- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kenapa BI dan Kemenkeu Sepakat Burden Sharing Demi Biayai Program Prabowo?


TS
cinecrib
Kenapa BI dan Kemenkeu Sepakat Burden Sharing Demi Biayai Program Prabowo?
JAKARTA — Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sepakat melakukan burden sharing atau mekanisme pembagian beban untuk pembiayaan program-program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Burden sharing itu sendiri dilakukan dengan pembelian surat berharga negara (SBN) oleh BI. Hingga awal September 2025, Gubernur BI Perry Warjiyo melaporkan bahwa bank sentral telah membeli SBN senilai Rp200 triliun di pasar sekunder.
Padahal, rencana awal pembelian SBN oleh BI sepanjang tahun ini hanya sebesar Rp150 triliun—baik di pasar sekunder maupun primer. Artinya, pembelian SBN oleh BI yang sudah mencapai Rp200 triliun sudah melebihi rencana awal.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku bahwa beban fiskal semakin berkurang usai BI sepakat melakukan burden sharing tersebut.
"Kayak Koperasi Merah Putih, itu bisa dananya menjadi murah kepada koperasi. Ini karena kami dengan BI melakukan semacam burden sharing," ungkap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD secara daring, Selasa (2/9/2025).
Bendahara negara itu menampik burden sharing membuat independensi bank sentral menjadi terkikis. Menurutnya, burden sharing sejalan dengan salah satu peran BI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi..
"Hal-hal seperti itu agar BI juga memiliki peranan yang tidak hanya stabilitas tapi growth [pertumbuhan], tetapi tetap proporsional, tetap Bank Indonesia memiliki independensi. Jadi, ini penting untuk beberapa program sosial, program perumahan," jelas Sri Mulyani.
Komitmen BI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi memang semakin jelas terlihat sejak dimulainya pemerintahan Prabowo. Sejak Oktober 2024 atau pelantikan Prabowo, BI telah memangkas suku bunga hingga 100 basis point (bps).
Tak heran, Prabowo memang memiliki ambisi pertumbuhan ekonomi hingga 8% pada 2029. Untuk mencapai target itu, pertumbuhan ekonomi harus digenjot mulai tahun ini.
Masalahnya, kondisi fiskal negara sempit: penerimaan negara tidak bisa biayai besarnya belanja pemerintah yang dibutuhkan untuk stimulus pertumbuhan ekonomi.
Kemenkeu sebenarnya bisa menerbitkan surat utang demi biayai berbagai program dan kebijakan pemerintah. Hanya saja, ada masalah lain: UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara membatasi defisit APBN maksimal sebesar 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Otoritas fiskal pun harus putar otak untuk membiayai program dan kebijakan tanpa harus melanggar aturan ambang batas defisit APBN 3%. Caranya, yaitu lewat pembiayaan investasi pemerintah ke BUMN dan Badan Layanan Umum (BLU).
Dalam APBN, pembiayaan investasi tidak termasuk ke dalam belanja pemerintah pusat, namun tercatat sebagai penyertaan modal negara (PMN). Akibatnya, defisit tidak melebar namun hanya menambah utang.
Tak heran sejumlah program prioritas pemerintah seperti Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih hingga perumahan rakyat sebagian didanai lewat pembiayaan investasi.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 63/2025 misalnya, Sri Mulyani menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) APBN senilai Rp16 triliun untuk menyuntik dana ke bank penyalur pinjaman kepada Kopdes Merah Putih.
Dalam Pasal 4 PMK 63/2025 itu dijelaskan bahwa penggunaan SAL itu dianggarkan sebagai pembiayaan pada subbagian anggaran Bendahara Umum Negara (BUN) Investasi Pemerintah. Artinya dana Rp16 triliun itu termasuk dalam pembiayaan investasi bukan belanja pemerintah, sehingga tidak menambah defisit APBN namun menambah utang.
Sejumlah program perumahan rakyat juga dibiayai lewat pembiayaan investasi pemerintah. Program perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) misalnya, Kemenkeu total merealisasikan PMN sebesar Rp1,89 triliun ke PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) pada 2024.
Disiplin defisit APBN di bawah 3% pun tetap terjaga. Masalahnya, utang terus menumpuk.
Apalagi, kini BI semakin agresif membeli surat utang yang diterbitkan Kemenkeu. Bank sentral seakan mencetak uang demi biayai program pemerintah.
Oleh sebab itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengakui lebih khawatir dengan lilitan utang daripada defisit APBN di tengah semakin masifnya burden sharing antara BI dengan Kemenkeu.
"Mekanisme penyuntikan dana [ke bank penyalur pinjaman kepada Kopdes Merah Putih] tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi, tetapi pembelian SBN oleh BI melalui burden sharing berpotensi membuat negara semakin terjebak dalam utang," ujar Wija kepada Bisnis, Rabu (3/9/2025).
Masalahnya, dalam skema burden sharing, Kemenkeu membayar utang jatuh tempo ke BI dengan menerbitkan SBN baru seperti yang dilakukan pada tahun ini.
Total ada Rp100 triliun utang pemerintah ke BI yang jatuh tempo pada 2025. Pada akhir tahun lalu, Kemenkeu dan BI sepakat membayar utang jatuh tempo tersebut dengan skema debt switching.
"Mekanisme debt switch tersebut dilakukan dengan pertukaran antara SBN yang jatuh tempo dan SBN reguler, yang dapat diperdagangkan di pasar [tradeable] dengan menggunakan harga pasar yang berlaku sesuai mekanisme pasar," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso dalam keterangannya, Jumat (27/12/2024).
SBN penggantinya, sambung Ramdan, adalah SBN dengan tenor yang lebih panjang sesuai dengan kebutuhan operasi moneter BI dan kesinambungan fiskal pemerintah. Singkatnya: tutup lubang, gali lubang.
Akibat burden sharing, utang pemerintah ke bank sentral saat ini akan berlanjut ke pemerintahan-pemerintahan selanjutnya.
Tiga Risiko Mengintai
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman mengakui bahwa pembelian SBN oleh Bank Indonesia (BI) yang telah mencapai Rp200 triliun hingga awal September ini memang memberi ruang likuiditas bagi pemerintah untuk membiayai program-program besar.
Hanya saja, Rizal menilai kebijakan itu juga mengandung sejumlah risiko. Pertama, pasar bisa menafsirkan intervensi BI sebagai bentuk fiscal dominance atau kebijakan moneter terlalu tersubordinasi pada kepentingan fiskal.
"Hal ini dapat menimbulkan persepsi bahwa instrumen moneter tidak lagi independen, sehingga berpotensi menurunkan kepercayaan investor terhadap stabilitas jangka panjang," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (3/9/2025).
Kedua, pembelian masif oleh BI memang menjaga yield (imbal hasil) obligasi tetap terkendali, tetapi mengurangi kedalaman pasar karena sebagian besar SBN terserap oleh bank sentral, bukan oleh investor swasta atau asing.
Akibatnya, sambung Rizal, proses pembentukan harga menjadi kurang optimal sehingga meningkatkan volatilitas ketika ada guncangan eksternal. Bahkan, muncul potensi arus modal asing keluar yang lebih besar karena investor global khawatir pasar tidak likuid.
Ketiga, injeksi likuiditas melalui pembelian SBN dalam jumlah besar dapat memperlonggar kondisi moneter, terutama bila tidak diimbangi kebijakan sterilisasi yang memadai.
Masalahnya, Rizal menilai jika fiskal terus ekspansif dan moneter terlalu akomodatif maka tekanan inflasi maupun depresiasi rupiah bisa lebih cepat muncul.
"Dengan kata lain, kebijakan ini memberi short-term gain [keuntungan jangka pendek] berupa ruang fiskal, tetapi membawa long-term risk [risiko jangka panjang] pada kredibilitas moneter, kedalaman pasar, dan stabilitas harga," simpulnya.
https://ekonomi.bisnis.com/read/2025...rogram-prabowo
Hati hati, jika fundamental ekonomi tidak kuat, akan menjadi bom waktu, apalagi ditopang dgn utang luar negeri yang tidak terkendali.
Burden sharing itu sendiri dilakukan dengan pembelian surat berharga negara (SBN) oleh BI. Hingga awal September 2025, Gubernur BI Perry Warjiyo melaporkan bahwa bank sentral telah membeli SBN senilai Rp200 triliun di pasar sekunder.
Padahal, rencana awal pembelian SBN oleh BI sepanjang tahun ini hanya sebesar Rp150 triliun—baik di pasar sekunder maupun primer. Artinya, pembelian SBN oleh BI yang sudah mencapai Rp200 triliun sudah melebihi rencana awal.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku bahwa beban fiskal semakin berkurang usai BI sepakat melakukan burden sharing tersebut.
"Kayak Koperasi Merah Putih, itu bisa dananya menjadi murah kepada koperasi. Ini karena kami dengan BI melakukan semacam burden sharing," ungkap Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD secara daring, Selasa (2/9/2025).
Bendahara negara itu menampik burden sharing membuat independensi bank sentral menjadi terkikis. Menurutnya, burden sharing sejalan dengan salah satu peran BI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi..
"Hal-hal seperti itu agar BI juga memiliki peranan yang tidak hanya stabilitas tapi growth [pertumbuhan], tetapi tetap proporsional, tetap Bank Indonesia memiliki independensi. Jadi, ini penting untuk beberapa program sosial, program perumahan," jelas Sri Mulyani.
Komitmen BI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi memang semakin jelas terlihat sejak dimulainya pemerintahan Prabowo. Sejak Oktober 2024 atau pelantikan Prabowo, BI telah memangkas suku bunga hingga 100 basis point (bps).
Tak heran, Prabowo memang memiliki ambisi pertumbuhan ekonomi hingga 8% pada 2029. Untuk mencapai target itu, pertumbuhan ekonomi harus digenjot mulai tahun ini.
Masalahnya, kondisi fiskal negara sempit: penerimaan negara tidak bisa biayai besarnya belanja pemerintah yang dibutuhkan untuk stimulus pertumbuhan ekonomi.
Kemenkeu sebenarnya bisa menerbitkan surat utang demi biayai berbagai program dan kebijakan pemerintah. Hanya saja, ada masalah lain: UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara membatasi defisit APBN maksimal sebesar 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Otoritas fiskal pun harus putar otak untuk membiayai program dan kebijakan tanpa harus melanggar aturan ambang batas defisit APBN 3%. Caranya, yaitu lewat pembiayaan investasi pemerintah ke BUMN dan Badan Layanan Umum (BLU).
Dalam APBN, pembiayaan investasi tidak termasuk ke dalam belanja pemerintah pusat, namun tercatat sebagai penyertaan modal negara (PMN). Akibatnya, defisit tidak melebar namun hanya menambah utang.
Tak heran sejumlah program prioritas pemerintah seperti Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih hingga perumahan rakyat sebagian didanai lewat pembiayaan investasi.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 63/2025 misalnya, Sri Mulyani menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) APBN senilai Rp16 triliun untuk menyuntik dana ke bank penyalur pinjaman kepada Kopdes Merah Putih.
Dalam Pasal 4 PMK 63/2025 itu dijelaskan bahwa penggunaan SAL itu dianggarkan sebagai pembiayaan pada subbagian anggaran Bendahara Umum Negara (BUN) Investasi Pemerintah. Artinya dana Rp16 triliun itu termasuk dalam pembiayaan investasi bukan belanja pemerintah, sehingga tidak menambah defisit APBN namun menambah utang.
Sejumlah program perumahan rakyat juga dibiayai lewat pembiayaan investasi pemerintah. Program perumahan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) misalnya, Kemenkeu total merealisasikan PMN sebesar Rp1,89 triliun ke PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) pada 2024.
Disiplin defisit APBN di bawah 3% pun tetap terjaga. Masalahnya, utang terus menumpuk.
Apalagi, kini BI semakin agresif membeli surat utang yang diterbitkan Kemenkeu. Bank sentral seakan mencetak uang demi biayai program pemerintah.
Oleh sebab itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengakui lebih khawatir dengan lilitan utang daripada defisit APBN di tengah semakin masifnya burden sharing antara BI dengan Kemenkeu.
"Mekanisme penyuntikan dana [ke bank penyalur pinjaman kepada Kopdes Merah Putih] tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi, tetapi pembelian SBN oleh BI melalui burden sharing berpotensi membuat negara semakin terjebak dalam utang," ujar Wija kepada Bisnis, Rabu (3/9/2025).
Masalahnya, dalam skema burden sharing, Kemenkeu membayar utang jatuh tempo ke BI dengan menerbitkan SBN baru seperti yang dilakukan pada tahun ini.
Total ada Rp100 triliun utang pemerintah ke BI yang jatuh tempo pada 2025. Pada akhir tahun lalu, Kemenkeu dan BI sepakat membayar utang jatuh tempo tersebut dengan skema debt switching.
"Mekanisme debt switch tersebut dilakukan dengan pertukaran antara SBN yang jatuh tempo dan SBN reguler, yang dapat diperdagangkan di pasar [tradeable] dengan menggunakan harga pasar yang berlaku sesuai mekanisme pasar," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso dalam keterangannya, Jumat (27/12/2024).
SBN penggantinya, sambung Ramdan, adalah SBN dengan tenor yang lebih panjang sesuai dengan kebutuhan operasi moneter BI dan kesinambungan fiskal pemerintah. Singkatnya: tutup lubang, gali lubang.
Akibat burden sharing, utang pemerintah ke bank sentral saat ini akan berlanjut ke pemerintahan-pemerintahan selanjutnya.
Tiga Risiko Mengintai
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman mengakui bahwa pembelian SBN oleh Bank Indonesia (BI) yang telah mencapai Rp200 triliun hingga awal September ini memang memberi ruang likuiditas bagi pemerintah untuk membiayai program-program besar.
Hanya saja, Rizal menilai kebijakan itu juga mengandung sejumlah risiko. Pertama, pasar bisa menafsirkan intervensi BI sebagai bentuk fiscal dominance atau kebijakan moneter terlalu tersubordinasi pada kepentingan fiskal.
"Hal ini dapat menimbulkan persepsi bahwa instrumen moneter tidak lagi independen, sehingga berpotensi menurunkan kepercayaan investor terhadap stabilitas jangka panjang," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (3/9/2025).
Kedua, pembelian masif oleh BI memang menjaga yield (imbal hasil) obligasi tetap terkendali, tetapi mengurangi kedalaman pasar karena sebagian besar SBN terserap oleh bank sentral, bukan oleh investor swasta atau asing.
Akibatnya, sambung Rizal, proses pembentukan harga menjadi kurang optimal sehingga meningkatkan volatilitas ketika ada guncangan eksternal. Bahkan, muncul potensi arus modal asing keluar yang lebih besar karena investor global khawatir pasar tidak likuid.
Ketiga, injeksi likuiditas melalui pembelian SBN dalam jumlah besar dapat memperlonggar kondisi moneter, terutama bila tidak diimbangi kebijakan sterilisasi yang memadai.
Masalahnya, Rizal menilai jika fiskal terus ekspansif dan moneter terlalu akomodatif maka tekanan inflasi maupun depresiasi rupiah bisa lebih cepat muncul.
"Dengan kata lain, kebijakan ini memberi short-term gain [keuntungan jangka pendek] berupa ruang fiskal, tetapi membawa long-term risk [risiko jangka panjang] pada kredibilitas moneter, kedalaman pasar, dan stabilitas harga," simpulnya.
https://ekonomi.bisnis.com/read/2025...rogram-prabowo
Hati hati, jika fundamental ekonomi tidak kuat, akan menjadi bom waktu, apalagi ditopang dgn utang luar negeri yang tidak terkendali.






aldonistic dan 3 lainnya memberi reputasi
4
408
29


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan