan independen menjadi sangat penting agar kebenaran bisa terungkap.Namun lebih jauh dari sekadar mencari provokator, tuntutan publik yang mendesak agar TNI kembali ke barak dinilai sebagai agenda yang tak bisa ditawar. KontraS menegaskan bahwa Presiden Prabowo seharusnya mendengarkan substansi tuntutan rakyat, bukan justru merespons dengan pendekatan militer. Dengan begitu, aparat militer tidak lagi harus berhadapan dengan warga sipil yang ingin menyampaikan aspirasi.
Selain itu, KontraS mendesak agar Prabowo melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kepolisian. Pengendalian massa harus dijalankan sesuai prosedur dan aturan yang berlaku, bukan dengan cara-cara kekerasan yang justru memperdalam trauma masyarakat.KontraS juga mengingatkan, pemenuhan 17+8 tuntutan yang disampaikan publik harus menjadi fokus utama pemerintah. Kegagalan untuk menindaklanjuti aspirasi ini hanya akan memicu gelombang protes lebih besar di masa mendatang. "Pemerintah harus peka terhadap suara rakyat, bukan sekadar melakukan manuver politik yang justru memperburuk krisis kepercayaan," demikian pernyataan KontraS menutup kritiknya.
https://www.kitakini.news/hukum-dan-...an-unjuk-rasa/
Setara Institute Anggap Patroli Siber TNI Mengarah ke Represi Digital

Setara juga mengkritik keterlibatan TNI dalam pengamanan demonstrasi, baik di lapangan maupun di ruang digital.
9 September 2025 | 16.28 WIB
Bagikan
Ilustrasi angkatan siber TNI. ANTARA
Perbesar
Ilustrasi angkatan siber TNI. ANTARA
Setara Institute menilai langkah Satuan Siber Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan patroli siber dan berkonsultasi dengan Kepolisian Daerah Metro Jaya melampaui mandat militer. Lembaga ini menyebut praktik tersebut berpotensi mempercepat represi digital.
“Keterlibatan TNI pada ranah siber bertentangan dengan mandatnya, serta memicu regresi demokrasi dalam kerangka ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara,” kata peneliti HAM dan reformasi sektor keamanan Setara Institute Ikhsan Yosarie dalam siaran pers, Selasa, 9 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Logo
Sehari sebelumnya, Komandan Satuan Siber (Dansat Siber) Mabes TNI Brigadir Jenderal Juinta Omboh Sembiring bersama sejumlah perwira tinggi mendatangi Polda Metro Jaya. Mereka berkonsultasi mengenai dugaan tindak pidana di ruang digital yang melibatkan CEO Malaka Project Ferry Irwandi.
Menurut Ikhsan, peristiwa ini menunjukkan TNI bukan hanya melampaui mandat sebagai alat negara di bidang pertahanan, melainkan juga mengambil alih fungsi penegakan hukum pidana yang menjadi domain kepolisian.
Ikhsan mengingatkan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI memang mengatur peran militer dalam operasi militer selain perang (OMSP), termasuk menghadapi ancaman siber. Namun, penjelasan pasal menegaskan konteks ancaman itu adalah pertahanan siber (cyber defense), bukan penegakan hukum.
“Yang dilakukan TNI bukan hanya memperlihatkan perluasan peran militer pada bidang luar pertahanan negara, tetapi juga memperlihatkan gagal pahamnya Satuan Siber TNI mengenai ruang lingkup keterlibatan TNI yang terbatas pada pertahanan siber,” ujar Ikhsan.
Ia menambahkan, pelaksanaan OMSP di bidang siber pun tidak memiliki dasar hukum memadai. Pasal 7 ayat (4) UU TNI menyatakan pelaksanaan OMSP harus diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden, kecuali dalam membantu Polri menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Setara juga mengkritik keterlibatan TNI dalam pengamanan demonstrasi, baik di lapangan maupun di ruang digital. Bagi masyarakat sipil, kata dia, demonstrasi merupakan manifestasi kebebasan berekspresi dan hak politik warga negara sebagaimana dijamin konstitusi.
“Sebaliknya, dalam paradigma militer, demonstrasi dipandang sebagai instabilitas sosial-politik yang berpotensi mengganggu ketertiban umum dan keamanan negara,” ujar Ikhsan.
https://www.tempo.co/politik/setara-...igital-2068073
Desakan terhadap TNI
0
117
9
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan