- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Mengapa Anggota dewan ENGGAN mensahkan UU Perampasan Aset


TS
priakuta
Mengapa Anggota dewan ENGGAN mensahkan UU Perampasan Aset
Apa itu UU Perampasan Aset?
UU Perampasan Aset atau Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana adalah usulan regulasi yang dirancang untuk memperkuat kerangka hukum dalam menyita dan merampas aset yang diduga berasal dari tindak pidana—terutama dalam kasus korupsi atau pencucian uang—tanpa harus menunggu putusan pidana terhadap pelakunya
Latar Belakang
Sebelum RUU ini, perampasan aset diatur dalam mekanisme hukum yang terpisah (pidana, perdata, administratif), dan hanya bisa dilakukan setelah proses hukum tuntas
Proses hukum yang panjang membuka peluang tersangka menyamarkan aset, sehingga negara sulit memulihkan kerugian
Tujuan Utama
1. Memulihkan kerugian negara (asset recovery) dari aset tindak pidana lebih cepat dan efektif
2. Memberlakukan pembuktian terbalik (reversal of burden of proof): beban pembuktian tidak lagi hanya pada aparat penegak hukum, melainkan pindah pada pihak yang memiliki aset yang tidak wajar
3. Memperluas jangkauan perampasan, termasuk terhadap pelaku yang belum divonis, melarikan diri, meninggal, atau aset yang disembunyikan di luar negeri
4. Menyamakan konsep dengan prinsip internasional seperti unexplained wealth, di mana fokus penegakan diarahkan pada aset itu sendiri (konsep in rem )
Kekurangan & Potensi Masalah UU Perampasan Aset
1. Risiko penyalahgunaan kewenangan
Karena aset bisa dirampas tanpa menunggu vonis pidana, ada kekhawatiran aparat bisa bertindak sewenang-wenang.
Jika mekanismenya tidak transparan, bisa menjadi alat kriminalisasi atau pemerasan politik/hukum.
2. Potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
Prinsip presumption of innocence (asas praduga tak bersalah) bisa terganggu, sebab pemilik aset diwajibkan membuktikan kekayaannya (pembuktian terbalik).
Bisa menimbulkan ketidakadilan bagi orang yang sebenarnya sah, tapi tidak mampu membuktikan asal-usul asetnya secara lengkap.
3. Ketidakjelasan pengaturan teknis
Sampai saat ini, masih ada perdebatan soal siapa yang berwenang melakukan penyitaan, siapa yang mengelola aset, serta bagaimana transparansi pengelolaan dilakukan.
Risiko aset rusak, hilang, atau disalahgunakan jika lembaga pengelola tidak profesional.
4. Beban pembuktian pada masyarakat
Banyak warga tidak terbiasa menyimpan bukti formal kepemilikan atau asal-usul harta (misalnya warisan, hibah, atau hasil usaha kecil menengah).
Bisa berpotensi memiskinkan masyarakat yang tidak paham hukum.
5. Keterbatasan kapasitas aparat
Untuk menelusuri aset, aparat butuh data keuangan yang lengkap, koordinasi lintas lembaga, dan sistem digital yang kuat.
Jika kelembagaan masih lemah, penerapan bisa berakhir diskriminatif: hanya menyasar pihak tertentu saja.
6. Keterkaitan dengan hukum internasional
Aset sering dipindahkan ke luar negeri. Tanpa kerja sama internasional yang efektif, UU ini bisa “tumpul” untuk aset lintas negara.
Indonesia perlu MoU dan mutual legal assistance (MLA) yang kuat agar aset bisa dipulihkan.
7. Proses politik yang rentan intervensi
Karena menyasar korupsi kelas kakap dan pencucian uang, ada potensi tarik-menarik kepentingan di DPR atau elit politik.
Bisa membuat UU tidak konsisten dalam implementasi, atau malah dilunakkan demi kepentingan tertentu.
Kelebihan UU Perampasan Aset
1. Mempercepat pemulihan kerugian negara
-Aset hasil tindak pidana bisa langsung dirampas tanpa menunggu putusan pidana yang sering memakan waktu bertahun-tahun.
-Negara tidak lagi kehilangan potensi triliunan rupiah hanya karena proses hukum yang lambat.
2. Mencegah pelaku melarikan aset
-Banyak tersangka korupsi atau pencucian uang menyembunyikan aset, memindahkan ke luar negeri, atau atas nama orang lain.
-UU ini memungkinkan perampasan meskipun pelaku meninggal, melarikan diri, atau belum divonis.
3. Menerapkan pembuktian terbalik
-Pemilik harta wajib menjelaskan asal-usul kekayaannya jika dianggap tidak wajar.
-Ini membuat aparat lebih mudah menjerat pelaku kejahatan kerah putih yang pandai menyamarkan hasil kejahatannya.
4. Selaras dengan praktik internasional
-Mengikuti model in rem forfeiture (perampasan terhadap benda, bukan orang) dan unexplained wealth (kekayaan tak wajar).
-Indonesia jadi lebih siap bekerja sama dengan negara lain dalam asset recovery.
5. Menutup celah hukum pidana konvensional
-Hukum pidana biasa hanya bisa merampas aset jika ada vonis pengadilan.
-Dengan UU ini, aset tetap bisa diambil alih negara meski pelaku lolos atau proses pidananya terhambat.
6. Meningkatkan efek jera
-Pelaku tindak pidana tidak hanya dipenjara, tapi juga kehilangan keuntungan ekonomis dari kejahatannya.
-Prinsip “crime does not pay” benar-benar ditegakkan.
7. Mendorong transparansi kekayaan pejabat & masyarakat
-Dengan adanya pembuktian terbalik, pejabat publik maupun pihak swasta akan lebih hati-hati dan transparan dalam mencatat asal-usul harta.
-Bisa jadi instrumen pencegahan korupsi.
Konsep Perampasan Aset di Negara Lain
1. Amerika Serikat – Asset Forfeiture
⦁ Jenis:
⦁ Criminal Forfeiture → setelah pelaku divonis bersalah.
⦁ Civil Forfeiture (In rem) → fokus ke aset, tidak perlu vonis pelaku.
⦁ Mekanisme: Jaksa cukup menunjukkan probable cause (alasan yang masuk akal) bahwa aset terkait tindak pidana.
⦁ Kelebihan: cepat, efektif melawan mafia narkoba & pencucian uang.
⦁ Kritik: sering dipakai berlebihan, bahkan terhadap warga yang tidak terbukti bersalah (abuse of power).
2. Australia – Unexplained Wealth Orders (UWO)
⦁ Konsep: Jika seseorang punya kekayaan yang tidak sesuai profil penghasilannya, ia wajib membuktikan asal-usul harta tersebut.
⦁ Pendekatan: Reverse onus of proof (pembuktian terbalik).
⦁ Kelebihan: ampuh melawan korupsi & sindikat narkoba.
⦁ Kritik: berpotensi melanggar presumption of innocence jika tidak hati-hati.
3. Inggris – Proceeds of Crime Act (POCA) 2002
⦁ Jenis Perampasan:
⦁ Conviction-based confiscation → setelah vonis.
⦁ Non-conviction based civil recovery → tanpa vonis, jika aset jelas hasil kejahatan.
⦁ Fitur: Ada juga Unexplained Wealth Orders (mirip Australia).
⦁ Kelebihan: memungkinkan pemerintah mengambil aset koruptor luar negeri yang parkir di London.
⦁ Kritik: masih terbatas penggunaannya karena proses pengadilan panjang.
4. Swiss – Non-Conviction Based Confiscation
⦁ Pendekatan: Aset bisa dirampas jika ada “indikasi kuat” berasal dari kejahatan, meskipun pelaku tidak diadili.
⦁ Fokus: dirty money laundering (uang hasil kejahatan lintas negara).
⦁ Kelebihan: sangat mendukung kerja sama internasional karena Swiss jadi pusat perbankan.
5. Singapura – Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of Benefits) Act
⦁ Pendekatan: Menggunakan civil forfeiture.
⦁ Kekuatan: sistem keuangan yang transparan membuat tracing aset lebih mudah.
⦁ Kelebihan: efektif menekan kejahatan narkotika & korupsi.
6. Filipina – Forfeiture Law
⦁ Fokus: Ill-gotten wealth terutama terkait Marcos era.
⦁ Pendekatan: Pembuktian terbalik – pejabat negara yang hartanya tidak wajar wajib menjelaskan asal-usulnya.
⦁ Hasil: Beberapa aset Marcos berhasil dirampas dan dikembalikan ke negara.
Potensi yang Bisa Terjadi untuk Anggota Dewan
1. Positif – Instrumen Pengawasan Kekayaan
⦁ UU ini bisa menekan potensi korupsi dan gratifikasi, karena setiap anggota dewan wajib bisa menjelaskan asal-usul hartanya.
⦁ LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) akan lebih kuat posisinya karena bisa diuji dengan mekanisme perampasan aset.
⦁ Meningkatkan kepercayaan publik bahwa wakil rakyat benar-benar bersih.
2. Negatif – Risiko Perampasan Aset Anggota Dewan
⦁ Jika ada kekayaan tidak wajar yang tidak bisa dijelaskan asal-usulnya, aset bisa dirampas meski belum ada vonis pidana korupsi.
⦁ Aset yang dititipkan lewat keluarga, perusahaan cangkang, atau nominee bisa tetap disasar.
⦁ Ini membuat anggota dewan dengan kekayaan “abu-abu” sangat rentan.
3. Potensi Penyalahgunaan Politik
⦁ UU ini bisa jadi senjata politik antar-elite:
⦁ Anggota dewan oposisi bisa “diserang” dengan isu aset tidak wajar.
⦁ Bisa dipakai sebagai alat bargaining politik atau kriminalisasi jika penegak hukum tidak independen.
4. Beban Administratif dan Transparansi
⦁ Anggota dewan harus lebih detail melaporkan aset dan asal-usulnya.
⦁ Jika ada harta warisan, hibah, atau usaha keluarga yang tidak tercatat rapi, bisa dipermasalahkan.
⦁ Ini menambah beban administratif, tapi sekaligus meningkatkan standar transparansi.
5. Efek Jera & Deterrent Effect
⦁ Anggota dewan akan berpikir ulang menerima gratifikasi atau fee proyek, karena ancamannya bukan sekadar penjara, tetapi hilangnya aset pribadi & keluarga.
⦁ Bisa memperbaiki budaya politik jangka panjang.
Mengapa Anggota Dewan Enggan mensahkan UU perampasan asset :
Alasan normative :
1. Kekhawatiran melanggar HAM & asas praduga tak bersalah
⦁ Perampasan aset tanpa vonis pidana dianggap berpotensi melanggar presumption of innocence.
⦁ Anggota DPR bisa berdalih ingin memastikan perlindungan HAM sebelum mengesahkan.
2. Kepastian hukum yang belum jelas
⦁ Ada kekhawatiran aturan teknis tentang siapa berwenang, bagaimana mekanisme pembuktian terbalik, dan cara pengelolaan aset belum matang.
⦁ Bisa jadi alasan untuk menunda pembahasan.
3. Risiko penyalahgunaan kewenangan aparat
⦁ DPR bisa mengatakan UU ini berpotensi jadi alat kriminalisasi, terutama jika dipakai secara selektif terhadap lawan politik.
Alasan Terselubung (Politis & Pragmatis)
1. Takut terseret karena kekayaan tak wajar
⦁ Banyak anggota dewan punya aset yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan asal-usulnya (gratifikasi, fee proyek, dana kampanye).
⦁ Dengan mekanisme pembuktian terbalik, mereka berisiko kehilangan aset meski belum terbukti bersalah di pengadilan.
2. Benturan dengan kepentingan politik & bisnis
⦁ Sebagian anggota DPR punya hubungan dengan pengusaha atau oligarki. UU ini bisa mengancam jaringan kekuasaan yang menopang karier politik mereka.
3. Mengurangi ruang negosiasi politik
⦁ Aset “abu-abu” selama ini bisa jadi modal kekuatan (misalnya untuk kampanye). Jika UU berlaku, ruang manuver finansial mereka jadi terbatas.
4. Efek domino pada elite lain
⦁ Banyak kasus besar (korupsi, mafia migas, tambang, atau proyek infrastruktur) melibatkan elite politik. UU ini bisa membuka kotak pandora yang merembet ke banyak pihak di parlemen sendiri.
Langkah Jitu Mencegah Abuse of Power
1. Desain Regulasi yang Jelas & Ketat
⦁ Perumusan pasal harus detail: definisi aset, indikator “kekayaan tidak wajar”, batasan pembuktian terbalik.
⦁ Ada mekanisme due process of law: penyitaan dan perampasan tetap harus melalui pengadilan khusus, bukan keputusan sepihak aparat.
2. Peran Hakim Independen
⦁ Putusan perampasan aset wajib diputus pengadilan (bukan hanya penyidik atau kejaksaan).
⦁ Perlu dibentuk Pengadilan Perampasan Aset atau kamar khusus di pengadilan tipikor agar transparan dan teruji.
3. Transparansi & Akuntabilitas
⦁ Semua proses (penyitaan, pengelolaan, pelelangan aset) harus terbuka untuk publik.
⦁ Bisa dengan portal daring yang menampilkan daftar aset yang disita, status perkara, dan hasil lelang.
4. Penguatan Lembaga Pengelola Aset
⦁ Aset yang disita dikelola lembaga profesional (misalnya LMAN – Lembaga Manajemen Aset Negara) dengan audit ketat.
⦁ Hindari aset disalahgunakan, hilang, atau undervalue saat dilelang.
5. Mekanisme Pengawasan Eksternal
⦁ Bentuk komisi pengawas independen yang melibatkan KPK, Ombudsman, BPK, dan masyarakat sipil (NGO antikorupsi).
⦁ Publik bisa melaporkan indikasi penyalahgunaan.
6. Jalur Hukum untuk Korban Salah Sita
⦁ Jika ada warga yang hartanya sah tapi kena sita, harus ada jalur gugatan ganti rugi cepat & adil.
⦁ Ini menjaga kepercayaan publik bahwa UU ini bukan alat represif.
7. Digitalisasi & Interkoneksi Data
⦁ Gunakan sistem big data: integrasi dengan PPATK, Dirjen Pajak, BPN, OJK, dan bank.
⦁ Dengan data yang akurat, aparat tidak bisa asal tuduh; harus ada bukti transaksi yang kuat.
8. Pendidikan Publik & Sosialisasi
⦁ Masyarakat perlu diedukasi tentang pentingnya mencatat asal-usul harta (warisan, hibah, jual-beli).
⦁ Supaya warga tidak jadi korban karena ketidaktahuan administrasi.
Kelebihan UU Perampasan Aset
8. Mempercepat pemulihan kerugian negara
⦁ Aset hasil tindak pidana bisa langsung dirampas tanpa menunggu putusan pidana yang sering memakan waktu bertahun-tahun.
⦁ Negara tidak lagi kehilangan potensi triliunan rupiah hanya karena proses hukum yang lambat.
1. Mencegah pelaku melarikan aset
⦁ Banyak tersangka korupsi atau pencucian uang menyembunyikan aset, memindahkan ke luar negeri, atau atas nama orang lain.
⦁ UU ini memungkinkan perampasan meskipun pelaku meninggal, melarikan diri, atau belum divonis.
2. Menerapkan pembuktian terbalik
⦁ Pemilik harta wajib menjelaskan asal-usul kekayaannya jika dianggap tidak wajar.
⦁ Ini membuat aparat lebih mudah menjerat pelaku kejahatan kerah putih yang pandai menyamarkan hasil kejahatannya.
3. Selaras dengan praktik internasional
⦁ Mengikuti model in rem forfeiture (perampasan terhadap benda, bukan orang) dan unexplained wealth (kekayaan tak wajar).
⦁ Indonesia jadi lebih siap bekerja sama dengan negara lain dalam asset recovery.
4. Menutup celah hukum pidana konvensional
⦁ Hukum pidana biasa hanya bisa merampas aset jika ada vonis pengadilan.
⦁ Dengan UU ini, aset tetap bisa diambil alih negara meski pelaku lolos atau proses pidananya terhambat.
5. Meningkatkan efek jera
⦁ Pelaku tindak pidana tidak hanya dipenjara, tapi juga kehilangan keuntungan ekonomis dari kejahatannya.
⦁ Prinsip “crime does not pay” benar-benar ditegakkan.
6. Mendorong transparansi kekayaan pejabat & masyarakat
⦁ Dengan adanya pembuktian terbalik, pejabat publik maupun pihak swasta akan lebih hati-hati dan transparan dalam mencatat asal-usul harta.
⦁ Bisa jadi instrumen pencegahan korupsi.
Konsep Perampasan Aset di Negara Lain
1. Amerika Serikat – Asset Forfeiture
⦁ Jenis:
⦁ Criminal Forfeiture → setelah pelaku divonis bersalah.
⦁ Civil Forfeiture (In rem) → fokus ke aset, tidak perlu vonis pelaku.
⦁ Mekanisme: Jaksa cukup menunjukkan probable cause (alasan yang masuk akal) bahwa aset terkait tindak pidana.
⦁ Kelebihan: cepat, efektif melawan mafia narkoba & pencucian uang.
⦁ Kritik: sering dipakai berlebihan, bahkan terhadap warga yang tidak terbukti bersalah (abuse of power).
2. Australia – Unexplained Wealth Orders (UWO)
⦁ Konsep: Jika seseorang punya kekayaan yang tidak sesuai profil penghasilannya, ia wajib membuktikan asal-usul harta tersebut.
⦁ Pendekatan: Reverse onus of proof (pembuktian terbalik).
⦁ Kelebihan: ampuh melawan korupsi & sindikat narkoba.
⦁ Kritik: berpotensi melanggar presumption of innocence jika tidak hati-hati.
3. Inggris – Proceeds of Crime Act (POCA) 2002
⦁ Jenis Perampasan:
⦁ Conviction-based confiscation → setelah vonis.
⦁ Non-conviction based civil recovery → tanpa vonis, jika aset jelas hasil kejahatan.
⦁ Fitur: Ada juga Unexplained Wealth Orders (mirip Australia).
⦁ Kelebihan: memungkinkan pemerintah mengambil aset koruptor luar negeri yang parkir di London.
⦁ Kritik: masih terbatas penggunaannya karena proses pengadilan panjang.
4. Swiss – Non-Conviction Based Confiscation
⦁ Pendekatan: Aset bisa dirampas jika ada “indikasi kuat” berasal dari kejahatan, meskipun pelaku tidak diadili.
⦁ Fokus: dirty money laundering (uang hasil kejahatan lintas negara).
⦁ Kelebihan: sangat mendukung kerja sama internasional karena Swiss jadi pusat perbankan.
5. Singapura – Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of Benefits) Act
⦁ Pendekatan: Menggunakan civil forfeiture.
⦁ Kekuatan: sistem keuangan yang transparan membuat tracing aset lebih mudah.
⦁ Kelebihan: efektif menekan kejahatan narkotika & korupsi.
6. Filipina – Forfeiture Law
⦁ Fokus: Ill-gotten wealth terutama terkait Marcos era.
⦁ Pendekatan: Pembuktian terbalik – pejabat negara yang hartanya tidak wajar wajib menjelaskan asal-usulnya.
⦁ Hasil: Beberapa aset Marcos berhasil dirampas dan dikembalikan ke negara.
Potensi yang Bisa Terjadi untuk Anggota Dewan
1. Positif – Instrumen Pengawasan Kekayaan
⦁ UU ini bisa menekan potensi korupsi dan gratifikasi, karena setiap anggota dewan wajib bisa menjelaskan asal-usul hartanya.
⦁ LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) akan lebih kuat posisinya karena bisa diuji dengan mekanisme perampasan aset.
⦁ Meningkatkan kepercayaan publik bahwa wakil rakyat benar-benar bersih.
2. Negatif – Risiko Perampasan Aset Anggota Dewan
⦁ Jika ada kekayaan tidak wajar yang tidak bisa dijelaskan asal-usulnya, aset bisa dirampas meski belum ada vonis pidana korupsi.
⦁ Aset yang dititipkan lewat keluarga, perusahaan cangkang, atau nominee bisa tetap disasar.
⦁ Ini membuat anggota dewan dengan kekayaan “abu-abu” sangat rentan.
3. Potensi Penyalahgunaan Politik
⦁ UU ini bisa jadi senjata politik antar-elite:
⦁ Anggota dewan oposisi bisa “diserang” dengan isu aset tidak wajar.
⦁ Bisa dipakai sebagai alat bargaining politik atau kriminalisasi jika penegak hukum tidak independen.
4. Beban Administratif dan Transparansi
⦁ Anggota dewan harus lebih detail melaporkan aset dan asal-usulnya.
⦁ Jika ada harta warisan, hibah, atau usaha keluarga yang tidak tercatat rapi, bisa dipermasalahkan.
⦁ Ini menambah beban administratif, tapi sekaligus meningkatkan standar transparansi.
5. Efek Jera & Deterrent Effect
⦁ Anggota dewan akan berpikir ulang menerima gratifikasi atau fee proyek, karena ancamannya bukan sekadar penjara, tetapi hilangnya aset pribadi & keluarga.
⦁ Bisa memperbaiki budaya politik jangka panjang.
Mengapa Anggota Dewan Enggan mensahkan UU perampasan asset :
Alasn normative :
4. Kekhawatiran melanggar HAM & asas praduga tak bersalah
⦁ Perampasan aset tanpa vonis pidana dianggap berpotensi melanggar presumption of innocence.
⦁ Anggota DPR bisa berdalih ingin memastikan perlindungan HAM sebelum mengesahkan.
1. Kepastian hukum yang belum jelas
⦁ Ada kekhawatiran aturan teknis tentang siapa berwenang, bagaimana mekanisme pembuktian terbalik, dan cara pengelolaan aset belum matang.
⦁ Bisa jadi alasan untuk menunda pembahasan.
2. Risiko penyalahgunaan kewenangan aparat
⦁ DPR bisa mengatakan UU ini berpotensi jadi alat kriminalisasi, terutama jika dipakai secara selektif terhadap lawan politik.
Alasan Terselubung (Politis & Pragmatis)
5. Takut terseret karena kekayaan tak wajar
⦁ Banyak anggota dewan punya aset yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan asal-usulnya (gratifikasi, fee proyek, dana kampanye).
⦁ Dengan mekanisme pembuktian terbalik, mereka berisiko kehilangan aset meski belum terbukti bersalah di pengadilan.
1. Benturan dengan kepentingan politik & bisnis
⦁ Sebagian anggota DPR punya hubungan dengan pengusaha atau oligarki. UU ini bisa mengancam jaringan kekuasaan yang menopang karier politik mereka.
2. Mengurangi ruang negosiasi politik
⦁ Aset “abu-abu” selama ini bisa jadi modal kekuatan (misalnya untuk kampanye). Jika UU berlaku, ruang manuver finansial mereka jadi terbatas.
3. Efek domino pada elite lain
⦁ Banyak kasus besar (korupsi, mafia migas, tambang, atau proyek infrastruktur) melibatkan elite politik. UU ini bisa membuka kotak pandora yang merembet ke banyak pihak di parlemen sendiri.
UU Perampasan Aset atau Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana adalah usulan regulasi yang dirancang untuk memperkuat kerangka hukum dalam menyita dan merampas aset yang diduga berasal dari tindak pidana—terutama dalam kasus korupsi atau pencucian uang—tanpa harus menunggu putusan pidana terhadap pelakunya
Latar Belakang
Sebelum RUU ini, perampasan aset diatur dalam mekanisme hukum yang terpisah (pidana, perdata, administratif), dan hanya bisa dilakukan setelah proses hukum tuntas
Proses hukum yang panjang membuka peluang tersangka menyamarkan aset, sehingga negara sulit memulihkan kerugian
Tujuan Utama
1. Memulihkan kerugian negara (asset recovery) dari aset tindak pidana lebih cepat dan efektif
2. Memberlakukan pembuktian terbalik (reversal of burden of proof): beban pembuktian tidak lagi hanya pada aparat penegak hukum, melainkan pindah pada pihak yang memiliki aset yang tidak wajar
3. Memperluas jangkauan perampasan, termasuk terhadap pelaku yang belum divonis, melarikan diri, meninggal, atau aset yang disembunyikan di luar negeri
4. Menyamakan konsep dengan prinsip internasional seperti unexplained wealth, di mana fokus penegakan diarahkan pada aset itu sendiri (konsep in rem )
Kekurangan & Potensi Masalah UU Perampasan Aset
1. Risiko penyalahgunaan kewenangan
Karena aset bisa dirampas tanpa menunggu vonis pidana, ada kekhawatiran aparat bisa bertindak sewenang-wenang.
Jika mekanismenya tidak transparan, bisa menjadi alat kriminalisasi atau pemerasan politik/hukum.
2. Potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
Prinsip presumption of innocence (asas praduga tak bersalah) bisa terganggu, sebab pemilik aset diwajibkan membuktikan kekayaannya (pembuktian terbalik).
Bisa menimbulkan ketidakadilan bagi orang yang sebenarnya sah, tapi tidak mampu membuktikan asal-usul asetnya secara lengkap.
3. Ketidakjelasan pengaturan teknis
Sampai saat ini, masih ada perdebatan soal siapa yang berwenang melakukan penyitaan, siapa yang mengelola aset, serta bagaimana transparansi pengelolaan dilakukan.
Risiko aset rusak, hilang, atau disalahgunakan jika lembaga pengelola tidak profesional.
4. Beban pembuktian pada masyarakat
Banyak warga tidak terbiasa menyimpan bukti formal kepemilikan atau asal-usul harta (misalnya warisan, hibah, atau hasil usaha kecil menengah).
Bisa berpotensi memiskinkan masyarakat yang tidak paham hukum.
5. Keterbatasan kapasitas aparat
Untuk menelusuri aset, aparat butuh data keuangan yang lengkap, koordinasi lintas lembaga, dan sistem digital yang kuat.
Jika kelembagaan masih lemah, penerapan bisa berakhir diskriminatif: hanya menyasar pihak tertentu saja.
6. Keterkaitan dengan hukum internasional
Aset sering dipindahkan ke luar negeri. Tanpa kerja sama internasional yang efektif, UU ini bisa “tumpul” untuk aset lintas negara.
Indonesia perlu MoU dan mutual legal assistance (MLA) yang kuat agar aset bisa dipulihkan.
7. Proses politik yang rentan intervensi
Karena menyasar korupsi kelas kakap dan pencucian uang, ada potensi tarik-menarik kepentingan di DPR atau elit politik.
Bisa membuat UU tidak konsisten dalam implementasi, atau malah dilunakkan demi kepentingan tertentu.
Kelebihan UU Perampasan Aset
1. Mempercepat pemulihan kerugian negara
-Aset hasil tindak pidana bisa langsung dirampas tanpa menunggu putusan pidana yang sering memakan waktu bertahun-tahun.
-Negara tidak lagi kehilangan potensi triliunan rupiah hanya karena proses hukum yang lambat.
2. Mencegah pelaku melarikan aset
-Banyak tersangka korupsi atau pencucian uang menyembunyikan aset, memindahkan ke luar negeri, atau atas nama orang lain.
-UU ini memungkinkan perampasan meskipun pelaku meninggal, melarikan diri, atau belum divonis.
3. Menerapkan pembuktian terbalik
-Pemilik harta wajib menjelaskan asal-usul kekayaannya jika dianggap tidak wajar.
-Ini membuat aparat lebih mudah menjerat pelaku kejahatan kerah putih yang pandai menyamarkan hasil kejahatannya.
4. Selaras dengan praktik internasional
-Mengikuti model in rem forfeiture (perampasan terhadap benda, bukan orang) dan unexplained wealth (kekayaan tak wajar).
-Indonesia jadi lebih siap bekerja sama dengan negara lain dalam asset recovery.
5. Menutup celah hukum pidana konvensional
-Hukum pidana biasa hanya bisa merampas aset jika ada vonis pengadilan.
-Dengan UU ini, aset tetap bisa diambil alih negara meski pelaku lolos atau proses pidananya terhambat.
6. Meningkatkan efek jera
-Pelaku tindak pidana tidak hanya dipenjara, tapi juga kehilangan keuntungan ekonomis dari kejahatannya.
-Prinsip “crime does not pay” benar-benar ditegakkan.
7. Mendorong transparansi kekayaan pejabat & masyarakat
-Dengan adanya pembuktian terbalik, pejabat publik maupun pihak swasta akan lebih hati-hati dan transparan dalam mencatat asal-usul harta.
-Bisa jadi instrumen pencegahan korupsi.
Konsep Perampasan Aset di Negara Lain
1. Amerika Serikat – Asset Forfeiture
⦁ Jenis:
⦁ Criminal Forfeiture → setelah pelaku divonis bersalah.
⦁ Civil Forfeiture (In rem) → fokus ke aset, tidak perlu vonis pelaku.
⦁ Mekanisme: Jaksa cukup menunjukkan probable cause (alasan yang masuk akal) bahwa aset terkait tindak pidana.
⦁ Kelebihan: cepat, efektif melawan mafia narkoba & pencucian uang.
⦁ Kritik: sering dipakai berlebihan, bahkan terhadap warga yang tidak terbukti bersalah (abuse of power).
2. Australia – Unexplained Wealth Orders (UWO)
⦁ Konsep: Jika seseorang punya kekayaan yang tidak sesuai profil penghasilannya, ia wajib membuktikan asal-usul harta tersebut.
⦁ Pendekatan: Reverse onus of proof (pembuktian terbalik).
⦁ Kelebihan: ampuh melawan korupsi & sindikat narkoba.
⦁ Kritik: berpotensi melanggar presumption of innocence jika tidak hati-hati.
3. Inggris – Proceeds of Crime Act (POCA) 2002
⦁ Jenis Perampasan:
⦁ Conviction-based confiscation → setelah vonis.
⦁ Non-conviction based civil recovery → tanpa vonis, jika aset jelas hasil kejahatan.
⦁ Fitur: Ada juga Unexplained Wealth Orders (mirip Australia).
⦁ Kelebihan: memungkinkan pemerintah mengambil aset koruptor luar negeri yang parkir di London.
⦁ Kritik: masih terbatas penggunaannya karena proses pengadilan panjang.
4. Swiss – Non-Conviction Based Confiscation
⦁ Pendekatan: Aset bisa dirampas jika ada “indikasi kuat” berasal dari kejahatan, meskipun pelaku tidak diadili.
⦁ Fokus: dirty money laundering (uang hasil kejahatan lintas negara).
⦁ Kelebihan: sangat mendukung kerja sama internasional karena Swiss jadi pusat perbankan.
5. Singapura – Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of Benefits) Act
⦁ Pendekatan: Menggunakan civil forfeiture.
⦁ Kekuatan: sistem keuangan yang transparan membuat tracing aset lebih mudah.
⦁ Kelebihan: efektif menekan kejahatan narkotika & korupsi.
6. Filipina – Forfeiture Law
⦁ Fokus: Ill-gotten wealth terutama terkait Marcos era.
⦁ Pendekatan: Pembuktian terbalik – pejabat negara yang hartanya tidak wajar wajib menjelaskan asal-usulnya.
⦁ Hasil: Beberapa aset Marcos berhasil dirampas dan dikembalikan ke negara.
Potensi yang Bisa Terjadi untuk Anggota Dewan
1. Positif – Instrumen Pengawasan Kekayaan
⦁ UU ini bisa menekan potensi korupsi dan gratifikasi, karena setiap anggota dewan wajib bisa menjelaskan asal-usul hartanya.
⦁ LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) akan lebih kuat posisinya karena bisa diuji dengan mekanisme perampasan aset.
⦁ Meningkatkan kepercayaan publik bahwa wakil rakyat benar-benar bersih.
2. Negatif – Risiko Perampasan Aset Anggota Dewan
⦁ Jika ada kekayaan tidak wajar yang tidak bisa dijelaskan asal-usulnya, aset bisa dirampas meski belum ada vonis pidana korupsi.
⦁ Aset yang dititipkan lewat keluarga, perusahaan cangkang, atau nominee bisa tetap disasar.
⦁ Ini membuat anggota dewan dengan kekayaan “abu-abu” sangat rentan.
3. Potensi Penyalahgunaan Politik
⦁ UU ini bisa jadi senjata politik antar-elite:
⦁ Anggota dewan oposisi bisa “diserang” dengan isu aset tidak wajar.
⦁ Bisa dipakai sebagai alat bargaining politik atau kriminalisasi jika penegak hukum tidak independen.
4. Beban Administratif dan Transparansi
⦁ Anggota dewan harus lebih detail melaporkan aset dan asal-usulnya.
⦁ Jika ada harta warisan, hibah, atau usaha keluarga yang tidak tercatat rapi, bisa dipermasalahkan.
⦁ Ini menambah beban administratif, tapi sekaligus meningkatkan standar transparansi.
5. Efek Jera & Deterrent Effect
⦁ Anggota dewan akan berpikir ulang menerima gratifikasi atau fee proyek, karena ancamannya bukan sekadar penjara, tetapi hilangnya aset pribadi & keluarga.
⦁ Bisa memperbaiki budaya politik jangka panjang.
Mengapa Anggota Dewan Enggan mensahkan UU perampasan asset :
Alasan normative :
1. Kekhawatiran melanggar HAM & asas praduga tak bersalah
⦁ Perampasan aset tanpa vonis pidana dianggap berpotensi melanggar presumption of innocence.
⦁ Anggota DPR bisa berdalih ingin memastikan perlindungan HAM sebelum mengesahkan.
2. Kepastian hukum yang belum jelas
⦁ Ada kekhawatiran aturan teknis tentang siapa berwenang, bagaimana mekanisme pembuktian terbalik, dan cara pengelolaan aset belum matang.
⦁ Bisa jadi alasan untuk menunda pembahasan.
3. Risiko penyalahgunaan kewenangan aparat
⦁ DPR bisa mengatakan UU ini berpotensi jadi alat kriminalisasi, terutama jika dipakai secara selektif terhadap lawan politik.
Alasan Terselubung (Politis & Pragmatis)
1. Takut terseret karena kekayaan tak wajar
⦁ Banyak anggota dewan punya aset yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan asal-usulnya (gratifikasi, fee proyek, dana kampanye).
⦁ Dengan mekanisme pembuktian terbalik, mereka berisiko kehilangan aset meski belum terbukti bersalah di pengadilan.
2. Benturan dengan kepentingan politik & bisnis
⦁ Sebagian anggota DPR punya hubungan dengan pengusaha atau oligarki. UU ini bisa mengancam jaringan kekuasaan yang menopang karier politik mereka.
3. Mengurangi ruang negosiasi politik
⦁ Aset “abu-abu” selama ini bisa jadi modal kekuatan (misalnya untuk kampanye). Jika UU berlaku, ruang manuver finansial mereka jadi terbatas.
4. Efek domino pada elite lain
⦁ Banyak kasus besar (korupsi, mafia migas, tambang, atau proyek infrastruktur) melibatkan elite politik. UU ini bisa membuka kotak pandora yang merembet ke banyak pihak di parlemen sendiri.
Langkah Jitu Mencegah Abuse of Power
1. Desain Regulasi yang Jelas & Ketat
⦁ Perumusan pasal harus detail: definisi aset, indikator “kekayaan tidak wajar”, batasan pembuktian terbalik.
⦁ Ada mekanisme due process of law: penyitaan dan perampasan tetap harus melalui pengadilan khusus, bukan keputusan sepihak aparat.
2. Peran Hakim Independen
⦁ Putusan perampasan aset wajib diputus pengadilan (bukan hanya penyidik atau kejaksaan).
⦁ Perlu dibentuk Pengadilan Perampasan Aset atau kamar khusus di pengadilan tipikor agar transparan dan teruji.
3. Transparansi & Akuntabilitas
⦁ Semua proses (penyitaan, pengelolaan, pelelangan aset) harus terbuka untuk publik.
⦁ Bisa dengan portal daring yang menampilkan daftar aset yang disita, status perkara, dan hasil lelang.
4. Penguatan Lembaga Pengelola Aset
⦁ Aset yang disita dikelola lembaga profesional (misalnya LMAN – Lembaga Manajemen Aset Negara) dengan audit ketat.
⦁ Hindari aset disalahgunakan, hilang, atau undervalue saat dilelang.
5. Mekanisme Pengawasan Eksternal
⦁ Bentuk komisi pengawas independen yang melibatkan KPK, Ombudsman, BPK, dan masyarakat sipil (NGO antikorupsi).
⦁ Publik bisa melaporkan indikasi penyalahgunaan.
6. Jalur Hukum untuk Korban Salah Sita
⦁ Jika ada warga yang hartanya sah tapi kena sita, harus ada jalur gugatan ganti rugi cepat & adil.
⦁ Ini menjaga kepercayaan publik bahwa UU ini bukan alat represif.
7. Digitalisasi & Interkoneksi Data
⦁ Gunakan sistem big data: integrasi dengan PPATK, Dirjen Pajak, BPN, OJK, dan bank.
⦁ Dengan data yang akurat, aparat tidak bisa asal tuduh; harus ada bukti transaksi yang kuat.
8. Pendidikan Publik & Sosialisasi
⦁ Masyarakat perlu diedukasi tentang pentingnya mencatat asal-usul harta (warisan, hibah, jual-beli).
⦁ Supaya warga tidak jadi korban karena ketidaktahuan administrasi.
Kelebihan UU Perampasan Aset
8. Mempercepat pemulihan kerugian negara
⦁ Aset hasil tindak pidana bisa langsung dirampas tanpa menunggu putusan pidana yang sering memakan waktu bertahun-tahun.
⦁ Negara tidak lagi kehilangan potensi triliunan rupiah hanya karena proses hukum yang lambat.
1. Mencegah pelaku melarikan aset
⦁ Banyak tersangka korupsi atau pencucian uang menyembunyikan aset, memindahkan ke luar negeri, atau atas nama orang lain.
⦁ UU ini memungkinkan perampasan meskipun pelaku meninggal, melarikan diri, atau belum divonis.
2. Menerapkan pembuktian terbalik
⦁ Pemilik harta wajib menjelaskan asal-usul kekayaannya jika dianggap tidak wajar.
⦁ Ini membuat aparat lebih mudah menjerat pelaku kejahatan kerah putih yang pandai menyamarkan hasil kejahatannya.
3. Selaras dengan praktik internasional
⦁ Mengikuti model in rem forfeiture (perampasan terhadap benda, bukan orang) dan unexplained wealth (kekayaan tak wajar).
⦁ Indonesia jadi lebih siap bekerja sama dengan negara lain dalam asset recovery.
4. Menutup celah hukum pidana konvensional
⦁ Hukum pidana biasa hanya bisa merampas aset jika ada vonis pengadilan.
⦁ Dengan UU ini, aset tetap bisa diambil alih negara meski pelaku lolos atau proses pidananya terhambat.
5. Meningkatkan efek jera
⦁ Pelaku tindak pidana tidak hanya dipenjara, tapi juga kehilangan keuntungan ekonomis dari kejahatannya.
⦁ Prinsip “crime does not pay” benar-benar ditegakkan.
6. Mendorong transparansi kekayaan pejabat & masyarakat
⦁ Dengan adanya pembuktian terbalik, pejabat publik maupun pihak swasta akan lebih hati-hati dan transparan dalam mencatat asal-usul harta.
⦁ Bisa jadi instrumen pencegahan korupsi.
Konsep Perampasan Aset di Negara Lain
1. Amerika Serikat – Asset Forfeiture
⦁ Jenis:
⦁ Criminal Forfeiture → setelah pelaku divonis bersalah.
⦁ Civil Forfeiture (In rem) → fokus ke aset, tidak perlu vonis pelaku.
⦁ Mekanisme: Jaksa cukup menunjukkan probable cause (alasan yang masuk akal) bahwa aset terkait tindak pidana.
⦁ Kelebihan: cepat, efektif melawan mafia narkoba & pencucian uang.
⦁ Kritik: sering dipakai berlebihan, bahkan terhadap warga yang tidak terbukti bersalah (abuse of power).
2. Australia – Unexplained Wealth Orders (UWO)
⦁ Konsep: Jika seseorang punya kekayaan yang tidak sesuai profil penghasilannya, ia wajib membuktikan asal-usul harta tersebut.
⦁ Pendekatan: Reverse onus of proof (pembuktian terbalik).
⦁ Kelebihan: ampuh melawan korupsi & sindikat narkoba.
⦁ Kritik: berpotensi melanggar presumption of innocence jika tidak hati-hati.
3. Inggris – Proceeds of Crime Act (POCA) 2002
⦁ Jenis Perampasan:
⦁ Conviction-based confiscation → setelah vonis.
⦁ Non-conviction based civil recovery → tanpa vonis, jika aset jelas hasil kejahatan.
⦁ Fitur: Ada juga Unexplained Wealth Orders (mirip Australia).
⦁ Kelebihan: memungkinkan pemerintah mengambil aset koruptor luar negeri yang parkir di London.
⦁ Kritik: masih terbatas penggunaannya karena proses pengadilan panjang.
4. Swiss – Non-Conviction Based Confiscation
⦁ Pendekatan: Aset bisa dirampas jika ada “indikasi kuat” berasal dari kejahatan, meskipun pelaku tidak diadili.
⦁ Fokus: dirty money laundering (uang hasil kejahatan lintas negara).
⦁ Kelebihan: sangat mendukung kerja sama internasional karena Swiss jadi pusat perbankan.
5. Singapura – Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of Benefits) Act
⦁ Pendekatan: Menggunakan civil forfeiture.
⦁ Kekuatan: sistem keuangan yang transparan membuat tracing aset lebih mudah.
⦁ Kelebihan: efektif menekan kejahatan narkotika & korupsi.
6. Filipina – Forfeiture Law
⦁ Fokus: Ill-gotten wealth terutama terkait Marcos era.
⦁ Pendekatan: Pembuktian terbalik – pejabat negara yang hartanya tidak wajar wajib menjelaskan asal-usulnya.
⦁ Hasil: Beberapa aset Marcos berhasil dirampas dan dikembalikan ke negara.
Potensi yang Bisa Terjadi untuk Anggota Dewan
1. Positif – Instrumen Pengawasan Kekayaan
⦁ UU ini bisa menekan potensi korupsi dan gratifikasi, karena setiap anggota dewan wajib bisa menjelaskan asal-usul hartanya.
⦁ LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) akan lebih kuat posisinya karena bisa diuji dengan mekanisme perampasan aset.
⦁ Meningkatkan kepercayaan publik bahwa wakil rakyat benar-benar bersih.
2. Negatif – Risiko Perampasan Aset Anggota Dewan
⦁ Jika ada kekayaan tidak wajar yang tidak bisa dijelaskan asal-usulnya, aset bisa dirampas meski belum ada vonis pidana korupsi.
⦁ Aset yang dititipkan lewat keluarga, perusahaan cangkang, atau nominee bisa tetap disasar.
⦁ Ini membuat anggota dewan dengan kekayaan “abu-abu” sangat rentan.
3. Potensi Penyalahgunaan Politik
⦁ UU ini bisa jadi senjata politik antar-elite:
⦁ Anggota dewan oposisi bisa “diserang” dengan isu aset tidak wajar.
⦁ Bisa dipakai sebagai alat bargaining politik atau kriminalisasi jika penegak hukum tidak independen.
4. Beban Administratif dan Transparansi
⦁ Anggota dewan harus lebih detail melaporkan aset dan asal-usulnya.
⦁ Jika ada harta warisan, hibah, atau usaha keluarga yang tidak tercatat rapi, bisa dipermasalahkan.
⦁ Ini menambah beban administratif, tapi sekaligus meningkatkan standar transparansi.
5. Efek Jera & Deterrent Effect
⦁ Anggota dewan akan berpikir ulang menerima gratifikasi atau fee proyek, karena ancamannya bukan sekadar penjara, tetapi hilangnya aset pribadi & keluarga.
⦁ Bisa memperbaiki budaya politik jangka panjang.
Mengapa Anggota Dewan Enggan mensahkan UU perampasan asset :
Alasn normative :
4. Kekhawatiran melanggar HAM & asas praduga tak bersalah
⦁ Perampasan aset tanpa vonis pidana dianggap berpotensi melanggar presumption of innocence.
⦁ Anggota DPR bisa berdalih ingin memastikan perlindungan HAM sebelum mengesahkan.
1. Kepastian hukum yang belum jelas
⦁ Ada kekhawatiran aturan teknis tentang siapa berwenang, bagaimana mekanisme pembuktian terbalik, dan cara pengelolaan aset belum matang.
⦁ Bisa jadi alasan untuk menunda pembahasan.
2. Risiko penyalahgunaan kewenangan aparat
⦁ DPR bisa mengatakan UU ini berpotensi jadi alat kriminalisasi, terutama jika dipakai secara selektif terhadap lawan politik.
Alasan Terselubung (Politis & Pragmatis)
5. Takut terseret karena kekayaan tak wajar
⦁ Banyak anggota dewan punya aset yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan asal-usulnya (gratifikasi, fee proyek, dana kampanye).
⦁ Dengan mekanisme pembuktian terbalik, mereka berisiko kehilangan aset meski belum terbukti bersalah di pengadilan.
1. Benturan dengan kepentingan politik & bisnis
⦁ Sebagian anggota DPR punya hubungan dengan pengusaha atau oligarki. UU ini bisa mengancam jaringan kekuasaan yang menopang karier politik mereka.
2. Mengurangi ruang negosiasi politik
⦁ Aset “abu-abu” selama ini bisa jadi modal kekuatan (misalnya untuk kampanye). Jika UU berlaku, ruang manuver finansial mereka jadi terbatas.
3. Efek domino pada elite lain
⦁ Banyak kasus besar (korupsi, mafia migas, tambang, atau proyek infrastruktur) melibatkan elite politik. UU ini bisa membuka kotak pandora yang merembet ke banyak pihak di parlemen sendiri.






ushirota dan 3 lainnya memberi reputasi
2
611
38


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan